Senin, 28 September 2009

KARYA OLAH NASKAH DRAMA KELAS XI IPA 5

Karya siswa di sini adalah karya kreativitas olah naskah cerita rakyat ke dalam format naskah drama. Kreasi ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan citarasa dan sikap cinta terhadap budaya nusantara sebagai warisan bangsa yang layak dibanggakan di tengah multibudaya dan bangsa dalam era globalisasi ini.

Karya siswa adalah kreativitas dan kemampuan perkembangan kemampuan kompetensinya sehingga semuanya berproses ke arah ketuntasan tujuan yang hendak dicapai. Maka, mohon dipahami dan dimengerti bahwa semuanya ini bermuara ke arah pengembangan kompetensi pembelajaran.

Karya siswa memang layak dibanggakan. Inilah citarasa mereka terhaadap budaya bangsa. baca dan nikmati!

313 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Nama : Dedy Mediansyah
    Kelas : XI IPA 5 / 11

    Peradilan Rakyat

    Di suatu kota besar terdapat Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

    "Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

    Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

    "Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
    Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
    "Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
    tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
    Pengacara muda itu tersenyum.
    "Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

    "Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

    Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

    "Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

    Pengacara tua itu meringis.
    "Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
    "Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
    Pengacara tua itu tertawa.
    "Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
    Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

    BalasHapus
  3. "Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

    Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

    "Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
    "Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

    "Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

    Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

    Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

    Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

    "Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

    BalasHapus
  4. "Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
    Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
    "Bagaimana Anda tahu?"

    Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

    Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
    "Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

    Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
    "Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
    "Antara lain."
    "Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
    Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
    "Jadi langkahku sudah benar?"
    Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

    "Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
    "Tidak! Sama sekali tidak!"
    "Bukan juga karena uang?!"
    "Bukan!"
    "Lalu karena apa?"
    Pengacara muda itu tersenyum.
    "Karena aku akan membelanya."
    "Supaya dia menang?"

    "Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
    Pengacara tua termenung.
    "Apa jawabanku salah?"
    Orang tua itu menggeleng.

    "Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

    "Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

    "Tapi kamu akan menang."
    "Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

    "Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

    BalasHapus
  5. Pengacara muda itu tertawa kecil.
    "Itu pujian atau peringatan?"
    "Pujian."
    "Asal Anda jujur saja."
    "Aku jujur."
    "Betul?"
    "Betul!"

    Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
    "Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

    "Bukan! Kenapa mesti takut?!"
    "Mereka tidak mengancam kamu?"
    "Mengacam bagaimana?"
    "Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

    "Tidak."
    Pengacara tua itu terkejut.
    "Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
    "Tidak."
    "Wah! Itu tidak profesional!"
    Pengacara muda itu tertawa.
    "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
    "Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
    Pengacara muda itu terdiam.
    "Bagaimana kalau dia sampai menang?"
    "Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
    "Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
    Pengacara muda itu tak menjawab.
    "Berarti ya!"
    "Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

    Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

    "Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
    "Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

    "Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

    "Betul."
    "Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

    Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

    Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
    "Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

    Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan

    BalasHapus
  6. "Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
    "Tapi..."

    Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
    "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

    Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

    "Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

    Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

    Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

    "Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?

    BalasHapus
  7. Nama : Dedy Mediansyah
    Kelas : XI IPA 5 / 11

    Naskah Drama

    1. Narator : Di suatu kota besar terdapat seorang pengacara muda yang cemerlang. Pengacara muda itu menemuhi ayahnya seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh penegak hukum. Pengacara muda itu datang menemuhi pengacara senior.
    2. Pengacara Muda : Aku datang tidak sebagai putramu," aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
    3. Narator : Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
    4. Pengacara Tua : Apa yang ingin kamu tentang, anak muda
    5. Narator : Pengacara muda pun tertegun kemudian dia membalas
    6. Pengacara Muda : Ayahanda bertanya kepadaku?
    7. Pengacara Tua : Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini
    8. Narator : Pengacara muda puntersenyum dan ia berkata
    9. Pengacara Muda : Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku
    10. Pengacara Tua : Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan?
    11. Narator : Memang pengacara muda tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu..
    Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
    12. Pengacara muda : Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri
    13. Narator: Pengacara tua itu meringis
    14. Pengacara muda : Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.
    Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun.
    15. Pengacara Tua : Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu
    16. Narator : Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
    17. Pengacara Tua : Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan. Jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.

    BalasHapus
  8. 18. Narator : Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
    19. Pengacara Muda : Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog
    20. Pengacara Tua : Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya
    21. Pengacara Muda ; Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani
    Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
    Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini.
    22. Narator : Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan
    23. Pengacara Muda : Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya
    24. Pengacara Tua : Lalu kamu terima?
    25.Narator : Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
    26. Pengacara Muda : Bagaimana Anda tahu?
    27. Narator : Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata
    28. Pengacara Tua : Sebab aku kenal siapa kamu
    29. Narator : Pengacara muda sekarang menarik napas panjang
    30. Pengacara Muda : Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya
    31. Pengacara Tua : Jadi itu yang ingin kamu tanyakan
    begitu kau sudah mendapatkan jawabanku
    32. Narator : Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu
    33. Pengacara Muda : Jadi langkahku sudah benar

    BalasHapus
  9. 34. Pengacara Tua : Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan
    35. Pengacara Tua : Tidak! Sama sekali tidak!
    Bukan juga karena uang
    36. Pengacara Tua : Lalu karena apa?
    37. Pengacara Muda : Karena aku akan membelanya.
    Supaya dia menang?
    Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
    Pengacara tua termenung.
    Apa Jawabanku salah?
    38. Pengacara Tua : Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang
    Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan
    Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini
    39. Pengacara Muda : Itu pujian atau peringatan?
    40. Pengacara Tua : Pujian
    41. Pengacara Muda ; Asal Anda jujur saja
    42. Pengacara Tua : Aku jujur
    43. Pengacara Muda :Betul?
    44. Pengacara Tua : Betul!
    Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?
    45. Pengacara Muda : Bukan! Kenapa mesti takut!?
    46. Pengacara Tua ; Mereka tidak mengancam kamu?
    47. Pengacara Muda : Mengacam bagaimana?
    48. Pengacara Tua ; Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka
    49.:Parator : Pengacara Tua itu terkejut
    50. Pengacara Tua : Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu
    51. Pengacara Muda :Tidak
    52. Pengacara Tua ; Wah! Itu tidak profesional
    53. Pengacara Muda : Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!
    54. Pengacara Tua : Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?
    55. Narator : Pengacara muda itu terdiam
    56. Pengacara Tua : Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan
    Jadi kamu akan memenangkan perkara itu

    BalasHapus
  10. 57. Narator : Pengacara Muda tidak menjawab
    58. Pengacara Tua ; Berarti ya?
    59. Pengacara Muda : . Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!
    60. Narator : Orang tua itu terkejut
    61. Pengacara Tua : Kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.
    62. Pengacara Muda : Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut
    63. Pengacara Tua : Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?
    64. Pengacara Muda : Betul
    65. Pengacara Tua : Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang
    Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional
    66. Narator : Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
    67. Sekertaris : Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam
    68. Narator : Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik
    69. Pengacara Muda : Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai
    70. Narator : Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah
    Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu
    71. Pengacara Tua : Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku, rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. Nama : Tiffani Kosasih
    Kelas : XI IPA 5
    No : 43

    Judul : Guru
    Tema : Kepedulian Sosial
    (Karya Putu Wijaya, Sumber kumpulan-cerpen.blogspot.com)
    NASKAH CERPEN

    Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
    "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
    Taksu mengangguk.
    "Betul Pak."
    Kami kaget.
    "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
    "Ya."
    Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
    Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
    "Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
    "Tapi saya mau jadi guru."
    "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

    BalasHapus
  14. "Sudah saya pikir masak-masak."
    Saya terkejut.
    "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
    Taksu menggeleng.
    "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
    "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
    Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
    "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
    Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
    Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
    Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.
    "Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
    Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
    "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
    Taksu tidak menjawab.
    "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"
    Taksu tetap tidak menjawab.
    "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
    Taksu mengangguk.
    "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
    Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
    "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
    Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
    "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

    BalasHapus
  15. Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
    Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
    Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
    "Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
    Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
    "Hadiah apa, Pak?"
    Saya tersenyum.
    "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
    Taksu memandang saya.
    "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
    Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
    "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
    Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.
    "Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
    Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
    "Saya ingin jadi guru. Maaf."
    Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
    "Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
    Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
    Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
    "Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
    "Mau jadi guru."

    BalasHapus
  16. Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
    "Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
    "Karena saya ingin jadi guru."
    "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
    "Saya mau jadi guru."
    "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
    Taksu menatap saya.
    "Apa?"
    "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
    Taksu balas memandang saya tajam.
    "Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
    "Tidak? Kenapa tidak?"
    "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
    Saya tercengang.
    "O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
    "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
    Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
    "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
    Taksu memandang kepada saya tajam.
    "Siapa Taksu?!"
    Taksu menunjuk.
    "Bapak sendiri, kan?"
    Saya terkejut.
    "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
    Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
    "Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
    Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.

    BalasHapus
  17. "Ini satu milyar tahu?!"
    Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
    "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
    Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
    "Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
    Saya bingung.
    "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
    Saya tambah bingung.
    "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
    Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
    "Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
    Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
    "Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
    Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
    Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
    Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
    Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
    "Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.

    BalasHapus
  18. NASKAH DRAMA

    (Berdasarkan Cerpen : GURU)

    Karya : Putu Wijaya
    Sumber : kumpulan-cerpen.blogspot.com

    Adegan 1

    Prolog
    Anak Bapak bercita-cita menjadi guru. Tentu saja Bapak dan Ibu jadi shok. Mereka berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, Bapak dan Ibu cepat-cepat ngajak Taksu ngomong.

    Bapak : "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"

    Taksu : "Betul Pak." (mengangguk).

    Bapak : "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"

    Taksu : "Ya."

    Bapak dan Ibu saling berpandang-pandangan. Mereka sama sekali tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, apalagi mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ibu menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu pergi begitu saja. Bapak mulai bicara blak-blakan.

    Bapak : "Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

    Taksu : "Tapi saya mau jadi guru."

    Bapak : "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

    Taksu : "Sudah saya pikir masak-masak."

    Bapak : "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"

    Taksu : "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru." (menggeleng).

    Bapak : "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"

    Adegan 2

    Bapak dan Ibu meninggalkan Taksu dengan hati panas. Ibu memarahi bapak sepanjang perjalanan, ia menganggap bapak yang sudah salah mendidik Taksu.

    Ibu : "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"

    Bapak diam saja. Ibu memang selalu begitu, semua yang salah dianggap hasil perbuatan bapak.

    BalasHapus
  19. Adegan 3

    Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, Bapak dan Ibu berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini mereka tidak muncul dengan tangan kosong. Ibu membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Ayah membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
    Taksu senang sekali. Ketika Bapak dan Ibu tanyakan kembali bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama. Mereka kembali terpukul.

    Taksu : "Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," (katanya sama sekali tanpa rasa berdosa).

    Ibu : "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?! Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

    Taksu tidak menjawab.

    Ibu : "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"

    Taksu tetap tidak menjawab.

    Ibu : "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

    Taksu : "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?" (mengangguk).

    Ibu : "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"

    Adegan 4

    Sebenarnya Bapak mau ikut bicara, tapi Ibu menarik Bapak pergi. Bapak tidak mungkin membantah. Di jalan, Ibu berbisik.

    Ibu : "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

    Bapak tidak setuju, ia punya pendapat lain. Tapi Bapak tidak berani membantah.

    BalasHapus
  20. Adegan 5

    Tiga bulan Bapak dan Ibu tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi Bapak dan Ibu. Bapak jadi cemas.

    Akhirnya, tanpa diketahui oleh Ibu, Bapak datang lagi. Bapak datang dengan kunci mobil. Ia berpikir mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi bapak hanya kuat membeli yang murah. Tapi sejelek-jeleknya mobil kan mobil, dengan bonus janji, kalau Taksu memang mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan diserahkan, nanti.

    Bapak : "Bagaimana Taksu, Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak." (sambil menunjukkan kunci mobil itu).

    Taksu : "Hadiah apa, Pak?" (melihat kunci itu dengan dingin).

    Bapak : "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?" (tersenyum).

    Taksu : "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

    Bapak : "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!" (Kunci mobil yang sudah ada di tangannya di rebut kembali).

    Lalu Bapak letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir, lalu ia memungut kunci mobil itu lagi.

    Taksu : "Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."

    Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan Bapak, lalu di atas telapak tangan Bapak ditaruhnya kembali kunci mobil itu.

    Taksu : "Saya ingin jadi guru. Maaf."

    Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Bapak akan menampar Taksu. Kebandelannya itu amat menjengkelkan.

    Bapak : "Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."

    Lalu Bapak pergi. Taksu sepertinya sudah di hasut oleh seseorang, tidak ada yang bisa melalukan itu kecuali Mina, pacarnya. Mina adalah anak seorang guru.

    BalasHapus
  21. Adegan 6

    Tepat tiga bulan kemudian Bapak datang lagi. Sekali ini Bapak membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.

    Bapak : "Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

    Taksu : "Mau jadi guru."

    Bapak tak mampu melanjutkannya. Ia memukul meja, hingga gelas di atas meja meloncat, kopu yang ada di dalamnya muncrat ke muka Bapak.

    Bapak : "Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"

    Taksu : "Karena saya ingin jadi guru."

    Bapak : "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"

    Taksu : "Saya mau jadi guru."
    Bapak : "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."

    Taksu menatap Bapak.

    Taksu : "Apa?"

    Bapak : "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" (teriak bapak kalap).

    Taksu balas memandang Bapak tajam.

    Taksu : "Bapak tidak akan bisa membunuh saya."

    Bapak : "Tidak? Kenapa tidak?"

    Taksu : "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

    Bapak tercengang.

    Bapak : "O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

    Taksu : "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

    Bapak bengong. Ia belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Ia menjadi gugup.

    Bapak : "Bangsat! Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

    Taksu memandang kepada Bapak tajam.

    Bapak : "Siapa Taksu?!"

    Taksu menunjuk.

    Taksu : "Bapak sendiri, kan?"

    Bapak terkejut.

    Bapak : "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"

    BalasHapus
  22. Satu jam Bapak menceramahi Taksu, Ia tidak malu-malu lagi membawa-bawa nama pacarnya si Mina.

    Bapak : "Tidak betul cinta itu buta! Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

    Bapak menggebrakkan kunci mobil BMW itu di depan mata Taksu dengan sangat marah.
    Bapak : "Ini satu milyar tahu?!"

    Sebelum Taksu sempat menjawab atau mengambil kunci itu, Bapak ambil kembali dan sambil siap-siap hendak pergi.

    Bapak : "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"

    Tanpa menunggu jawaban, lalu Bapak pulang.

    Adegan 7

    Bapak menceritakan pada istrinya apa yang sudah ia lakukan. Bapak kira ia akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang Bapak ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan Bapak dibentak habis-habisan.

    Ibu : "Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" (teriak Ibu kalap).

    Bapak bingung.

    Ibu : "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"

    Bapak tambah bingung.

    Ibu : "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

    Bapak masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hatinya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun Bapak dan Ibu menunggunya dengan cemas, berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu Bapak dan Ibu pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya Ibu mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin Bapak akan biarkan dia kabur?

    Ibu : "Ayo cepat!" (teriak Ibu kalap).

    BalasHapus
  23. Adegan 8

    Dengan panik Bapak kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh Bapak kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:

    "Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."

    Tangan Bapak gemetar memegang kertas yang disobek dari buku harian Taksu itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito Bapak. Bapak duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran Bapak kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau Bapak kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali Bapak memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

    Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Bapak seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi Ibu yang menyusul karena merasa cemas. Waktu Ibu mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya Bapak yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya Bapak berontak. Kalau tidak, Ibu akan seterusnya menjadikan Bapak bulan-bulanannya. Bapak jawab semua tuduhan Ibu. Ibu tercengang sebab untuk pertama kalinya Bapak membantah. Akhirnya di bekas kamar Taksu itu, mereka bertengkar keras.

    Adegan 9

    Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
    Sekarang Bapak sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup Bapak memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

    Epilog
    Promotor : "Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," (Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah perguruan tinggi bergengsi).


    Palembang, 06 Oktober 2009.

    BalasHapus
  24. Nama : Linda P.M.
    Kelas : XI P 5
    Absen : 27

    Tema : Kepedulian Sosial
    Karya : Bara Simon
    Sumber : http://cerpen.net/cerpen-motivasi/tukang-becak-juga-guru.html

    Cerpen

    Judul : Tukang Becak Juga Guru
    Sebenarnya...mungkin akan banyak orang yang menyangkal, bagaimana mungkin seorang tukang becak bisa menjadi guru?! Bahkan mungkin aku juga adalah salah satunya. Tetapi itu tidak berlaku lagi setelah suatu hari aku menyaksikan kehidupan seorang tukang becak dan keluarganya. Tentu sebagian orang berpikir kehidupan tukang becak ya hanya seperti itu. Hidup serba terbatas, berpikiran sederhana, yang penting hari ini bisa makan, miskin papa, terbelakang dan menutup diri dari segala informasi atau bahkan memang tak mau perduli dengan informasi itu sendiri. Sebenarnya itu hampir sebagian benar adanya. Tetapi kali ini tidak demikian. Karena yang aku pahami setelah mengetahuinya adalah seperti ini....
    Sokiman, itulah nama kecil yang diberikan kepadanya ketika kecil. Dia terlahir di desa sangat terpinggirkan saat itu. Terlahir saat Belanda masih menduduki daerah Kesamben Blitar. Tepatnya desanya bernama Sumbernanas. Mungkin bila kita cari di peta akan sangat sulit untuk menemukannya, atau bahkan saat kita mencarinya secara langsungpun akan sangat sulit untuk mendapatinya. Karena desa itu sedemikian terpencilnya. Akses jalan masuk desa dibatasi langsung oleh bukit dan bulak atau bahasa Indonesianya lahan terbuka yang luas. Dia hidup bahkan tidak dipelihara langsung oleh orang tuanya, karena orang tua lelakinya ikut berjuang melawan penjajah sampai ke pulau seberang yaitu Sumatra dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Bude dan Pakde-nyalah yang memeliharanya hingga dewasa. Sekolahpun ditempuhnya dengan berjalan kaki 10 km setiap harinya yang berarti Sokiman kecil harus berjalan 20 km tiap hari demi ilmu yang diidamkannya.
    Sepulang sekolah sejak kecil Sokiman tak pernah tinggal diam, ia ke sawah, ke kebun, memetik kelapa untuk dibuat gula jawa, menggiring sapi serta kambing. Begitulah semua dilakukan demi tetap menyenangkan Pakde dan Budenya. Sampai saat remaja, dia aktif dengan kegiatan kesenian. Dia menjadi panutan para seniman walaupun usianya masih tergolong muda, karena dia mempunyai ketrampilan bermain gendang dan itu tidak dimiliki oleh anak sebayanya. Diapun menjadi pendiri kesenian ketoprak sampai akhirnya dia berhenti karena dia harus berkelana ke Kota Malang untuk mengadu nasib. Dia Menjadi penjual minyak wangi. Singkatnya dia berkecukupan uang dengan keahliannya meracik minyak wangi yang saat itu baru beberapa gelintir orang saja yang bisa melakukannya. Sangat bertolak belakang dengan saat ini, karena kita bisa memilih parfum dari segala aroma tanpa harus datang ke pasar atau alun-alun kota.
    Setelah lama di kota, iapun kembali ke desa. dibangunnya rumah orang tua kandungnya dan dicukupilah kebutuhan semua saudaranya. Dia tak perduli walau dia harus berkorban dan bekerja keras setiap hari, semua dilakukan dengan ikhlas. Sampai suatu ketika, dia terpikat pada seorang wanita dari desa seberang. Desa Singkil, tepatnya adalah desa selatan dan barat dari Kabupaten Malang. Akhirnya dia menikah.
    Kehidupan di desa Singkil ternyata membawanya keambang kebangkrutan, karena desa itu sangat tertinggal dan jauh dari keramaian, miskin dan tanahnya sangat tandus. Mulailah ia dengan kehidupan yang sudah lama ditinggalkannya, bertani, menebang pohon, memikul batu gamping, bahkan sampai harus memanggul lemari untuk dijajakan demi beberapa rupiah saja. Bahkan ia pun pernah menjadi kuli pecah batu di Wlingi Blitar demi untuk mendapatkan penghasilan. Keluh kesahnya dipendamnya dalam-dalam.
    Ujian tak cukup sampai disitu, karena dari pernikahannya hampir 13 tahun belum mendapatkan keturunan. Doa dan puji kepada yang kuasapun tak pernah lepas dari bibirnya. Mungkin Tuhan menguji kesabarannya. Dia akhirnya mengambil anak angkat dari saudara jauh. Dirawatnya dengan kasih sayang, hingga akhirnya tahun ke-5 putra pertamanya lahir.

    BalasHapus
  25. Ujian masih harus pula ditanggungnya, setelah kelahiran anak pertama dan keduanya, kehidupan di desa semakin tak menentu. Maka nekadlah dia merantau ke Kota Malang.
    Sebenarnya banyak saudara jauhnya yang berhasil di kota itu. Rata-rata jadi pedagang. Maka iapun mulai ikut berdagang dengan pinjaman modal seadanya. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya uang hasil keuntungannya berdagang dan setelah terkumpul, dikirimnya ke desa. Beberapa tahun kemudian istrinyapun menyusulnya. Seiring dengan bertambah besar kedua anaknya, tidak semakin baiklah penghidupannya. Karena penghasilannya sudah tak mencukupi lagi. Akhirnya diapun gulung tikar. Pinjam modal sudah tak dipercaya lagi. Diapun memilih pekerjaan lain yang sangat tidak pernah dipikirnya, yaitu menjadi tukang becak.
    Perjuangan hidup harus dilanjutkan, dia tetap optimis dan percaya bahwa Tuhan tidaklah tidur. Mungkin memang Tuhan sedang mengujinya. Tetapi prinsip utamanya adalah tetap memegang teguh keyakinan pada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, tetap berusaha memperoleh rejeki yang halal. Berangkat pagi pulang petang, demikianlah dilakukannya selama bertahun-tahun tanpa ada perasaan putus asa.
    Seiring berjalannya waktu, anaknyapun tumbuh remaja. Anak lelakinya tergolong baik. Selalu mengikuti kegiatan Pramuka sejak kecil. Dipegangnya Dasa Dharma Pramuka dan Tri Satya sebagai pedoman hidup, itulah keyakinannya. Sementara ujian masih berlaku kepada Sokiman tua, anak perempuannya tak bisa sekolah dan terjebak pada pernikahan muda.
    Tetapi Sokiman yang telah beranjak tua tetap berjuang mempertahankan hidup keluarganya. Dididiknya anak lelaki satu-satunya dengan budi baik dan selalu berusaha dipenuhinya keperluan sang anak. Sampai dia yakin betul bahwa anaknya kelak tetap teguh keyakinannya kepada Tuhan dan tetap hormat dan santun pada orang tua serta bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
    Ternyata perjuangan itu tidaklah sia-sia, anak lelakinya kini bisa hidup lumayan mapan, walaupun anak perempuannya kurang beruntung. Dia telah berhasil menanamkan keyakinan dan kekuatan mental pada anak lelakinya untuk mampu bertahan menghadapi godaan hidup, minuman keras, rokok, judi dan semua hal yang dilarang telah betul-betul berusaha dilawan oleh anak lelakinya. sampai akhirnya sejak lima belas tahun yang lalu, dia telah berhasil menerima manfaat dari kerja kerasnya. Anak lelakinya bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari jerih payahnya. Dia dan istrinya yang telah beranjak senja telah bisa duduk santai tanpa harus bekerja keras lagi.
    Sokiman tua bisa hidup tenang, senyumnya sudah bisa mengembang, kerja kerasnya kini adalah, dia berdoa siang dan malam bagi kedua anaknya agar bisa hidup semakin baik dari hari-hari sebelumnya. Tukang becak itu, dengan keyakinan imannya dan kerja kerasnya telah bisa mengubah hidup yang hampir tak bermakna menjadi penuh arti, trutama bagi kedua anaknya.
    Semangatmu mengilhamiku wahai tukang becak, engkau juga guruku.

    BalasHapus
  26. Naskah Drama

    1. Narator : Mungkin akan banyak orang yang menyangkal, bagaimana mungkin seorang tukang becak bisa menjadi guru? Tetapi itu tidak berlaku lagi setelah suatu hari kita menyaksikan kehidupan seorang tukang becak dan keluarganya. Tentu sebagian orang berpikir hidup serba terbatas, berpikiran sederhana, yang penting hari ini bisa makan, miskin papa, terbelakang dan menutup diri dari segala informasi atau bahkan memang tak mau perduli dengan informasi itu sendiri. Sebenarnya itu hampir sebagian benar adanya. Tetapi kali ini tidak demikian. Karena yang kita pahami setelah mengetahuinya adalah seperti ini....
    2. Narator : Sokiman, itulah nama kecil yang diberikan kepadanya ketika kecil. Dia terlahir di desa sangat terpinggirkan saat itu. Terlahir saat Belanda masih menduduki daerah Kesamben Blitar. Tepatnya desanya bernama Sumbernanaws. Akses jalan masuk desa dibatasi langsung oleh bukit dan bulak atau bahasa Indonesianya lahan terbuka yang luas. Dia hidup bahkan tidak dipelihara langsung oleh orang tuanya, karena orang tua lelakinya ikut berjuang melawan penjajah sampai ke pulau seberang yaitu Sumatra dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Bude dan Pakde-nyalah yang memeliharanya hingga dewasa. Sekolahpun ditempuhnya dengan berjalan kaki 10 km setiap harinya yang berarti Sokiman kecil harus berjalan 20 km tiap hari demi ilmu yang diidamkannya.
    3. Sokiman : “Pakde, Bude... , Sokiman pulang .”
    4. Bude : “Bagaimana sekolahmu hari ini ?”
    5. Pakde : “Pastinya lancar-lancar kan Sokiman ?”
    6. Sokiman : “Iya, hari ini kami belajar bermain gendang, sangat mengasyikan.”
    7. Bude : “Hari ini kamu tidak usah ke sawah, cukup ke kebun saja ya !”
    8. Pakde : “Iya, karena hari ini kebun kita sedang panen.”
    9. Sokiman : “Asyik...”
    10. Narator : Sepulang sekolah sejak kecil Sokiman tak pernah tinggal diam, ia ke sawah, ke kebun, memetik kelapa untuk dibuat gula jawa, menggiring sapi serta kambing. Begitulah semua dilakukan demi tetap menyenangkan Pakde dan Budenya.
    11. Sokiman : “Pakde, Bude, Sokiman perfgi ke sanggar dulu ya ...”
    12. Bude : “Iy, jangan samai larut malam ya! “
    13. Narator : Sampai saat remaja, dia aktif dengan kegiatan kesenian. Dia menjadi panutan para seniman walaupun usianya masih tergolong muda, karena dia mempunyai ketrampilan bermain gendang dan itu tidak dimiliki oleh anak sebayanya.
    14. Tetangga 1 : “Keponakanmu sungat dibanggakan. “
    15. Bude : “Iya, rasanya tidak percuma Aku membesarkannya bersama suamiku hinnga sekarang.”
    16. Tetangga 2 : “Betul sekali, sudah pintar di sekolah, pandai juga memainkan gendang, memang Sokiman anak yang termpil”
    17. Bude : “Terima kasih, semoga kelak Sokiman bisa menjadi orang sukses di hari esok.”
    18. Tetangga 1 dan tetangga 2 : “Amin”
    19. Narator : Sokimanpun menjadi pendiri kesenian ketoprak sampai akhirnya dia berhenti karena dia harus berkelana ke Kota Malang untuk mengadu nasib.
    20. Bude : “Rasanya Bude tidak rela melepasmu pergi begitu saja.”
    21. Pakde : “Jangan begitu ‘Bu, kita harus merelakan Sokiman pergi, Sokiman pergi juga untuk mencari masa depannya!”
    22. Sokiman : Iya ‘Bu, nanti Aku akan selalu memberi kaar.”
    23. Bude : “Tapi, disana tidak ada yang menjagamu, Bude takut kamu sakit dan tidak ada yang mengurusnya.”
    24. Sokiman : “Bude, Aku ingin mandiri, dan bisa maju kedepan.”
    25. Pakde : “Iya ‘Bu, kalau Bude selalu mencegah Sokiman pergi, kapan ia bisa mandiri ?”
    26. Bude : “Iya, tapi hati Bude terasa berat.”

    BalasHapus
  27. 27. Pakde : “Pakdpun tersa berat, tapi pasti Sokiman akan selalu mengabari kita, jadi Bude jangan khawatir!”
    28. Sokiman: Betul kata Pakde, Sokimanpun menyayangi kalian.”
    29. Pakde dan Bude : “Kami juga.”
    30. Sokiman : “Sebenarnya, terasa berat juga, kalian sudah kuanggap orang tuaku sendiri.”
    31. Pakde : “Kalau kamu berpikir begitu terus, kapan kamu akan maju ?”
    32. Narator : Setelah semalaman mereka sekeluarga membicarakan kepergian Sokiman, akhirnya Sokiman pergi ke Malang subuhnya.
    33. Sokiman : “Pakde, Bude, Sokiman pergi dulu.”
    34. Bude : “Jangan lupa untuk mengirim surat!”
    35. Pakde : “Jaga kesehatanmu!”
    36. Bude : “Sokiman, jangan terlalu kelelahan, jika terasa lelah istirahatlah!”
    37. Sokiman : “Iya Bude, Sokiman akan jaga diri.”
    38. Narator : Sesampainya di Malang, Sokiman menjadi penjual minyak wangi. Singkatnya dia berkecukupan uang dengan keahliannya meracik minyak wangi yang saat itu baru beberapa gelintir orang saja yang bisa melakukannya. Sangat bertolak belakang dengan saat ini, karena kita bisa memilih parfum dari segala aroma tanpa harus datang ke pasar atau alun-alun kota.
    39. Teman 1 : Sokiman, kamu pandai sekali meracik minyak wangi, tanpa harus mencobanya satu persatu.”
    40. Sokiman : “Aku hanya merasakannya.”
    41. Teman 2 : “Sungguh, kamu memang pandai, sangat bangga mempunyai teman sepertimu.”
    42. Sokiman, teman 1, dan teman 2 : “Hahahaha...”
    43. Sokiman : “Telah lama Aku ingin ulang ke kampung, adakah diantara kalian ?”
    44. Teman 1 : “Aku belum siap untuk pulang.”
    45. Teman 2 : “Aku juga, kami belum punya penghasilan yang cukup untuk di bawa pulang.”
    46. Sokiman : “Iya juga, pulang setidaknya mempunyai uang cukup untuk keluarga nantinya.
    47. Teman 1 : “Jadi besok kamu pulang ?”
    48. Sokiman : “Iya, tapi tidak lama Aku akan kembali lagi.”
    49. Narator : Setelah lama di kota, iapun kembali ke desa keesokkan paginya.
    50. Sokiman : “ Pakde, Bude, Sokiman pulang.”
    51. Bude : “Benar kamu Sokiman ?”
    52. Sokiman : “Iya Bude.”
    53. Bude : “Kamu benar-benar berubah, Bude kangen sekali.”
    54. Sokiman : “Pakde kemana Bude ?”
    55. Bude : “Pakde sedang membajak sawah, ayo masuk, pasti kamu sangat lelah.”
    56. Sokiman : “Haha, iya terasa lelah diperjalanan tadi.”
    57. Narator : Dibangunnya rumah orang tua kandungnya dan dicukupilah kebutuhan semua saudaranya. Dia tak perduli walau dia harus berkorban dan bekerja keras setiap hari, semua dilakukan dengan ikhlas. Sampai suatu ketika, dia terpikat pada seorang wanita dari desa seberang. Desa Singkil, tepatnya adalah desa selatan dan barat dari Kabupaten Malang. Akhirnya dia menikah.
    58. Sokiman :” Daerah sini sangat terpencil.”
    59. Istri : “Memang beginilah kehidupan di daerah ini.”
    60. Narator : Kehidupan di desa Singkil ternyata membawanya keambang kebangkrutan, karena desa itu sangat tertinggal dan jauh dari keramaian, miskin dan tanahnya sangat tandus. Mulailah ia

    BalasHapus
  28. dengan kehidupan yang sudah lama ditinggalkannya, bertani, menebang pohon, demi beberapa rupiah saja.
    61. Istri : “Kamu nampak sangat letih, istirahatlah sejenak.”
    62. Sokiman : “Iya, sangat lelah ketika harus memanggul lemari an memikul batu gamping.”
    63. Narator : Bahkan ia pun pernah menjadi kuli pecah batu di Wlingi Blitar demi untuk mendapatkan penghasilan. Keluh kesahnya dipendamnya dalam-dalam.
    64. Sokiman : “Apakah Tuhan belum percaya pada kita untuk mengurus anak ?
    65. Istri : “Bersabarlah, pasti suatu saat itu akan terjadi, mungkin belum saatnya.”
    66. Sokiman : Iya, Aku hanya ingin melihat seorang keturunanku.”
    67. Narator : Ujian tak cukup sampai disitu, karena dari pernikahannya hampir 13 tahun belum mendapatkan keturunan. Doa dan puji kepada yang kuasapun tak pernah lepas dari bibirnya. Mungkin Tuhan menguji kesabarannya. Dia akhirnya mengambil anak angkat dari saudara jauh. Dirawatnya dengan kasih sayang, hingga akhirnya tahun ke-5 putra pertamanya lahir.
    68. Sokiman : “Anakku, kelak kamu harus menjadi orang sukses dan membanggakan.”
    69. Istri : “Jangan terlalu memberatkannya.”
    70. Narator: Ujian masih harus pula ditanggungnya, setelah kelahiran anak pertama dan keduanya, kehidupan di desa semakin tak menentu.
    71. Sokiman : “Rasanya, Aku tidak tahan hanya berdiam diri.”
    72. Istri : “Iya, kalau kamu memang ingin pergi merantau, kuizinkan.”
    73. Sokiman : “Aku akan mengabarimu setelah setibanya.”
    74. Narator : Nekadlah dia merantau ke Kota Malang. Sebenarnya banyak saudara jauhnya yang berhasil di kota itu. Rata-rata jadi pedagang. Maka iapun mulai ikut berdagang dengan pinjaman modal seadanya. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya uang hasil keuntungannya berdagang dan setelah terkumpul, dikirimnya ke desa.
    75. Istri : Aku ingin membantumu disana.”
    76. Sokiman : “Datanglah, kita hidup disinipun tidak masalah.”
    77. Narator : Beberapa tahun kemudian istrinyapun menyusulnya. Seiring dengan bertambah besar kedua anaknya, tidak semakin baiklah penghidupannya. Karena penghasilannya sudah tak mencukupi lagi. Akhirnya diapun gulung tikar. Pinjam modal sudah tak dipercaya lagi. Diapun memilih pekerjaan lain yang sangat tidak pernah dipikirnya, yaitu menjadi tukang becak.
    78. Sokiman : “Tidak ada pilihan lain, mungkin menjadi tukang becak akan memulai masa kebangkitan kita.”
    79. Istri : “Iya, jangantakut, Aku akan selalu berada disampingmu hingga kapanpun.”
    80. Narator : Perjuangan hidup harus dilanjutkan, dia tetap optimis dan percaya bahwa Tuhan tidaklah tidur. Mungkin memang Tuhan sedang mengujinya. Tetapi prinsip utamanya adalah tetap memegang teguh keyakinan pada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, tetap berusaha memperoleh rejeki yang halal. Berangkat pagi pulang petang, demikianlah dilakukannya selama bertahun-tahun tanpa ada perasaan putus asa.
    81. Istri : “Anak kita sudah remaja.”
    82. Sokiman : “Iya, bangga sekali rasanya Aku bisa membesarkannya, meskipun pas-pasan.”
    83. Narator : Anak lelakinya tergolong baik. Selalu mengikuti kegiatan Pramuka sejak kecil. Dipegangnya Dasa Dharma Pramuka dan Tri Satya sebagai pedoman hidup, itulah keyakinannya. Sementara ujian masih berlaku kepada Sokiman tua, anak perempuannya tak bisa sekolah dan terjebak pada pernikahan muda.
    84. Sokiman : “Kamu harus menjaga adikmu!”
    85. Anak 1 : “Iya Ayah, Aku akan terus melindungi mereka.”

    BalasHapus
  29. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  30. 86. Narator : Tetapi Sokiman yang telah beranjak tua tetap berjuang mempertahankan hidup keluarganya. Dididiknya anak lelaki satu-satunya dengan budi baik dan selalu berusaha dipenuhinya keperluan sang anak. Sampai dia yakin betul bahwa anaknya kelak tetap teguh keyakinannya kepada Tuhan dan tetap hormat dan santun pada orang tua serta bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.Ternyata perjuangan itu tidaklah sia-sia, anak lelakinya kini bisa hidup lumayan mapan, walaupun anak perempuannya kurang beruntung. Dia telah berhasil menanamkan keyakinan dan kekuatan mental pada anak lelakinya untuk mampu bertahan menghadapi godaan hidup, minuman keras, rokok, judi dan semua hal yang dilarang telah betul-betul berusaha dilawan oleh anak lelakinya. sampai akhirnya sejak lima belas tahun yang lalu, dia telah berhasil menerima manfaat dari kerja kerasnya. Anak lelakinya bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari jerih payahnya. Dia dan istrinya yang telah beranjak senja telah bisa duduk santai tanpa harus bekerja keras lagi. Sokiman tua bisa hidup tenang, senyumnya sudah bisa mengembang, dia berdoa siang dan malam bagi kedua anaknya agar bisa hidup semakin baik dari hari-hari sebelumnya. Tukang becak itu, dengan keyakinan imannya dan kerja kerasnya telah bisa mengubah hidup yang hampir tak bermakna menjadi penuh arti, terutama bagi kedua anaknya.
    Semangatmu mengilhamiku wahai tukang becak, engkau juga guruku.

    BalasHapus
  31. Nama: Andrean
    No. Absen:05

    Cerpen sosial,
    Judul: Sampah


    Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!

    Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya.

    Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.

    Oleh karenanya, kemunculan lelaki ramah dengan gerobak sampahnya itu benar-benar disambut gembira.

    "Sampaaah! Sampaaah!"� begitu teriaknya.

    Istriku sering merasa heran, karena ia mengaku baru pernah menjumpai tukang sampah yang setiap kali meneriakkan berita kedatangannya.

    "Seperti pedagang keliling saja,"� ujar istriku.

    Sebenarnya aku pun belum pernah menjumpai tukang sampah seperti itu, tetapi aku tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai hal yang aneh.

    "Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu,"� dugaku. Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.

    Untuk pekerjaannya itu, aku melihat pendar kebahagiaan tersendiri memancar di wajah lelaki ramah itu.

    "Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!"� jawab lelaki itu ketika kutanya akan semangatnya yang membuatku iri.

    Lantas aku pun membisikkan sesuatu ke istriku. Lelaki itu pahlawan, Dik…. Istriku tak menjawab, sehingga aku tak tahu pasti, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataanku.

    BalasHapus
  32. Tiba-tiba muncul sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu.

    Tertatih aku mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat usang—bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.

    "Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"ujarku.

    "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas!"� bela istriku. "Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat"�

    Aku tersenyum tipis mendengar ucapan istri yang baru beberapa bulan kunikahi itu. Di luar, kulihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya juga.

    "Sampah… sampaaah!"

    Hm… tepat sekali kedatangan lelaki ramah itu.

    "Sampah, Pak!"� ujarku.

    Lelaki itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku.

    "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu!"� teriak Pak Parlian tiba-tiba, ketus. Dan memang, begitu gerobak itu lewat, serangkum bau busuk tercium dengan sangat tajam. "Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."

    "Iya!" sambut Pak Sinaga, setali tiga uang. "Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!"�

    Aku tertegun, lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun. Sejenak ia terdiam, lalu serangkai kata-kata halusnya pun keluar.

    "Jadi, keberadaan saya mengganggu?"

    "Eh, jadi kau ini tak sadar?"� ujar Pak Diki.

    "Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!"�

    "Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya."� Tambah Pak Sinaga lagi.

    "Pak Sampah," Aa Karta, ketua RT di gang kami, tampak mencoba menengahi, "kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!"�

    Pak Sampah berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh. "Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang."�

    Masalah selesai, desisku. Bersyukurlah, karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.

    BalasHapus
  33. Ternyata aku salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan?

    Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.

    "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah,"� ujar Bu Anton, berapi-api.

    "Betul sekali!" lengking Bu Asnah, penjual gado-gado. "Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"�

    "Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!"

    "Ya. Kami tidak mau terima!"�

    "Baiklah,"Aa Karta menimpali. "Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"�

    "Sore saja!" ujar Bu Asnah. "Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."�

    "Setuju!" teriak yang lain.

    "Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!"�
    Aku dan istriku yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.

    BalasHapus
  34. Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.

    "Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus lintang pukang kabur. Kami nggak terima!"�

    Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.

    "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."�

    "Apa tidak dingin, Pak?"� tanyaku.

    Lelaki itu tersenyum.
    "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."

    Padahal dia hanya seorang tukang sampah, aku menelan ludah.

    "Mas…!"� istriku berlari dengan tergopoh-gopoh, persis ketika aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu sempit rumah kontrakanku. "Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!"

    "O, ya?"� aku meletakkan tas berisi laptop buntut yang biasa menemaniku bekerja pada sebuah kantor redaksi majalah bertiras minimal itu di atas karpet. Terus terang, aku letih sekali, karena harus lembur dan pulang malam seperti saat ini. Beruntung istriku masih terjaga. Paling tidak, secangkir kopi susu dan semangkok mie rebus pasti sudah menunggu di meja makan.

    "Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini."�

    "Keributan?"� Pantas istriku belum tidur.

    "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka nggebukin orang!"�

    "Siapa yang digebukin?"

    "Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit…."�

    Lidahku mendadak terasa kelu.

    BalasHapus
  35. Kutatap sampah yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari.

    Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.

    "Mas, mobilnya sudah datang!"� ujar istriku, memecah lamunan.

    Aku tersentak. Segera kuraih tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakanku. Mantan kontrakan, karena mulai hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus mencicil selama limabelas tahun.

    "Sampah… sampah…!!"�

    Suara cempreng itu mengiang di telingaku.

    BalasHapus
  36. Nama: Andrean
    Absen: 05

    Naskah Drama

    1.Narator: Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk sampah!
    2.Narator: Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya.
    3.Narator: Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.
    4.Tkng Sampah: "Sampaaah! Sampaaah!"�
    5.Istri: (merasa heran karena baru pertama kali menjumpai tukang sampah yang setiap kali meneriakkan kedatangannya)
    "Seperti pedagang keliling saja"�
    6.Suami: (aku pun belum pernah menjumpai tukang sampah seperti itu,tapi aku tidak merasa aneh sedikitpun)
    "Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu". Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.
    7.Tkng sampah: Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!,jawab dia saat sang suami bertanya.
    8.Suami:Lelaki itu pahlawan,Dik(sambil membisikkan pada istri)

    BalasHapus
  37. 9.Narator: Muncul problem baru yang berkaitan dengan sampah itu. Sepasang suami istri tersebut saling membantu membersihkan rumah petakan yang mereka sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu.Tertatih sang suami mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat usang bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.
    10.Suami:"Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"
    11.Istri: "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas!"� Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat"�.
    12.Narator: Sang suami tersenyum tipis mendengar ucapan istrinya yang baru beberapa bulan dunikahinya itu.Di luar, sang suami melihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya juga.
    13.Tkng Sampah: "Sampah… sampaaah!"
    14.Suami: "Tepat sekali kedatangannya (tukang sampah yang ramah itu)."Sampah, Pak!"�
    15.Narator: Tukang sampah itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arah sang suami yang memanggilnya tersebut.
    16.Pak Parlian: "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu!"�,Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."
    17. Pak Sinaga: "Iya!,Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!"
    18.Narator: Sang suami tertegun,lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun, sejenak lelaki itu terdiam lalu serangkai kata-kata halusnya pun keluar dari mulutnya.
    19.Tkng Sampah: "Jadi, keberadaan saya mengganggu?"
    20.Pak Diki: "Eh, jadi kau ini tak sadar,sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!"�
    21.Pak Sinaga: "Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya."�
    22.Narator: Aa Karta,ketua RT di gang daerah tempat mereka tinggal ikut ambil bicara,mencoba untuk menengahi.
    23.Aa Karta: "Pak Sampah,kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!"�
    24.Tkng Sampah: (berpikir sejenak,lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh)."Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang."�
    25.Suami: "Masalah selesai(sambil berdesis),Bersyukurlah, karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut."

    BalasHapus
  38. 26.Suami: "Ternyata aku salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan?,Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.
    27.Bu Anton: "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah."
    28.Bu Asnah: "Betul sekali,bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"�
    "Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!"
    29.Bu Anton: "Ya. Kami tidak mau terima!"�
    30.Aa Karta: "Baiklah,Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"�
    31.Bu Asnah: "Sore saja!Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."�
    32.Ibu yang lain: "Setuju!"
    33.Aa Karta: "Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!"�
    34.Narator: Sepasang suami itu kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.
    35.Anak-anak: "Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus lintang pukang kabur. Kami nggak terima!"�
    36.Narator: Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.
    37.Tkng Sampah: "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."�
    38.Suami: "Apa tidak dingin, Pak?"�
    39.Tkng Sampah: "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."
    40.Suami: "(sambil menelan ludah),padahal hanya seorang tukang sampah."

    BalasHapus
  39. 41.Istri: "Mas!(sambilberlari dengan tergopoh-gopoh),Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!"
    42.Suami: "O, ya?(sambil meletakkan tas yang berisi laptop yang biasa menemani bekerja pada sebuah kantor redaksi majalah).
    43.Istri: "Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini."�
    44.Suami: "Keributan?"
    45.Istri: "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka nggebukin orang!"�
    46.Suami: "Siapa yang digebukin?"
    47.Istri: "Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit…."�
    48.Narator: Sang suami menatap sampah yang menggunung di mulut gang,sambil melamun: "Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari.Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini. "
    49.Istri: "Mas, mobilnya sudah datang!"�
    50.Narator: Sang suami tersentak,segera diraihnya tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakannya.Mantan kontrakan, karena mulai hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus mencicil selama limabelas tahun.

    "Sampah… sampah…!!"�

    Suara cempreng itu terus mengiang di telinga sang suami.


    Sumber:http://jawabali.com/vcd/ada/kepedulian-sosial/

    BalasHapus
  40. Nama : Weliam
    No Absen : 47

    Tema: Kepedulian sosial

    Judul : PHK Bunda

    Wajah Bunda serius. Keningnya berkerut. Bibirnya rapat mengatup. Matanya menerawang, menembus langit-langit ruangan yang putih bersih. Tangan kanannya mengetuk-ketukkan ballpoint ke pelipis. Tangan kirinya memegang kertas. Entah sudah berapa lama Bunda merenung. Tapi kertas yang di tangannya masih bersih. Kosong, tanpa tulisan satu huruf pun!
    “Aha!” tiba-tiba Bunda berseru girang. Wajahnya sumringah.
    Lenyap sudah kerut keningnya. Bibirnya mengembang puas dengan mata berbinar gembira. Tak sia-sia ia merenung lama-lama.
    Dengan cepat tangan Bunda bergerak membuat coretan di atas kertas. Secepat ide yang tiba-tiba mengalir lancar di otaknya. Sesekali Bunda berhenti untuk berpikir, jangan-jangan ada idenya yang belum tertuang. Benar saja, sebentar kemudian Bunda kembali menekuni pekerjaannya. Dilihatnya ulang kertas yang telah penuh dengan tulisan itu. Setelah yakin, Bunda tersenyum lega.
    Kali ini Bunda berada di ruangan kerja Ayah. Tangannya sibuk menyalakan stavol, power CPU dan layar monitor. Setelah monitor siap, Bunda mulai mengetik pelan-pelan. Mata Bunda harus mencari posisi huruf yang diinginkan. Maklum, saat Bunda muda komputer adalah barang yang masih langka. Selama ini Bunda lebih suka meminta Ayah atau Muti, putri tunggalnya untuk mengetik jika harus membuat undangan ataupun urusan PKK lainnya. Tapi untuk masalah yang satu ini, Bunda ingin mengerjakan semuanya sendiri. Bunda ingin membuat surprise untuk Ayah dan Muti. Ah,lihat saja!
    “Ugh, akhirnya selesai juga.” nada lega Bunda terdengar jelas saat lembar kertas terakhir muncul dari mesin printer perlahan-lahan. Setelah berjuang keras, akhirnya Bunda berhasil menyelesaikan tulisannya. Dengan komputer lagi. Kembali Bunda meneliti satu per satu huruf yang tercetak dengan times new roman berukuran besar-besar
    Oh,ternyata kesibukan Bunda belum selesai. Di meja makan Bunda meletakkan selembar kertas di bawah plastik transparan yang menutup meja makan. Dari meja makan, Bunda menuju pojok ruangan dan menempel potongan kertas di pesawat telepon. Tak lupa, Bunda mengunci telepon sebelum menempel kertas lainnya di pesawat televisi dan saklar lampu yang ada di ruang tengah. Setelah yakin semua beres, Bunda kembali beraksi di belakang. Tujuannya adalah kran dan wastafel. Di dekat dua benda tersebut juga tak luput dari tempelan kertas.

    BalasHapus
  41. “Mana lauknya, Nda?”
    “Lho, yang di meja makan itu apa?”
    “Iya, tapi nggak biasanya begini? Biasanya minimal ada dua macam lauk. Tapi ini…?”
    Tepat sebelum Bunda menjawab, Ayah datang.
    “Asalamu’alaikum!”
    “Wa’alaikum salam.” Bunda dan Muti menjawab salam bersamaan.
    “Wah, sudah siap makan, ya? Ayah gabung sekalian, lapar nih.” Bergegas Ayah menaruh tas dan mencuci tangan. Tak lama kemudian Ayah sudah bergabung di meja makan. Segera Bunda menyendokkan nasi ke piring Ayah. Muti hanya memperhatikan semuanya dengan sedikit dongkol.
    Piring sudah di depan Ayah. Tiba-tiba Ayah terdiam. Matanya tertuju pada menu yang terhidang di meja makan. Muti terus memperhatikan setiap gerak Ayah. Tak ingin dia melewatkan satu adegan sekalipun.
    “Mana lauknya, Nda?” Muti yang baru minum tersedak. Bunda meliriknya sekilas.
    “Lho itu apa?”
    “Maksudnya… kerupuk udang di toples ini?” Tanya Ayah dengan nada hampir tak percaya.
    Bunda mengangguk mantap. Ayah menggigit bibir bawahnya bingung. Memandangi isi toples yang penuh dengan tumpukan kerupuk udang yang tertata rapi. Kerupuk udang emang enak,sih.Tapi,…
    “Yah, katanya lapar, kok nggak segera makan?” Tanya Bunda sedikit menggoda.
    “Eh… iya. Sampai lupa kalau Ayah tadi sebenarnya lapar.” Dengan sedikit kaku Ayah menyendok nasi dan menggigit kerupuk udang yang agak gosong. Muti sekuat tenaga mengatupkan kedua bibirnya, menahan tawa yang siap meledak.
    Suasana makan siang itu sedikit kaku. Tak ada celoteh seperti biasanya. Bunda tak ingin suasana senyap berlangsung lama. Setelah menelan suapannya Bunda memulai pembicaraan.
    “Mulai hari ini semua boleh menentukan menu makanan. Terserah ingin menu yang mana.”
    “Benar, Nda?” wajah Muti langsung berbinar. Nasi ynag baru dimasukkan, langsung ditelan tanpa dikunyah
    “Oo… tentu saja. Daftar menunya ada di situ.” Telunjuk Bunda menunjuk selembar kertas yang terletak di bawah meja makan. Bergegas Muti berdiri dan membungkukkan badannya agar lebih dekat dengan daftar menu. Namun sebentar kemudian matanya mendelik melihat setiap menu yang tertulis. Sesekali dia menatap Bunda. Yang dilihat tetap tenang melanjutkan makan,seolah tak terjadi apa-apa..
    ”Bunda.”
    “Hmm..?” Tanya Bunda sambil memasukkan sesendok nasi ke mulut.
    “Kok… menunya begitu?”
    “Ada apa, sih Muti?” Akhirnya Ayah ikut nimbrung juga.
    “Dengerin ya, Yah. Pilihan menunya, sayur asem, sayur bayem, tempe goreng, sambal goreng tempe, tempe bacem, stik tempe, sambal teri…….” Muti tak sanggup lagi meneruskan. Ia menatap Bundanya untuk yang kesekian kali.
    “Masa nggak ada ayam dan daging sama sekali.?!”
    “Muti.” Nada Bunda lunak. “Sekarang itu musim flu burung, isu anthrax juga mulai banyak. Jadi mending kita hati-hati.” Bunda menatap Muti dan Ayah bergantian. “Dan lagi sekarang semua kebutuhan sedang naik. Listrik, BBM, beras, sayur, minyak goreng, termasuk juga kebutuhan sehari-hari yang lain. Jadi kita semua kudu berhemat. Mestinya kita harus bersyukur bisa makan setiap hari. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, sementara kita bisa makan rutin tiga kali sehari.” Bunda kembali memeprhatikan Ayah dan Muti. Ayah tampak mengangguk-angguk. Muti hanya diam sambil menarik-narik kedua sudut bibirnya. “Makanya Bunda melakukan PHK.”
    “Lho, siapa yang di PHK, Nda?” Ayah yang sedang minum hampir tersedak kaget.
    “Maksudnya, Program Hemat Keluarga.”

    BalasHapus
  42. “Nda,!”
    “Ehm…”
    “Minta uang, dong.”
    “Buat apa?” mata Bunda belum beralih dari kertas di depannya.
    “Rok seragamku robek. Tadi kecantol paku di sekolah. Masa ke sekolah pake rok begitu?”
    “Oo… gampang.” Kata bunda kalem.
    “Kalau begitu, ntar sore aku belanja ya. Biar Bunda bisa segera menjahitnya.”
    ”Lho, mau belanja apa?” Bunda melirik Muti sambil membenahi kacamatanya.
    “Ya, belanja kain lah, Nda.”
    “Eh, siapa yang mau kasih uang? Dengerin, ya. Setelah tadi Bunda menghitung-hitung ternyata belum ada anggaran untuk membeli rok baru. Mungkin baru bulan depan.”
    Mulut Muti terbuka seketika.
    “Jadi roknya kamu jahit dulu. Ntar Bunda yang ajarin, biar kamu punya keahlian menjahit. Kalau jahitanmu rapi, lumayan, kan. Siapa tahu nanti bisa buka jasa reparasi rok robek. Pasti dapat duit.”
    “Ha…ha…ha…!” Ayah yang sedang menonton drama komedi TV tertawa. Muti semakin sebal, merasa ditertawakan Ayah.
    Tap!
    Ayah kaget. Tiba-tiba layar TV gelap.
    “Lihat kertas itu, Yah.” Bunda menunjuk kertas yang ditempelnya beberapa hari yang lalu. “Nonton TV maksimal 3 jam. Ayah sudah lama nontonnya. Padahal nanti malam pasti Ayah akan nonton berita lagi kan? Makanya sekarang disudahi dulu TV-nya.” Ayah hanya sanggup menarik nafas panjang.
    “Iya, Yah. Masa Ayah lupa dengan PHK-nya Bunda?” Muti merasa senang dapat membalas kejahilan Ayah.
    “Tuh, Muti aja dah pinter.”
    “Yah, kayaknya Bunda bener-bener sudah kelewatan, deh. Masa tiap hari menunya tempee… melulu. Bisa-bisa aku kayak kedelai nanti.”
    “Iya, Ayah juga heran. Biasanya Bunda kan boros banget. Tapi sekarang kok begitu hemat, ya?” Ayah berpikir serius. “jangan-jangan itu bukan Bunda?”
    “Ah, Ayah jangan ngelantur, dong. Emang kalau itu bukan Bunda trus siapa?
    “Iya juga, sih.”
    “Muti pengen makan di luar, Yah.”
    “Boleh, Ayah juga pengen lidah Ayah normal lagi. Mumpung Bunda nggak ada.”
    Bergegas, ayah dan anak itu segera bersiap keluar, sekedar memenuhi keinginan lidah yang telah mencapai titik jenuh terhadap rasa kedelai.
    “Gimana, Bu? Jadi diambil?”
    “Aduh gimana, ya?”
    “Ini murah lho, Bu. Dengan Rp.355.000, ibu sudah bisa mendapat busana muslim lengkap dengan tas dan aksesories tambahan. Biasanya tas dan aksesories kita jual terpisah.”
    “Ehmm…., saya suka modelnya, tapi warnanya itu lho, Mbak?” Bunda mencoba menghindar. Maklum di tasnya uangnya Cuma Rp. 180.000. Mau jujur tidak punya uang jelas memalukan.
    “Wah kalau warna lain nggak ada. Tapi kalau Ibu mau, bisa pesan. Cuma modelnya nggak persis seperti ini. Akan di tambahi sedikit, biar tidak sama persis. Maklum butik ini memang hanya mengeluarkan satu model.” Penjelasan pramuniaga butik membuat wajah Bunda sedikit cerah.
    “Biasanya jadinya berapa lama, Mbak?”
    “Sekitar dua sampai tiga minggu.”
    “Trus bayarnya?”
    “Ibu cukup menyerahkan uang muka setengah dari harga.”
    “Ooo..” Bunda benar-benar lega. Impiannya memiliki baju baru sekelas butik terpenuhi. Tentang kekurangan uang, Bunda juga sudah mendapat solusi. Tinggal memperpanjang PHK, selesai semua urusan.
    “Gimana, Bu?” Bunda agak terkejut.
    “Eh, iya. Iya, Mbak saya jadi pesan. Untuk warna, saya ingin yang biru lembut.”
    “Kalau begitu, silahkan Ibu ke kasir untuk membayar. Setelah itu Ibu ikut saya untuk dilakukan pengukuran.”

    BalasHapus
  43. “Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikum salam.” Jawab Ayah dan Muti yang sedang duduk-duduk di teras samping rumah.
    Bunda langsung menuju dapur, menaruh semua belanjaan. Sebentar kemudian Bunda sudah muncul lagi.
    “Makan siang dulu, yuk.” Ajak bunda.
    Muti melirik Ayah dan Ayah melirik Muti.
    “Kenapa?”
    Muti mengangkat alisnya dan melihat Ayah. Ayah pun mengangkat alisnya dan melihat Muti.
    “Ooo… rupanya pada aksi mogok makan?” Bunda menangkap ada sesuatu yang tidak beres di rumahnya. “Teruskan saja. Asal tahu ya, Bunda tidak akan masak sampai makanan di meja habis. Jadi kalau sampai besok tidak habis, ya Bunda tetap tidak akan memasak.” Bunda langsung masuk ke rumah tanpa mau tahu reaksi Ayah dan Muti.
    “Gimana, Yah? Kok Ayah diam saja, sih? Kita bongkar saja semua.”
    “Tenang, Mut. Ayah sudah punya rencana, kok.” Jawab Ayah tenang. “Dengerin, ya. Wkxzs…kjhwast..wsyzxs….” Muti mengangguk-angguk sambil tersenyum.
    “Tapi soal makanan dan ancaman Bunda tadi?”
    “Benar, juga ya. Bisa-bisa tiga hari ini kita makan tempe bacem. Waduh gimana, Mut?”
    “Yaa…, kita harus makan lagi, Yah.”
    “Makan lagi?!” Ayah langsung terbayang dua mangkuk soto dan segelas es yang baru dimakannya.“Muti! Ayo berangkat, Nak! Ayah pagi ini ada rapat.”
    “Iya, Yah sebentar!” Muti bergegas menuruni tangga dan menuju Ayah. “Ayo, Yah. Nanti Muti telat.” Muti beralih ke Bunda. “Nda, Muti berangkat dulu, ya?” Tak lupa Muti mencium Tangan Bunda.
    Beriringan Ayah dan Muti menuju pintu.
    “Yah! Ayah nggak lupa sesuatu?” Tanya Bunda. Ayah berhenti dan membalikkan badannya ke belakang.
    “Apa, ya? Sepertinya nggak ada yang ketinggalan.” Kata Ayah sambil menekan-nekan jidat.
    “Tuh, kan Ayah mulai lupa. Ini,kan sudah tanggal lima. Ayah belum memberi uang belanja bulanan. Juga untuk telepon, listrik, air dan gas yang kebetulan habis.”
    “Oo.. itu! Aduh, maaf Ayah lupa.” Segera Ayah mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar lima puluh ribuan.
    “Kok?! Cuma ini, Yah?!” Tanya Bunda dengan kening berlipat. “Nggak salah? Semua kan pada naik?”
    “Bunda, sebulan ini Bunda sudah menerapkan PHK. Jadi Ayah yakin uang itu sangat cukup untuk kebutuhan sebulan. Makanya, Ayah sangat mendukung aksi PHK bunda. Kalau bisa diteruskan saja.”
    “Tapi…”
    “Ayah! Ayo cepetan, nanti Muti telat!”
    “Iya, sebentar. Sudah dulu ya. Ayah berangkat.” Tak lupa Ayah mengecup kening Bunda. Tinggallah Bunda yang kebingungan dengan enam lembar uang di tangan.

    BalasHapus
  44. Naskah Drama

    PHK Bunda

    1.Narator:Wajah Bunda serius. Keningnya berkerut. Bibirnya rapat mengatup.
    Matanya menerawang, menembus langit-langit ruangan yang putih bersih. Tangan kanannya mengetuk-ketukkan ballpoint ke pelipis.
    Tangan kirinya memegang kertas.
    Entah sudah berapa lama Bunda merenung.
    Tapi kertas yang di tangannya masih bersih. Kosong, tanpa tulisan satu huruf pun!
    2.Bunda:“Aha!”
    3.Narator:tiba-tiba Bunda berseru girang. Wajahnya sumringah. Lenyap sudah kerut keningnya. Bibirnya mengembang puas dengan mata berbinar gembira. Tak sia-sia ia merenung lama-lama.Dengan cepat tangan Bunda bergerak membuat coretan di atas kertas.Secepat ide yang tiba-tiba mengalir lancar di otaknya. Sesekali Bunda berhenti untuk berpikir, jangan-jangan ada idenya yang belum tertuang. Benar saja, sebentar kemudian Bunda kembali menekuni pekerjaannya. Dilihatnya ulang kertas yang telah penuh dengan tulisan itu.Setelah yakin, Bunda tersenyum lega.Kali ini Bunda berada di ruangan kerja Ayah. Tangannya sibuk menyalakan stavol, power CPU dan layar monitor. Setelah monitor siap, Bunda mulai mengetik pelan-pelan. Mata Bunda harus mencari posisi huruf yang diinginkan. Maklum, saat Bunda muda komputer adalah barang yang masih langka.Selama ini Bunda lebih suka meminta Ayah atau Muti, putri tunggalnya untuk mengetik jika harus membuat undangan ataupun urusan PKK lainnya.Tapi untuk masalah yang satu ini, Bunda ingin mengerjakan semuanya sendiri. Bunda ingin membuat surprise untuk Ayah dan Muti. Ah,lihat saja!
    4.Bunda :“Ugh, akhirnya selesai juga.”
    5.Narator:nada lega Bunda terdengar jelas saat lembar kertas terakhir muncul dari mesin printer perlahan-lahan. Setelah berjuang keras, akhirnya Bunda berhasil menyelesaikan tulisannya. Dengan komputer lagi. Kembali Bunda meneliti satu per satu huruf yang tercetak dengan times new roman berukuran besar-besar.Oh,ternyata kesibukan Bunda belum selesai. Di meja makan Bunda meletakkan selembar kertas di bawah plastik transparan yang menutup meja makan. Dari meja makan, Bunda menuju pojok ruangan dan menempel potongan kertas di pesawat telepon. Tak lupa, Bunda mengunci telepon sebelum menempel kertas lainnya di pesawat televisi dan saklar lampu yang ada di ruang tengah. Setelah yakin semua beres, Bunda kembali beraksi di belakang.Tujuannya adalah kran dan wastafel. Di dekat dua benda tersebut juga tak luput dari tempelan kertas.

    BalasHapus
  45. 6.Muti : “Mana lauknya, Nda?”
    7.Bunda : “Lho, yang di meja makan itu apa?”
    8.Muti : “Iya, tapi nggak biasanya begini? Biasanya minimal ada dua macam lauk. Tapi ini…?”
    9.Narator:Tepat sebelum Bunda menjawab, Ayah datang.
    10.Ayah : “Asalamu’alaikum!”
    11.Bunda dan Muti : “Wa’alaikum salam.”.
    12.Ayah : “Wah, sudah siap makan, ya? Ayah gabung sekalian, lapar nih.”
    13.Narator:Bergegas Ayah menaruh tas dan mencuci tangan. Tak lama kemudian Ayah sudah bergabung di meja makan. Segera Bunda menyendokkan nasi ke piring Ayah. Muti hanya memperhatikan semuanya dengan sedikit dongkol.
    Piring sudah di depan Ayah. Tiba-tiba Ayah terdiam. Matanya tertuju pada menu yang terhidang di meja makan. Muti terus memperhatikan setiap gerak Ayah. Tak ingin dia melewatkan satu adegan sekalipun.
    14.Ayah : “Mana lauknya, Nda?”
    15.Narator:Muti yang baru minum tersedak. Bunda meliriknya sekilas.
    16.Bunda: “Lho itu apa?”
    17.Ayah : “Maksudnya… kerupuk udang di toples ini?”
    18.Narator:Bunda mengangguk mantap. Ayah menggigit bibir bawahnya bingung. Memandangi isi toples yang penuh dengan tumpukan kerupuk udang yang tertata rapi. Kerupuk udang emang enak,sih.Tapi,…
    19.Bunda : “Yah, katanya lapar, kok nggak segera makan?”
    20.Ayah : “Eh… iya. Sampai lupa kalau Ayah tadi sebenarnya lapar.”
    21.Narator:Dengan sedikit kaku Ayah menyendok nasi dan menggigit kerupuk udang yang agak gosong. Muti sekuat tenaga mengatupkan kedua bibirnya, menahan tawa yang siap meledak.
    Suasana makan siang itu sedikit kaku. Tak ada celoteh seperti biasanya.Bunda tak ingin suasana senyap berlangsung lama. Setelah menelan suapannya Bunda memulai pembicaraan.
    22.Bunda : “Mulai hari ini semua boleh menentukan menu makanan. Terserah ingin menu yang mana.”
    23.Muti : “Benar, Nda?”
    24.Bunda : “Oo… tentu saja. Daftar menunya ada di situ.”
    25.Narator:Telunjuk Bunda menunjuk selembar kertas yang terletak di bawah meja makan.
    Bergegas Muti berdiri dan membungkukkan badannya agar lebih dekat dengan daftar menu.
    Namun sebentar kemudian matanya mendelik melihat setiap menu yang tertulis. Sesekali dia menatap Bunda. Yang dilihat tetap tenang melanjutkan makan,seolah tak terjadi apa-apa..
    26.Muti : ”Bunda.”
    27.Bunda: “Hmm..?”
    28.Muti : “Kok… menunya begitu?”
    29.Ayah : “Ada apa, sih Muti?”
    30.Muti : “Dengerin ya, Yah. Pilihan menunya, sayur asem, sayur bayem, tempe goreng, sambal goreng tempe, tempe bacem, stik tempe, sambal teri…….”
    31.Narator:Muti tak sanggup lagi meneruskan. Ia menatap Bundanya untuk yang kesekian kali.
    32.Muti : “Masa nggak ada ayam dan daging sama sekali.?!”
    33.Bunda : “Muti.” Nada Bunda lunak. “Sekarang itu musim flu burung, isu anthrax juga mulai banyak. Jadi mending kita hati-hati.”
    34.Narator:Bunda menatap Muti dan Ayah bergantian.
    35.Bunda : “Dan lagi sekarang semua kebutuhan sedang naik. Listrik, BBM, beras, sayur, minyak goreng, termasuk juga kebutuhan sehari-hari yang lain. Jadi kita semua kudu berhemat. Mestinya kita harus bersyukur bisa makan setiap hari. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, sementara kita bisa makan rutin tiga kali sehari.”
    Bunda kembali memeprhatikan Ayah dan Muti. 36.Narator:Ayah tampak mengangguk-angguk. Muti hanya diam sambil menarik-narik kedua sudut bibirnya.
    37.Bunda: “Makanya Bunda melakukan PHK.”
    38.Ayah: “Lho, siapa yang di PHK, Nda?”
    39.Bunda : “Maksudnya, Program Hemat Keluarga.”
    40.Ayah :“Ooo….”

    BalasHapus
  46. 41.Muti : “Nda,!”
    42.Bunda: “Ehm…”
    43.Muti : “Minta uang, dong.”
    44.Bunda: “Buat apa?”
    45.Narator:mata Bunda belum beralih dari kertas di depannya.
    46.Muti : “Rok seragamku robek. Tadi kecantol paku di sekolah. Masa ke sekolah pake rok begitu?”
    47.Bunda: “Oo… gampang.”
    48.Muti : “Kalau begitu, ntar sore aku belanja ya. Biar Bunda bisa segera menjahitnya.”
    49.Bunda: ”Lho, mau belanja apa?”
    50.Muti : “Ya, belanja kain lah, Nda.”
    51.Bunda: “Eh, siapa yang mau kasih uang? Dengerin, ya. Setelah tadi Bunda menghitung-hitung ternyata belum ada anggaran untuk membeli rok baru. Mungkin baru bulan depan.”
    52.Narator:Mulut Muti terbuka seketika.
    53.Bunda: “Jadi roknya kamu jahit dulu. Ntar Bunda yang ajarin, biar kamu punya keahlian menjahit. Kalau jahitanmu rapi, lumayan, kan. Siapa tahu nanti bisa buka jasa reparasi rok robek. Pasti dapat duit.”
    54.Ayah: “Ha…ha…ha…!”
    55.Narator:Ayah yang sedang menonton drama komedi TV tertawa. Muti semakin sebal, merasa ditertawakan Ayah.”Tap!”
    Ayah kaget. Tiba-tiba layar TV gelap.
    56.Bunda: “Lihat kertas itu, Yah.”
    57.Narator:Bunda menunjuk kertas yang ditempelnya beberapa hari yang lalu.
    58.Bunda: “Nonton TV maksimal 3 jam. Ayah sudah lama nontonnya. Padahal nanti malam pasti Ayah akan nonton berita lagi kan? Makanya sekarang disudahi dulu TV-nya.”
    59.Muti : “Iya, Yah. Masa Ayah lupa dengan PHK-nya Bunda?”
    60.Bunda: “Tuh, Muti aja dah pinter.”
    61.Muti : “Yah, kayaknya Bunda bener-bener sudah kelewatan, deh. Masa tiap hari menunya tempee… melulu. Bisa-bisa aku kayak kedelai nanti.”
    62.Ayah : “Iya, Ayah juga heran. Biasanya Bunda kan boros banget. Tapi sekarang kok begitu hemat, ya?”
    63.Ayah : “jangan-jangan itu bukan Bunda?”
    64.Muti : “Ah, Ayah jangan ngelantur, dong. Emang kalau itu bukan Bunda trus siapa?
    65.Ayah : “Iya juga, sih.”
    66.Muti : “Muti pengen makan di luar, Yah.”
    67.Ayah : “Boleh, Ayah juga pengen lidah Ayah normal lagi. Mumpung Bunda nggak ada.”
    68.Narator:Bergegas, ayah dan anak itu segera bersiap keluar, sekedar memenuhi keinginan lidah yang telah mencapai titik jenuh terhadap rasa kedelai.

    BalasHapus
  47. 69.Pelayan: “Gimana, Bu? Jadi diambil?”
    70.Bunda: “Aduh gimana, ya?”
    71.Pelayan: “Ini murah lho, Bu. Dengan Rp.355.000, ibu sudah bisa mendapat busana muslim lengkap dengan tas dan aksesories tambahan. Biasanya tas dan aksesories kita jual terpisah.”
    72.Bunda: “Ehmm…., saya suka modelnya, tapi warnanya itu lho, Mbak?”
    73.Narator:Bunda mencoba menghindar. Maklum di tasnya uangnya Cuma Rp. 180.000.
    74.Pelayan: “Wah kalau warna lain nggak ada. Tapi kalau Ibu mau, bisa pesan. Cuma modelnya nggak persis seperti ini. Akan di tambahi sedikit, biar tidak sama persis.”
    75.Bunda: “Biasanya jadinya berapa lama, Mbak?”
    76.Pelayan: “Sekitar dua sampai tiga minggu.”
    77.Bunda:“Trus bayarnya?”
    78.Pelayan: “Ibu cukup menyerahkan uang muka setengah dari harga.”
    79.Bunda: “Ooo..”
    80.Narator:Bunda benar-benar lega. Impiannya memiliki baju baru sekelas butik terpenuhi. Tentang kekurangan uang, Bunda juga sudah mendapat solusi. Tinggal memperpanjang PHK, selesai semua urusan.
    81.Pelayan: “Gimana, Bu?”.
    82.Bunda: “Eh, iya. Iya, Mbak saya jadi pesan. Untuk warna, saya ingin yang biru lembut.”
    83.Pelayan:“Kalau begitu, silahkan Ibu ke kasir untuk membayar. Setelah itu Ibu ikut saya untuk dilakukan pengukuran.”
    84.Narator:sesampainya di rumah.
    85.Bunda: “Assalamu’alaikum.”
    86.Ayah dan Muti :“Wa’alaikum salam.”
    87.Bunda : “Makan siang dulu, yuk.”
    88.Narator:Muti melirik Ayah dan Ayah melirik Muti.
    89.Bunda: “Kenapa?”
    90.Muti mengangkat alisnya dan melihat Ayah. Ayah pun mengangkat alisnya dan melihat Muti.
    91.Bunda: “Ooo… rupanya pada aksi mogok makan?,Teruskan saja. Asal tahu ya, Bunda tidak akan masak sampai makanan di meja habis. Jadi kalau sampai besok tidak habis, ya Bunda tetap tidak akan memasak.”
    92.Muti : “Gimana, Yah? Kok Ayah diam saja, sih? Kita bongkar saja semua.”
    93.Ayah : “Tenang, Mut. Ayah sudah punya rencana,Dengerin ya.Wkxzs…kjhwast..wsyxs….”
    94.Narator:Muti mengangguk-angguk sambil tersenyum.
    95.Muti : “Tapi soal makanan dan ancaman Bunda tadi?”
    96.Ayah : “Benar, juga ya. Bisa-bisa tiga hari ini kita makan tempe bacem. Waduh gimana, Mut?”
    97.Muti : “Yaa…, kita harus makan lagi, Yah.”
    “Makan lagi?!”
    98.Narator:Ayah langsung terbayang dua mangkuk soto dan segelas es yang baru dimakannya.

    BalasHapus
  48. 99.Ayah : “Muti! Ayo berangkat, Nak! Ayah pagi ini ada rapat.”
    100.Muti : “Iya, Yah sebentar!”
    101.Narator:Muti bergegas menuruni tangga dan menuju Ayah.
    102.Muti: “Nda, Muti berangkat dulu, ya?”
    103.Narator:Tak lupa Muti mencium Tangan Bunda.Beriringan Ayah dan Muti menuju pintu.
    104.Bunda: “Yah! Ayah nggak lupa sesuatu?”.
    105.Ayah : “Apa, ya? Sepertinya nggak ada yang ketinggalan.”
    106.Bunda: “Tuh, kan Ayah mulai lupa. Ini,kan sudah tanggal lima. Ayah belum memberi uang belanja bulanan. Juga untuk telepon, listrik, air dan gas yang kebetulan habis.”
    107.Ayah: “Oo.. itu! Aduh, maaf Ayah lupa.”
    108.Narator:Segera Ayah mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar lima puluh ribuan.
    109.Bunda : “Kok?! Cuma ini, Yah?!”
    110.Narator:Tanya Bunda dengan kening berlipat.
    111.Bunda : “Nggak salah? Semua kan pada naik?”
    112.Ayah : “Bunda, sebulan ini Bunda sudah menerapkan PHK. Jadi Ayah yakin uang itu sangat cukup untuk kebutuhan sebulan. Makanya, Ayah sangat mendukung aksi PHK bunda. Kalau bisa diteruskan saja.”
    113.Bunda: “Tapi…”
    114.Muti : “Ayah! Ayo cepetan, nanti Muti telat!”
    115.Ayah: “Iya, sebentar. Sudah dulu ya. Ayah berangkat.”
    116.Narator:Tak lupa Ayah mengecup kening Bunda.
    Tinggallah Bunda yang kebingungan dengan enam lembar uang di tangan.

    Sumber:
    http://istanacerpen.co.cc/cerpen-remaja/cerpen-dewasa-phk-bunda

    BalasHapus
  49. Nama: Nike Novianty
    Absen: 35

    Judul: Kesempatan Kedua

    "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    "Hei, lagi ngapain kamu?" bentakku begitu melihat adikku di kamar. Kamar milik kami berdua itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.
    Fitri, adikku itu langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.
    "Kamu lagi ngitung uang ya?" tanyaku akhirnya setelah lama kami saling bertatapan. Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.
    "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!" ujarku kesal sambil mencibir ke arahnya. Ia tak bereaksi banyak. Aku pun beranjak mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.
    "Dua ratus ribu! Yeah!" teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya, dia juga tampak sudah selesai menghitung tabungannya. Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?
    "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang lima ratus lagi," ujarnya sedih. Aku giliran tersenyum.
    "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" teriak Ibu dari dapur begitu aku keluar dari kamar. Dengan lemas aku menuju dapur.
    "Udah sore Bu, aku lemes banget," ujarku dengan mimik yang menyedihkan. Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.
    "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," ujar Ibu sambil mengelus kepalaku.

    BalasHapus
  50. "Ibu, Dede mau bantu!!!" teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.
    "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" tanggapku ketus.
    "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!" ujar Ibu. Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.
    Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.
    "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?"tanya Ibu di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.
    Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk. "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" jawabnya setelah lama terdiam.
    "Bener nih?" Ibu menanyakannya sekali lagi, masih ragu akan keputusan gadis kecil itu. Fitri mengangguk yakin.
    "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil?" batinku kesal. Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.
    **
    Hari ini aku tidak punya rencana apa-apa. Pinginnya sih malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi aku tidur lagi. Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji. Adikku itu memang rajin membaca Alquran. Padahal membacanya pun belum lancar masih terbata-bata, sehingga seringkali ia menghentikan bacaannya dan bertanya pada Ibu. Ibu pun dengan sabar membimbing Fitri. Setelah membaca Alquran biasanya Fitri minta diajari menghafal surat-surat pendek. Hingga di umurnya yang baru 7 tahun dia sudah hafal setengah juz dari juz 30. Kurasa itu prestasi yang luar biasa. Karena banyak teman-temanku yang sudah duduk di bangku SMA saja yang hafalannya belum sebanyak Fitri.
    Sementara aku …. Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?

    BalasHapus
  51. Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.
    " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "
    "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"gerutuku malas.
    "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?"tanyanya penuh harap.
    "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"ujarku sambil mengedipkan mata.
    "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," ujarnya tersenyum riang.
    Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.
    Kami pun pergi ke mal. Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya. Aku sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa tujuanku menemani Fitri.
    Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.
    "Ada apa sih?" tanyaku kesal. Kulihat ia membawa satu stel baju muslim.
    "Bagus enggak Mbak?" tanyanya.
    "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede," jawabku.
    "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya". Fitri pun bercerita panjang lebar.
    Duh, aku merasa ”disentil”. Aku jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.
    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:
    "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa," ujarnya polos.
    Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.

    BalasHapus
  52. "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok," ujarku menahan haru.
    Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu. Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.
    Selesai membayar, aku hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.
    "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang," ujarnya.
    "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia" kata Fitri mengakhiri ceritanya.
    Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering. "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?" tanyaku.
    "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!" jawabnya bersemangat.
    "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."
    Degh! Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.
    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.
    Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.
    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah.

    BalasHapus
  53. naskah drama
    Kesempatan Kedua

    (Pada pagi hari yang cerah)
    Hasna : Ibu, saya capai sekali.
    Ibu : Hasna, kamu harus membantu ibu karena sebentar lagi kita akan merayakan Ramadhan.
    Hasna : Iya bu.
    Ibu : Kamu harus semangat ya. Seperti ibu ini yang semangat.
    Hasna : Iya, bu. (mengucapkan dengan lesu)

    (Hasna berjalan ke kamar Fitri)
    Hasna : (Bingung dengan kelakuan Fitri)
    Fitri : Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu (sedang menghitung uang)
    Hasna : (Bertatapan dengan mata Fitri)
    Hasna : Lagi menghitung uang ya?
    Fitri : Iya, mbak.
    Hasna : Mau pamer ya, dek?
    Fitri : Tidak, kak.

    (Hasna berjalan ke kamar nya dan mengambil celengan serta menghitung uang nya)
    Hasna : (Berbicara adalam hati) Pasti uang saya lebih banyak dari uang fitri.
    (Menuju ke kamar Fitri)
    Hasna : Lihat ini, uang saya ada dua ratus ribu rupiah. Pasti lebih banyak dari uang adek.
    Fitri : Benar, kak. Uang saya Cuma sembilan puluh sembilan ribu lima ratus rupiah. Uang kakak banyak sekali?
    Hasna : Iya, karena kakak lebih besar dari kamu sehingga uang kakak pasti lebih banyak dari uang kamu.
    Fitri : (Tatapan sedih) Iya, kak.

    Ibu : (Berteriak dari dapur) Hasna.. Hasna.. Cepat kesini untuk membantu ibu.
    Hasna : (Setengah berteriak) Iya bu, tunggu sebentar.
    Hasna : (Berjalan dengan lesu ke dapur) Ada apa bu?
    Ibu : Ayo bantu ibu membuat takjil untuk buka puasa?

    BalasHapus
  54. Hasna : Saya dari tadi sudah membantu ibu. Sekarang saya mau istirahat sebentar.
    Ibu : Jangan malas Hasna. Kamu sudah besar dan harus memberi contoh yang baik bagi adik kamu. Ibu ingin mempersiapkan takjil untuk berbuka puasa.
    Fitri : (Berteriak dari dalam kamar) Ibu, saya siap membantu ibu.
    Fitri : (Lari dengan cepat dan langsung sampai di dapur)
    Fitri : Ibu, saya saja yang membantu ibu.
    Hasna : Jangan anak kecil, kamu hanya membuar repot.
    Ibu : Fitri, kamu mempersiapkan alat-alat makan saja.
    (Hasna membantu dengan lesu, sedangakan ibu dan Fitri sangat bersemangat)

    Adzan maghrib pun berkumandang tanda berbuka puasa
    Hasna : (Menyantap takjil dengan lesu, lalu segera menyantap nasi sebagai makanan pokok).
    Ibu : Fitri, kapan kamu mau beli pakaian lebaran? (saat sedang mencuci piring)
    Fitri : Tidak usah bu, pakaian lebaran tahun kemarin masih bagus.
    Hasna : (Berpikir dalam hati) Kenapa ibu tidak bertanya kepada saya? Apakah karena Fitri adalah anak bungsu sehingga ia selalu di manja?
    Hasna : (Pergi ke kamar dengan diam)

    Keesokan harinya
    Hasna : (Mendengar adik dan ibu nya sedang mengaji)
    Hasna : (Bergumam dalam hati) Fitri sungguh rajin menghafal alquran. Dari 30juz, ia telah menghafal setengahnya. Ia sangat pintar dalam menghafal juz tersebut.
    Fitri : (Masuk ke kamar Hasna)
    Fitri : Kak, temani saya belanja.
    Hasna : Tidak mau, kakak masih mengantuk.
    Fitri : Satu kali ini saja kak.
    Hasna : Mau pergi kemana?
    Fitri : Ke pusat pembelanjaan.
    Hasna : Tapi ada uang untuk menemani kamu ya?
    Fitri : Baik.

    Sesampai nya di pusat perbelanjaan
    Hasna : (Sedang melihat pakaian yang bagus)
    Fitri : (Menghampiri Hasna) Kakak lihat pakaian ini bagus atau tidak?
    Hasna : Bagus, tetapi kebesaran untuk kamu. Pilih yang ukuran lebih kecil saja.

    BalasHapus
  55. Fitri : Pakaian ini bukan untuk saya, kak tetapi untuk Mbak Rtari.
    Hasna : (Meningat-ingat bahwa Ratri adalah tetangga mereka yang kurang mampu) Kenapa untuk Ratri? Bukan nya untuk adik?
    Fitri : Bukan , kak. Mbak Ratri kan ayah nya sudah meninggal, keadaan ekonomi keluarga mereka juga minimalis. Mbak Ratri pernah bercerita dengan saya bahwa ia sangat meninginkan pakaian baru untuk lebaran akan tetapi Mbak Ratri tidak berani berbicara kepada ibu nya karena kondisi perekonomian mereka yang lemah.
    Hasna : (Terharu dengan sikap Fitri)
    Fitri : Kakak kenapa melamun?
    Hasna : Tidak. Oh iya, [akaian tersebut sangat cocok untuk Ratri.
    Fitri : (Tersenyum gembira sambil menngandeng tangan Hasna menuju ke kasir)
    Hasna : Dek, sebaiknya kita lihat dulu harga nya.
    Fitri : Tenang kak, tidak sampai seratus ribu rupuah. Tadi saya sudah melihat harga nya.
    Hasna : Baiklah, ayo kita bayar baju nya.
    Hasna : (Bergumam dalam hati) Sya tidak menyangka ada hati seorang malaikat pada diri Fitri. Saya saja tidak pernah melakukan perbuatan yang Fitri lakukan padahal Fitri masih duduk di bangku kelas 2SD.

    Saat sedang berjalan di keramai pusar perbelanjaan
    Fitri : Tunggu sebentar kak, saya mau membeli kue kering.
    Hasna : Kita sudah mempunyai persediaan kue untuk lebaran, dik.
    Fitri : Kue ini untuk keluarga Mbak Ratri, saya yakin pasti mereka tidak punya cukup uang untuk membeli kue lebaran.
    Hasna : (Sangat terharu dengan perbuatan Fitri)
    Fitri : (Mengambil 6toples kue kering)
    Hasna : Adek banyak sekali mengambil kue nya. Apa adek punya uang untuk membayar?
    Fitri : Tenang kak. Semua kue nya kan seratus lima puluh ribu. Saat bulan puasa, ibu memberikan uang lima ribu rupiah tiap hari nya jika puasa adik tidak batal. Lalu jika adik tawarih, ibu memberikan tiga ribu rupiah untuk adik. Adik tabung uang nya. Sehingga uang adik cukup untuk membeli kue kering ini. Masih ada sisa nya untuk membayar kakak uang karena telah menemani saya belanja.
    Hasna : (Bergumam dalam hati) Beitu mulia hati Fitri, sedangkan saya hanya mementingkan diri sendiri tanpa tahu bagaimana keadaan orang lain di luar sana.
    Hasna : Sudah adek, tidak usah membayar kakak. Kakak ikhlas menemani adik.
    Fitri : Terima kasih kak.
    Mereka pun pulang sambil bergandengan tangan.

    BalasHapus
  56. Nama : Sherly
    Absen: 40

    Cerpen

    Mendulang Harta

    Hari panas terik. Sang surya bersinar dengan ganasnya. Membuat ubun-ubun terasa mendidih. Aris mempercepat langkah menuju rumahnya. Akhirnya sampai juga. Dia duduk melepas lelah sambil membuka sepatunya. ‘’Huh, lega rasanya,’’ ia menghela napas dan beranjak masuk ke dalam. Baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah, ia menemukan uang berserakan di lantai.

    ‘’Hah, uang apa pula ini bu,’’ katanya heran. Tentu saja dia heran. Di zaman serba sulit ini uang dibiarkan berserakan di lantai begitu saja. ‘’Untung aku bukan maling yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah,’’ pikirnya nakal.

    “Uang punya ibu. Berikan sama ibu. Bapak mau keluar,’’ sahut bapak.
    ‘’Hmm, Ibu sudah punya uang sekarang. Jadi, aku bisa minta uang untuk membayar uang les dan LKS,’’ pikirnya. ‘’Ibuu, Oo Ibuu,’’ panggil Aris.

    ‘’Ada apa Ris? Ganggu orang saja kamu ini,’’ kata ibunya jengkel. Lalu Aris menyerahkan uang tersebut pada ibunya. Ia menjelaskan bahwa uang les dan LKSnya belum dibayar. Sedang pihak sekolah sudah beberapa kali menagihnya. Tapi bukannya diberi uang, dia malah dimarahi oleh ibunya. ‘’Saya heran dengan sekolah kamu itu. Banyak sekali tetek bengek yang harus dibayar. Kan ada dana BOS. Untuk apa dana BOS itu? Sudahlah, tidak usah kamu sekolah. Buang-buang uang saja. Sekarang karet itu tidak berharga, tahu?’’ Katanya dengan muka merah menyala.

    Aris sudah menjelaskan bahwa dana BOS itu tidak mencukupi, karena sekolahnya hanya sekolah swasta dan banyak memakai tenaga honor. Tapi ibunya tidak mau tahu dengan semua itu. Dia malah menyuruh Aris cari uang sendiri. Kemanakah uang kan dicarinya? Ah, ibu tak mengertilah dengan pendidikan. Padahal pendidikan itu sangat penting. Dengan pendidikan kita akan bisa menatap masa depan yang gemilang.
    ‘’Buat apa kamu sekolah? Lihat itu, banyak yang sekolah tinggi, tapi akhirnya cuma jadi pengangguran, kan? Jadi buat apa sekolah?’’ tambah ibunya lagi.

    Aris lebih memilih diam dari pada menjawab omongan ibunya. Ia menyayangkan kenapa ibunya mempunyai pola pikir yang terbelakang seperti itu? Sekarang orang berlomba-lomba mencari ilmu, tapi ibu malah melarangnya. ‘’Ibu... ibu, mengapa ibu lebih suka mengumpulkan uang, beli emas, dan membanggakan diri pada orang lain dari pada menyekolahkan kami anak-anak ibu. Itu akan lebih bermanfaat,’’ gumamnya dalam hati.

    Aris sudah lelah mendengarkan omelan ibunya itu. Dia keluar dan pergi entah ke mana.
    Sedangkan si Lina, adiknya baru saja pulang dari sekolah SMP yang tidak jauh dari rumahnya. Setibanya di rumah, ibu menyuruhnya mandi dan berpakaian yang bagus. Tidak biasanya mak seperti ini. Ternyata si Lina akan dilamar oleh Pak Anto duda kaya yang tinggal di desa sebelah. Tentu saja Lina menolak dengan keras semua itu. Namun, ibu tetap bersikeras dengan kemauannya. Ia sama sekali tidak memikirkan bahwa anaknya itu di bawah umur untuk menikah. Apalagi akan dinikahkan dengan seorang duda. Ah, benar-benar tidak masuk akal.

    Ibu sudah terpengaruh oleh harta. Ibu bilang, ia iri pada teman-teman arisannya yang kaya dan hidup mewah. Sedangkan ibu tidak punya apa-apa. Ibu ingin menabung untuk menggapai semua itu. Kalian tidak usah sekolah. Hanya menambah beban saja.

    Hari-hari berikutnya, Aris tak lagi bersekolah. Ia berhenti dan bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah. Sebenarnya hati kecilnya selalu sedih tiap kali melihat teman-temannya bersekolah. Tapi apa mau dikata, ibu sudah tidak mau lagi menyekolahkannya.

    BalasHapus
  57. Setiap kali ia ikut teman-temannya dan tampaknya ia juga mulai terpengaruh oleh teman-teman baru itu. Sedangkan ibu sudah tidak peduli lagi dengannya. Ia sibuk mengumpulkan harta, apalagi sekarang ia telah punya menantu kaya.
    Waktu terus berjalan. Aris semakin terjerumus dalam kehidupan yang tidak memiliki masa depan. Ia telah berubah. Hingga suatu hari dengan tergopoh-gopoh, Enda temannya Aris datang dan memberitahukan pada ibu kalau Aris ditangkap polisi tadi malam. Tapi sekarang ia dirawat di rumah sakit. Overdosis katanya. Habis pesta sabu-sabu.
    Bagai guntur di siang bolong, ibu dan bapak kaget bukan kepalang. Tapi apa mau dikata. Itu salah mereka, mereka yang menginginkan anaknya seperti itu. Ibu menangis-nangis menyesali perbuatan dan siapnya yang tak mau menyekolahkan anaknya itu.

    ‘’Sudahlah Nur, mudah-mudahan Aris lekas sembuh dan kita bisa kumpul lagi seperti dulu. Akan kita bina keluarga kita. Biarlah kita hidup sederhana, asalkan hati dan keluarga kita bahagia,’’ kata bapak dengan mata berkaca-kaca, ia berusaha menenangkan hati ibu.

    ‘’Bapak benar, kini mari kita bina dan songsong keluarga sakinah,’’ kata ibu mantap

    Sumber : http://xpresi-riaupos.blogspot.com/2009/01/mendulang-harta-cerpen-pendidikan.html

    BalasHapus
  58. Naskah drama

    Babak I

    Aris mempercepat langkahnya menuju rumah. Akhirnya, ia sampai. Baru saja ia melangkahkan kaki ke dalam rumah, ternyata ia menemukan uang yang berserakan di lantai.

    1.Aris : (mengambil uang yang berserakan di lantai) ”Wah, uang apa pula ini bu?”
    (berpikir dalam hati) “Untung saja saya bukan maling yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah.”
    2.Bapak : “Oh, uang ini punya ibu, Ris, cepat berikan sama ibu! Nanti beritahu ibu juga kalau bapak mau keluar sebentar.” (pergi keluar rumah)
    3.Aris : “Siap pak!” (berpikir dalam hati) “Hmm…ternyata ibu sudah punya uang sekarang. Jadi, nanti saya bisa minta uang untuk membayar uang les dan LKS.” (dengan hati yang senang)
    ”Ibu…ooo ibu…...”
    4.Ibu : (dengan nada bicara yang jengkel) “Ada apa Ris? Ganggu orang saja kamu ini.”
    5.Aris : (menyerahkan uang tesebut kepada ibunya) “Bu, uang les dan LKSku belum dibayar, padahal pihak sekolah sudah beberapa kali menagihnya kepada saya, bu.”
    6.Ibu : (sedikit marah) “Ibu heran dengan sekolah kamu itu. Banyak sekali yang harus dibayar padahal kan tersedia dana BOS. Jadi untuk apa dana BOS itu?” (dengan muka merah menyala) “Hmm.. Sudahlah, lebih baik kamu tidak sekolah lagi. Buang-buang uang saja!”
    7.Aris : “Bu, dana BOS yang tersedia di sekolah Aris tidak mencukupi, karena sekolah Aris hanya sekolah swasta dan banyak memakai tenaga honorer.”
    8.Ibu : “Ah, buat apa kamu ini sekolah? Lihatlah, banyak sekali orang yang sekolah tinggi, tetapi pada akhirnya cuma menjadi pengangguran kan? Jadi, buat apa kamu sekolah? Tidak ada gunanya!”
    9.Aris : (diam dan bergumam dalam hati) “Ibu…ibu, mengapa ibu lebih suka mengumpulkan uang dan membeli emas, lalu membanggakan diri kepada orang lain dibandingkan dengan menyekolahkan kami, anak-anak ibu. Padahal, itu kan akan lebih bermanfaat untuk masa depan kami nanti.” (keluar dan pergi entah ke mana)

    Babak II

    Lina, adik Aris yang baru berasal dari sekolahnya yang berada tidak jauh dari rumah pulang ke rumah.

    BalasHapus
  59. 10.Lina : (masuk ke dalam rumah, melepaskan sepatu, serta kaos kakinya, dan meletakkan tasnya) “Ibu... ayah… kakak, Lina pulang.” (menuju ke kamarnya)
    11.Ibu : (mengahampiri Lina) “Lina, cepatlah kamu lekas mandi dan berpakaian rapi! Nanti kamu akan dilamar oleh Pak Anto, duda kaya yang tinggal di desa sebelah.”
    12.Lina : (terkejut) “Apa Bu? Dilamar? Lina tidak mau! Bu, Lina kan baru saja SMP, belum cukup umur untuk menikah, apalagi menikah dengan seorang duda. Lina tidak mau bu!”
    13.Ibu : (jengkel) “Aduh, kamu ini, dinikahkan dengan orang kaya tidak mau. Bodoh sekali kamu!”
    14.Lina : “Ibu, bukannya masalah kaya atau tidak, tapi Lina kan masih sekolah bu, masih SMP lagi.”
    15.Ibu : “Ah, Ibu tidak mau tahu, pokoknya kamu harus menerima lamaran dari Pak Anto, lalu menikah secepatnya.”
    16.Lina : (sedih) “Tapi Bu….”
    17.Ibu : (marah) “Tidak ada alasan! Kamu tahu tidak, ibu sangat iri kepada teman-teman arisan ibu yang kaya dan hidup mewah, sedangkan ibu, kamu lihat kan, ibu tidak punya apa-apa. Ibu ingin menabung agar dapat seperti mereka. Maka dari itulah, kamu dan juga kakakmu tidak perlu sekolah lagi. Hanya menambah beban saja.”
    18.Lina : “Apa Bu? Ibu hanya ingin seperti mereka? Bahkan ibu sampai mengorbankan Lina dan kakak?” (sedih) “Bu, orang yang kaya dan hidup mewah belum tentu hidupnya bahagia.”
    19. Ibu : “Aduh kamu ini bodoh sekali, sudah pastilah kehidupan mereka bahagia. Sudahlah tidak perlu menasehati ibu kamu! Cepat sana mandi! Sebentar lagi Pak Anto akan datang.”
    20.Lina : (marah) “Sungguh, Ibu egois!” (pergi menuju ke kamar mandi)

    Babak III

    Keesokan harinya, Aris dan Lina tidak lagi bersekolah. Aris berhenti dan bergaul dengan teman-temannya yang juga tidak bersekolah, sedangkan Lina akhirnya menikah dengan Pak Anto. Sebenarnya Aris merasa sedih setiap kali ia melihat teman-temannya yang bersekolah. Tetapi apa mau dikata, ibunya sudah tidak mau lagi menyekolahkan dirinya.
    Setiap kali Anto ikut teman-temannya, ia mulai terpengaruh oleh teman-temannya. Ibunya juga sudah tidak peduli lagi dengannya. Waktu terus berjalan dan Aris semakin terjerumus dalam kehidupan yang tidak memiliki masa depan. Ia telah berubah. Hingga suatu hari Enda, teman Aris datang dan memberitahukan kepada ibu Aris bahwa Aris telah ditangkap polisi tadi malam.

    21.Enda : (mengetuk pintu dengan tergesa-gesa dan berteriak) “Tante…Tante…Aris ditangkap polisi tadi malam.”
    22.Ibu : “Hmm…Siapa pula yang berteriak itu?” (menuju ke pintu depan dan membukanya) “Siapa kamu ini? Berteriak-teriak seperti orang gila saja.”
    23.Enda : “Saya Enda, temannya Aris. Kemarin Aris ditangkap polisi tante.”
    24.Ibu : (tertawa) “Haha…lelucon apa yang kamu buat ini? Aris tidak pernah mempunyai teman seperti kamu, lagipula Aris adalah anak yang baik, tidak mungkin melakukan hal yang tidak-tidak. Apalagi sampai ditangkap polisi.”
    25.Enda : “Tante, tante harus percaya kepada saya. Tante sendiri kan yang menterlantarkan Aris, sehingga Aris menjadi seperti ini. Jika tante masih tidak percaya, ikutlah dengan saya tante. Sekarang ia sedang dirawat di rumah sakit akibat overdosis.”
    26.Ibu : (tertawa dan masih tidak percaya) “Hmm…Baiklah, saya akan ikut dengan kamu. Tunggu sebentar ya! Saya dan suami saya akan bersiap-siap dulu.” (pergi menuju kamar)

    BalasHapus
  60. Babak IV

    Ibu dan Bapak pergi ke rumah sakit dimana Aris dirawat. Tibanya disana, ternyata Aris memang sedang dirawat disana akibat overdosis.

    27.Ibu : (terkejut dan menangis) “Aris, mengapa nak? Mengapa kamu menjadi seperti ini?
    28.Bapak : (mencoba menghibur ibu) “Sudahlah bu, ini juga salah kita. Kita lebih mementingkan harta dibandingkan kehidupan anak-anak kita.”
    29.Ibu : (menangis tersedu-sedu) “Aris, maafkan ibu ya, nak! Ibu menyesal telah bertindak seperti itu kepada kamu dan juga adikmu. Sekarang ibu sadar bahwa yang sebenarnya yang bodoh itu adalah ibu. Aris maafkan ibu, nak.”
    30.Bapak : (berusaha menenangkan hati ibu dengan mata yang berkaca-kaca) “Sudahlah bu, mudah-mudahan Aris lekas sembuh dan kita bisa berkumpul lagi seperti dulu. Kita akan bina lagi keluarga yang lebih baik. Biarlah kita hidup sederhana, asalkan hati dan keluarga kita bahagia.”
    31.Ibu : (sedikit lebih tenang) “Bapak benar, mulai sekarang kita akan bina keluarga yang lebih baik lagi. Kita harus berusaha menjadi orang tua yang baik dan mengarahkan anak-anak kita menuju ke kehidupan masa depan yang cerah.”


    Palembang, 4 Oktober 2009

    BalasHapus
  61. Nama: Jesica Novita
    Kelas: XI IPA 5/23

    Penjara

    14 Desember 2007 oleh Sawali Tuhusetya

    Cerpen: Sawali Tuhusetya

    Pelupuk mata Badrun mengerjap-ngerjap seperti klilipan. Berat dan pedas. Sudut-sudut matanya masih digerayangi sisa-sisa mimpi. Ia tidak tahu, sudah jam berapa sekarang. Sel tempat ia disekap memang sangat tidak memungkinkan untuk mengetahui dengan pasti pergantian setiap detik, menit, jam, bahkan hari. Ia pun tak ingat lagi, sudah berapa lama menjadi penghuni penjara terkutuk yang sumpek, pengap, dan bau ini.

    Yang menjengkelkan, ia harus sering bergaul dengan para penghuni penjara berperangai kasar. Ia sering dijadikan sasaran amarah dan ledakan emosi para pesakitan yang sudah kebelet ingin mencium bau kebebasan di luar tembok penjara. Gertakan, makian, sumpah-serapah, ancaman, pukulan, bahkan ludah bacin tak jarang harus ia terima, tanpa perlawanan. Sangat konyol jika harus melawan mereka. Di penjara ini, hanya okol dan nyali yang berbicara. Makin kuat okol dan nyalinya, mereka malah disegani dan bisa dengan bebas memperlakukan napi lain seenak perutnya.

    Yang lebih menjengkelkan, tak jarang Badrun dipaksa melayani nafsu birahi para pendosa yang sudah lama tak pernah mencium ketiak perempuan itu. Perlakuan mereka sungguh kasar bagaikan kuda liar. Melakukan sodomi tanpa kenal waktu. Ia benar-benar merasa jijik dan muak, tapi tak mampu berbuat apa-apa.

    Badrun mengambil napas. Bau kotoran dan air kencing segera menyergap hidungnya. Jlamprang –teman satu selnya yang bertubuh kekar dan penuh tato— masih tidur mendengkur, tengkurap di atas tikar lusuh. Badrun melangkah berat menuju lubang bilik berjeruji besi. Di luar sana, ekor matanya segera hinggap pada lalu-lalang para sipir berseragam yang sibuk mengepulkan asap rokok. Sesekali tampak

    BalasHapus
  62. menggerombol, berbincang-bincang, tertawa-tawa, lantas menyebar ke bilik-bilik, menatap para napi dengan wajah garang dan tak bersahabat.

    Huh! Benar-benar menjengkelkan, rutuknya dalam hati. Ulah para sipir penjara pun ternyata tak kalah brengseknya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia sering menyaksikan beberapa sipir dengan sikap licik tega “menjual” tugasnya demi uang, tak tahan rayuan napi berkantong tebal yang ingin segera bebas dari sekapan bilik penjara. Dengan berpura-pura mengejar napi yang melarikan diri, sebenarnya mereka sedang berupaya untuk meloloskannya dari kepungan. Berkali-kali peristiwa itu terjadi. Tapi para pejabat teras penjara menganggapnya sebagai risiko sebuah pekerjaan, tanpa ada kemauan untuk mengendalikan dan “memenjarakan” mental bawahannya yang korup. Kalau mental para sipir seperti itu terus dibiarkan, mana mungkin penjara ini mampu menjadi tempat pertobatan bagi para pendosa? Tanya Badrun pada dirinya sendiri.
    ***

    Badrun sebenarnya bukanlah seorang penjahat. Sebelum menjadi penghuni penjara ini, ia bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Ia amat senang dan bahagia dengan pekerjaannya itu. Selain banyak teman sekampungnya yang bekerja di sana, para buruh juga diantarjemput oleh bus pabrik. Penghasilannya kecil memang, tapi itu dianggapnya lebih baik ketimbang harus menjadi “bromocorah” yang suka bikin susah sesamanya. Yang jadi masalah, Sumarni, istrinya, tampaknya sangat tersiksa dengan cara hidup seperti itu. Setiap kali kalender jatuh di angka 20 ke atas, isterinya terus uring-uringan. Berwajah suntrut, sampai-sampai tak berkenan tidur di atas ranjang bersamanya.

    “Mbok ya cari sampingan apa gitu toh, Kang! Masak Sampeyan tega membiarkan nasib kita terus-terusan seperti ini! Coba, Kang, Sampeyan pikir! Utang kita di warung Bu Karni makin menumpuk, sementara uang sekolah si Darpono sudah nunggak lima bulan! Ini kemarin dapat surat dari sekolah!” Berondong istrinya dengan mata melotot. Badrun tergeragap.

    Diambilnya surat yang tergeletak di atas meja berdebu. Tangan Badrun gemetar. Dahinya berkerut. Bola matanya berkaca-kaca ketika membaca isi surat itu. Sepengetahuannya, uang sekolah anak sulungnya itu selalu ia beresi setiap awal bulan sebelum seluruh penghasilannya jatuh ke tangan isterinya. Ia curiga, jangan-jangan Darpono telah menyalahgunakannya. Tiba-tiba saja darahnya berdesir. Giginya gemeletuk, menahan amarah. Dadanya naik-turun. Ia segera berjingkat menuju bilik anaknya dengan perasaan tak menentu. Di atas kasur tua lusuh, ia melihat Darpono, anak sulungnya, masih meringkuk di balik sarungnya. Dengan amarah yang memuncak, dibangunkan anaknya dengan paksa. Darpono geragapan. Sembari mengucak-ngucak pelupuk mata, bocah yang baru beranjak remaja itu melihat ayahnya seperti monster yang menakutkan.

    BalasHapus
  63. “Ayo, jawab dengan jujur! Kamu gunakan untuk apa uang sekolah yang ayah berikan, hem?” Bentak Badrun sambil mengguncang-guncang bahu Darpono yang duduk termangu.

    “Ayo, jawab!” Tak ada jawaban. Darpono mematung. Di luar sana, sesekali melintas deru kendaraan, samar-samar, lantas lenyap ditelan kabut pagi. Sepi. Hanya terdengar rengekan anak bungsunya dan suara isterinya yang ngedumel dari arah dapur.

    Dada Badrun bergemuruh. Wajahnya memerah. Ia merasa telah dipermainkan. Plak! Plak! Plak! Tanpa disadari, telapak tangannya telah menari-nari di wajah anaknya. Darpono merasa kesakitan, terjerembab mencium lantai tanah. Hidungnya mengucurkan darah. Dari arah belakang, istrinya buru-buru menerobos bilik yang sumpek itu sambil menggendong si bungsu yang masih terus merengek-rengek.

    “Sampeyan jangan gila, Kang! Kalau sampai terjadi apa-apa, apa tidak Sampeyan sendiri yang rugi?” sergahnya sambil meredam amarah suaminya. Dengan kelembutan naluri seorang ibu yang masih tersisa, perempuan kurus bermata cekung itu bergegas membelai wajah Darpono yang terguguk di lantai.

    “Biar saja! Itulah upah seorang anak yang mulai belajar jadi penipu!” sahut Badrun ketus.

    “Wong diminta Emak, kkk… katanya untuk mbayar utang Bu Karni, kok!” jawab Darpono gagap. Badrun tersentak. Kepalanya segera berpaling menatap wajah isterinya yang tiba-tiba memucat. Salah tingkah.

    “Itu juga salah Sampeyan, jadi lelaki nggak becus ngurus kebutuhan keluarga!” sergah Sumarni merasa tidak bersalah.

    “Eee… eee! Sudah jelas salah masih bisa cari-cari alasan! Aku sudah banting tulang setiap hari, semuanya untuk keluarga! Tak pernah sepeser pun aku mengantongi uang! Kalau sampai nggak cukup, mestinya kamu yang ngaca, becus nggak ngurus uang belanja?” sahut Badrun sewot, tidak seperti biasanya yang selalu mengalah. Ia merasa, kesabarannya telah habis.

    Pertengkaran Badrun dan isterinya makin memuncak. Rumah reot itu seperti diselubungi kabut. Beberapa orang tetangga tampak ikut menguping sambil mengobral gunjingan miring. Badrun merasa risih. Tanpa pamit, ia bergegas menerobos pintu, menyahut pakaian seragam pabrik, lantas menembus jalan raya dengan perasaan amat masygul.

    Setiba di pabrik, benak Badrun makin kacau, memikirkan nasib hidup keluarganya yang belum juga bergeser dari lumpur kemiskinan. Tiba-tiba saja gendang telinganya menangkap gemuruh demonstrasi ratusan buruh yang menuntut kenaikan upah. Dengan spanduk seadanya, mereka mengecam bos pabrik yang dianggap tidak pernah memperhatikan kesejahteraan para buruh. Mereka merasa, selama ini hanya dijadikan sebagai “sapi perah”. Badrun mengambil serangkum napas, lantas bergabung bersama para pengunjuk rasa. Di bawah siraman terik matahari, para buruh terus meneriakkan yel-yel. Dengan penuh semangat, Badrun ikut-ikutan menuntut kenaikan upah. Mulutnya terus berteriak-teriak. Kedua tangannya mengepal ke udara seperti hendak meninju langit. Siapa tahu, dengan cara seperti ini nasibnya akan berubah, pikirnya.

    Para pengunjuk rasa makin bertambah dan terus bertambah. Di bawah terik matahari, mereka terus bersemangat meneriakkan yel-yel, menuntut agar upah dinaikkan 200%. Jika tidak dituruti, mereka mengancam akan melakukan mogok kerja total. Aksi mereka didukung oleh beberapa kelompok LSM.

    BalasHapus
  64. Namun, unjuk rasa itu gagal membuahkan hasil. Tuntutan kenaikan upah itu dinilai pihak pabrik tidak masuk akal dan bersikukuh untuk menaikkan upah hanya sebesar 10%. Merasa tak digubris, para buruh mewujudkan ancamannya. Mereka melakukan mogok kerja total. Tapi, kejadian itu tak mengubah keputusan pihak pabrik. Malah berakibat fatal bagi para buruh pabrik. Sebagian pengunjuk rasa yang gencar menyuarakan tuntutan –termasuk Badrun—dipecat tanpa diberi pesangon.

    Badrun benar-benar sial. Ia harus pontang-panting ke sana kemari memburu nasib. Sudah hampir sebulan ia mengacak-acak seantero kota, nasib baik belum juga berpihak kepadanya. Pekerjaan belum juga ia dapatkan, hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki separuh baya berperut buncit dan berpipi gembul di bawah reruntuhan gedung yang habis dibakar para pengunjuk rasa yang kalap. Dengan santun, lelaki separuh baya itu menawari sebuah pekerjaan mudah dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Satu juta rupiah sekali kerja. Wajah Badrun berbinar. Setumpuk dhuwit melayang-layang di layar benaknya. Tanpa banyak alasan, Badrun menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan lelaki yang tidak dikenalnya itu. Ia benar-benar merasa beruntung. Tanpa harus mengeluarkan banyak keringat, beberapa lembar ratusan ribu sudah jatuh ke tangannya. Badrun pun dengan jitu berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.

    Namun, alangkah terkejutnya ketika Badrun baru berjalan dalam langkah seratus meter, gendang telinganya tiba-tiba mendengar ledakan dahsyat, diikuti suara berderak-derak dan jeritan histeris bersambung-sambungan. Ketika menoleh ke belakang, bola matanya membelalak. Mulutnya menganga. Ia tidak percaya terhadap pemandangan di hadapannya. Sebuah gedung plaza yang megah, yang barusan ia tinggalkan itu dalam sekejap telah porak-poranda. Beberapa sosok tubuh bergelimpangan meregang nyawa. Para pengunjung berlarian lintang-pukang ditingkah jerit dan pekik histeris. Terdengar pula raungan sirine mobil patroli aparat kepolisian mebelah kepanikan orang-orang. Suasana kacau.

    Badrun tidak tahu, apa yang menjadi penyebab meledaknya pusat perbelanjaan masyarakat kota itu. Mungkinkah benda dalam plastik kresek yang tadi ia taruh di sebuah sudut etalase? Belum sempat ia memperoleh jawaban, tiga orang anggota polisi bertubuh tegap telah memborgolnya. Badrun tergeragap bagaikan rusa masuk kampung.

    “Heh, ayo pijit!” Jangan bengong di situ!” seru sebuah suara yang besar dan berat. Badrun menoleh, tersentak. Rupanya, Jlamprang telah bangun. Itu artinya, ia harus siap melayani semua keinginan penjahat bertubuh kekar penuh tato yang konon sudah pernah membunuh belasan orang tak berdosa. Badrun tak menduga kalau harus menjalani hidup di penjara, bergaul dengan para pendosa yang tangannya sudah terbiasa berlumuran darah. Entah! Sampai kapan ia harus menjadi penghuni bilik berbau busuk itu! ***

    http://sawali.wordpress.com/2007/12/14/penjara/

    BalasHapus
  65. Naskah Drama

    Penjara

    Babak 1
    Badrun mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia tidak ingat lagi, sudah berapa lama menjadi penghuni penjara terkutuk yang sumpek, pengap, dan bau ini. Ia pun harus sering bergaul dengan para penghuni penjara yang berperangai kasar dan berkelakuan kotor itu. Semua bermula ketika ia dipecat dari pabrik.
    1. Sumami: “Kang coba Kang, coba cari kerja sampingan lain. Masa kamu tega membiarkan nasib kita terus-terusan seperti ini.” (sambil menatap Badrun dengan mata melotot)
    2. Sumami: “Coba, Kang, kamu pikir! Utang kita di warung bu Karni makin menumpuk, sementara uang sekolah Darpono sudah menunggak 5 bulan, dan kita mendapat surat dari sekolah.”
    Badrun mengambil surat di atas meja.
    3. Badrun: “Seingatku, setiap bulan, sebelum waktunya pembayaran, saya selalu menyetorkan uang kepada Darpono untuk biaya pembayaran sekolahnya.”
    Tangan Badrun gemetar. Dahinya berkerut, ketika membaca isi surat itu. Sepengetahuannya, uang sekolah anak sulungnya itu selalu ia beresi setiap awal bulan sebelum seluruh penghasilannya jatuh ke tangan isterinya. Tiba-tiba saja darahnya berdesir. Giginya gemeletuk, menahan amarah. Dadanya naik-turun. Badrun bergegas membangunkan anak sulungnya, Darpono yang masih tertidur.
    4. Badrun: “Bangun kau bocah tengik.” (sambil mengguncang-guncangkan tubuh anaknya)
    5. Badrun: “Darpono, jawab dengan jujur! Kamu gunakan untuk apa uang sekolah yang ayah berikan.”
    6. Darpono: “. . .” (Darpono diam termangu)
    Sumami berlari tergopoh-gopoh dari dapur mendengar teriakan suaminya.
    7. Sumami: “Kamu jangan gila, Kang. Kalau sampai terjadi apa – apa, apa tidak kamu sendiri yang rugi?”
    8. Badrun: “Biar saja! Itulah upah seorang anak yang mulai belajar menjadi penipu!”
    9. Darpono: “Diminta emak.” (berkata sambil sampai terbata – bata)
    10. Darpono: “Katanya untuk utang bu Karni Pak.”
    Badrun tersentak, seketika wajah Sumami menjadi pucat.
    11. Sumami: “Itu juga salah kamu, jadi lelaki tidak becus mengurus kebutuhan keluarga!”
    12. Badrun: “Eee… eee! Sudah jelas salah masih bisa cari-cari alasan! Aku sudah banting tulang setiap hari, semuanya untuk keluarga! Tak pernah sepeser pun aku mengantongi uang! Kalau sampai nggak cukup, mestinya kamu yang ngaca, becus nggak ngurus uang belanja?”
    Pertengkaran sepasang suami istri itu semakin memuncak. Tanpa pamit Badrun pergi ke pabrik tempat ia bekerja.

    BalasHapus
  66. Babak 2
    Sampai di pabrik ia mendengar gemuruh demonstrasi ratusan buruh yang menuntut kenaikan upah.
    13. Buruh: “Badrun, kamu mau ikut kami unjuk rasa tidak? Kita tuntut agar mereka mau menaikkan upah kita!”
    14. Badrun: “Ayo! Ayo!”
    Badrun menarik napas lantas bergabung dengan para pengunjuk rasa.
    15. Badrun dan para buruh: “Naikkan gaji kami! Jangan memperlakukan kami seperti sapi perah! Kami punya keluarga! Kami ingin menjalani hidup dengan layak! Naikkan gaji kami!”
    16. Pihak pabrik: “Baiklah! Kami akan menaikkan upah kalian sebesar 10%. Segera hentikan unjuk rasa ini.”
    Merasa tak digubris, para buruh mewujudkan ancamannya. Mereka melakukan mogok kerja total. Tapi, kejadian itu tak mengubah keputusan pihak pabrik. Malah berakibat fatal bagi para buruh pabrik. Sebagian pengunjuk rasa yang gencar menyuarakan tuntutan termasuk Badrun dipecat tanpa diberi pesangon.

    Babak 3
    Badrun benar-benar sial. Ia harus pontang-panting ke sana kemari memburu nasib. Sudah hampir sebulan ia mengacak-acak seantero kota, nasib baik belum juga berpihak kepadanya. Pekerjaan belum juga ia dapatkan, hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang lelaki separuh baya berperut buncit dan berpipi gembul di bawah reruntuhan gedung yang habis dibakar para pengunjuk rasa yang kalap.
    17. Lelaki separuh baya: “Nak, kamu tampak berantakan sekali. Apa yang terjadi? Mungkin saya bisa membantu”
    18. Badrun: “Saya tidak mempunyai pekerjaan. Apakah bapak bisa membantu saya? Saya mau disuruh bekerja apapun asal mendapat upah”
    19. Lelaki separuh baya: “Kamu mau tidak bekerja dengan saya? Saya dapat memberikan anda 1 juta rupiah sekali kerja. Mau tidak?”
    20. Badrun: “Mau pak. Apa pekerjaan saya?”
    21. Lelaki separuh baya: “Kamu hanya saya minta untuk meletakkan kantung ini di tempat itu, jadi apakah kamu mau?” (sambil menunjuk ke sebuah plaza)
    22. Badrun: “Baiklah.”
    Tak berapa lama ia meletakkan kantung itu, plaza tersebut meledak dan hancur. Badrun tidak tahu, apa yang menjadi penyebab meledaknya pusat perbelanjaan masyarakat kota itu. Mungkinkah benda dalam plastik kresek yang tadi ia taruh? 3 orang polisi datang menghampiri Badrun dan langsung menangkap Badrun tanpa basa – basi.
    23. Narapidana: “Hey ayo pijit. Jangan melamun saja.”
    24. Badrun: “Ia saya pijit.”
    Badrun menoleh, tersentak. Rupanya, Jlamprang telah bangun. Itu artinya, ia harus siap melayani semua keinginan penjahat bertubuh kekar penuh tato yang konon sudah pernah membunuh belasan orang tak berdosa. Badrun tak menduga kalau harus menjalani hidup di penjara, bergaul dengan para pendosa yang tangannya sudah terbiasa berlumuran darah. Entah! Sampai kapan ia harus menjadi penghuni bilik berbau busuk itu!

    BalasHapus
  67. Nama : Margaretha Leo
    Kelas : XI P 5/30

    Cerpen

    Wabah

    Pada awalnya, tidak ada seorang pun di dalam rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing dari mereka hanya memendam perasaan yang aneh yang mereka rasakan, dan mencurigai anggota keluarga yang lain. Masing-masing dari mereka hanya bertanya dalam hati, “Bau apa ini?”
    Lama kelamaan, keadaan itu berubah menjadi bisik-bisik antar ‘kelompok’ dalam keluarga besar itu.

    Kakek berbisik-bisik dengan nenek. “Kau mencium sesuatu, Nek?”
    “Ya. Bau aneh yang tidak sedap.” jawab nenek.
    “Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?”
    “Mungkin anakmu.”
    “Belum tentu, bisa saja cucumu.”
    “Atau salah seorang dari pembantu kita.”

    Ayah pun berbisik-bisik dengan ibu. “Kau mencium sesuatu yang aneh, Bu?”
    “Ya, Yah. Bau aneh yang tak sedap.” Jawab ibu.
    “Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?”
    “Mungkin ibu atau ayahmu.”
    “Belum tentu, bisa jadi menantumu.”

    Demikianlah para menantu mereka pun ikut berbisik-bisik dengan istri atau suami mereka masing-masing. Para pembantu pun ikut berbisik-bisik. Akhirnya, mereka semua berbisik-bisik antara satu dengan yang lainnya.
    Bau aneh yang awalnya dikira hanya tercium oleh masing-masing dari anggota keluarga tersebut semakin menjadi masalah. Ketika mereka saling berbisik-bisik, bisik-bisik itu pun berkembang menjadi kecurigaan antar anggota keluarga. Apalagi setiap hari semakin bertambah saja anggota dari keluarga tersebut yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya, setelah semuanya menutupi hidung mereka setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh yang tak sedap itu.
    Mereka pun akhirnya mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan keluarga besar tersebut. Masing-masing diantara keluarga tersebut tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh yang tidak sedap itu. Masing-masing saling menuduh anggota keluarga lainnya. Mereka mencurigai anggota-anggota dalam keluarga itulah yang menyebabkan bau tidak sedap tersebut.
    Untuk menghindari pertengkaran diantara anggota keluarga, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan menjadi menganalisa mengapa bisa muncul bau aneh yang tidak sedap itu?
    Akhirnya, setelah dibicarakan, didapat kesimpulan yang telah disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya perhatian mereka terhadap kebersihan lingkungan. Oleh karena itu, diputuskan agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan, baik kebersihan diri maupun kebersihan lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota keluarga juga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman rumah mereka. Setiap hari, masing-masing dari anggota keluarga tersebut mempunyai jadwal kerja bakti sendiri-sendiri. Ada yang bertanggung jawab untuk menjaga kerbesihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan tempat-tempat lainnya. Sampah-sampah yang ada juga tidak boleh dibuang di tempat yang sembarangan. Mereka juga dilarang untuk menumpuk ataupun merendam pakaian kotor.

    BalasHapus
  68. Keluarga tersebut juga sudah menyepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuan pembangunan ini adalah agar tidak ada seorang pun diantara anggota keluarga tersebut yang tidak mandi dengan alasan malas mengantri. Mereka berpikir bahwa “Siapa tahu bau itu justru muncul dari mereka yang malas mandi?” Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan menggunakan parfum dan menyemprot kamar mereka masing-masing dengan pengharum ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap, seperti terasi, ikan asin, jengkol, dan sebagainya, dilarang untuk dikonsumsi dan tidak boleh ada di dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami, ditanami dengan bunga-bunga yang berbau wangi, seperti mawar, melati, kenanga, dan sebagainya.
    Setelah segala upaya tersebut dilakukan, ternyata tidak ada perubahan apapun. Bau aneh yang tidak sedap tersebut justru semakin menyengat. Akhirnya, mereka sepakat untuk memeriksakan diri mereka masing-masing, karena mereka mengira bahwa ada diantara mereka yang mengidap suatu penyakit. Mereka percaya bahwa ada beberapa jenis penyakit yang dapat menimbulkan bau yang tidak sedap seperti itu, misalnya sakit gigi, sakit lambung, sakit paru-paru, dan sebagainya.
    Pertama-tama, mereka datang ke Puskesmas terdekat untuk memeriksakan diri mereka satu per satu. Ternyata setelah diperiksa, semua dokter di Puskesmas tersebut menyatakan bahwa mereka semua dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak ada seorang pun yang mengidap suatu penyakit.
    Namun, mereka tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter-dokter tersebut. Mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis, mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli-ahli penyakit dalam. Tetapi, hasilnya tetap sama. Semua dokter yang memeriksa mereka tidak menemukan kelainan apapun dari semua anggota keluarga itu.
    Mereka pun merasa gembira karena semua dokter (dokter-dokter di Puskesmas dan dokter-dokter spesialis) menyatakan bahwa mereka semua dalam keadaan sehat. Dan mereka juga merasa cukup tenang karena ternyata bau aneh yang tidak sedap itu kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang ada di dalam tubuh mereka. Namun, ini semua tidak menyelesaikan masalah. Sebab bau aneh yang tidak sedap itu semakin hari semakin menyesakkan dada. Mereka pun berdiskusi kembali.

    “Sebaiknya kita cari orang pintar saja,” usul kakek sambil menutup hidungnya, “Siapa tahu orang pintar itu bisa membantu kita memecahkan masalah ini.”
    “Paranormal, maksud kakek?” sahut salah seorang menantunya sambil menutup hidung juga.
    “Paranormal, Kiai, Dukun, atau apa sajalah istilahnya, pokoknya orang-orang yang bisa melihat hal-hal gaib,” jawab kakek.
    “Ya, itu ide yang bagus,” kata ayah sambil menutup hidungnya, “Jangan-jangan bau aneh yang tidak sedap ini memang bersumber dari makhluk halus atau benda halus yang tidak kasat mata,” lanjut ayah.
    “Betul juga, Yah. Sebaiknya kita coba saja,” timpal ibu mendukung ide ayah dan kakek. “Orang-orang besar dan pejabat-pejabat tinggi saja datang ke ‘orang-orang pintar’ untuk kepentingan pribadi mereka, apalagi kita yang mempunyai masalah sebesar ini.”

    BalasHapus
  69. Ringkas kata, akhirnya mereka beramai-ramai mendatangi seorang yang terkenal ‘pintar dan hebat’. Orang ini mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja. Mereka pikir mudah untuk mendapatkan kesempatan berbicara dengan ‘orang pintar’ tersebut. Ternyata, pasien ‘orang pintar’ tersebut jauh melebihi pasien dokter yang telah mereka kunjungi sebelumnya. Mereka harus mengantri selama seminggu lamanya untuk mendapatkan giliran bertemu dengan orang tersebut.
    Setelah seminggu, saat mereka memasuki ruang praktik orang tersebut, mereka terkejut setengah mati. Mereka mencium bau yang luar biasa menyengat dan sangat tidak sedap. Semakin mendekati orang itu, semakin menyengat bau yang mereka cium itu. Padahal mereka semua telah menggunakan masker khusus. Beberapa diantara mereka ada yang pingsan karena tidak tahan mencium bau tersebut. Mereka pun akhirnya berbalik arah. Mereka segera mengurungkan niat mereka untuk berkonsultasi dengan dukun yang ternyata baunya lebih tidak sedap daripada bau mereka.
    Setelah mereka keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu giliran mereka juga menggunakan masker. Ketika mereka keluar dari rumah ‘orang pintar’ tersebut, mereka juga baru menyadari bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan juga menggunakan masker.
    Mungkin karena beberapa hari ini perhatian mereka tersita oleh masalah bau aneh yang ada di dalam lingkungan rumah mereka, sehingga mereka tidak mempunyai waktu lebih untuk memperhatikan dunia di luar lingkungan rumah mereka.
    Ketika mereka sudah mulai putus asa karena masalah bau aneh tersebut, mereka baru menyadari semuanya setelah mereka membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio, seperti kebiasaan mereka yang jarang mereka lakukan setelah ada masalah bau ini. Dan mereka pun terguncang oleh apa yang mereka lihat. Dari siaran televisi yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan setiap hari, akhirnya mereka menjadi tahu bahwa bau aneh yang tidak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.
    Wabah bau tidak sedap yang tidak jelas sumber asalnya itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi setelah korban-korban yang berjatuhan setiap hari jumlahnya terus meningkat dan meningkat. Ulasan-ulasan cerdik serta pandai dari berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran televisi, diudarakan melalui stasiun-stasiun radio yang ada, dan memenuhi kolom-kolom koran serta majalah. Bau aneh yang tidak sedap itu disoroti dan dicermati dari berbagai sudut oleh berbagai pakar dan berbagai disiplin. Para ahli-ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela-pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapat-pendapat mereka dari sudut pandang mereka masing-masing. Mereka semua, seperti halnya keluarga besar itu, mencurigai banyak pihak sebagai sumber bau aneh yang tidak sedap itu. Tapi, seperti keluarga besar itu, tidak ada seorang pun diantara mereka yang mencurigai diri mereka sendiri.

    http://cerpenkita.site40.net/wabah.html

    BalasHapus
  70. Nama : Margaretha Leo
    Kelas/No.absen : XI P 5/30

    Naskah drama

    Narator : Pada awalnya, tidak ada seorang pun di dalam rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing dari mereka hanya memendam perasaan yang aneh yang mereka rasakan, dan mencurigai anggota keluarga yang lain. Masing-masing dari mereka hanya bertanya dalam hati, “Bau apa ini?”
    Narator : Lama kelamaan, keadaan itu berubah menjadi bisik-bisik antar ‘kelompok’ dalam keluarga besar itu.
    Kakek : “Kau mencium sesuatu, Nek?”
    Nenek : “Ya. Bau aneh yang tidak sedap.”
    Kakek : “Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?”
    Nenek : “Mungkin anakmu, Kek.”
    Kakek : “Belum tentu, bisa saja cucumu, Nek.”
    Nenek : “Bisa saja salah seorang dari pembantu kita yang mengeluarkan bau aneh ini, Kek.”
    Ayah : “Kau mencium sesuatu yang aneh, Bu?”
    Ibu : “Ya, Yah. Bau aneh yang tidak sedap.”
    Ayah : “Siapakah gerangan yang mengeluarkan bau tak sedap ini?”
    Ibu : “Mungkin ibu atau ayahmu.”
    Ayah : “Belum tentu, bisa jadi menantumu.”
    Narator : Para menantu mereka pun ikut berbisik-bisik dengan istri atau suami mereka masing-masing. Para pembantu pun ikut berbisik-bisik. Akhirnya, mereka semua berbisik-bisik antara satu dengan yang lainnya.
    Narator : Bau aneh yang awalnya dikira hanya tercium oleh masing-masing dari anggota keluarga tersebut semakin menjadi masalah. Ketika mereka saling berbisik-bisik, bisik-bisik itu pun berkembang menjadi kecurigaan antar anggota keluarga. Apalagi setiap hari semakin bertambah saja anggota dari keluarga tersebut yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya, setelah semuanya menutupi hidung mereka setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh yang tak sedap itu.
    Narator : Mereka pun akhirnya mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan mereka.
    Kakek : “Kalian mengakulah. Siapa yang mengeluarkan bau aneh ini?”
    Nenek : “Bukan saya, Kek.”
    Ayah : “Bukan saya juga, Kek.”
    Narator : Masing-masing diantara keluarga tersebut tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh yang tidak sedap itu. Masing-masing saling menuduh anggota keluarga lainnya. Mereka mencurigai anggota-anggota dalam keluarga itulah yang menyebabkan bau tidak sedap tersebut.
    Narator : Untuk menghindari pertengkaran diantara anggota keluarga, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan menjadi menganalisa mengapa bisa muncul bau aneh yang tidak sedap itu.
    Ayah : “Menurut kalian, apa penyebab bau aneh yang menyengat ini?”
    Menantu 1 : “Tidak tahu, Yah.”
    Anak 1 : “Tidak tahu juga.”
    Narator : Akhirnya, setelah dibicarakan, didapat kesimpulan yang telah disepakati bersama.

    BalasHapus
  71. Ibu : “Mungkin bau aneh ini disebabkan oleh kurang bersihnya lingkungan sekitar kita ini.”
    Anak 2 : “Ya. Ibu betul. Mungkin saja karena kita kurang memperhatikan kebersihan, makanya timbul bau aneh ini.”
    Ayah : “Kalau begitu, sebaiknya kita semua harus meningkatkan penjagaan kebersihan lingkungan sekitar kita. Selain kebersihan lingkungan, kita juga harus memperhatikan kebersihan diri kita masing-masing.”
    Kakek : “Baiklah. Kalau begitu, semua anggota keluarga wajib untuk ikut menjaga kebersihan lingkungan rumah ini.”
    Narator : Setiap hari, masing-masing dari anggota keluarga tersebut mempunyai jadwal kerja bakti sendiri-sendiri. Ada yang bertanggung jawab untuk menjaga kerbesihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan tempat-tempat lainnya.
    Nenek : “Kalian harus membuang sampah pada tempatnya. Selain itu, pakaian kotor juga tidak boleh direndam dan didiamkan.”
    Ibu : “Iya, Nek.”
    Narator : Keluarga tersebut juga sudah menyepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuan pembangunan ini adalah agar tidak ada seorang pun diantara anggota keluarga tersebut yang tidak mandi dengan alasan malas mengantri.
    Ayah : “Menurut saya, sebaiknya kita semua menggunakan parfum, apalagi saat berkumpul seperti ini, agar kita tidak mencium bau-bau yang tidak sedap lagi.”
    Ibu : “Ya. Selain itu, kita jug harus menyemprotkan pengharum ruangan di kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah ini.”
    Nenek : “Selain itu, semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap, seperti terasi, ikan asin, jengkol, dan sebagainya, dilarang untuk dikonsumsi dan tidak boleh ada di dalam rumah.”
    Kakek : “Kita sebaiknya menanami tanah-tanah kosong dengan tanaman seperti mawar, melati, dan sebagainya.”
    Narator : Setelah segala upaya tersebut dilakukan, ternyata tidak ada perubahan apapun. Bau aneh yang tidak sedap tersebut justru semakin menyengat. Akhirnya, mereka sepakat untuk memeriksakan diri mereka masing-masing, karena mereka mengira bahwa ada diantara mereka yang mengidap suatu penyakit.
    Kakek : “Lebih baik kita memeriksakan diri kita. Siapa tahu ada diantara kita yang mengidap suatu penyakit yang menimbulkan bau tak sedap ini.”
    Semua anggota keluarga : “Baiklah.”
    Narator : Mereka pun datang ke Puskesmas terdekat untuk memeriksakan diri mereka satu per satu. Ternyata setelah diperiksa, semua dokter di Puskesmas tersebut menyatakan bahwa mereka semua dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak ada seorang pun yang mengidap suatu penyakit.
    Dokter : “Menurut pemeriksaan, kalian semua sehat-sehat saja. Tidak ada yang mengidap penyakit apapun.”
    Kakek : “Apa betul, Dok?”
    Dokter : “Ya.”
    Narator : Namun, mereka tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter-dokter tersebut. Mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis, mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli-ahli penyakit dalam. Tetapi, hasilnya tetap sama. Semua dokter yang memeriksa mereka tidak menemukan kelainan apapun dari semua anggota keluarga itu.
    Dokter : “Menurut hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, kalian semua dalam keadaan sehat semua.”
    Narator : Mereka pun merasa gembira karena semua dokter menyatakan bahwa mereka semua dalam keadaan sehat. Dan mereka juga merasa cukup tenang karena ternyata bau aneh yang tidak sedap itu kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang ada di dalam tubuh mereka. Namun, ini semua tidak menyelesaikan masalah. Sebab bau aneh yang tidak sedap itu semakin hari semakin menyesakkan dada. Mereka pun berdiskusi kembali.

    BalasHapus
  72. Kakek : “Sebaiknya kita cari ‘orang pintar’ saja. Siapa tahu ‘orang pintar’ bisa membantu kita memecahkan masalah ini.”
    Menantu 2 : “Paranormal, maksud kakek?”
    Kakek : “Paranormal, Kiai, Dukun, atau apa sajalah istilahnya, pokoknya orang-orang yang bisa melihat hal-hal gaib.”
    Ayah : “Ya, itu ide yang bagus. Jangan-jangan bau aneh yang tidak sedap ini memang bersumber dari makhluk halus atau benda halus yang tidak kasat mata.”
    Ibu : “Betul juga, Yah. Sebaiknya kita coba saja. Orang-orang besar dan pejabat-pejabat tinggi saja datang ke ‘orang-orang pintar’ untuk kepentingan pribadi mereka, apalagi kita yang mempunyai masalah sebesar ini.”
    Narator : akhirnya mereka beramai-ramai mendatangi seorang yang terkenal ‘pintar dan hebat’. Orang ini mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja. Mereka pikir mudah untuk mendapatkan kesempatan berbicara dengan ‘orang pintar’ tersebut. Ternyata, pasien ‘orang pintar’ tersebut jauh melebihi pasien dokter yang telah mereka kunjungi sebelumnya. Mereka harus mengantri selama seminggu lamanya untuk mendapatkan giliran bertemu dengan orang tersebut.
    Narator : Setelah seminggu, saat mereka memasuki ruang praktik orang tersebut, mereka terkejut setengah mati. Mereka mencium bau yang luar biasa menyengat dan sangat tidak sedap. Semakin mendekati orang itu, semakin menyengat bau yang mereka cium itu. Padahal mereka semua telah menggunakan masker khusus. Beberapa diantara mereka ada yang pingsan karena tidak tahan mencium bau tersebut. Mereka pun akhirnya berbalik arah. Mereka segera mengurungkan niat mereka untuk berkonsultasi dengan dukun yang ternyata baunya lebih tidak sedap daripada bau mereka.
    Kakek : “Mengapa bau tak sedap ini tercium juga di tempat ini?”
    Nenek : “Tidak tahu, Kek.”
    Ayah : “Sebaiknya kita urungkan saja niat kita untuk berkonsultasi dengan ‘orang pintar’ ini.”
    Ibu : “Iya. Saya setuju dengan usul ayah.”
    Narator : Setelah mereka keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu giliran mereka juga menggunakan masker. Ketika mereka keluar dari rumah ‘orang pintar’ tersebut, mereka juga baru menyadari bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan juga menggunakan masker.
    Narator : Ketika mereka sudah mulai putus asa karena masalah bau aneh tersebut, mereka baru menyadari semuanya setelah mereka membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio. Dan mereka pun terguncang. Dari siaran televisi yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan setiap hari, akhirnya mereka menjadi tahu bahwa bau aneh yang tidak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.
    Kakek : “Ternyata bau aneh tersebut bukan berasal dari kita.”
    Ayah : “Iya. Saya sudah putus asa dengan semua upaya kita yang tak berhasil menghilangkan bau aneh ini. Ternyata bau tersebut dirasakan oleh semua penduduk.”
    Pembaca berita : “Wabah bau tidak sedap yang tidak jelas sumber asalnya itu telah menjadi pembicaraan nasional. Ulasan-ulasan cerdik serta pandai dari berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran televisi, diudarakan melalui stasiun-stasiun radio yang ada, dan memenuhi kolom-kolom koran serta majalah. Bau aneh yang tidak sedap itu disoroti dan dicermati dari berbagai sudut oleh berbagai pakar dan berbagai disiplin. Para ahli-ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela-pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapat-pendapat mereka dari sudut pandang mereka masing-masing.”
    Narator : Mereka semua, seperti halnya keluarga besar ini, mencurigai banyak pihak sebagai sumber bau aneh yang tidak sedap itu. Tapi, seperti keluarga besar ini juga, tidak ada seorang pun diantara mereka yang mencurigai diri mereka sendiri.

    Palembang, 11 Oktober 2009

    BalasHapus
  73. Nama : Owen
    No. absen : 36
    Dahulu kala, di saat zaman prasejarah kuno hiduplah seorang yang tidak sesuai dengan namanya yaitu "si Pikun", serta muncul sesosok lagi yang bernama si Pukin yang benar-benar Pikun. Mereka sempat bertukar karakter.
    Akan tetapi karena si Pukin begitu pikunnya, kadang - kadang dia lupa sedang memainkan peran sebagai si Pikun atau si Pukin.
    "Dasar kamu pikun" omel Pikun kepada Pukin. "Ya kamu tuh pikun, namamu kan pikun" balasnya. "Aduh pusing... kenapa namaku harus pikun sih? dasar yang membuat karakter tidak berperikemanusiaan, siapa sih yang buat? awas lo...!" kata si Pikun.
    Pikun sewaktu kecil bercita-cita menjadi dukun, sementara Pukin menyadari bahwa suatu ketika ia bakal pikun.
    Karena pikun menjadi pikun, maka dia merasa bahwa dia dulu waktu kecil bercita-cita menjadi dukun.
    Si Pukin berjuang keras untuk menggapai cita-citanya walau pukin terus dihantui pikun, bahwa dirinya tidak akan pernah bisa sembuh dari penyakitnya. "Kau akan pikun selamanya!!!" kata Pikun. "Aku tidak mau!!!" sahut Pukin sambil menutup telinganya.
    "Pukin, itu namanya hidung, bukan telinga" ejek Pikun yang bingung melihat tingkah Pukin yang menutup hidungnya. Rupanya Pukin sudah terlalu pikun untuk mengingat apa itu "telinga".
    "Telinga... telinga..." sekarang Pukin malah bingung. Ia lupa telinga itu apa. Telinga itu yang mana dan telinga itu seperti apa bentuknya.
    Si Pikun sebenarnya merasa kasihan dengan keadaan si Pukin, alasan utama si Pikun ingin menjadi dukun adalah karena ia ingin mengobati penyakit pikun si Pukin.
    Tapi Pukin juga suka cerewet dan bawel. Tidak sadar bahwa dirinya sedang sakit. Itulah susahnya mengobati orang sakit yang merasa sehat.
    Tiba - tiba bermunculan ide dari Si Pikun.
    Ia mencoba memanfaatkan kepikunan si Pukin, dan mulai "menanamkan" pikiran pada kepala si Pukin bahwa si Pukin memang ingin diobati olah si Pikun.
    Dengan segenap tenaga dan daya upayanya, si Pikun berusaha keras melakukannya. Bahkan dia mencoba jurus terhebat. Namun..
    Gagal! Pukin keburu tertidur karena ramalan Pikun memakan waktu terlalu lama. Menyiapkan kembang tujuh rupa saja butuh berjam-jam antri di toko bunga.
    Setelah selesai si Pikun, bukannya mengobati justru pergi ke tetangga sebelah, meminta petunjuk di mana si Pukin???
    "Aduh! Tidak! Apa aku ketularan pikun ya?".
    Lalu si Pikun memutuskan untuk memperdalam lagi ilmunya, dia kemudian naik ke atas gunung untuk bertapa.
    Dia mulai mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra bersama teman bertualang...tak di sangkanya, mala petaka menimpanya belum sampai puncak gunung, dia "mengglundungkan diri" dari sana.

    BalasHapus
  74. "Waaaa.....!!" Jeritnya saat itu. Dengan posisi kaki di bawah seperti orang terduduk, si Pikun tampak menikmati jatuhnya. "Asyik benar oeiiii...!!" Teriaknya girang.
    Setelah jatuh sampai bawah, si Pikun mendaki lagi dan kemudian mengulangi 'ritual mengglundungkan dirinya... hal ini dilakukannya selama hampir satu minggu..
    Hingga akhirnya Pikun pulang dengan pantat tepos tanpa mendapatkan hasil apa - apa. Sesampainya di gubuknya Pikun bertemu Pukin dan mengajak si Pukin untuk mengikuti 'ritual mengglundungkan diri'..
    Namun, saat Pukin hendak bersiap-siap mengglundungkan diri, tiba-tiba si Pukin bertanya, "Bagaimana caranya ya tadi? Aku sudah lupa lagi?". Si Pikun pun kesal sekali. sudah puluhan kali ia ajarkan tapi si Pukin selalu saja lupa. Tanpa pikir panjang lagi si Pikun menendang si Pukin sehingga si Pukin Mengglundung menuruni gunung itu.... "Mungkin dengan begini Pukin dapat sembuh" Pikir si Pikun yang juga ikut mengglundungkan diri..
    Tapi ternyata, si Pukin malah semakin kacau saja. Dia berteriak-teriak bak orang gila. "Aku harus berhenti dimana ini Pikun!" teriaknya terus menerus.
    Si Pikun hanya diam saja melihat tingkah laku si Pukin tersebut... "Mungkin proses penyembuhan, semoga saja tidak ada efek sampingnya" pikir si Pikun.
    Herannya, si Pukin memang tak terhentikan. Ia terus saja bergerak. Tiap hampir sampai di tanah yang mendatar, si Pukin selalu mengarahkan ke dataran yang lebih rendah hingga ia terus saja merosot dan merosot. Dan ia terus saja berteriak hal yang sama.
    Tak terasa sudah hampir seminggu si Pukin mengglinding seperti itu. Si Pikun semakin bingung dan memikirkan dimana letak kesalahan dari metode pengobatannya ini dan si Pukin terus saja menggelinding menuruni bukit sambil berteriak-teriak hal yang sama. Suaranya parau, habis termakan waktu dan angin. Sampai akhirnya, si Pukin pun tiba di suatu tempat yang sama sekali tak dikenalinya.
    Tempat itu serasa tidak asing bagi si Pukin, tapi Pukin tidak dapat mengingat tempat apakah itu. Rasa rindu tiba - tiba menghampiri Pukin, ia merasa pernah ketempat itu.
    Yah, rupanya mereka telah jauh menggelundung sampai di rumah kontrakan si Mona, ketika mereka melihat mona, maka si pikun yang selalu lupa dan si pukin yang masih sakit, langsung terbangun dari tidurnya. Ternyata, si Pikun tertidur selama berhari-hari karena kelelahan mencari si Pukin. Ada perasaan bersalah menyergapnya kini. "Pukin, ternyata dirimu memang benar-benar pikun hingga tak tahu harus berhenti kapan!" gerutunya.
    Akhirnya Pikun berjalan menuju gentong yang berisi air, ia membaca mantra dan kemudian secara ajaib munculah gambar pada permukaan air.
    Kemudian, Pikun memulai lagi mantra baru lainnya. Dia pun bergegas menuju ke air terjun yang tak jauh dari rumahnya. Di bawah air terjun itulah dia bersemedi. Namun, apa yang didapat, dia hanya terbersin-bersin menahan dinginnya air menghujam kepala.
    HUATCHEE!!! HUAITCHUUU!!! HAITCHAUUU!!!
    Suara bersin si Pikun begitu kerasnya menggetarkan bumi, sampai si Pukin dapat mendengarnya. "Ah, itu suara si Pikun" pikir si Pukin. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya si Pukin dapat mengingat suara sahabatnya.
    Dengan sorak sorai gembira, Pukin pun meloncat-loncat kegirangan. Menendang segala sesuatu yang ada didekatnya, hingga tanpa dia sadari, sebuah kelapa jatuh mengenai tepat di atas kepalanya. Dan, Pukin pun jatuh tak sadarkan diri.
    Ketika bangun, Pukin masih mendengar suara bersin-bersin si Pikun, akan tetapi kali ini si Pukin tidak dapat mengingat bahwa itu adalah suara bersin si Pikun..

    BalasHapus
  75. Sementara di tempat si Pikun berada, si Pikun masih saja bersemedi di bawah guyuran air terjun. Badannya sudah mulai menggigil kedinginan, dan bersin pun tak tuntas jua terhenti, namun semangat juangnya tetap menyala demi saudaranya.
    Berdasarkan gosip terpanas, selain harus bersemedi di bawah guyuran air terjun, dia harus menenggelamkan diri di genangan air terjun selama berjam-jam setelah itu pergi kebarat mencari bunga super aneh di jagad raya.
    Setelah mempersiapkan semua perbekalan yang diperlukan, perjalanan berkelana mencari bunga misterius itu pun dimulai. Dari naik sampai turun bukit kapur pun dilewati. "Duuuh.. Pukin, mengapa pikunmu membuatku harus berkelana kesana kemari," keluhnya.
    Dia berjalan mengelilingi arah yang jauh nan sepi. Tiba di bawah sebuah pohon, dia duduk sekedar melepas lelah...
    Beuh! Akhirnya gue yg jadi pikun, tak tahu membedakan mana si Pikun mana si Pukin.
    Tak jauh dari tempat peristirahatan si Pikun, si Pukin sedang berusaha mencari jalan pulang ke rumahnya. Namun, si Pukin hanya berputar-putar di tempat yang sama. "Duuh, kenapa tidak sampai-sampai sih..? Perasaan, aku sudah jauh melangkah!" gerutunya.
    Dia sebenarnya tidak sadar kalau sudah melewati rumahnya berkali-kali. Karena kepikunannya dia melupakan rumahnya seperti apa. " lah....dari tadi dicari, tuh rumahku.."jawabnya. Namun dia tidak tahu kalau sedang masuk rumah orang.
    "Selamat siang. Cari siapa ya?" tanya seorang penghuni rumah yang dimasuki si Pukin. "Nah lho? Anda sendiri siapa? Kok berani-beraninya masuk ke rumah saya!!" bentak si Pukin yakin.
    Dari arah belakang muncul ibu gembrot yang tiba - tiba sensi melihatnya sehingga ikut bertanya - tanya. Karena merasa yakin bahwa itu rumahnya, si Pukin dengan paksa mengusir mereka. Mereka pun juga ngotot mempertahankan rumahnya...hmmmm...
    Si Pukin semakin berang saja. Emosi mengalahkan ketidakwarasannya. Ia mengambil sapu lidi yang sejak tadi teronggok di samping pintu kamar. "Ayooo, keluar kataku!! Ini rumahku, pergiiiiiii!!!!" bentak si Pukin dengan marahnya.
    Mereka tak mau kalah, sehingga mengambil kayu yang tergeletak di lantai." Hayo kamu siapa? beraninya ngusir aku....!" mereka saling berusaha untuk mengusir.
    Tiba-tiba, si Pukin terdiam. Sapu lidi yang tergenggam di tangannya pun terlepas. "Hmmm.. ini dimana ya? Kalian siapa? Mau apa dengan kayu-kayu itu? Kalian ingin memukulku ya?? Apa salahku.. hik..hiiik..," si Pukin pun menangis sekencang-kencangnya, mak.......tolong si Pukin mak....Pukin tersesat mak....ini dimana?
    Kedua orang yang rumahnya dimasuki si Pukin hanya saling berpandangan mata. "Jangan-jangan orang ini sudah tidak normal!!" bisik salah satu dari mereka. "Lantas, apa yang harus kita lakukan Uni?" tanya yang seorang lagi.
    ‘’Kita goreng saja dia, kebetulan persediaan makanan kita habis’’ pikir mereka. Mereka sedang bersibuk ria memikirkan bagaimana cara menyingkirkan si Pukin, tiba-tiba si Pukin pergi begitu saja dari ruang tamu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak, "Siapakah aku? Dimanakah aku berada sekarang?".
    Si Pikun yang lagi berputar – putar akhirnya ketemu si Pukin. Namun si Pikun gak ingat si Pukin.
    "Lho... Pikun??? Itukah dirimu adikku??? "tanya si Pukin terkaget-kaget tak percaya. "Duuh adikku, akhirnya kita bersua kembali," ucap si Pukin sambil memeluk adiknya si Pikun. "Nah lho.. nah lho, dirimu siapa?? Ih..ih..iih, jangan peluk-peluk dong!".
    Tiba-tiba, si Pikun mengguncang-guncangkan kedua lengan si Pukin. "Adikku, ini aku si Pikun. Ayo, ingatlah baik-baik??" pinta si Pikun berharap si Pukin mengenalinya.
    Pikun pun mengambil ramuan yang telah dibuatnya dan akhirnya si Pukin yang pikun pun kembali mengingat segalanya setelah sekian lama.

    BalasHapus
  76. Naskah Drama
    Narator : Dahulu kala, di saat zaman prasejarah kuno hiduplah seorang yang tidak sesuai dengan namanya yaitu "si Pikun", serta muncul sesosok lagi yang bernama si Pukin yang benar-benar Pikun. Mereka sempat bertukar karakter. Akan tetapi karena si Pukin begitu pikunnya, kadang - kadang dia lupa sedang memainkan peran sebagai si Pikun atau si Pukin.
    Pikun : "Dasar kamu pikun""Ya kamu tuh pikun, namamu kan pikun" balasnya... "Aduh pusing... kenapa namaku harus pikun sih? dasar yang membuat karakter tidak berperikemanusiaan, siapa sih yang buat? awas lo...!"
    Narator : Pikun sewaktu kecil bercita-cita menjadi dukun, sementara pukin menyadari bahwa suatu ketika ia bakal pikun.
    Narator : Karena pikun menjadi pikun, maka dia merasa bahwa dia dulu waktu kecil bercita-cita menjadi dukun. Si Pukin berjuang keras untuk menggapai cita-citanya walau pukin terus dihantui pikun, bahwa dirinya tidak akan pernah bisa sembuh dari penyakitnya.
    Pikun : "Kau akan pikun selamanya!!!"
    Pukin : ( menutup telinganya) "Aku tidak mau!!!"
    Pikun : "Pukin, itu namanya hidung, bukan telinga"
    Pukin : "Telinga... telinga...". Telinga itu yang mana dan telinga itu seperti apa bentuknya.’’
    Narator : Si Pikun sebenarnya merasa kasihan dengan keadaan si Pukin, alasan utama si Pikun ingin menjadi dukun adalah karena ia ingin mengobati penyakit pikun si Pukin. Tapi Pukin juga suka cerewet dan bawel. Tidak sadar bahwa dirinya sedang sakit. Itulah susahnya mengobati orang sakit yang merasa sehat. Tiba - tiba bermunculan ide dari Si Pikun. Ia mencoba memanfaatkan kepikunan si Pukin, dan mulai "menanamkan" pikiran pada kepala si Pukin bahwa si Pukin memang ingin diobati olah si Pikun. Dengan segenap tenaga dan daya upayanya, si Pikun berusaha keras melakukannya. Bahkan dia mencoba jurus terhebat di lakukan. Namun gagal! Pukin keburu tertidur karena ramalan Pikun memakan waktu terlalu lama. Menyiapkan kembang tujuh rupa saja butuh berjam-jam antri di toko bunga. Setelah selasai si pikun, bukannya mengobati justru pergi ke tetangga sebelah, meminta petunjuk di mana si pukin???
    Pikun : "Aduh! Tidak! Apa aku ketularan pikun ya?".

    BalasHapus
  77. Narator : Lalu si Pikun memutuskan untuk memperdalam lagi ilmunya, dia kemudian naik ke atas gunung untuk bertapa. Dia mulai mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudra bersama teman bertualang...tak di sangkanya, mala petaka menimpanya belum sampai nyampe puncak gunung, dia "mengglundungkan diri" dari sana.
    Pikun : "Waaaa.....!!" "Asyik benar oeiiii...!!"
    Narator : Setelah jatuh sampai bawah, si Pikun mendaki lagi dan kemudian mengulangi 'ritual mengglundungkan diri'nya... hal ini dilakukannya selama hampir satu minggu. Hingga akhirnya Pikun pulang dengan pantat tepos tanpa mendapatkan hasil apa - apa. Sesampainya di gubuknya Pikun bertemu Pukin dan mengajak si Pukin untuk mengikuti 'ritual mengglundungkan diri'..
    Pukin : "Bagaimana caranya ya tadi? Aku sudah lupa lagi?".
    Narator : Si Pikun pun kesal sekali. sudah puluhan kali ia ajarkan tapi si Pukin selalu saja lupa. Tanpa pikir panjang lagi si Pikun menendang si Pukin sehingga si Pukin mengglundung menuruni gunung itu....

    Pikun : "Mungkin dengan begini Pukin dapat sembuh" (pikirnya)
    Narator : Tapi ternyata, si Pukin malah semakin kacau saja. Dia berteriak-teriak bak orang gila. Pukin : "Aku harus berhenti dimana ini Pikun!" (Teriaknya terus menerus).
    Narator : Si Pikun hanya diam saja melihat tingkah laku si Pukin tersebut...
    Pikun : "Mungkin proses penyembuhan, semoga saja tidak ada efek sampingnya"
    Narator : Herannya, si Pukin memang tak terhentikan. Ia terus saja bergerak. Tiap hampir sampai di tanah yang mendatar, si Pukin selalu mengarahkan ke dataran yang lebih rendah hingga ia terus saja merosot dan merosot. Dan ia terus saja berteriak hal yang sama. Tak terasa sudah hampir seminggu si Pukin mengglinding seperti itu.. Si Pikun semakin bingung dan memikirkan dimana letak kesalahan dari metode pengobatannya ini dan si Pukin terus saja menggelinding menuruni bukit sambil berteriak-teriak hal yang sama. Suaranya parau, habis termakan waktu dan angin. Sampai akhirnya, si Pukin pun tiba di suatu tempat yang sama sekali tak dikenalinya. Tempat itu serasa tidak asing bagi si Pukin, tapi Pukin tidak dapat mengingat tempat apakah itu... Rasa rindu tiba - tiba menghampiri Pukin, ia merasa pernah ketempat itu... Rupanya mereka telah jauh menggelundung sampai di rumah kontrakan si mona, ketika mereka melihat mona, maka si pikun yang selalu lupa dan si pukin yang masih sakit, langsung terbangun dari tidurnya. Ternyata, si Pikun tertidur selama

    BalasHapus
  78. berhari-hari karena kelelahan mencari si Pukin. Ada perasaan bersalah menyergapnya kini.
    Pikun : "Pukin, ternyata dirimu memang benar-benar pikun hingga tak tahu harus berhenti kapan!"

    Narator : Akhirnya Pikun berjalan menuju gentong yang berisi air, ia membaca mantra... dan kemudian secara ajaib munculah gambar pada permukaan air
    Kemudian, Pikun memulai lagi mantra baru lainnya. Dia pun bergegas menuju ke air terjun yang tak jauh dari rumahnya. Di bawah air terjun itulah dia bersemedi. Namun, apa yang didapat, dia hanya terbersin-bersin menahan dinginnya air menghujam kepala.
    HUATCHEE!!! HUAITCHUUU!!! HAITCHAUUU!!!
    Suara bersin si Pikun begitu kerasnya menggetarkan bumi, sampai si Pukin dapat mendengarnya...

    Pukin : "Ah, itu suara si Pikun"
    Narator : Sementara di tempat si Pikun berada, si Pikun masih saja bersemedi di bawah guyuran air terjun. Badannya sudah mulai menggigil kedinginan, dan bersinpun tak tuntas jua terhenti, namun semangat juangnya tetap menyala demi saudaranya.
    Pikun : "Duuuh.. Pukin, mengapa pikunmu membuatku harus berkelana kesana kemari,"
    Narator : Dia berjalan mengelilingi arah yang jauh nan sepi. Tiba di bawah sebuah pohon, dia duduk sekedar melepas lelah... Beuh! Akhirnya gue yg jadi pikun, tak tahu membedakan mana si pikun mana si pukin. Tak jauh dari tempat peristirahatan si Pikun, si Pukin sedang berusaha mencari jalan pulang ke rumahnya. Namun, si Pukin hanya berputar-putar di tempat yang sama.
    Pukin : "Duuh, kenapa tidak sampai-sampai sih..? Perasaan, aku sudah jauh melangkah!"

    Narator : Dia sebenarnya tidak sadar kalau sudah melewati rumahnya berkali-kali. Karena kepikunannya dia malah melupakan rumahnya seperti apa.

    Pukin : " lah....dari tadi dicari, tuh rumahku.."
    Penghuni Rumah : "Selamat siang. Cari siapa ya?"
    Pukin : "Nah lho? Anda sendiri siapa? Kok berani-beraninya masuk ke rumah saya!!"

    BalasHapus
  79. Narator : Si Pukin semakin berang saja. Emosi mengalahkan ketidakwarasannya. Ia mengambil sapu lidi yang sejak tadi teronggok di samping pintu kamar.

    Pukin : "Ayooo, keluar kataku!! Ini rumahku, pergiiiiiii!!!!"
    Penghuni Rumah : ." Hayo kamu siapa? beraninya ngusir aku....!"
    Pukin : "Hmmm.. ini dimana ya? Kalian siapa? Mau apa dengan kayu-kayu itu? Kalian ingin memukulku ya?? Apa salahku.. hik..hiiik..," (menangis). mak.......tolong si Pukin mak....Pukin tersesat mak....ini dimana?
    Penghuni Rumah 1 : "Jangan-jangan orang ini sudah tidak normal!!"
    Penghuni Rumah 2 : "Lantas, apa yang harus kita lakukan Uni?"
    Penghuni Rumah 1 : ‘’Kita goreng saja dia, kebetulan persediaan makanan kita habis’’ pikir mereka.
    Narator : Saat mereka sedang bersibuk ria memikirkan bagaimana cara menyingkirkan si Pukin, tiba-tiba si Pukin pergi begitu saja dari ruang tamu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak

    Pukin : "Siapakah aku? Dimanakah aku berada sekarang?".
    Narator : Si Pikun yang lagi berputar – putar akhirnya ketemu si Pukin.
    Pukin : "Lho... Pikun??? Itukah dirimu adikku??? " (terkaget-kaget tak percaya) "Duuh adikku, akhirnya kita bersua kembali"
    Pikun : "Nah lho.. nah lho, dirimu siapa?? Ih..ih..iih, jangan peluk-peluk dong!".
    Pikun : "Adikku, ini aku si Pikun. Ayo, ingatlah baik-baik??"
    Pikun : “Ini ramuan yang aku buat untuk kamu. Ayo cepat diminum”
    Akhirnya si Pukin yang pikun pun kembali mengingat segalanya setelah sekian lama.

    BalasHapus
  80. Narator : Si Pukin semakin berang saja. Emosi mengalahkan ketidakwarasannya. Ia mengambil sapu lidi yang sejak tadi teronggok di samping pintu kamar.

    Pukin : "Ayooo, keluar kataku!! Ini rumahku, pergiiiiiii!!!!"
    Penghuni Rumah : ." Hayo kamu siapa? beraninya ngusir aku....!"
    Pukin : "Hmmm.. ini dimana ya? Kalian siapa? Mau apa dengan kayu-kayu itu? Kalian ingin memukulku ya?? Apa salahku.. hik..hiiik..," (menangis). mak.......tolong si Pukin mak....Pukin tersesat mak....ini dimana?
    Penghuni Rumah 1 : "Jangan-jangan orang ini sudah tidak normal!!"
    Penghuni Rumah 2 : "Lantas, apa yang harus kita lakukan Uni?"
    Penghuni Rumah 1 : ‘’Kita goreng saja dia, kebetulan persediaan makanan kita habis’’ pikir mereka.
    Narator : Saat mereka sedang bersibuk ria memikirkan bagaimana cara menyingkirkan si Pukin, tiba-tiba si Pukin pergi begitu saja dari ruang tamu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak

    Pukin : "Siapakah aku? Dimanakah aku berada sekarang?".
    Narator : Si Pikun yang lagi berputar – putar akhirnya ketemu si Pukin.
    Pukin : "Lho... Pikun??? Itukah dirimu adikku??? " (terkaget-kaget tak percaya) "Duuh adikku, akhirnya kita bersua kembali"
    Pikun : "Nah lho.. nah lho, dirimu siapa?? Ih..ih..iih, jangan peluk-peluk dong!".
    Pikun : "Adikku, ini aku si Pikun. Ayo, ingatlah baik-baik??"
    Pikun : “Ini ramuan yang aku buat untuk kamu. Ayo cepat diminum”
    Akhirnya si Pukin yang pikun pun kembali mengingat segalanya setelah sekian lama.

    BalasHapus
  81. Nama : Elvina T. Indrajaya
    Kelas : XI P 5
    No. Abs : 14

    Cerpen asli

    Judul : Sampah
    Ditulis oleh : Afifah Afra

    Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!
    Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya.
    Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.
    Oleh karenanya, kemunculan lelaki ramah dengan gerobak sampahnya itu benar-benar disambut gembira.
    "Sampaaah! Sampaaah!" begitu teriaknya.
    Istriku sering merasa heran, karena ia mengaku baru pernah menjumpai tukang sampah yang setiap kali meneriakkan berita kedatangannya.
    "Seperti pedagang keliling saja," ujar istriku.
    Sebenarnya aku pun belum pernah menjumpai tukang sampah seperti itu, tetapi aku tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai hal yang aneh.
    "Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu," dugaku. Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.
    Untuk pekerjaannya itu, aku melihat pendar kebahagiaan tersendiri memancar di wajah lelaki ramah itu.
    "Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!" jawab lelaki itu ketika kutanya akan semangatnya yang membuatku iri.
    Lantas aku pun membisikkan sesuatu ke istriku. Lelaki itu pahlawan, Dik…. Istriku tak menjawab, sehingga aku tak tahu pasti, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataanku.
    * * *
    Tiba-tiba muncul sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu.
    Tertatih aku mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat using, bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.
    "Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"ujarku.

    BalasHapus
  82. "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas!" bela istriku. "Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat"
    Aku tersenyum tipis mendengar ucapan istri yang baru beberapa bulan kunikahi itu. Di luar, kulihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya juga.
    "Sampah… sampaaah!"
    Hm… tepat sekali kedatangan lelaki ramah itu.
    "Sampah, Pak!" ujarku.
    Lelaki itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku.
    "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu!" teriak Pak Parlian tiba-tiba, ketus. Dan memang, begitu gerobak itu lewat, serangkum bau busuk tercium dengan sangat tajam. "Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."
    "Iya!" sambut Pak Sinaga, setali tiga uang. "Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!"
    Aku tertegun, lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun. Sejenak ia terdiam, lalu serangkai kata-kata halusnya pun keluar.
    "Jadi, keberadaan saya mengganggu?"
    "Eh, jadi kau ini tak sadar?" ujar Pak Diki.
    "Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!"
    "Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya." Tambah Pak Sinaga lagi.
    "Pak Sampah," Aa Karta, ketua RT di gang kami, tampak mencoba menengahi, "kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!"
    Pak Sampah berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh.
    "Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang."
    Masalah selesai, desisku. Bersyukurlah, karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.
    * * *
    Ternyata aku salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan?
    Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.
    "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah,” ujar Bu Anton, berapi-api.
    "Betul sekali!" lengking Bu Asnah, penjual gado-gado. "Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"
    "Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!"

    BalasHapus
  83. "Ya. Kami tidak mau terima!"
    "Baiklah,"Aa Karta menimpali. "Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"
    "Sore saja!" ujar Bu Asnah. "Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."
    "Setuju!" teriak yang lain.
    "Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!"Aku dan istriku yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.
    * * *
    Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.
    "Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus lintang pukang kabur. Kami nggak terima!"
    Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.
    "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."
    "Apa tidak dingin, Pak?"tanyaku.
    Lelaki itu tersenyum. "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."
    Padahal dia hanya seorang tukang sampah, aku menelan ludah.
    * * *
    "Mas…!" istriku berlari dengan tergopoh-gopoh, persis ketika aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu sempit rumah kontrakanku. "Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!"
    "O, ya?" aku meletakkan tas berisi laptop buntut yang biasa menemaniku bekerja pada sebuah kantor redaksi majalah bertiras minimal itu di atas karpet. Terus terang, aku letih sekali, karena harus lembur dan pulang malam seperti saat ini. Beruntung istriku masih terjaga. Paling tidak, secangkir kopi susu dan semangkok mie rebus pasti sudah menunggu di meja makan.
    "Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini."
    "Keributan?"Pantas istriku belum tidur.
    "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabuk an. Barusan mereka nggebukin orang!"
    "Siapa yang digebukin?"
    "Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit…."�
    Lidahku mendadak terasa kelu.
    * * *
    Kutatap sampah yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari.
    Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.
    "Mas, mobilnya sudah datang!"� ujar istriku, memecah lamunan.
    Aku tersentak. Segera kuraih tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakanku. Mantan kontrakan, karena mulai hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus mencicil selama limabelas tahun.
    "Sampah… sampah…!!"
    Suara c empreng itu mengiang di telingaku.

    BalasHapus
  84. Naskah derama


    Tukang Sampah : Sampah… Sampah…!!

    Istri : Teriak – teriak seperti pedagang keliling saja.

    Joni : Kemunculan tukang sampah itu kan bagus untuk mengatasi tumpukan sampah yang menjadi problem para warga sini, Dik. Mungkin dia sengaja berteriak untuk mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu.

    Joni : Nih, Pak.Semangat sekali nih kerjanya?

    Tukang Sampah : Iya, karena saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!

    ***

    Narator : Suatu hari libur, ketika Joni dan istrinya sedang membersihkan rumah kontrakan mereka

    Joni : Hm… Ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?

    Istri : Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu nakal, Mas! Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus pun sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat.

    Tukang Sampah : Sampah… Sampah…!!

    Joni : Nih sampahnya, Pak.

    Pak Parlitan : Hei… Cepatlah lewatnya…! Bau tahu..!! Bisa sakit aku mencium bau itu.

    Tukang Sampah : Jadi keberadaan saya mengganggu?

    Pak Diki : Eh, jadi kau ini tidak sadar? Sampah yang kau bawa ini membawa penyakit tahu!

    Pak Sinaga : Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya.

    Narator : Pak Aa Karta, ketua RT di gang itu pun menyampiri keributan itu.

    Pak Aa Karta : Pak Sampah, kalau boleh saya usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?

    Tukang Sampah : Baiklah, saya akan datang mengambil sampah setiap siang.

    ***

    Narator : Kebesokan harinya, giliran para ibu – ibu yang mengemukakan complain mereka terhadap Pak Aa Karta.

    BalasHapus
  85. Ibu Anton : Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah.

    Ibu Asnah : Betul sekali! Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!

    Ibu Rudy : Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!

    Pak Aa Karta : Baiklah, nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?

    Ibu Asnah : Sore saja! Kalau sore kita kan sedang berkumpul di dalam rumah. Kita bias menutup pintu rapat – rapat saat gerobak busuk itu datang.

    Pak Aa Karta : Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!

    ***
    Narator : Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.
    Anak – anak : Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus pulang kabur. Kami nggak terima!

    Narator : Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Bapak - bapak, ibu - ibu, juga anak – anak akhirnya tidak ada yang merasa dirugikan. Satu -satunya yang dirugikan hanyalah Pak Sampah itu sendiri.

    Joni : Apa tidak apa – apa, Pak bekerja saat malam hari?

    Pak Sampah : Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam.

    Joni : Apa tidak dingin, Pak?

    Pak Sampah : Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa.

    ***

    Narator : Haripun berganti. Masalah yang dikira sudah selesai ternyata masih belum selesai.

    Istri : Mas… Mas… Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas! Tadi ada keributan di sini.

    Joni : Keributan?!

    Istri : Itu loh, anak-anak muda yang suka genjrang - genjreng di kardu siskamling sambil mabuk - mabukan. Barusan mereka mukulin orang!

    Joni : Siapa yang dipukulin?

    Istri : Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
    Narator : Sudah seminggu lebih sampah - sampah tertumpuk. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari. Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.

    (Sumber: http://jawabali.com/vcd/cerpen-online/sampah)

    BalasHapus
  86. Nama: Stefen Agustinus
    Kelas/ No. Absen: XI Ipa 5/ 42

    Tema: Kepedulian sosial
    Judul: Repotnya jadi RT

    Naskah:
    Pukul 2.30 pagi. Terpaksa kubuka pintu. Biasa, warga.
    Warga: "Pak, cowok yang ngapeli anak perempuan saya itu gak mau pulang. Dia borgol tangannya dengan tiang teras,"
    Ketua RT"Coba kalian kasih peringatan" (pak RT memberi perintah kepada hansip kesayangannya,Somad dan Sugirin.)
    Somad dan Sugirin :"Baik pak RT”. (Mereka pun langsung bergegas menuju TKP, disusul Bu Darmi yang dan oleh pak RT yang tergopoh-gopoh antara mencari sendal dan membetulkan sarungnya yang bentar-bentar melorot.)
    Pemuda:"Inilah yang saya harapkan! Ditangkap hansip lalu dikawinkan!" (kata pemuda yang masih terborgol ke tiang itu).
    Faniloenpia: "Aku nggak mau kawin sama dia wajahnya memang rupawan, tapi bau badannya itu aku tak tahan”.
    Pemuda:"aku janji honey, aku akan lebih sering mandi.Percayalah", (bujuknya kepada fanyloenpia pujaan hatinya. )
    Faniloenpia:"jangan memanggilku honey dong,memangnya aku madu.lagi pula namaku kan Faniloenpia” (Cowok itupun langsung diam.)
    Narator:Sebagai Ketua RT aku harus tegas. Kuambil ulat dari pot bunga Bu Darmicaksini, kuacungkan ke pemuda itu. Aneh. Saking takutnya dia memutus borgol lalu kabur. Semua orang lega, kembali tidur. Besok pagi jam 2.30 kejadian itu terulang lagi,dengan kisah yang sama,selesai dengan cara yang sama pula.kejadian itu terulang tak henti-hentinya. Akhirnya secara otoriter Ketua RT mengumumkan bahwa :dilarang menerima kunjungan pemuda. Hasilnya efektif. Anak-anak gadis pada kabur dari rumahnya. Sebenarnya ada saran dari warga lain untuk menerima kunjungan para pemuda itu dikumpulkan di lapangan RT dan di jaga hansip.. tapi apa tidak efektif ?? Agustus ini aku belum minta uang iuran dari seluruh wargaku’. Enaknya ditarik berapa ya? Hmmm. Mungkin 17 juta perbulan aja ya?.tapi kalo uang segitu , hanyalah uang receh buat para koruptor.. tapi buat wargaku ? 7 juta adalah besar. mengingat 80% wargaku berpofesi sebagai pns dan pedagang kecil. 100 ribu saja.
    Ketua RW:Di RT ini kan ada seratus keluarga. Artinya, dalam sebulan ada uang Rp 10 juta. Dipotong gaji Somad dan Sugirin, serta biaya lain2, masih nyisa Rp 6 juta. Itu bisa digunakan utk nyicil bikin aula tempat pacaran anak muda

    BalasHapus
  87. Ketua RT:”Tapi khan ga semua warga punya anak gadis pak,yg ga punya pasti ga mau ikut nyumbang....(protes pak RT.)
    Ketua RW:"tapi kan aula itu juga bisa digunakan untuk suami atau istri yang mau ngedate sama selingkuhannya. Kan jadi lebih bisa dikontrol. Saran saya, bicarakan dulu sama warga saran ini," (kilah Pak RW.)
    Pak RT:” Haduhh....Pak RW ini kok suka aneh2 sih. Masa selingkuhan juga mau difasilitasi. Tapi ya sudah lah saya tanyakan dulu ke warga.”
    Sambil menggerutu Pak RT pergi dan memanggil tukang ojek.... Dalam perjalanan pulang ke rumah itu, Pak RT menelpon Jempol, sekretarisnya. Untuk memberi tahu bahwa ada pertemuan penting di kantor RT besok malam jam setengah delapan.Keesokan harinya , rapat berlangsung..
    Pak RT:"Nah, ada dua masalah yang harus dipecahkan. Pertama, soal pembangunan Pondok Pasangan Indah. Kedua, kalo bapak2 dan ibu2 setuju, baru kita bicara soal pendanaannya,"
    Bu Tuminah:Pondok asmara saya setuju, tapi soal dana... no way! No way, tau!" (sergah Bu Tumnah sambil berdiri dan kacak pinggang. Lainnya latah bilang gitu juga.)
    Ustad Saleh :"Saya tidak setuju dibangun Pondok Pasangan Indah. Kalo mau pacaran di masjid saja, lebih bebas maksiat!" (teriak Ustad Saleh lantang.)
    Somad:"Ya, saya setuju, lebih baik dilarang pacaran dimana pun, kecuali bisa menunjukkan NPWP dan KK yang asli". (Sambung si Somad, salah satu warga yang seminggu lalu dirawat di rumah sakit jiwa.)
    Cak Iming :"Sepertinya otaknya belum selesai direparasi," (gumam Cak Iming, pemilik counter pulsa.)
    Dul Kham:d "gila benar, jaman sekarang otak juga bisa direparasi, emang otak mirip tv ya," (kata Dul Khamid temen Cak Iming.)
    Narator:Mendadak sebuah Porsche 911 melaju kencang memasuki kampung, kemudian berhenti mendadak didepan Kantor RT, dari pintu sebelah kanan keluarlah sepasang kaki mulus dan sexy... Tetapi ternyata sepasang kaki mulus nan seksi itu telah menipu penampilan aslinya. Dari ujung kaki sampai dada memang tidak beda jauh dengan Elisha Cluthbert, tetapi dari dada keatas... ..seperti Tukul Arwana!! Kaki mulus itu pun ternyata di pahanya... bopengan seperti lurik... Dialah Jonoyatman, mantan kopral yang sekarang jadi bencong. Alumnus perang Aceh semasa DOM dan memutuskan jadi bencong setelah melihat banyak banci yg jadi korban konflik. Sebelum dikirim ke Aceh, ngekost di rumah Pak RT. Namanya kini Jenny. Dan sekarang dia mau ketemu pak RT untuk mengurus izin pembuatan Salon sekaligus penyedia jasa Debt Collectorseperti biasanya..

    BalasHapus
  88. CERPEN
    Pukul 2.30 pagi. Terpaksa kubuka pintu. Biasa, warga. "Pak, cowok yang ngapeli anak perempuan saya itu gak mau pulang. Dia borgol tangannya dengan tiang teras," ratap Bu Darmicaksini. "Tenang, Bu," kataku sambil kencangkan sarung.
    Lalu pak RT memanggil 2 Hansip kesayangannya..Somad dan Sugirin..."Coba kalian kasih peringatan" ujar pak RT kepada 2 Hansipnya itu...
    “Baik pak RT" jawab mereka kompak. Mereka pun langsung bergegas menuju TKP, disusul Bu Darmi yang dan oleh pak RT yang tergopoh-gopoh antara mencari sendal dan membetulkan sarungnya yang bentar-bentar melorot.
    "Inilah yang saya harapkan! Ditangkap hansip lalu dikawinkan!" kata pemuda yang masih terborgol ke tiang itu. Cewek di sebelahnya, Faniloenpia, menangis. "Aku nggak mau kawin ama dia," katanya.
    Wajahnya memang rupawan, tapi bau badannya itu aku tak tahan.
    "aku janji honey, aku akan lebih sering mandi.Percayalah", bujuknya kepada fanyloenpia pujaan hatinya.
    "jangan memanggilku honey dong,memangnya aku madu.lagi pula namaku kan Faniloenpia.
    Cowok itupun langsung diam.
    Sebagai Ketua RT aku harus tegas. Kuambil ulat dari pot bunga Bu Darmicaksini, kuacungkan ke pemuda itu. Aneh. Saking takutnya dia memutus borgol lalu kabur. Semua orang lega, kembali tidur.
    besok pagi jam 2.30 kejadian itu terulang lagi,dengan kisah yang sama,selesai dengan cara yang sama pula.kejadian itu terulang tak henti-hentinya.
    Akhirnya secera otoriter aku umumkan: dilarang menerima kunjungan pemuda. Hasilnya efektif. Anak-anak gadis pada kabur dari rumahnya. Duh gimana ini? Ada saran?
    sebenarnya ada saran dari warga lain untuk menerima kunjungan para pemuda itu dikumpulkan di lapangan RT dan di jaga hansip.. tapi apa ya efektif ??
    Itu kagak ngefek. Gadis-gadis pada kabur ke luar kampung, memburu lelaki idamannya. Itulah masalahnya.
    Sepertinya saya harus minta pendapat Pak RW.
    Agustus ini aku belum minta uang iuran dari seluruh wargaku. Enaknya ditarik berapa ya? Hmmm. Mungkin 17 juta perbulan aja ya?? Apakah itu ide yang baik?
    tapi kalo uang segitu , hanyalah uang receh buat para koruptor.. tapi buat wargaku ?
    !7 juta adalah besar. mengingat 80% wargaku berpofesi sebagai pns dan pedagang keci.
    100 rebu saja. Di RT ini kan ada seratus keluarga. Artinya, dalam sebulan ada uang Rp 10 juta. Dipotong gaji Somad dan Sugirin, serta biaya lain2, masih nyisa Rp 6 juta. Itu bisa digunakan utk nyicil bikin aula tempat pacaran anak muda! Saran Pak RW.
    Tapi khan ga semua warga punya anak gadis pak,yg ga punya pasti ga mau ikut nyumbang....protes pak RT.
    "Lha tapi kan aula itu juga bisa digunakan untuk suami atau istri yang mau ngedate sama selingkuhannya. Kan jadi lebih bisa dikontrol. Saran saya, bicarakan dulu sama warga saran ini," kilah Pak RW.
    Haduhh....Pak RW ini kok suka aneh2 sih. Masak selingkuhan juga mau difasilitasi. Tp ya udah lah saya tanyain dulu ke warga. Sambil ngedumel Pak RT pergi dan memanggil tukang ojek....
    Dalam perjalanan pulang ke rumah itu, Pak RT menelpon Jempol, sekretarisnya. "Pol, kamu smsin semua warga ya. Bilang ada pertemuan penting di kantor RT besok malam jam setengah delapan.
    Duk-duk-duk.. pintu WC digedor dari luar. "Pak RT, pertemuannya mau dimulai kapan? Warga ngancem bubar nih!" tanya si Jempol. Setelah itu, keesokan harinya , rapat berlangsung..
    "Nah, ada dua masalah yang harus dipecahkan. Pertama, soal pembangunan Pondok Pasangan Indah. Kedua, kalo bapak2 dan ibu2 setuju, baru kita bicara soal pendanaannya," tutur Pak RT. Pondok Pasangan Indah ini penting sebab...
    Pondok asmara saya setuju, tapi soal dana... no way! No way, tau!" sergah Bu Tuminah sambil berdiri dan kacak pinggang. Lainnya latah bilang gitu juga.
    "Saya tidak setuju dibangun Pondok Pasangan Indah. Kalo mau pacaran di masjid saja, lebih bebas maksiat!" teriak Ustad Saleh lantang.
    "Ya, saya setuju, lebih baik dilarang pacaran dimana pun, kecuali bisa menunjukkan NPWP dan KK yang asli".

    BalasHapus
  89. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  90. Sambung si Somad, salah satu warga yang seminggu lalu dirawat di rumah sakit jiwa. "Sepertinya otaknya belum selesai direparasi," gumam Cak Iming, pemilik counter pulsa.
    "Gileeeeeee beneeeeeeerrrrrrrrrrrrr, jaman sekarang otak juga bisa direparasi, emang otak mirip tv ya," kata Dul Khamid temen Cak Iming.
    Mendadak sebuah Porsche 911 melaju kencang memasuki kampung, kemudian berhenti mendadak didepan Kantor RT, dari pintu sebelah kanan keluarlah sepasang kaki mulus dan sexy...
    Tetapi ternyata sepasang kaki mulus nan seksi itu telah menipu penampilan aslinya. Dari ujung kaki sampai dada memang tidak beda jauh dengan Elisha Cluthbert, tetapi dari dada keatas...
    ..seperti Tukul Arwana!! Kaki mulus itu pun ternyata di pahanya... bopengan seperti lurik...
    Dialah Jonoyatman, mantan kopral yang sekarang jadi bencong. Alumnus perang Aceh semasa DOM dan memutuskan jadi bencong setelah melihat banyak banci yg jadi korban konflik. Sebelum dikirim ke Aceh, ngekost di rumah Pak RT. Namanya kini Jenny.
    Dan sekarang dia mau ketemu pak RT untuk mengurus izin pembuatan Salon sekaligus penyedia jasa Debt Collector..


    Sumber:http://cerpenista.com/cerpen/baca/repotnya_jadi_ketua_rt

    BalasHapus
  91. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  92. Nama : Mario Tanjung
    kelas : XI IPA5
    No.abs : 31

    Cerpen (Bagian 1)

    kebaikan seorang guru

    Seseorang pasti ingin berbuat baik. Begitu pula dengan Pak Doni. Pensiunan guru itu hidup sederhana dengan istrinya. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal terpisah di luar kota.
    Uang pensiunan Pak Doni tidak besar. Jadi ia tidak mampu menyumbang uang ke panti asuhan. Pak Doni juga tak kuat membantu membangun rumah ibadah, karena ia sakit-sakitan. Tapi tentu masih banyak cara untuk berbuat baik, begitu pikir Pak Doni
    Pak Doni lalu merencanakan sesuatu. Ia tak ingin hanya berdiam diri. Suatu hari sepulang dari mengambil uang pensiun, ia membawa sekeranjang rambutan. Merah warna kulitnya, ranum, dan pasti manis rasanya!
    "Banyak sekali, Pak? Untuk siapa?" sambut IBu Doni penasaran.
    "Ya, untuk kita berdua!" jawab Pak Doni sambil tersenyum.
    "Seminggu tidak bakal habis. Mana gigi sudah tidak utuh lagi!" lanjut Bu Doni.
    "Gampang!"
    "Lo? Maksud Bapak?"
    "Panggil saja anak-anak tetangga itu. Kita undang mereka untuk makan rambutan. Apa salahnya? Selama ini pasti mereka anggap kita ini suami-istri cerewet. Karena banyak melarang dan mengomeli apa saja yang mereka kerjakan!"
    Bu Doni tak ingin lagi membantah. Ia tahu, suaminya pasti punya rencana baik.
    Siang itu setelah makan bersama istrinya, Pak Doni membawa semua rambutan itu ke teras rumah. Ia lalu memanggil anak-anak tetangga satu persatu. Umur mereka antara 10 hingga 15 tahun.
    "Kalian tentu suka buah rambutan?" tanya Pak Doni spontan.
    "Tentu, kek!" Wah mimpi apa nih kok tiba-tiba kakek berbaik hati dengan mengundang pesta rambutan!" celetuk Rusli sambil tertawa kegirangan.
    Disanjung begitu Pak Doni mengangguk-angguk. "Sudahlah, tak usah banyak bicara. Ayo kita sikat rambutan ini rame-rame!"
    Tanpa diperintah dua kali, Amang, tomi dan Ida berebut cepat memilih butiran yang merah tua dan besar. Anak-anak lahap makan buah segar itu. Sesekali mereka berceloteh dan saling ledek. Lalu pecah tawa ria, yang diikuti senyum cerah Pak Doni. Bu Doni keluar membawa baki berisi 6 gelas es sirup.
    "Manis, nak?" tanya Bu Doni sambil berusaha menyembunyikan rasa penasaran.
    "Wah, sering-sering nek bikin pesta kejutan begini. Asyik, lo!" ujar Mira.
    "Boleh juga! Tapi ada syaratnya!" jawab Pak Doni serius.
    Dipandanginya mata satu per satu anak-anak yang duduk di lantai teras rumahnya. Serentak anak-anak berhenti mengunyah. Mereka menerka-nerka dalam hati apakah ini semacam jebakan?
    "Syarat, kek?" gumam tomi sambil meringis.
    "Gampang kok syaratnya. Jika kalian makan 10 butir rambutan, berarti ada 10 biji rambutan. Pesta buah bulan depan kita lanjutkan jika kalian bersedia mencari biji buah sebanyak yang kalian makan. Cari dimana saja, lalu serahkan pada kakek!"
    Anak-anak tercengang. Ada perasaan menyesal setelah makan banyak-banyak. Tiap anak rata-rata makan 25 butir rambutan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali tertawa-tawa. Tidak sulit mencari biji rambutan, berapapun banyaknya. Bukankah sekarang lagi musim rambutan?
    Bulan berikutnya Pak Doni tidak ingkar janji. Sekeranjang buah salak ditenteng pulang. Anak-anak sudah menunggu. Cuma yang agak mengagetkan Pak Doni ganti membawa buah salak.

    BalasHapus
  93. Nama: Jennifer
    Kelas:11.P5
    Cerpen

    Nama asliku Nara. Tapi semenjak lulus SMA aku lebih suka dipanggil Dara.
    Haha, tertawalah. Jika itu kalian anggap lucu.
    Tapi aku takkan tertawa. Karena bagiku itu bukan hal yang patut untuk ditertawakan.
    Kalian pasti takkan percaya kalau ayahku adalah seorang pelatih basket yang ganteng dan macho. Jago main trek-trekan waktu jaman SMA. Dan mata keranjang pula.
    Beliau berharap aku bisa seperti dirinya yang terlahir untuk dipuja banyak gadis, pandai berolahraga, dan keren. Tapi kenyataannya berbeda 180 derajat. Aku justru lebih mirip ibu yang anggun dan pintar menari daripada ayah yang dikenal playboy cap kadal semenjak beliau SMA.
    Ayah memaksaku untuk ikut klub olahraga. Beliau mengajariku basket, voli, sepak bola, takraw… Tapi aku tak pernah bisa. Aku lebih nyaman ikut praktek memasak bersama ibu daripada memaksakan diri berpanas-panas ria di ekskul pecinta alam. Itu bukan duniaku.
    Duniaku berbeda…
    ****
    Perasaan tak bisa diandalkan muncul saat aku kelas 3 SMP. Ayah mulai putus asa mengajariku berbagai macam hal berbau cowok setelah aku gagal melakukan tendangan bahkan penalti sekalipun. Beliau mulai menjulukiku lemotlah, lembeklah, mirip cewek, tidak bisa dibanggakan…
    Dan semua kata-katanya itu berpengaruh pada perkembangan jiwaku. Akibatnya lama-lama aku mulai menganggap diriku ‘wanita’. Dan semenjak saat itu pula aku mulai berteman dengan cewek-cewek yang lebih bisa menerima keadaanku ketimbang geng cowok yang hanya bisa memandangku jijik dan takut.
    Menginjak bangku SMA aku mulai mengenal bedak, maskara, dan segala macam alat tempur khusus cewek. Dimulai dari bedak tipis yang kupakai, lama-lama aku kebablasan sampai berani memakai lipgloss bahkan eyeshadow. Kejantananku lenyap seiring waktu. Bahkan aku mulai melupakan kodratku yang sebenarnya.
    Bahwa aku seorang lelaki…
    Lalu sosoknya muncul mewarnai hidupku. Yuna. Dia tetangga depan rumahku. Anaknya manis dan lembut. Dia gadis periang yang mau menerimaku apa adanya. Bahkan dia dengan baik hati mau mendengarkan semua keluh kesahku sebagai orang dari kelompok minoritas. Dia yang pertama kali aku beritahu saat aku punya cowok bernama Julian. Bagaimana kencan pertamaku dengannya, bagaimana perasaanku saat itu. Semuanya. Semuanya kuceritakan. Dia bahkan bilang kalau cowokku keren. Yuna adalah sahabatku yang terbaik. Cuma dia yang bisa mengerti aku. Cuma dia…

    BalasHapus
  94. Suatu siang, saat kami sedang rujakan di depan rumah Yuna.
    “Kamu pernah sadar akan satu hal, Ra?” ucapnya sambil melirikku.
    “Hal apa?” tanyaku.
    Yuna tersenyum.“Kamu ganteng lho kalau aku boleh jujur.”
    Aku tertawa hambar.”Sayangnya aku lebih suka dibilang cantik daripada ganteng.”
    “Kamu pernah terpikir untuk berubah sesuai takdir?” Yuna mulai menanyakan sesuatu yang selalu aku hindari. Aku tak pernah suka topik ini. Sampai kapanpun.
    “Takdir? Takdir yang mana maksud kamu?” Aku berhenti mengunyah nanas.
    “Ya takdir yang bilang kalau kamu itu cowok.”
    Amarahku meledak. “Aku bukan cowok, Na!!! Aku cewek!!!”
    Kukibaskan garpu yang tadi kupegang dan mulai menghujani Yuna dengan kata-kata kasar yang tak pantas didengar telinga. Yuna memandangku dalam diam. Jujur, aku kecewa padanya. Yuna yang selama ini kuanggap satu-satunya orang yang paling mengerti aku ternyata sama saja dengan yang lain. Dia sama dengan ayah yang selalu menganggap kalau aku itu COWOK!!!
    Padahal BUKAN!!!
    Aku itu cewek!!! Aku bukan cowok!!!
    Aku pergi dari halaman rumah Yuna dengan emosi yang meluap bak gunung api siap meletus. Yuna berlari. Dia memegang tanganku dan memaksaku untuk berbalik. Dia bilang.
    “Aku cuma pengen liat kamu berubah, Ra. Cuma itu. Kamu tahu kenapa?” Yuna terdiam sesaat. Ditatapnya mataku lembut. Lembut sekali. Seperti mata malaikat…
    “Karena aku sayang kamu.” Yuna meninggikan badan mungilnya sejenak untuk mengecup pipiku lalu berlari pergi.
    Aku tergugu. Aku tenggelam dalam kebisuan semesta.

    BalasHapus
  95. Desir-desir hangat di hatiku bersarang kian hebat dari hari ke hari. Desir yang lebih lembut dari angin. Desir yang lebih manis dari gula. Aku selalu merasa bingung kala desir itu hadir. Karena ia hadir saat aku menatap Yuna. Bukan memandang Julian.
    Ada apa denganku? Ada apa?
    Sudah satu minggu aku tak bertegur sapa dengan gadis mungil itu. Ada rindu yang menyergap dalam diam. Dan aku tak bisa memungkirinya. Aku selalu merasakan hal itu setiap aku mengintip Yuna dari jendela kamarku. Seperti pagi ini. Aku hanya bisa memandang Yuna yang sedang menyiram bunga dari balik gorden kamarku yang kelabu. Selalu. Setiap pagi.
    Lalu tiba-tiba perasaan itu muncul. Secara tersembunyi. Dan rahasia. Tanpa aku sadari darimana asalnya dan bagaimana caranya. Yang jelas aku merasa…
    Aku merasa jiwa laki-laki dalam diriku mulai bangkit.
    Perlahan… Dan perlahan…

    BalasHapus
  96. Kubulatkan tekadku untuk berubah total keesokan harinya. Kubuang semua peralatan make-up ku, kubakar semua gaun malam yang pernah kubeli dan kuputuskan Julian.
    Sudah saatnya aku memulai hidupku yang baru. Sekarang. Saat ini. Sebagai seorang lelaki yang sebenarnya. Sebagai seorang laki-laki yang ingin berubah demi wanitanya.
    Ya. Aku harus berubah!!!

    Semua mimpi untuk memberi Yuna kejutan tentang perubahanku porak poranda dalam hitungan detik. Saat aku pulang ke rumah dan menemui secarik kertas tertempel di depan pintu kamarku, aku merasa hatiku ikut tertelan kedalam badai tak bernama saat aku membacanya.
    Ayah dan Ibu pergi ke rumah sakit. Keluarganya Yuna kecelakaan.

    BalasHapus
  97. Yuna dan keluarga berangkat keluar kota tadi pagi. Mobil yang mereka tumpangi menabrak bis saat berbelok di tikungan. Adik Yuna meninggal saat itu juga. Orangtuanya mengalami patah tulang. Dan Yuna-ku?
    Yunaku buta…
    Aku nyaris tak mampu berdiri saat melihat Yuna terisak dengan mata tertutup perban. Aku ingin mendekat, tapi aku takut menangis di depannya. Aku sudah berubah. Dan aku bukan laki-laki cengeng.
    Dengan berat hati terpaksa kutinggalkan gadisku yang tengah berselimutkan duka dalam linangan air matanya hari ini. Tapi aku berjanji. Aku berjanji akan kembali jika aku sudah siap menerima keadaan.
    Menerima kalau Yunaku tak lagi dapat melihat dunia.
    ****
    Hidupku hancur.
    Mengapa? Mengapa di saat aku merasa ada cahaya yang mampu menuntunku berubah sesuai takdir, Tuhan justru mengaburkan cahaya itu dan membuatku kembali kehilangan pegangan untuk berjalan. Tuhan telah mencabut satu-satunya cahaya yang membuatku berani berubah. Yunaku…
    Jujur, aku ingin sekali membantunya. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku… aku bahkan tak pernah menjenguknya semenjak dia ada di rumah sakit hari itu. Aku tak berani. Aku terlalu pengecut…
    Lalu pagi ini, entah datang dari mana bisikan itu. Tapi yang jelas aku menemukan, aku menemukan sebuah cara agar gadisku bisa melihat warna lagi.
    Aku keluar rumah dengan langkah bisu. Hanya guguran daun dan Tuhan yang tahu benda apa yang kubawa untuk menyelamatkan Yuna. Aku ingin mata bidadarinya bisa melihatku lagi. Aku ingin…

    BalasHapus
  98. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  99. Aku membuka pintu kamar Yuna dan masuk perlahan. Kudengar Yuna berkata. “Nara, itu kamu kan?”
    Aku mendesah selemah desauan angin. “Iya. Ini aku.”
    Dia menggapai-gapai ke segala arah dan aku mengulurkan tangan. Yuna menyambut tanganku dengan dahi mengernyit.
    “Suara kamu kok beda? Kamu berubah?”
    Kuremas tangannya dengan lidah kelu. “Iya. Aku berubah.”
    Yuna reflek memeluk tubuhku sambil menangis. Dan aku kembali merasa desir itu kembali meraja disetiap pembuluh darahku. Membuatku limbung.
    “Aku seneng kamu mau berubah. Seneeeng banget.” ujar Yuna. Kurengkuh tubuh mungilnya perlahan dan membiarkan Yuna menumpahkan air matanya didadaku sampai bajuku basah. Gadis itu terasa rapuh dalam pelukanku. Rapuh seperti kayu lapuk…
    “Yuna, seandainya aku bisa membantumu melihat lagi. Menurutmu apa yang harus aku lakukan? Aku ingin kamu melihat aku berubah. Harus. Kamu harus melihat lagi.”
    Yuna menggeleng dengan senyum duka. “Terimakasih, Ra. Tapi itu nggak mungkin.”
    “Kenapa?” kataku dengan ekspresi sedih yang sempurna.
    “Nggak ada harapan lagi. Kecuali ada orang yang mau mendonorkan matanya untukku. Tapi itu nggak mungkin…”
    “Aku bisa bantu kamu melihat lagi.”
    “Sudahlah, Ra.. aku…”
    Kututup bibir buah cerinya dengan jari telunjuk. Aku berbisik. “Ssst… aku nggak bercanda. Aku serius.”
    “Tapi bagaimana caranya?” Yuna mengernyit bingung.
    Kukeluarkan sebuah benda dari balik punggungku perlahan. Benda yang jadi rahasia aku, Tuhan, dan guguran daun pagi itu.
    Sebuah pisau dapur.
    Aku menggenggamnya erat. Erat sekali. Seperti berlian yang takut dirampok orang. Tapi aku masih bingung. Bingung. Bingung…
    Lalu bisikan aneh itu pun kembali merajam hati terkecilku.
    Apa yang kau tunggu, hah? Dasar bodoh!!! Cepat lakukan. Cuma ini yang bisa membantu gadismu melihat lagi. Apa lagi yang kau tunggu?? Dasar tolol, tolol, tolol!!! Cepat lakukan !!!
    Hati kecilku mendadak bimbang. Oh, aku kalut…
    Tapi ini demi Yuna, hatiku kembali berontak. Ini demi malaikatku. Aku harus kuat. Aku harus melakukannya. Aku …
    Yuna terenyak. “Kok diem Nar…a… ”
    Lalu tanpa pikir panjang segera kutancapkan pisau dapur itu ke dada Yuna kuat-kuat.
    JLEB.
    Dan kalimat yang dia ucapkan pun terputus. Darahnya memancar ke mukaku. Terasa amis dan hangat. Aku bisa merasakan jantung kecil Yuna bocor. Tubuhnya berontak dalam dekapanku. Seperti ayam yang tak rela nyawanya dicabut secara paksa. Kubungkam mulutnya cepat dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Yuna meregang nyawa selama beberapa detik.
    Ada senyum senang terkembang di bibirku saat guncangan tubuh Yuna melemah.
    Hahahahahahahaha….
    Tawaku bergema dalam lorong-lorong dosa yang sunyi dan busuk.
    Ada ribuan setan berpesta pora disana. Mereka berteriak. Bernyanyi. Merayakan kebodohan anak manusia yang terbutakan oleh cinta.
    Aku. Nara yang tolol.
    Misiku berhasil. Misiku berhasil. Aku bergumam dengan bodohnya.
    Sekarang Yuna bisa melihat dunia lagi. Dia bisa menatap pelangi. Menatap bintang. Menatap bulan. Menatap aku…
    Dia bisa terbang menatap semuanya.
    Aku yakin Yuna senang.
    “Iya kan, Na ?” tanyaku.
    Yuna membisu dalam dekapanku.
    Kukecup Yuna dengan segenap perasaan cinta yang menyesaki dada.
    Aku menangis dalam genangan darah bidadariku.
    Aku tenggelam dalam pusaran penyesalan tak berujung.

    BalasHapus
  100. Cerpen(bagian 2)

    "Siap menerima tantangan?" tanya Pak Doni meniru iklan di televisi.
    Anak-anak jelas tertantang. Salak pondoh itu pasti manis sekali. Legit dan harum. Mereka mau saja memenuhi syarat yang telah disepakati. Maka begitulah berturut-turut. Setiap bulan Pak Doni menyisihkan uang pensiunnya untuk membeli buah-buahan berbiji.
    Sepetak tanah di belakang rumnah Pak Doni telah disiapkan unbtuk membuat persemaian. Biji buah yang disebarkan, ada pula yang ditanam di dalam polibek. Tanah dipupuk,dipetak-petak, dan diberi catatan-catatan penanaman. Seperti petugas pertanian. Ya, Pak Doni sedang menyiapkan bibit buah-buahan. Tak sulit pula mengajak anak-anak membantu.
    "Nah, anak-anak bulan ini pesta buah terakhir. Kini kegiatan anda menguji ketahanan kaki dan tubuh!" bujuk Pak Doni kepada anak-anak yang terlihat agak kecewa.
    "Untuk apa, kek? Menanam bibit?" tanya Rusli.
    "Tepat sekali!" ujarnya sambil mengelus kepala anak-anak yang ada di dekatnya. "Nenek sudah menyiapkan makan siang dengan goreng ikan mas, sayur lodeh, sambal terasi, dan minuman kelapa muda. Nanti kalau kita sudah sampai ke ujung desa."
    Anak-anak sudah menyiapkan cangkul. Lima belas orang anak kini. Cukup banyak untuk mewujudkan cita-citanya. Pak Doni tidak punya kebun, atau pekarangan yang luas. Jadi, bibit-bibit itu ditanam di kebun orang. Di pinggir pekarangan, di pematang, tepian sungai, dan tentu juga di lereng perbukitan belakang desa. Pak Doni telah minta izin kepada pemilik lahan. Kegiatan itu dlakukan tiap hari minggu sampai semua benih dan bibit disebarkan. Anak-anak ternyata menikmati acara ini, sebab mereka dapat berpesta masakan Bu Doni yang dikenal sangat lezat!
    Begitulah cara Pak Doni berusaha menanam kebaikan. Ia tidak mengharapkan imbalan dan pujian. Orang-orang kagum akan keluhuran budi Pak Doni.
    Kelak jika desa itu menghijau dengan pohon buah-buahan, panen melimoah, dan nama desa menjadi terkenal, orang tentu tak lupa akan Pak Doni. Sayangnya orang seperti Pak Doni ternyata tidak banyak.ak.

    BalasHapus
  101. Nama : Basilius Jefri WInardi
    Kelas : XI P 5
    No : 09

    Naskah Cerpen:

    Anak Cacat yang Terabaikan

    Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika Boni mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Boni harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.
    Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”
    biasa sambil Seperti membawa sapu lidi, ibu menBonitiku, mungkin juga siap memukulku jika Boni membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja Boni malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.
    ”Iya Bu, tapi Boni lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
    ”Eh… ga usah alesan.”
    Kalau sudah begini Boni, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.
    ”Bu, saya bener-bener cape.”
    ”Kamu tu ya, disuruh gitu aja nggak mau.”
    ”Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”
    ”Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.
    Tak pantas Boni menyebutnya Nenek Lampir. Bagaimanapun dia seorang wanita yang telah rela mengadungku sembilan bulan, melahirkanku dengan bertaruh nyawa, dan kini harus membesarkan anak cacat.
    ”Kenapa kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo Boni yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya Boni juga anak Ibu.”
    ”Mau kamu tu apa ? Hidup kita itu lagi susah. Apalagi kamu kayak gini. Emang apa kata orang nanti. Udah miskin, punya anak cacat lagi.”
    ” Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”
    ”Mana ayahmu yang penggangguran itu. Dia ngga pernah datang.”
    Boni menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuBoni, tapi nampak makhluk dari planet lain.
    ”Ya, Boni ngerti semuanya sekarang. Boni pergi!”
    Boni berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengangkat sapu. Ingin sekali Boni berlari sekencang kilat. Tapi apa dayBoni. Boni hanya punya satu kaki. Akibat kecelakaan itu. Ketika Boni berlari karena dimarahi ibu, Boni tertabrak mobil. Kaki kiriku diamputasi. Kini, hanya tongkat kecil sebagai teman membantuku berjalan. Melangkah, menapaki setiap kehidupan.
    Teriakan ibu membuatku berpikir lebih dalam tentang arti hidup. Boni pernah melihat jurang sedalam tiga ratus meter. Begitu mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi di dalam rumah. Dengan gitar kecil pemberian sahabatku, Eri, sebelum ia pergi melanjutkan sekolah di tanah kelahirannya, Bukittinggi, Sumatra Barat, Boni menjadi pengamen remaja yang malang. Anak cacat yang tak pernah diurus orang tuanya.
    ” Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa Boni butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan Boni benci Ibu, hanya saja Boni sadar Ibu tak suka pada Boni. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,” pikirku.

    BalasHapus
  102. Boni menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, Boni bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Boni menerima saja. Kalau dibilang marah. Boni sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.
    Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Boni hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin Boni akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Boni tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.
    Tibalah Boni di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.
    Hidupmu indah
    bila kau tahu,
    jalan mana yang bena…ar
    harapan ada
    harapan ada
    bila kau percaya
    Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.
    ”Terima kasih, Bi”
    ”Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”
    “Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”
    ”Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”
    ”Ya Bi. Assalamu’alaikum.”
    ”Wa’alaikumusssalam.”
    Boni jadi bahagia setelah bertemu Bi Minah. Bukan karena Boni dapat uang dan makanan, tapi Boni bisa bertemu dengan orang yang sangat menyayangiku. Bi Minah punya tiga anak di desa. Semuanya sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Saat teristimewa baginya adalah berkumpul dengan semua anggota keluarga. Namun malangnya, ia harus berjuang sendiri setelah suaminya meninggal akibat kecelakaan tujuh tahun yang lalu ketika mengantarkan Bi Minah ke pasar. Peristiwa itu selamanya tak bisa dilupakan. Sama halnya dengan kejadianku saat itu. Bedanya, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tetap hidup.Walau kaki kiriku harus diamputasi. Makanya, Bi Minah sangat sayang pada Boni.

    BalasHapus
  103. Sambil makan, Boni mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Boni sadar bahwa itu bukan duniBoni sekarang.
    ”Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti Boni akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,” khayalku mulai bergerak cepat.
    Tiba-tiba, ”Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.
    Khayalanku hilang seketika. Gertakan Olen membuat suasana sepi menjadi ramai. Olen langsung saja menyantap makanan. Ia memang seperti itu. Walau kelBoniannya kadang kurang mengenakkan, tetapi hatinya sangat mulia. Apalagi dengan temannya yang sedang tertimpa musibah. Jika ia seorang prajurit, pasti ia sudah berada di barisan paling depan. Dia berbeda nasib denganku. Hubungan dengan orang tuanya sangat dekat. Sekarang Olen berumur 18 tahun. Ia duduk di kelas 2 SMA Nusa Bakti. Olen mengamen hanya untuk bermain. Sedangkan bagiku, mengamen adalah mata pencaharian. Kalau sedang malas ngamen, Boni jualan koran atau jadi tukang bersih kaca mobil di jalan.
    ” Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ” kata Olen.
    ”Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”
    ”Beneran ? Gue makan ya.”
    ”Yoi!”
    Tanpa cuci tangan, Olen langsung menyantap semua makanan. Tak peduli ada kotoran atau tidak yang menempel. Padahal, ia selalu bermain di jalanan. Entah berapa kali ia sakit perut gara-gara ulahnya ini. Walau mulutnya penuh dengan nasi, tetap saja ia menyempatkan diri untuk ngobrol.
    ”Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”
    ”Dikit, nih cuma lima ribu.”
    Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku. Kebisaannya ini paling kubenci. Boni tahu, Boni memang sangat butuh uang, tapi tidak mungkin Boni tega mengambil hasil jerih payahnya seharian.
    “Buat lu.”
    “Apaan ni. Ngga usah.”
    “Gue marah ni kalo lu nggak mau.”
    “Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”
    ”Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”
    ”Ah masa. Kok makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”
    ”Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue nggak dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi nggak sempet sarapan.”
    ”Trus napa nggak langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”
    ”Buat ketemu elu-elu pade. Emang nggak kangen, kalo gue nggak ada.”
    ”Kangen ama nenek moyang lo!”
    ”Ni ambil !” Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku.
    ”Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”
    ”Ya udah deh. Gue ngga maksa. Tapi kalo lu butuh, ngomong gue aja ye.”
    “Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”
    “Hati-hati.”
    ”Da…”
    Boni pun meninggalkan Olen yang masih makan. Sebenarnya Boni ingin menceritakan masalahku dengannnya. Namun, Boni berusaha hidup lebih dewasa dalam masalahku sendiri. Tak tahu kapan badai ini surut. Boni hanya yakin, Boni bisa hadapi semua.

    BalasHapus
  104. Naskah Drama (bagian1)

    Pak Doni merupakan pensiunan guru hidup sederhana dengan istrinya. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal terpisah di luar kota.
    Pak Doni tidak mampu menyumbang uang ke panti asuhan, rumah ibadah, dan sebagainya. Tetapi Pak Doni tetap mencari cara untuk menanamkan kebaikan.

    Pada suatu hari, Sesudah Pak Doni mengambil uang pensiun, ia membawa sekeranjang rambutan yang berwarna merah, ranum, dan manis.

    Bu Doni : "Banyak sekali pak? Untuk siapa?"
    ( penasaran )
    Pak Doni : "Ya, untuk kita berdua!" (sambil tersenyum)
    Bu Doni : "Seminggu tidak bakal habis. Mana gigi sudah tidak utuh lagi!" (
    lanjutnya)
    Pak Doni : "Gampang!"
    Bu Doni : "Lo? Maksud bapak?"
    Pak Doni : "Panggil saja anak-anak tetangga itu. Kita undang mereka untuk makan rambutan. Apa salahnya? Selama ini pasti mereka anggap kita ini suami istri cerewet. Karena banyak melarang dan mengomeli apa saja yang mereka kerjakan!" (balasnya)

    Siang itu setelah makan bersama istrinya, Pak Doni membawa semua rambutan itu ke teras rumah. Ia lalu memanggil anak satu per satu.

    Pak Doni : "Kalian tentu suka buah rambutan?" (dengan spontan)
    Rusli : "Tentu kek! Wah mimpi apa nih kok tiba-tiba kakek berbaik hati dengan mengundang pesta rambutan!" (celetuk sambil kegirangan)
    Pak Doni : "Sudahlah, tak usah banyak bicara. Ayo kita sikat rambutan ini rame-rame!" (mengangguk-angguk)

    Tanpa diperintah dua kali,Amang,Tomi,dan Ida berebut cepat memilih butiran merah tua dan besar. Anak-anak lahap makan buah segar itu. Sesekali mereka berceloteh dan saling ledek. Lalu pecah tawa ria, yang diikuti senyum cerah Pak Doni. Bu Doni keluar membawa baki berisi 6 gelas es sirup.

    Bu Doni : "Manis nak?" (tanya sambil menyembunyikan rasa penasaran)
    Mira : "Wah, sering-sering nek bikin pesta kejutan begini. Asyik, Lo!"
    Pak Doni : "Boleh juga! Tapi ada syaratnya!" (serius)

    BalasHapus
  105. Rumahku cukup mungil. Kami tinggal berlima. Ibu, dua adik, dan ayah tiriku. Saat Boni berumur 7 tahun. Ibu minta cerai dari ayah kandungku. Alasannya karena Ayah sering mabuk dan main judi. Utangnya pun melimpah. Akhirnya Ibu minta cerai. Setelah itu, jarang sekali Ayah mengunjungiku. Tidak pernah tanya kabar. Apalagi saat kecelakaan, Ayah seperti menghilang. Boni sempat menanyakan keberadaan Ayah pada beberapa anggota keluarga. Namun, mereka tidak ada yang tahu Benarkah Ayah tak mau lagi melihatku. Apakah ia sangat menyesal dengan kondisiku yang cacat. Mungkin Boni memang memalukan.
    Boni pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.
    ” Mana uangnya ?” tanya Ibu saat Boni baru tiba di depan pintu.
    ” Ini,” katBoni sambil mengeluarkan uang dari sBoni.
    ”Segini!”
    ” Boni cape, Bu.”
    “Bilang aja males. Nggak usah buat alesan.”
    ”Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”
    Tanpa pikir panjang Boni segera masuk kamar. Ruangan kecil ukuran 3 meter x 3 meter. Dulu kamarku ini adalah gudang. Setelah Adi dan Tani, adik tiriku semakin besar, kamarku diberikan untuk mereka sehingga Boni harus membersihkan gudang sebelum menempatinya menjadi kamar. Atapnya berlubanng dengan diameter dua sepuluh centimeter. Makanya, kalau hujan Boni harus siapkan ember. Lantainya beralaskan tikar bambu. Tanpa bantal dan selimut. Hanya sarung robek yang setia melindungiku dari dingin sekaligus kain untuk solat walaupun itu jarang kulBonikan. Bukan karena Boni tidak mau mengerjakan perintah Tuhan. Boni sadar Tuhan pasti selalu melihatku. Akan tetapi, Boni tidak tahu bagaimana caranya solat apalagi baca Al Quran yang benar. Orang tuBoni belum pernah mengajari. Boni belajar agama dari buku-buku bekas di pasar loakan, kertas-kertas yang beterbangan di jalan atau tanya teman yang lebih pintar.
    Pintu kututup rapat-rapat. Lalu tidur dengan mata terbuka dan perut keroncongan. Boni mencoba mencari cara untuk lepas dari teriakan ibu. Bagaimanapun juga Boni adalah anaknya, bukan musuhnya. Ya, meskipun Ibu telah mempunyai anak dari laki-laki lain yang telah menjadi ayah tiriku. Ayah baruku ini sama dengan Ibu. Bahkan lebih ganas. Penderitaanku bertambah karena Adi dan Tani sangat manja. Mereka selalu minta barang-barang mewah. Hidup boros layaknya orang kaya yang serba ada. Padahal, ayah tiriku hanya supir angkot. Boni pernah minta uang padanya. Dan itu untuk pertama sekaligus terakhir. Karena ia marah-marah. Katanya, Boni hanya bisa menyusahkan orang saja. Perkataannya itu membuat ceriBoni luluh lantak. Hentakan hebat berhasil merobohkan tiang-tiang ketegaranku. Sejak saat itu, Boni tak lagi minta uang. Boni berusaha mencari pekerjaan. Tapi untuk seorang anak cacat sepertiku, adakah pekerjaan yang bisa kulBonikan layaknya orang normal? Hanya mengamen yang ada dalam otak. Meski hasilnya tidak seberapa, Boni masih punya banyak teman yang bisa membantu. Betapa tersiksa dengan keadaanku sekarang. Hidup satu rumah bersama monster-monster yang setiap saat bisa mematahkan sel-sel tubuh tawamu.Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.

    BalasHapus
  106. Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.
    ”Prakk..!” Ibu membuka pintu kamar dengan keras.
    ” Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”
    ” Lo kok Boni lagi.”
    ”Kamu mau dipukul, ha !”
    ”Iya Bu.” Tiga detik. Boni menyesal mengatakan itu.
    ”Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”
    Boni cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.
    ”Mau dipukul lagi!”
    ”Ya. Pukul aja. Boni dah kebal dengan pukulan itu. Nggak mempan!”
    ”Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.
    Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan Boni yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Boni duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.
    ”Boni harus pergi sekarang. Nggak mungkin Boni hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”
    Kuputuskan untuk pergi. Semua baju Boni masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Boni melihat situasi. Suasana sepi. Kamarku memang terletak paling belakang. Itulah kenapa walaupun Boni berteriak belum tentu mereka dengar. Orang-orang sedang nonton TV. Boni keluar lewat jendela dapur. Bebaslah jiwa dari penjara kegelapan. Dunia tersenyum bangga padBoni.
    ”Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Boni tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, Boni rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada Boni.”
    Jam dinding selalu kubawa kalau pergi jauh. Walau anak jalanan tapi Boni kenal waktu. Setiap detik hidup harus bernilai bagiku. Hidup hanya sekali. Tak peduli apa kata orang tentangku. Boni harus tetap melangkahkan kaki. Mungkin saat ini Boni gagal dalam mencari kebahagiaan. Namun, tidak untuk besok karena Boni yakin bahagia akan datang menghampiri. Boni akan memenangkan pertempuran ini.

    BalasHapus
  107. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  108. Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, Boni melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid Boni disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.
    ”Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”
    ”Saya dari sana,” tanganku menunjuk arahku datang.
    ”Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” Kakek melirik jam dinding yang kubawa.
    ”Saya….saya dari sana,” tanganku kembali menunjuk arah yang sama.
    ”Dari sana? Sananya mana ?”
    ”Anu, saya….saya sendiri Kek.”
    Akhirnya kami duduk di mimbar masjid. Serangkaian kisahku terukir. Kakek itu terlihat sangat antusias mendengarkan cerita Boni. Beberapa kali ia bertanya. Aneh, meski baru kenal kami sudah sangat akrab. Ia jelmaan orang yang selama ini Boni tunggu. Orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah hidupku. Tak pernah kutemui orang seperti kakek ini. Begitu bijak ia memberi nasehat.
    ”Siapa namamu?”
    ”Saya Toto Iskandar.”
    ”Lalu apa yang akan kau lBonikan sekarang ?” tanya Kakek.
    ”Boni tidak mau menjadi air yang mengalir. Boni ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah Boni bertanya Kek, apa arti hidup itu?”
    ”Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”
    ”Lalu apa itu bahagia ?”
    ”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka memerlukanmu.”

    BalasHapus
  109. Naskah drama(bagian2)

    Tomi :"Syarat kek?" (gumam sambil meringis)
    Pak Doni: "Gampang kok syaratnya. Jika kalian makan 10 butir rambutan berarti ada 10 biji rambutan. Pesta buah bulan depan kita lanjutkan jika kalian bersedia mencari biji buah sebanyak yang kalian makan. Cari dimana saja, lalu serahkan kepada kakek!"

    Anak-anak tercengang. Ada perasaaan menyesal setelah makan banyak-banyak. Tiap anak rata-rata makan 25 butir rambutan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali tertawa0tawa. Tidak sulit mencari biji rambutan, berapapunb banyaknya. Bukankah sekarang lagi musim rambutan?

    Bulan berikutnya Pak Doni tidak ingkar janji. Sekeranjang buah salak ditenteng pulang. Anak-anak sudah menunggu. Kali ini 9 orang anak sudah berkumpul tanpa diunbdang. Mereka sudah tahu syaratnya. Cuma yang agak mengangetkan Pak Doni mengganti buah salak.

    Pak Doni : "Siap menerima tantangan?" (tanya sambil meniru iklan)

    Anak-anak jelas tertantang. Salak pondoh itu pasti manis sekali. Legit dan harum. Mereka mau saja memenuhi syarat yang telah disepakati. Maka begitulah berturut-turut. Setiap bulan Pak Doni menyisihkan uang pensiunnya untuk membeli buah-buahan berbiji.
    Sepetak tanah di belakang rumah Pak Doni telah disiapkan untuk membuat persemaian. Biji buah yang disebarkan, ada pula yang ditanam di dalam polibek. Tanah dipupuk, dipetak-petak, dan diberi catatan menyiapkan bibit buah-buahan. Tak sulit pula mengajak anak-anak membantu.

    Pak Doni : "Nah, anak-anak bulan ini pesta buah terakhir. Kini kegiatan kita menguji ketahanan kaki dan tubuh!" (bujuknya)
    Rusli : "Untuk apa kek? Menanam bibit?"
    Pak Doni : "Tepat sekali!" (ujarnya)"Nenek sudah menyiapkan makan siang dengan goreng ikan mas, sayur lodeh, sambal terasi, dan minuman kelapa muda. Nanti kalau kita sudah sampai ke ujung desa."

    Anak-anak sudah menyiapkan cangkul. Lima belas orang anak kini. Cukup banyak untuk mewujudkan cita-citanya. Pak Doni tidak punya kebun, atau pekarangan luas. Jadi, bibit-bibit itu ditanam di kebun orang. Di pinggir pekarangan, di pematang, tepian sungai, dan tentu juga di lereng perbukitan belakang desa. Pak Doni telah minta izin kepada pemilik lahan. Kegiatan itu dilakukan tiap hari minggu sampai semua benih dan bibit disebarkan. Anak-anak ternyata menikmati acara ini, sebab mereka dapat berpeswta masakan Bu Doni yang dikenal sangat lezat.
    Begitulah cara Pak Doni berusaha menanam kebaikan. Ia tidak mengharapkan imbalan dan pujian. Orang-orang kagum akan keluhuran budi Pak Doni.
    Kelak jika desa itu menghijau dengan pohon buah-buahan, panen melimpah, dan nama desa menjadi terkenal, orang tentu tak akan lupa akan Pak Doni. Sayangnya orang seperti Pak Doni ternyata tidak banyak.

    BalasHapus
  110. Boni mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, Boni mulai mengerti.
    ” Terima kasih atas jawaban Kakek.”
    ”Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”
    ”Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”
    ”Kamu yakin ?”
    Boni mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah Boni bisa hadapi semua sendiri atau tidak.
    ”Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”
    ”Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”
    ”Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”
    Sebelum masuk masjid Boni berkata, ”Kakek, Boni punya dua permintaan.”
    ”Apa itu?” langkah Kakek terhenti.
    ”Bolehkah Boni memeluk Kakek? Boni tidak punya Kakek selama ini.”
    ”Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”
    Boni segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum Boni temukan. Kasih sayang.
    Inikah bahagia itu Tuhan? Boni berhasil menemukannya. Boni telah menang.
    Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin Boni melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.
    ”Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.
    ”Bolehkah Boni tinggal sehari saja di rumah Kakek.”
    Boni melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.
    ”Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”
    Banjir bandang meluap. Membasahi pipi. Kupeluk lagi tubuh yang sudah renta itu dengan sangat erat. Erat sekali. Kemudian Kakek mengusap rambutku. Seandainya tadi Boni keramas pakai sampo, pasti Boni takkan malu karena rambutku yang berminyak dan bau ini. Tangan yang selalu kurindukan. Kedamaian terus mengalir dalam kalbu. Laksana tanah gersang yang tersiram air hujan. Termasuk amarahku pada Ibu. Tak ingin Boni berpisah darinya. Ternyata Tuhan masih menyayangiku meski Boni semakin jauh dari-Nya.
    Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Ilmu yang selama ini belum pernah Boni dapatkan, dalam waktu singkat telah berada di dekatku. Boni sangat bersyukur. Ini adalah keajaiban Tuhan untukku. Boni memang cacat. Namun, di balik kekuranganku, ada banyak kebahagiaan yang jauh lebih berharga. Mengapa selama ini Boni selalu mengeluh? Betapa bodohnya Boni. Ini bukan Toto Iskandar. Boni harus berubah. Boni masih punya kaki satu untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kedua tangan ini masih bisa kugerakkan.
    Selama dua hari di rumah Kakek, Boni sangat senang. Boni pun tahu kalau nama kakek itu adalah Kakek Soleh. Kakek pernah bercerita bahwa sebelum istrinya meninggal, ia berpesan jika suatu hari Kakek bertemu dengan orang yang sedang susah, ia harus sebisa mungkin membantunya. Karena ingat pesan itulah, Kakek berusaha membantuku. Kakek punya dua anak perempuan. Karena sudah menikah, mereka hidup bersama keluarga sang suami. Kakek juga pernah diajak untuk ikut, tapi ia tidak mau sebab baginya rumah ini adalah tempat terindah. Banyak kenangan manis yang harus ia jaga. Sebisa mungkin Boni berusaha membantu Kakek. Pergi ke ladang. Mencabuti rumput dan menanam palawija. Hasil panennya sebagian dijual untuk membiayai hidup. Kakek juga sering membuat makanan kecil seperti singkong rebus dan lalaban untuk dibawa ke masjid. Biasanya saat kajian rutin. Boni belajar bagaimana ia menjalani hidup.

    BalasHapus
  111. Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, Boni memutuskan untuk pulang. Kembali ke rumah yang dulu kuanggap neraka. Entah kekuatan apa yang mendorongku ke sana. Tiba di gang menuju rumah, Boni tampak ragu. Boni ingat bagaimana Ibu menungguku di pintu sambil berdiri dan bersiap memarahi. Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu kukeluarkan perlahan. Tekad bulat masih tetap kokoh. Langkahku maju. Ingin Boni membuka pintu yang telah lama kutinggalkan. Pintu yang sering Ibu pukul-pukul saat marah. Dengan perasaan was-was Boni menapaki setiap turbin halaman rumah. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Boni langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
    ”Eh, ada apa, Di?”
    ”Elu To. Masih inget rumah ini juga.”
    ”Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”
    ”Apa ! Ibu…….. Boni ikut kalian.”
    ”Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.
    Boni tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang Boni bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak Boni tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.
    * * *
    Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, Boni tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.

    BalasHapus
  112. ”Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, Boni sangat menyayangi Ibu.”
    Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.
    Boni mendengar ia bercerita, ”To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”
    ”DEG”
    ”Apa. Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru Boni dengar barusan.”
    Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Boni pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.
    ”Betulkah cerita ini?” Hatiku mulai bimbang.
    ”Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.
    ”Ibu, kau tetap Ibuku.”
    Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu.
    Jantungku terasa berhenti berdetak. Petir yang menyambar membuatku sejenak tak sadar bahwa Boni masih hidup. Apa yang terjadi? Boni tak paham satupun. Atau Boni sudah sangat paham. Sekarang Boni tahu mengapa Ibu lebih sayang Adi dan Tani yang merupakan anak kandungnya sendiri.
    Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, Boni keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.
    ”Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.
    Walau hanya dengan sebuah tongkat, tapi benda ini sangat membantuku berlari semakin kencang. Beberapa kali Boni jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Boni langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.
    ”Ada apa ini. Tunggu dulu!”
    ”Cepat Dok!”
    Tanpa peduli permintaanya Boni tarik kuat-kuat tangan itu.
    ”Tolong Ibu, kumohon,” katBoni sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.
    Betapa kagetnya Boni. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.
    ”Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang.”
    Dunia tampak gelap. Boni pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.
    Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Boni kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti Boni juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya Boni kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.

    BalasHapus
  113. Skenario Drama

    Narator: Suatu hari di saat pagi yang sangat cerah terlihar seorang anak laki-laki yang mukanya tertekuk muram berasama seorang ayahnya yang sedang memamarahinya habis-habisan

    Ayah: Kamu ini bagaimana sish...?, Kamu harus ingat kamu ini anak laki-laki bukan anak perempuan Nara... Memangnya kamu mau terus-menerus di panggil Dara? hah? Mau?

    Nara: Iy.. Yah... Aku ngerti.... Yah.. Sudah mau masuk nich... Aku pergi dlu...

    *********


    Suatu siang, saat kami sedang rujakan di depan rumah Yuna

    Yuna: Kamu pernah sadar akan satu hal, Ra?
    Nara: Hal apa?
    Yuna: Kamu ganteng lho kalau aku boleh jujur
    Nara: nya aku lebih suka dibilang cantik daripada ganteng.(Tertawa Hambar)
    Yuna: Kamu pernah terpikir untuk berubah sesuai takdir?
    Nara:( di dalam hati: Aduh mulai dech nanyain topik yang paling aku benci)
    (Sambil Behenti menguyah nanas)Takdir? Takdir yang mana maksud kamu?
    Yuna:Ya takdir yang bilang kalau kamu itu cowok
    Nara: (Dengan Amarah mulai Meledak)Aku bukan cowok, Na!!! Aku cewek!!! (Sambil mulai berlari dari tempat tersebut)
    Yuna: Aku cuma pengen liat kamu berubah, Ra (Berlari mengejar Nara dan memegang tangannya)
    Nara: Kamu tahu kenapa? (Sambil memandang mata Yuna dengan tatapan yang lembut)
    Yuna: Karena aku sayang kamu (Sambil meninggikan badan mungilnya sejenak untuk mengecup pipi Nara berlari pergi)

    BalasHapus
  114. Naskah Drama:

    Babak I
    Adegan I

    Boni yang berpikir dan melayangkan anganku bersama ibuku yang sedang menyapu
    Ibu : “To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!” (biasa sambil Seperti membawa sapu lidi, ibu menBonitiku, mungkin juga siap memukulku jika Boni membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja Boni malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.)
    Boni : ”Iya Bu, tapi Boni lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
    Ibu : “Eh… ga usah alesan.”
    Kalau sudah begini Boni, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.
    Boni : “Bu, saya bener-bener cape.”
    Ibu : “Kamu tu ya, disuruh gitu aja nggak mau.”
    Boni : “Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”
    Ibu : “Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” (Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.)
    Adegan II
    Boni : “Kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo Boni yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya Boni juga anak Ibu.” (omelku)
    Boni : “ Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”
    Boni menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuBoni, tapi nampak makhluk dari planet lain.
    Boni : “Ya, Boni ngerti semuanya sekarang. Boni pergi!”
    Boni : “ Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa Boni butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan Boni benci Ibu, hanya saja Boni sadar Ibu tak suka padBoni. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,”( pikirku).

    BalasHapus
  115. Adegan III

    Boni menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, Boni bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian.
    Boni : “Hidupmu indah
    bila kau tahu,
    jalan mana yang bena…ar
    harapan ada
    harapan ada
    bila kau percaya” (senandung lagu yang ku nyanyikan)
    Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.
    Boni : “”Terima kasih, Bi”
    Bibi : “Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”
    Boni : “Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”
    Bibi : “Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”
    Boni : “Ya Bi. Assalamu’alaikum.”
    Bibi : “Wa’alaikumusssalam.”
    Adegan IV
    Sambil makan, Boni mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Boni sadar bahwa itu bukan duniBoni sekarang.
    Boni : “Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti Boni akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,”( khayalku mulai bergerak cepat.)
    Olen : “Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.
    Olen : “Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ”

    Boni : “Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”
    Olen : “”Beneran ? Gue makan ya.”
    Boni : “”Yoi!”
    Olen : “Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”( kata Olen dengan mulut penuh)]
    Boni : “Dikit, nih cuma lima ribu.”
    Olen : “Buat lu.” (Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku.)
    Boni : “Apaan ni. Ngga usah.”
    Olen : “Gue marah ni kalo lu nggak mau.”
    Boni : “Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”
    Olen : “Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”
    Boni : “Ah masa. Kok makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”
    Olen : “Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue nggak dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi nggak sempet sarapan.”
    Boni : “Terus napa nggak langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”
    Olen : “Buat ketemu elu-elu pade. Emang nggak kangen, kalo gue nggak ada.”
    Boni : “Kangen ama nenek moyang lo!”
    Olen : “Ni ambil !” (Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku)
    Boni : “Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”
    Olen : “Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”
    Boni : “Hati-hati.”
    Olen : “Da…”

    BalasHapus
  116. Babak II
    Adegan V
    Boni pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.
    Ibu : “ Mana uangnya ?”( tanya Ibu saat Boni baru tiba di depan pintu.)
    Boni : “ Ini,” katBoni sambil mengeluarkan uang dari sBoni.
    Ibu : “Segini!”
    Boni : “Boni cape, Bu.”
    Ibu : “Bilang aja males. Nggak usah buat alesan.”
    Boni : “Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”
    Adegan VI
    Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.
    ”Prakk..!” ( Ibu membuka pintu kamar dengan keras.)
    Ibu : “ Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”
    Boni : “ Lo kok Boni lagi.”
    Ibu : “Kamu mau dipukul, ha !”
    Boni : “Iya Bu.”( Tiga detik. Boni menyesal mengatakan itu.)
    Ibu : “Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”
    Boni cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.
    Ibu : “Mau dipukul lagi!”
    Boni : “Ya. Pukul aja. Boni dah kebal dengan pukulan itu. Nggak mempan!”
    Ibu : “Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.]
    Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan Boni yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Boni duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.
    Boni : “Boni harus pergi sekarang. Nggak mungkin Boni hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”
    Kuputuskan untuk pergi. Semua baju Boni masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Boni melihat situasi. Suasana sepi.
    Boni : “Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Boni tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, Boni rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada Boni.”

    BalasHapus
  117. Adegan VII
    Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, Boni melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid Boni disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.
    Kakek : “Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”
    Boni : “Saya dari sana,” (tanganku menunjuk arahku datang.)
    Kakek : “Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” (Kakek melirik jam dinding yang kubawa.)
    Boni : “Saya….saya dari sana,” (tanganku kembali menunjuk arah yang sama.)
    Kakek : “Dari sana? Sananya mana ?”
    Boni : “Anu, saya….saya sendiri Kek.”
    Kakek : “Siapa namamu?”
    Boni : “Saya Toto Iskandar.”
    Kakek : “Lalu apa yang akan kau lBonikan sekarang ?” tanya Kakek.
    Boni : “Boni tidak mau menjadi air yang mengalir. Boni ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah Boni bertanya Kek, apa arti hidup itu?”
    Kakek : “Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”
    Boni : “Lalu apa itu bahagia ?”
    Kakek : “”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka memerlukanmu.”
    Boni mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, Boni mulai mengerti
    Boni : “ Terima kasih atas jawaban Kakek.”
    Kakek : “Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”
    Boni : “Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”
    Kakek : “Kamu yakin ?”
    Boni mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah Boni bisa hadapi semua sendiri atau tidak.
    Kakek : “Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”
    Boni : “Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”
    Kakek : “Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”
    Boni : “Kakek, Boni punya dua permintaan.”. (katBoni sebelum masuk ke masjid)
    Kakek : “Apa itu?”.langkah Kakek terhenti.
    Boni : “Bolehkah Boni memeluk Kakek? Boni tidak punya Kakek selama ini.”
    Kakek : “Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”
    Boni segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum Boni temukan. Kasih sayang.
    Boni : “ Inikah bahagia itu Tuhan? Boni berhasil menemukannya. Boni telah menang” (bisikku dalam hati)
    Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin Boni melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.
    Kakek : “Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.
    Boni : “Bolehkah Boni tinggal sehari saja di rumah Kakek.”
    Boni melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.
    Kakek : “Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”
    Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, Boni memutuskan untuk pulang. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Boni langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

    BalasHapus
  118. Boni : “Eh, ada apa, Di?”
    Tani : “Elu To. Masih inget rumah ini juga.”
    Tani : “Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”
    Boni : “Apa ! Ibu…….. Boni ikut kalian.”
    Tani : “Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.
    Boni tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang Boni bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak Boni tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.
    Babak III
    Adegan VIII

    Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, Boni tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.
    Boni : “Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, Boni sangat menyayangi Ibu.”
    Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.
    Ibu : “To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”
    Boni : “DEG”
    Boni : “Apa- Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru Boni dengar barusan.” (pekikku dalam hati )
    Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Boni pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.
    Boni : “”Betulkah cerita ini?” .Hatiku mulai bimbang.
    Ibu : “Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.
    Boni : “Ibu, kau tetap Ibuku.”
    Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu. Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, Boni keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.
    Boni : “Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.
    Beberapa kali Boni jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Boni langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.
    Dokter : “Ada apa ini. Tunggu dulu!”
    Boni : “Cepat Dok!”
    Boni : “”Tolong Ibu, kumohon,”. katBoni sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.

    Betapa kagetnya Boni. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.
    Boni : “ Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang?”
    Dunia tampak gelap. Boni pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.
    Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Boni kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti Boni juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya Boni kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.

    BalasHapus
  119. Nama : Merantia Limas
    Kelas : XI P 5
    Abs : 34

    Cerpen

    Kesempatan Kedua

    Annisa Budiastuti

    "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    "Hei, lagi ngapain kamu?" bentakku begitu melihat adikku di kamar. Kamar milik kami berdua itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.
    Fitri, adikku itu langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.
    "Kamu lagi ngitung uang ya?" tanyaku akhirnya setelah lama kami saling bertatapan. Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.
    "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!" ujarku kesal sambil mencibir ke arahnya. Ia tak bereaksi banyak. Aku pun beranjak mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.
    "Dua ratus ribu! Yeah!" teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya, dia juga tampak sudah selesai menghitung tabungannya. Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?
    "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang deng, lima ratus lagi," ujarnya sedih. Aku giliran tersenyum.
    "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" teriak Ibu dari dapur begitu aku keluar dari kamar. Dengan lemas aku menuju dapur.
    "Udah sore Bu, aku lemes banget," ujarku dengan mimik yang menyedihkan. Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.
    "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," ujar Ibu sambil mengelus kepalaku.
    "Ibu, Dede mau bantu!!!" teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.
    "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" tanggapku ketus.
    "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!" ujar Ibu. Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.

    BalasHapus
  120. Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.
    "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?"tanya Ibu di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.
    Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk. "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" jawabnya setelah lama terdiam.
    "Bener nih?" Ibu menanyakannya sekali lagi, masih ragu akan keputusan gadis kecil itu. Fitri mengangguk yakin.
    "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil?" batinku kesal. Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.

    **

    Hari ini aku tidak punya rencana apa-apa. Pinginnya sih malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi aku tidur lagi. Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji. Adikku itu memang rajin membaca Alquran. Padahal membacanya pun belum lancar masih terbata-bata, sehingga seringkali ia menghentikan bacaannya dan bertanya pada Ibu. Ibu pun dengan sabar membimbing Fitri. Setelah membaca Alquran biasanya Fitri minta diajari menghafal surat-surat pendek. Hingga di umurnya yang baru 7 tahun dia sudah hafal setengah juz dari juz 30. Kurasa itu prestasi yang luar biasa. Karena banyak teman-temanku yang sudah duduk di bangku SMA saja yang hafalannya belum sebanyak Fitri.

    Sementara aku …. Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?

    Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.
    " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "
    "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"gerutuku malas.

    BalasHapus
  121. "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?"tanyanya penuh harap.
    "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"ujarku sambil mengedipkan mata.
    "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," ujarnya tersenyum riang.
    Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.

    Kami pun pergi ke mal. Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya. Aku sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa tujuanku menemani Fitri.
    Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.
    "Ada apa sih?" tanyaku kesal. Kulihat ia membawa satu stel baju muslim.
    "Bagus enggak Mbak?" tanyanya.
    "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede," jawabku.
    "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya". Fitri pun bercerita panjang lebar.

    Duh, aku merasa ”disentil”. Aku jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.
    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:
    "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan

    BalasHapus
  122. udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa," ujarnya polos.

    Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.
    "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok," ujarku menahan haru.
    Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu. Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.

    Selesai membayar, aku hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.
    "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang," ujarnya.
    "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia" kata Fitri mengakhiri ceritanya.

    Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering. "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?" tanyaku.
    "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!" jawabnya bersemangat.
    "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."

    Degh! Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus

    BalasHapus
  123. bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.

    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.

    Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.

    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita. Apakah kita yakin umur kita akan sampai pada Ramadan berikutnya?

    Drama

    Kesempatan Kedua

    Annisa Budiastuti

    Fitri : "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    Hasna : "Hei, lagi ngapain kamu?" (di kamar. Kamar itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.)
    (Fitri,langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.)
    Hasna : "Kamu lagi ngitung uang ya?"
    Fitri : (Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.)
    Hasna : "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!"
    Fitri : (Ia tak bereaksi banyak.)
    Hasna : (mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.)
    Hasna : "Dua ratus ribu! Yeah!" (teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya)
    Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?
    Fitri : "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang deng, lima ratus lagi," (tampak sedih.)
    Hasna : (Aku giliran tersenyum.)
    Ibu : "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" (teriak Ibu dari dapur.)
    Hasna : (Dengan lemas aku menuju dapur.)
    Hasna : "Udah sore Bu, aku lemes banget," (dengan mimik yang menyedihkan.)
    Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.
    Ibu : "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," (sambil mengelus kepala Hasna).
    Fitri : "Ibu, Dede mau bantu!!!" (teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.)

    BalasHapus
  124. Hasna : "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" (tanggapku ketus.)
    Ibu : "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!"
    Fitri : (Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.)

    (Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.)
    Ibu : "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?" (tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.)
    Fitri : (Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk.)
    "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" (setelah lama terdiam.)
    Ibu : "Bener nih?"
    Fitri : (Mengangguk yakin.)
    Hasna : "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil? (Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.)

    **
    (Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.)
    Fitri : " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "
    Hasna : "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"
    Fitri : "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?" (dengan penuh harap.)
    Hasna : "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!" (sambil mengedipkan mata.)
    Fitri : "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," (dengan tersenyum riang.)



    (Sesampainya di mall)
    (Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.)
    Hasna : "Ada apa sih?" (tanyaku kesal)
    Fitri : "Bagus enggak Mbak?" (sambil membawa satu stel baju muslim.)
    Hasna : "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede,".
    Fitri : "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya".

    Hasna : (Merasa tersinggung. Jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.)
    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:
    Fitri : "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa,".

    Hasna : (Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.)
    Hasna : "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok,".
    (Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu.)

    BalasHapus
  125. Hasna : (Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.)

    (Selesai membayar, Hasna hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.)
    Fitri : "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang,".
    Fitri : "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia".

    Hasna : (Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering.)
    Hasna : "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?".
    Fitri : "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!".
    Fitri : "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."










    Aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.

    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.

    Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.

    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita. Apakah kita yakin umur kita akan sampai pada Ramadan berikutnya?

    BalasHapus
  126. Nara: (Berbicara di dalam Hati:Desir-desir hangat di hatiku bersarang kian hebat dari hari ke hari. Desir yang lebih lembut dari angin. Desir yang lebih manis dari gula. Aku selalu merasa bingung kala desir itu hadir. Karena ia hadir saat aku menatap Yuna. Bukan memandang Julian.
    Ada apa denganku? Ada apa? Sudah satu minggu aku tak bertegur sapa dengan gadis mungil itu. Ada rindu yang menyergap dalam diam. Dan aku tak bisa memungkirinya. Aku selalu merasakan hal itu setiap aku mengintip Yuna dari jendela kamarku. Seperti pagi ini. Aku hanya bisa memandang Yuna yang sedang menyiram bunga dari balik gorden kamarku yang kelabu. Selalu. Setiap pagi.
    Lalu tiba-tiba perasaan itu muncul. Secara tersembunyi. Dan rahasia. Tanpa aku sadari darimana asalnya dan bagaimana caranya. Yang jelas aku merasa…
    Aku merasa jiwa laki-laki dalam diriku mulai bangkit.
    Perlahan… Dan perlahan…
    ****

    Didalam kamarnya

    Nara: (berbicara pada dirinya sendiri: Pokoknya aku harus jadi laki-laki.
    Pertama-tama ku bakar ni gaun dan putuskan julian)
    *****

    Ke Esokan harinya

    Nara: Yuna...!!! (terik di kelas Yuna ingin memberikan Yuna kejuatan tetapi Yuna tak ada di kelasnya)
    ****

    Saat dirumah

    Narator: Nara mendapat surat dari keluarganya bahwa tadi pagi saat Yuna dan keluarga berangkat keluar kota tadi pagi. Mobil yang mereka tumpangi menabrak bis saat berbelok di tikungan. Adik Yuna meninggal saat itu juga. Orangtuanya mengalami patah tulang dan Yuna menjadi buta.
    *****

    Saat dirumah sakit

    Yuna:Nara, itu kamu kan?
    Nara: Iya. Ini aku
    Yuna: Suara kamu kok beda? Kamu berubah? (mengapaikan tanganya ke segela arah)
    Nara: Iya. Aku berubah (mengulurkan tangan)
    Yuna: Aku seneng kamu mau berubah. Seneeeng banget(SAMBIL MENANGIS)
    Nara: Yuna, seandainya aku bisa membantumu melihat lagi. Menurutmu apa yang harus aku lakukan? Aku ingin kamu melihat aku berubah. Harus. Kamu harus melihat lagi
    Yuna: Terimakasih, Ra. Tapi itu nggak mungkin.(menggeleng dengan senyum duka)
    Nara: Tapi Kenapa, na?
    Yuna: Nggak ada harapan lagi. Kecuali ada orang yang mau mendonorkan matanya untukku. Tapi itu nggak mungkin…
    Nara: Aku bisa bantu kamu melihat lagi
    Yuna:Sudahlah, Ra.. aku…
    Nara:Ssst… aku nggak bercanda. Aku serius(sambil menutup bibir Yuna),
    Yuna: Tapi bagaimana caranya?

    Narator: Nara mengkeluarkan sebuah benda dari balik punggungnya perlahan. Benda yang jadi rahasia nya, Tuhan, dan guguran daun pagi itu.
    Sebuah pisau dapur.dia menggenggamnya erat. Erat sekali. Seperti berlian yang takut dirampok orang. Tapi dia masih bingung. Bingung. Bingung…

    Nara: (berbisik didalam hati)
    Apa yang kau tunggu, Dasar bodoh!!! Cepat lakukan. Cuma ini yang bisa membantu gadismu melihat lagi. Apa lagi yang kau tunggu?? Dasar tolol, tolol, tolol!!! Cepat lakukan !!!

    Yuna:Kok diem Nar…a…

    Narator: Lalu tanpa pikir panjang segera nara tancapkan pisau dapur itu ke dada Yuna kuat-kuat.

    Dan kalimat yang yuna ucapkan pun terputus. Darahnya memancar ke muka nara. Terasa amis dan hangat. dimana nara bisa merasakan jantung kecil Yuna bocor. Tubuhnya berontak dalam dekapan Nara. Seperti ayam yang tak rela nyawanya dicabut secara paksa. Nara membungkam mulut Nara cepat dan peluk tubuh Nara erat-erat. Yuna meregang nyawa selama beberapa detik.
    Ada senyum senang terkembang di bibir Nara saat guncangan tubuh Yuna melemah.
    Hahahahahahahaha….
    Tawa nara bergema dalam lorong-lorong dosa yang sunyi dan busuk.
    Ada ribuan setan berpesta pora disana. Mereka berteriak. Bernyanyi. Merayakan kebodohan anak manusia yang terbutakan oleh cinta.

    Nara: Sekarang Yuna bisa melihat dunia lagi. Yuna bisa menatap pelangi. Menatap bintang. Menatap bulan. Menatap aku…
    Dia bisa terbang menatap semuanya.
    Aku yakin Yuna senang. Iya kan, Na ?

    Narator:Yuna membisu dalam dekapannya.
    dan nara mengecup Yuna dengan segenap perasaan cinta yang menyesaki dada.
    dia menangis dalam genangan darah bidadari nya, yakni yuna.
    dia tenggelam dalam pusaran penyesalan tak berujung.

    BalasHapus
  127. Cerpen Sosial
    DARNO, FLU BURUNG, DAN POLITIK
    Darno sedang bingung. Tak tahu kenapa tiba-tiba burung nuri miliknya tak mau lagi berkicau, makan pun seperti ogah-ogahan.
    “Kau kenapa?” kata Darno sambil memandangi burungnya tanpa berkedip di teras rumah. Bersiul-siul seakan mencoba menyelami pikiran burungnya. Dahlan, temannya yang duduk di kursi hanya tersenyum sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam melihat tingkah Darno.
    “Ayolah, aku rindu kicauanmu yang merdu”
    “Suaramu itu membebaskanku dari kepenatan, jenuh aku setiap hari melihat suara-suara sumbang di televisi”
    “masak tiap hari yang terpampang di media hanyalah pertengkaran, adu argumen!”
    “Kalaupun mereka bersuara merdu, itu hanya di bibir!, hanya lip service kata anak-anak kuliahan.”

    Kali ini Dahlan tak mampu menyembunyikan kegeliannya dan tertawa terbahak-bahak.
    “Oalah No, lagakmu seperti politisi saja. Lagian kamu dari tadi ngomong sendiri, kalau orang-orang lihat nanti dikira orang gila lho”
    “bicara sama burung kok mirip acara dengar pendapat gitu to?”
    “memangnya jaman sekarang ada orang yang tidak gila?”, balas Darno
    “Cuma burungku ini yang tidak gila”
    “Dia tidak pernah minta tunjangan, nggak pernah merengek minta mercy, nggak pernah mau disogok”
    “Dia sudah senang kalau dikasih makan cukup, itu namanya tahu batas!”
    “Sudah-sudah No, aku nggak ngerti apa yang kamu omongin”
    “Kita kembali pada masalah burung saja”
    “Kamu lihat di TV kan kalau sekarang flu burung sedang mewabah? Jangan-jangan burungmu terinfeksi virus itu No?”
    “Ah..masak sih?”
    “Tapi mungkin juga sih soalnya kemarin ayam pak Karim, depan rumah itu mendadak mati”
    “Trus, berita di TV juga bilang di Jakarta unggas-unggasnya mau dimusnahkan lho No” kata Dahlan sembari bangkit dari tempat duduknya
    “Tidak menutup kemungkinan kan kalau misalnya di kota ini juga akan diberlakukan kebijakan seperti itu.”
    “Tapi...burungku kan nggak salah Lan”
    “Kalau sakit kan harusnya diobati bukan di musnahkan”
    “Kalau menular ke manusia bisa berbahaya No, hasilnya cuma mati. Apalagi obatnya belum ada”
    “Udah No, aku pulang dulu, sudah sore”
    Sepulangnya Dahlan dari rumahnya, Darno termenung sendirian sambil pikirannya menerawang jauh. “Kenapa hidup ini penuh dengan pilihan?”, batin Darno. “Kalau burungku tidak kubunuh berarti aku yang akan mati. Tapi aku tidak tidak ingin hidup dengan mengorbankan burung yang kusayangi. Ah..tapi burungku kan belum tentu terjangkit flu burung. Berarti masih suspect, belum tentu benar-benar terjangkit.

    BalasHapus
  128. Tapi, bukankah orang-orang yang terjangkit flu burung di TV itu juga tidak pernah dikatakan sebagai penderita flu burung sebelum mereka meninggal? Bilangnya Cuma suspect-suspect melulu tapi akhirnya mati juga.”
    Khayalan Darno merambat semakin jauh sampai akhirnya waktu beranjak malam dan Darno pun masuk ke dalam rumah dan tidur dengan membawa berjuta tanya yang takkan pernah terutarakan. Karena, 5 hari kemudian Darno demam tinggi dan akhirnya meninggal, kemudian disusul Dahlan 2 hari sesudahnya........


    Cerpen Sosial

    Narator: Darno sedang bingung. Tak tahu kenapa tiba-tiba burung nuri miliknya tak mau lagi berkicau, makan pun seperti ogah-ogahan.

    Darno: “Kau kenapa?
    sambil memandangi burungnya tanpa berkedip di teras rumah. Bersiul-siul seakan mencoba menyelami pikiran burungnya. Dahlan, temannya yang duduk di kursi hanya tersenyum sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam melihat tingkah Darno.

    Anak-anak kuliahan: “Ayolah, aku rindu kicauanmu yang merdu”
    “Suaramu itu membebaskanku dari kepenatan, jenuh aku setiap hari melihat suara-suara sumbang di televisi”
    “masak tiap hari yang terpampang di media hanyalah pertengkaran, adu argumen!”
    “Kalaupun mereka bersuara merdu, itu hanya di bibir!, hanya lip service.

    Narator: Kali ini Dahlan tak mampu menyembunyikan kegeliannya dan tertawa terbahak-bahak.

    Dahlan: “Oalah No, lagakmu seperti politisi saja. Lagian kamu dari tadi ngomong sendiri, kalau orang-orang lihat nanti dikira orang gila lho”
    “bicara sama burung kok mirip acara dengar pendapat gitu to?”

    Darno: “memangnya jaman sekarang ada orang yang tidak gila?”
    “Cuma burungku ini yang tidak gila”
    “Dia tidak pernah minta tunjangan, nggak pernah merengek minta mercy, nggak pernah mau disogok”
    “Dia sudah senang kalau dikasih makan cukup, itu namanya tahu batas!”

    Dahlan: “Sudah-sudah No, aku nggak ngerti apa yang kamu omongin”
    “Kita kembali pada masalah burung saja”
    “Kamu lihat di TV kan kalau sekarang flu burung sedang mewabah? Jangan-jangan burungmu terinfeksi virus itu No?”

    Darno: “Ah..masak sih?”
    “Tapi mungkin juga sih soalnya kemarin ayam pak Karim, depan rumah itu mendadak mati”
    Dahlan: “Trus, berita di TV juga bilang di Jakarta unggas-unggasnya mau dimusnahkan lho No.

    Narator: sembari bangkit dari tempat duduknya

    Dahlan: “Tidak menutup kemungkinan kan kalau misalnya di kota ini juga akan diberlakukan kebijakan seperti itu.”
    Darno: “Tapi...burungku kan nggak salah Lan”
    “Kalau sakit kan harusnya diobati bukan di musnahkan”.

    Dahlan: “Kalau menular ke manusia bisa berbahaya No, hasilnya cuma mati. Apalagi obatnya belum ada”
    “Udah No, aku pulang dulu, sudah sore”
    Sepulangnya Dahlan dari rumahnya, Darno termenung sendirian sambil pikirannya menerawang jauh.


    Darno: “Kenapa hidup ini penuh dengan pilihan?”
    . “Kalau burungku tidak kubunuh berarti aku yang akan mati. Tapi aku tidak tidak ingin hidup dengan mengorbankan burung yang kusayangi. Ah..tapi burungku kan belum tentu terjangkit flu burung. Berarti masih suspect, belum tentu benar-benar terjangkit. Tapi, bukankah orang-orang yang terjangkit flu burung di TV itu juga tidak pernah dikatakan sebagai penderita flu burung sebelum mereka meninggal? Bilangnya Cuma suspect-suspect melulu tapi akhirnya mati juga.”

    Narator: Khayalan Darno merambat semakin jauh sampai akhirnya waktu beranjak malam dan Darno pun masuk ke dalam rumah dan tidur dengan membawa berjuta tanya yang takkan pernah terutarakan. Karena, 5 hari kemudian Darno demam tinggi dan akhirnya meninggal, kemudian disusul Dahlan 2 hari sesudahnya........


    meliana enda nurdin
    xi ipa 5
    33

    BalasHapus
  129. Nama:Renny Andrean Lesmana
    No.Absen:37


    Cerpen

    Dia Teramat Malang

    Pagi indah sekali di Baturaden.Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon cemara yang kelihatan hijau berkilat.Puncak Gunung Slamet muncul di atas warna-warna hijau kebiruan di alam sekitarnya.Langit sangat bersih,biru cerah,menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan gunung itu.
    Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut.Selesai memotret saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan kea rah saya.Segera saja saya ingin memotretnya.
    Cepat-cepat saya bidikkan lensa ke arahnya.Melalui lensa,Saya melihat seorang wanita berpakaian sangat sederhana,menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya.Tidak terlihat kecerahan dan esegaran di wajahnya yang tampak masih muda.Ia bahkan tampak tidak peduli,memandang ke depan dengan pandangan kosong.Dua kali saya berhasil memotertnya,tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan.
    “Mendoan,Ndoro,masih anget,”katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongannya.Di balik daun pisang penutup baskom itu,terlihat mendoan,tempe yang digoreng dengan tepung,lembut,dengan aromanya yang gurih menimbulakan selera,khas Purwokerto.
    Saya langsung saja mulai menikmati tempe berwarna kehitaman itu sambil berdiam diri.Pada suatu saat,saya merasa wanita itu memperhatikan saya.Saya menengok ke arahnya.Betul saja.Dia memperhatikan saya.
    “Susi,ya?”katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya.
    Saya kaget.Dari mana dia tahu nama kecil saya?Siapa si,dai?Rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.
    “Ayolah Susi,seharusnya Anda tidak melupakan saya,”sambungnya dengan suara lirih memelas,sambil menundukkan kepalanya.
    Saya amati wajahnya dalam-dalam.Saya berusaha mengingat-ingat.Pelan-pelan terasa bahwa saya mengenalnya.Tapi,siapa?
    “Anda lupa saam saya.Tari,Untariah,”lanjutnya dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan.
    Saya tidak dapat berkata-kata.Rasanya seperti ingin menangis.Dia Untariah,teman sekelas saya di SD.Seingat saya dia sangat pintar.Dalam persaingan palajaran dia selalu dapat mengalahkan saya.Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang.Tapi,apa yang terjadi dengannya?
    Lama kami terdiam.Setelah menekan perasaan kuat-kuat,saya akhirnya memecahkan kesunyian dengan mulai bercerita tentang diri saya.Saya katakana bahwa saya sedang mandaki gunung.Kami serombongan sudah dua hari berkemah di situ,di bumi perkemahan milik PERHUTANI.
    “Anda kelihatannya senang,ya?”katanya tiba-tiba memotong cerita saya.”Ada kesempatan meneruskan sekolah,punya banyak teman,punya kesempatan untuk menikmati hidup.”
    “Tapi,saya… rasanya semua sudah hilang..”
    “Anda ingat,Ayah saya seorang tukang pos,”lanjutnya,”Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP.Kami harus berjuang keras untuk hidup.Mula-mula,kami jual rumah untuk modal.Kami pindah ke Desa Memutung,di sini.Kami coba membuka warung.Hasilnya pas-pasan,sementara kebutukan makin besar.Akhirnya,saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencar tambahan.Itu baru kira-kira enam bulan setelah ayah meninggal.”
    Gila, pikir saya.Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya ayangkan akan dapat terjadi.
    “Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karean saya tidak mempunyai ijazah apa-apa.Saya pernah menjadi pelayang restoring di Purwokerto.Tapi,ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar.Saya trepaksa berhenti bekerja da membantu usaha ibu.Tapi,tidak benyak hasilnya.Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu.Dan inilah akhirnya,”katanya sambil menggerakkan kepalanya kea rah baskom mendoan.

    BalasHapus
  130. “Adik-adikmu bagaimana?”tanya saya sesudah diam beberapa saat.
    “Alhamdulillah,sampai sekarang mereka masih bersekolah,tapi mereka juga ikut mencari tambahan,mengumpulkan daun cengkeh yang gugur di sekitar sini.”
    “Ini hari Sabtu,”tiba-tiba Tari memecah kesunyian,”nanti,sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke Taman Ria.Mudah-mudahan saja saya banyak duit,”sambungnya mencoba berseloroh.
    Dia membereskan baskomnya kemudian bersiap pergi.”Saya harus pergi,Susi. Sampai ketemu lagi,”katanya.
    “Hei,tunggu ,Tari.Saya belum bayar,”kta saya sambil menyerahkan semua uang yang ada di saku saya.
    Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke kemah.Hawa dingin terasa segar di badan.Puncak Gunung Slamet mulai menghilang tertutup kabut.Alam Baturaden memang indah,tapi nasib Untariah membayangi batin saya.

    Naskah Drama

    Dia Teramat Malang

    Pagi indah sekali di Baturaden.Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon cemara yang kelihatan hijau berkilat.Puncak Gunung Slamet muncul di atas warna-warna hijau kebiruan di alam sekitarnya.Langit sangat bersih,biru cerah,menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagahan gunung itu
    Susi : “Hmm,indahnya pagi ini.Sepertinya adalah waktu yang cocok bagi saya memotret
    Pemandangan di sekitar sini.”
    Tiba-tiba Susi melihat sesosok tubuh berjalan ke arahnya.Sesosok wanita yang sangat sederhana dengan membawa baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya.Segera saja Susi memotertnya,tetapi wanita itu tampak tidak meyadari bahwa dirinya sedang dipotret.
    Tari : “Mendoan,Ndoro ,masih anget.”
    Segera Susi menikmati tempe berwarna hitam tersebut.
    Tari : “Sepertinya kita pernah kenal.Apa kamu bernama Susi?”
    Susi : “Ya,tapi kamu tahu dari mana nama saya?”
    Tari : “Apakah kamu lupa dengan saya? Saya Tari,Untariah.”
    Susi tampak berpikir sejenak dan sesaat kemudian Susi teringat.
    Susi : “Oh ya,kita pernah satu kelas pada saat SD dulu.”
    Seingat Susi,Tari adalah anak yang pintar dan selalu mengalahkannya dalam persaingan pelajaran.Mereka pun terdiam.
    Susi : “Saya sedang mandaki gunung.Kami serombongan sudah dua hari berkemah di
    Bumi perkemahan milik PERHUTANI.”
    Tari :“Kamu kelihatannya senang,ya?Ada kesempatan meneruskan sekolah,punya banyak teman,punya kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup.”
    Tari diam sejenak.
    Tari : “Tapi saya,semuanya sudah hilang.Kamu ingat,Ayah saya seorang tukang pos, Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP.Kami harus berjuang keras untuk hidup.Mula-mula,kami jual rumah untuk modal.Kami pindah ke Desa Memutung,di sini.Kami coba membuka warung.Hasilnya pas-pasan,sementara kebutukan makin besar.Akhirnya,saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencar tambahan.Itu baru kira-kira enam bulan setelah ayah meninggal.”
    Susi : “Tari,saya turut prihatin atas kejadian yang menimpamu.”
    Tari : “Tidak hanya itu saja, Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karean saya tidak mempunyai ijazah apa-apa.Saya pernah menjadi pelayang restoring di Purwokerto.Tapi,ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar.Saya trepaksa berhenti bekerja da membantu usaha ibu.Tapi,tidak benyak hasilnya.Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu.Dan inilah akhirnya.”
    Susi : “Lalu,bagaimana dengan adik-adikmu?”
    Tari : “Alhamdulillah,sampai sekarang mereka masih bersekolah,tapi mereka juga ikut mencari tambahan,mengumpulkan daun cengkeh yang gugur di sekitar sini.”
    Suasana kembali sunyi.
    Tari :”Oh ya,ini hari Sabtu.Nanti sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke Taman Ria.Mudah-mudahan saja saya banyak duit.”
    Tari membereskan baskomnya kemudian bersiap pergi.
    Tari : “Saya harus pergi,Susi.Sampai ketemu lagi.”
    Susi : “Hey,tunggu Tari.Saya belum bayar.”
    Susi mengambil seluruh uang yang ada di sakunya dan memberikannya kepada Tari.
    Matahari bersinar terik ketika Susi kembali ke kemah.Hawa dingin terasa segar di badan.Puncak Gunung Slamet mulai menghilang tertutup kabut.Alam Baturaden memang indah,tapi nasib Untariah membayangi batin Susi.

    BalasHapus
  131. Mabuk
    karya Raisal Kahfi

    “Ayo! Cepat jalannya! Lamban sekali. Ya,ampun!” teriak Vicky sambil memegang pentungan imitasi yang terbuat dari gagang pengki.
    “Ayo,ayo! Matanya jangan belanja! Ini bukan pasar baru!” Rahmi tidak mau kalah.
    Sementara itu di mulut tenda, Raisal sedang asyik dengan telepon genggamnya. Di alam pegunungan seperti ini seringkali terjadi krisis sinyal. Sia-sia saja membawa telepon genggam ke tempat seperti ini.
    “Uh! Tahu begini tidak perlu membawa telepon genggam aku,” gerutu Raisal seraya mengayun-ayunkan telepon genggamnya.
    “Sal, Rani dan Yudi kemana? Kenapa tidak kelihatan sejak tadi?” tanya Rahmi sambil mengolesi wajah adik-adik tingkatnya dengan arang.
    “Iya, acara sudah padat seperti ini, senior-senior kita belum juga datang, eh, Rani sama Yudi menghilang begitu saja. Hanya kita yang kerepotan.”
    “Ya sudah,aku mencari mereka dulu.” ujar Raisal .
    “Jangan lama-lama, ini sudah sore!” ujar Vicky seraya terus mengerjai adik-adik tingaktnya.
    “Baiklah!”
    ***
    Semburat ungu menghias di langit jingga. Hari sudah senja. Tak lama lagi gemerlap bintang akan singgah di lanskap langit. Raisal masih sibuk mencari Yudi dan Rani, temannya sesama panitia penerimaan anggota baru ekstrakulikuler kabaret. Ya, ini adalah kali kedua bagi mereka singgah di bumi perkemahan Rancaupas Ciwidey. Tahun lalu mereka pun berada disini. Hanya saja ketika itu mereka masih menjadi junior yang harus menikmati gemblengan dari senior-senior mereka. Raisal belum juga berhasil menemukan Yudi dan Rani. Kemudian tanpa sengaja Raisal sampai di sebuah tempat yang membawa ingatannya ke masa lalu, tepatnya setahun yang lalu. Saaat itu Raisal dan Rani mencuri-curi kesempatan untuk beristirahat. Mereka capek karena terus-terusan dibombardir oleh omelan para senior.
    “Sal,sembunyi di sini saja ya? Lelah sekali!” ujar Rani terengah-engah.
    “Ya sudah, aku juga lelah sekali!” ujar Raisal sambil menyemprotkan parfum Aqua di Gio ke lehernya.
    “Masih sempat membawa parfum? Ya ampuuun!” ujar Rani sambil menyikut lengan Raisal.
    “Kenapa? Mau? Niiiih....” Raisal menyemprotkan parfumnya pada Rani.
    “Iihh..apa sih...eh...kok wanginya harum ya? Wah, beli dimana, Sal?”
    “Ada saja...yah lumayan biar tidak bau soalnya dari kemarin aku belum mandi!” Raisal memasukkan botol parfum mininya itu ke dalam saku.
    “Ya,itu kamu, kalau aku tidak mandi saja dan pakai parfum juga tetap saja wangi, bukannya kamu,hehehe....” ledek Rani.
    Tiba-tiba mata Rani tertuju pada sesuatu diatas kepalanya.
    “Ih, ya ampun! Bunga apa itu? Seram sekali, mirip pocong!” ujar Rani asal. Raisal segera menengadahkan kepala.
    “Oh, itu bunga kecubung Ran, bagus ya? Eh, tapi jangan salah, bunga itu bisa bikin mabuk!” Rani beranjak dari duduknya. Dia mengamati bunga berwarna putih itu dengan saksama.
    “Ih, ternyata lucu juga ya? Tapi kenapa bunga cantik seperti ini membuat mabuk? Sal, mau satu. Tolong ambilkan, ya,” pinta Rani. Raisal pun segera memetik salah satu bunga itu. Dia lalu memberikan bunga itu pada Rani. Mendadak muncul euforia dalam hatinya. Dadanya berdegup kencang. Kelebat angin lalu-lalang di sekitar mereka. Rambut panjang Rani melayang ringan terbawa angin. Benar-benar mirip adegan romantis dalam sinetron! Sejak itulah muncul sebuah perasaan dlam diri Raisal. Perasaan yang entah datang darimana dan entah apa namanya. Senja melatari munculnya benih-benih cinta Raisal pada Rani.

    BalasHapus
  132. Kemilau jingga berpadu dengan aroma Aqua di Gio yang bertebaran bersama angin sore itu. Semua seakan berpadu menyaksikan bangkitnya cinta dalam diri Raisal. Ternyata bunga kecubung memang memabukkan. Bunga itu telah membuat Raisal mabuk cinta.
    ***
    Setahun setelah kejadian itu, ternyata Raisal masih mabuk cinta pada Rani. Tetapi, dia belum mampu mengungkapkan perasaannya pada Rani. Sampai pada saat ini Raisal belum menemukan saat yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Bagi Raisal saat paling tepat adalah saat dirinya dan Rani berada di tempat yang sama dimana perasaan Raisal tumbuh untuk pertama kalinya setahun yang lalu. Mungkin hari ini. Sambil berjalan menyusuri jalan kenangannya dengan Rani, Raisal mengamati bunga kecubung yang merekah dimana-man. Seperti juga perasaan cintanya pada Rani. Merekah dan siap dipetik. Bunga-bunga itu semakin membuatnya mabuk! Tiba-tiba perhatian Raisal tertuju pada dua sosok orang di depannya yang terhalang deretan pohon.
    “Nah! Itu Rani dan Yudi.” Raisal segera berlari mendekat kearah mereka. Harapannya, dia bisa mengobrol dengan mereka.
    “Ra...” tiba-tiba mulutnya mendadak bungkam. Raisal melihat Yudi menyelipkan setangkai bunga kecubung kecil di telinga Rani. Dari wajah Rani terpancar kebahagiaan, begitu juga dengan Yudi. Mungkin bunga kecubung itu telah membuat mereka mabuk cinta. Ya, bunga kecubung memang memabukkan!
    Raisal segera pergi meninggalkan Rani dan Yudi dengan hati yang patah. Baginya, cinta telah berakhir di batas pematang jagat raya jiwanya. Semuanya mendadak bagai ruang hampa udara yang sunyi.


    Sumber : www.kahfiez.blogspot.com
    (dengan berbagai penyesusaian)

    BalasHapus
  133. Naskah Drama

    Mabuk
    karya Raisal Kahfi

    Babak I
    Vicky : “Ayo! Cepat jalannya! Lamban sekali. Ya,ampun!” (sambil memegang pentungan
    imitasi)
    Rahmi: “Ayo,ayo! Matanya jangan belanja! Ini bukan pasar baru!”
    Sementara itu di mulut tenda, Raisal sedang asyik dengan telepon genggamnya.
    Raisal : “Uh! Tahu begini tidak perlu membawa telepon genggam aku,” (sambil mengayun-
    ayunkan telepon genggam)
    Rahmi: “Sal, Rani dan Yudi kemana? Kenapa tidak kelihatan sejak tadi?” (mengolesi wajah
    adik-adik tingkatnya dengan arang)
    Vicky : “Iya, acara sudah padat seperti ini, senior-senior kita belum juga datang, eh, Rani sama Yudi menghilang begitu saja. Hanya kita yang kerepotan.”
    Raisal : “Ya sudah,aku mencari mereka dulu.”
    Vicky : “Jangan lama-lama, ini sudah sore!” (terus mengerjai adik-adik tingkatnya)
    Raisal : “Baiklah!”
    Babak II
    Semburat ungu menghias di langit jingga. Hari sudah senja. Tak lama lagi gemerlap bintang akan singgah di lanskap langit. Raisal masih sibuk mencari Yudi dan Rani, temannya sesama panitia penerimaan anggota baru ekstrakulikuler kabaret. Ya, ini adalah kali kedua bagi mereka singgah di bumi perkemahan Rancaupas Ciwidey. Tahun lalu mereka pun berada disini. Hanya saja ketika itu mereka masih menjadi junior yang harus menikmati gemblengan dari senior-senior mereka. Raisal belum juga berhasil menemukan Yudi dan Rani. Kemudian tanpa sengaja Raisal sampai di sebuah tempat yang membawa ingatannya ke masa lalu, tepatnya setahun yang lalu. Saaat itu Raisal dan Rani mencuri-curi kesempatan untuk beristirahat.
    Rani : “Sal,sembunyi di sini saja ya? Lelah sekali!” (terengah-engah)
    Raisal : “Ya sudah, aku juga lelah sekali!” (sambil menyemprotkan parfum Aqua di Gio ke leherrnya)
    Rani : “Masih sempat membawa parfum? Ya ampuuun!” (menyikut lengan Raisal)
    Raisal : “Kenapa? Mau? Niiiih....” (menyemprotkan parfumnya pada Rani)
    Rani : “Iihh..apa sih...eh...kok wanginya harum ya? Wah, beli dimana, Sal?”
    Raisal : “Ada saja...yah lumayan biar tidak bau soalnya dari kemarin aku belum mandi!” (memasukkan
    botol parfum mininya ke dalam saku)
    Rani : “Ya,itu kamu, kalau aku tidak mandi saja dan pakai parfum juga tetap saja wangi, bukannya kamu,hehehe....”
    (Tiba-tiba mata Rani tertuju pada sesuatu di atas kepalanya).
    Rani : “Ih, ya ampun! Bunga apa itu? Seram sekali, mirip pocong!”
    (Raisal menengadahkan kepala)
    Raisal : “Oh, itu bunga kecubung Ran, bagus ya? Eh, tapi jangan salah, bunga itu bisa bikin mabuk!”
    (Rani beranjak dari duduknya. Dia mengamati bunga berwarna putih itu dengan seksama).
    Rani : “Ih, ternyata lucu juga ya? Tapi kenapa bunga cantik seperti ini membuat mabuk? Sal, mau satu. Tolong ambilkan, ya,”
    (Raisal pun segera memetik salah satu bunga itu dan memberikan pada Rani. Muncul euforia dalam hatinya).
    Raisal : “Ini, Ran! Cantik sekali ya bunganya?”
    Rani : “Wah, terima kasih! Bunganya unik dan lucu, Sal!”
    Raisal : “Hahahaha...dia cantik, Ran! Seperti kamu cantinya!” (menatap Rani sendu)
    Rani : “Ah, kamu aneh! Tapi terima kasih atas pujiannya itu. Aku tersanjung sekali.”
    Raisal : “Tidak, Ran! Itu memang benar adanya. Kamu cantik sekali.” (tersenyum dan memainkan rambut Rani)
    Rani : “Apa sih? Sudah, Sal, sekarang kita kembali ke tenda saja. Aku takut nanti kakak-kakak mencari kita.

    BalasHapus
  134. (menepis tangan Raisal yang memainkan rambutnya)
    Raisal : “Uhm...ayo!” (Raisal bangkit dari tempat duduknya). Rani mengikuti Raisal dari belakang.
    Saat itu kemilau jingga berpadu dengan aroma Aqua di Gio yang bertebaran bersama angin sore itu. Semua seakan berpadu menyaksikan bangkitnya cinta dalam diri Raisal. Bunga itu telah membuat Raisal mabuk cinta.
    Babak III
    Tiba-tiba perhatian Raisal tertuju pada dua orang sosok di depannya yang terhalang deretan pohon.
    Raisal : “Nah! Itu Rani dan Yudi.” (segera berlari mendekat kearah mereka)
    Raisal : “Ra...” (tiba-tiba mulutnya mendadak bungkam)
    Rani : “Wah, terima kasih! (dengan wajah berseri-seri)
    Yudi : (menyelipkan setangkai bunga kecubung ke telinga Rani) “ Cocok, Ran, kalau kamu yang pakai.
    kamu terlihat lebih manis, Ran!”
    Rani : “Iya, ya? Wah, wah, aku senang kamu berkata seperti itu.”
    Yudi : “Aku merasa aneh, Ran! Sepertinya ada sesuatu yang berbeda denganku.”
    Rani : “Uhm...iya? memang apa?”
    Yudi : “ Aku merasa senang sekali bisa sedekat ini dengan kamu. Ini aneh, Ran! Aku merasa ada sesuatu yang
    istimewa dihatiku untukmu.”
    Rani : “Aku juga merasa seperti itu. Aduh, apa—“
    Raisal mengetahui kelanjutan kisah dan percakapan mereka senja itu. Mereka mabuk cinta! Ternyata bunga itu memang memabukkan! Raisal segera meninggalkan Rani dan Yudi dengan hati yang patah. Semuanya mendadak bagai ruang hampa udara yang sunyi.

    Nama : Alia Salvira/03
    XI IPA5

    BalasHapus
  135. Kesempatan Kedua


    "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"

    "Hei, lagi ngapain kamu?" bentakku begitu melihat adikku di kamar. Kamar milik kami berdua itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.

    Fitri, adikku itu langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.

    "Kamu lagi ngitung uang ya?" tanyaku akhirnya setelah lama kami saling bertatapan. Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.

    "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!" ujarku kesal sambil mencibir ke arahnya. Ia tak bereaksi banyak. Aku pun beranjak mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.

    "Dua ratus ribu! Yeah!" teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya, dia juga tampak sudah selesai menghitung tabungannya. Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?

    "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang deng, lima ratus lagi," ujarnya sedih. Aku giliran tersenyum.

    "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" teriak Ibu dari dapur begitu aku keluar dari kamar. Dengan lemas aku menuju dapur.

    "Udah sore Bu, aku lemes banget," ujarku dengan mimik yang menyedihkan. Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.

    "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," ujar Ibu sambil mengelus kepalaku.

    "Ibu, Dede mau bantu!!!" teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.

    "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" tanggapku ketus.

    "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!" ujar Ibu. Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.

    Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.

    "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?"tanya Ibu di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.

    Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk. "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" jawabnya setelah lama terdiam.

    "Bener nih?" Ibu menanyakannya sekali lagi, masih ragu akan keputusan gadis kecil itu. Fitri mengangguk yakin.

    "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa

    BalasHapus
  136. susahnya berlaku adil?" batinku kesal. Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.

    Hari ini aku tidak punya rencana apa-apa. Pinginnya sih malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi aku tidur lagi. Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji. Adikku itu memang rajin membaca Alquran. Padahal membacanya pun belum lancar masih terbata-bata, sehingga seringkali ia menghentikan bacaannya dan bertanya pada Ibu. Ibu pun dengan sabar membimbing Fitri. Setelah membaca Alquran biasanya Fitri minta diajari menghafal surat-surat pendek. Hingga di umurnya yang baru 7 tahun dia sudah hafal setengah juz dari juz 30. Kurasa itu prestasi yang luar biasa. Karena banyak teman-temanku yang sudah duduk di bangku SMA saja yang hafalannya belum sebanyak Fitri.

    Sementara aku …. Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?

    Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.

    " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "

    "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"gerutuku malas.

    "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?"tanyanya penuh harap.

    "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"ujarku sambil mengedipkan mata.

    "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," ujarnya tersenyum riang.

    Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.

    Kami pun pergi ke mal. Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya. Aku sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa tujuanku menemani Fitri.

    Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.

    "Ada apa sih?" tanyaku kesal. Kulihat ia membawa satu stel baju muslim.

    "Bagus enggak Mbak?" tanyanya.

    "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede," jawabku.

    "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya". Fitri pun bercerita panjang lebar.

    BalasHapus
  137. Duh, aku merasa ”disentil”. Aku jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.

    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:

    "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa," ujarnya polos.

    Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.

    "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok," ujarku menahan haru.

    Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu. Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.

    Selesai membayar, aku hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.

    "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang," ujarnya.

    "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi
    Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia" kata Fitri mengakhiri ceritanya.

    Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering. "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?" tanyaku.

    "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!" jawabnya bersemangat.

    "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."

    Degh! Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.

    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.

    BalasHapus
  138. Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.

    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita. Apakah kita yakin umur kita akan sampai pada Ramadan berikutnya?

    BalasHapus
  139. KESEMPATAN KEDUA

    Krekk.. krekk
    Perlahan ku buka pintu kamar dan kuamati sekitarnya. Semakin lama keadaan kamar ku semakin mirip keadaan kapal pecah. Di sudut kamar, terlihat adikku duduk bersimpuh di lantai.

    Hasnah : Hei, lagi ngapain kamu?
    Fitri : emhh…. ( diam tanpa kata )
    Hasnah : Apa yang kamu hitung?
    Fitri : Aku lagi hitung uang kak?
    Hasnah : Hahahh.. Sudahlah, uang tabungan mu itu tidak akan sebanyak tabungan
    ku.
    Fitri : Apa kakak punya tabungan?
    Hasnah : Punya, bahkan mungkin lebih banyak dari punyamu.

    Lalu kuraih pintu lemari pakaian ku dank u keluarkan “ kotak harta karun “ ku dari dalamnya.

    Hasnah : Sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, dua ratus ribu… horee..
    ( aku tersenyum bangga kea rah adikku )
    Fitri : Wah.. tabungan kak hasnah banyak ya?? Bias di pakai untuk beli
    baju lebaran?
    Hasnah : Tentu ( balas ku dengan bangga )
    Fitri : Tabungan dede Cuma 100 ribu itu pun masih kurang Rp. 500,00. jadi
    uang dede Cuma Rp. 99.500,00.
    Hasnah : Emhhhhh…… ( aku tersenyum sinis ke arahnya )

    Sesaat ku rasakan angin membelai wajah ku. Sayup-sayup ku dengar suara orang mengaji dari ruang depan walaupun sudah terjaga namun ku tetap terbaring dikamar.

    Fitri : Ibu.., yang ini bacaanya apa??
    Ibu : ( ibu melihat ke arah yang ditunjuk dede ) ohh.. itu dibaca “ inna
    mubaroka alaina “.
    Fitri : Terima kasih bu.. sepertinya acara ngajinya sampai di sini dulu bu.
    Ibu : Ya sudah, rapikan lagi perlengkapan mengajimu.
    Fitri : Ok, bu..
    Ibu : Besok kamu lanjutkan lagi. Pergunakanlah hari-hari di bulan puasa
    ini dengan kegiatan yang bermanfaat.

    Tak kudengar lagi suara-suara di sekeliling ku. Ku kembali terlelap hingga ku dengar suara ibu yang memanggilku yang membuat aq terbangun dari tidur ku.
    Ibu : Hasnah.. ayo bangun, hari sudah siang. Bantu Ibu membersihkan taman.
    Fitri : Dede saja yang Bantu Ibu.
    Ibu : Sudahlah, kamu istirahat saja. Sedari tadi kamu sudah bantu Ibu mem-
    bersihkan rumah.

    BalasHapus
  140. Fitri : Tidak apa bu.. ( rengek adikku ). Dede belum capek.
    Ibu : Sudahlah, biarkan tugas itu diserahkan pada Hasnah. Hasnah??? ( suara
    Ibu semakin mengeras )
    Hasnah : Ya bu.. ( kenapa Ibu selalu pilih kasih?? “ mana keadilan dalam rumah
    ini ??” gumam ku dalam hati )
    Ibu : Hasnah bangun..
    Hasnah : Ya bu, bentar lagi.
    Fitri : Kak bangun. ( fitri menggoncang tubuh ku )
    Hasnah : Kakak sudah bangun kok. Lagi pula, ngapain kamu ngurusin kakak?
    Fitri : ohhhhh… maaf kak.. dede cuma mau ngajak kakak pergi.
    Hasnah : Kemana???
    Fitri : Dede mau minta temen ni ke mall.
    Hasnah : Mau ngapain??? ( jawabku dengan tegas )
    Fitri : Dede mau beli sesuatu. Masalah taman, biar nanti sore dede yang bantuin
    Ibu.
    Hasnah : Tapi kakak nggak punya uang.
    Fitri : Biar ded yang tanggung ongkos pulang-pergi.
    Hasnah : Ehmmmmm… boleh juga. ( uangku 200 ribu bakal berkurang, gumamku
    dalam hati ).

    Di setiap etalase ku lihat papan-papan diskon. Disemua penjuru di pasang baju-baju up to date.

    Hasnah : Kamu mau cari apa?? ( bentakku kepada fitri )
    Fitri : Dede mau beli baju.
    Hasnah : Baju kamu kan masih banyak. Lagi pula uang mu gak akan cukup.
    Fitri : Eeee.. ( sambil tersenyum ). Baju itu bukan untuk dede kak.
    Hasnah : Jadi buat siapa???
    Fitri : Buat mbak Ratih kak. Kasihan dia, dua minggu yang lalu ayahnya
    meninggal dunia. Sekarang ibunya menjadi buruh cuci, jangankan
    untuk beli baju, uang untuk makan sehari-hari pun mereka tak punya.
    Hasnah : Degg…… ( aku pun terdiam, dalam hati ku malu dengan kondisi ini
    Dede yang masih berumur 7 tahun telah mamiliki hati sucu itu )
    Fitri : Kak kenapa diam?? Kakak tidak setuju ya!!
    Hasnah : Ohh tidak ( sambil gagap ). Kakak setuju kok, sekarang ayo kita pilih
    baju baru buat mbak Ratih tapi separuh harganya biar kakak yang
    bayar.
    Fitri : horeeeee…terima kasih kakak.

    Tanpa ragu lagi kami mengambil sebuah baju berwarna hijau toska yang indah dan teduh, seteduh hati ku sekarang dalam menebar kan benih-benih kasih sayang selama kesempatan kedua ini masih terbuka. Kesempatan ini akan kupergunakan sebaik mungkin agar selalu ada pelita bahagia di setiap hembusan nafas ku ini.

    BalasHapus
  141. Nama : Allicia Ariesca
    Kelas : XI IPA 5
    No : 04

    Judul : Mimpi tentang Rumah
    Tema : Kepedulian Sosial

    Karya : Mustafa Ismail
    Sumber : kumpulan-cerpen.blogspot.com

    NASKAH CERPEN

    Kami punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

    Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.

    Ayah dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.

    Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.

    Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.

    Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas: selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau repot-repot dengan itu.

    Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama kawan-kawan sebaya.

    Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi. Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku membayangkan sesekali bisa naik kereta api.

    Aku pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.

    Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah. Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya. "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"

    Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya

    BalasHapus
  142. dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."

    Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah

    Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan air semen.

    Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?"

    "Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.

    Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.

    Rumah kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara

    BalasHapus
  143. debur ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar. Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng. Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.

    Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"

    "Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti.

    Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh cinta untuknya.

    Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk kakek."

    Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak hantu."

    Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak

    BalasHapus
  144. mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.

    Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar Aceh, juga ikut mengungsi.

    Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai kejadian yang malang-melintang di depan mata.

    Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu, ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap akan membayar biaya kontrakan.

    Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu, aku sendiri kadang juga kena semprot

    BalasHapus
  145. dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh, yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi terpengaruh juga.

    Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi, kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah, karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan menghabiskan masa tuanya di sana. Aku yang menyurati agar ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anak anaknya -aku dan seorang adikku- sudah tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.

    "Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah, ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.

    Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi sebenarnya.

    Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?" tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.

    BalasHapus
  146. nama : iin anggraini
    kelas : xlp5
    no : 19

    pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku.

    BalasHapus
  147. "Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada kenyataannya kan tidak."

    "Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya."

    Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.

    "Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur ayah dengan wajah yang makin basah. ***


    NASKAH DRAMA : Mimpi Tentang Rumah

    Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

    Babak 1

    Kami punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

    Ari : Ibu…(pulang dari sekolah dan langsung memenggil dan membantu Ibunya dikebun, mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih) .
    mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun rumah?(bertanya kepada Ibunya)

    BalasHapus
  148. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam.

    BalasHapus
  149. Ibu : "Kita memang harus kuat agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita bangun dengan keriingat sendiri,"

    Ari : (terharu mendengar jawaban ibunya dan terus membantu ibunya melanjutkan pekerjaan membangun rumah impian)

    Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah.

    Ibu : Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya (sambil terus melanjutkan pekerjaannya)

    Ari : . "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"(bertanya-tanya)

    Ibu : (tersenyum lelah) "Kalau kita upahin sama orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."

    Ari : (bingung dan tidak mengerti maksud dari perkataan ibunya)

    Babak 2

    Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah.

    Ibu : "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian.

    Ari : “baik bu, Aku akan membantu ibu. (mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang digelar di tanah)

    Ibu : “ kamu memang anak yang rajin nak,(ibu tersenyum menatap anak pertamanya ini)

    Babak 3

    Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap seng.
    Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan air semen. Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan.

    Ari : "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?"

    BalasHapus
  150. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

    cerpen sosial

    BalasHapus
  151. Ayah : "Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumah-rumah dekat pasar itu."

    Ari : Ayah memeng benar..

    Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga. Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.

    Babak 4

    Rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan beranak-pinak di sana.

    Ari : "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali.

    Kakek : "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya

    Ari : "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"

    Kakek : "Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil yang lewat sana.

    Ari : ." "Mengapa bisa?" (tidak mengerti)

    Kakek : (Kakek tersenyum sebentar), lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh cinta untuknya.

    Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka.

    Ari : "Termasuk kakek?"(bingung)

    Kakek : "Ya, termasuk kakek."

    BalasHapus
  152. Babak 5

    Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam

    Ari : "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak hantu."

    Kakek : (Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku).. Lalu ia menukas.

    Ari : Aku menjadi tak mengerti…

    Kakek : : "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja."

    Ari : "Benarkah?" (tak percaya )

    Kakek : tentu saja benar,(mengangguk)

    Babak 6

    Suatu ketika terjadi konflik di Aceh yang membuat banyak penduduk Aceh resah dan memutuskan untuk merantau, termasuk ayah dan ibu yang ketika itu memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dengan modal secukupnya dan disertai dengan dana pensiun ayah yang tak seberapa untuk modal hidup dizaman sekarang ini.

    Ayah : “seharusnya kita tidak pindah ke Jakarta,Aku sangat merindukan kampung halaman.(menyesal dan berdebat dengan ibu )

    Ibu : (hanya bisa menangis dan menyesali semuanya)

    Aku yang menyurati agar ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anak anaknya -aku dan seorang adikku- sudah tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.

    Ayah : "Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah suatu sore,( ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja)

    Ari : melihat mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis.

    Ayah sangat sedih dan sangat merindukan kampung halamannya dan terus berharap agar bisa menghabiskan sisa hidup di rumah yang dibangunnya sendiri bersama dengan Ibu tapi tidak ada yang bisa dikatakan dan dilakukan selain menunggu konflik di Aceh selesai.


    Palembang,12 Oktober 2009

    BalasHapus
  153. Nama : Tommy Darsono
    Kelas : XI IPA 5
    No : 44

    Tema : Kepedulian Sosial

    Judul : Kesempatan Kedua
    "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    "Hei, lagi ngapain kamu?" bentakku begitu melihat adikku di kamar. Kamar milik kami berdua itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.
    Fitri, adikku itu langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.
    "Kamu lagi ngitung uang ya?" tanyaku akhirnya setelah lama kami saling bertatapan. Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.
    "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!" ujarku kesal sambil mencibir ke arahnya. Ia tak bereaksi banyak. Aku pun beranjak mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.
    "Dua ratus ribu! Yeah!" teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya, dia juga tampak sudah selesai menghitung tabungannya. Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?
    "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang deng, lima ratus lagi," ujarnya sedih. Aku giliran tersenyum.
    "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" teriak Ibu dari dapur begitu aku keluar dari kamar. Dengan lemas aku menuju dapur.
    "Udah sore Bu, aku lemes banget," ujarku dengan mimik yang menyedihkan. Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.
    "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," ujar Ibu sambil mengelus kepalaku.
    "Ibu, Dede mau bantu!!!" teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.
    "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" tanggapku ketus.
    "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!" ujar Ibu. Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.
    Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.
    "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?"tanya Ibu di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.
    Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk. "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" jawabnya setelah lama terdiam.
    "Bener nih?" Ibu menanyakannya sekali lagi, masih ragu akan keputusan gadis kecil itu. Fitri mengangguk yakin.
    "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil?" batinku kesal. Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.
    **
    Hari ini aku tidak punya rencana apa-apa. Pinginnya sih malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi aku tidur lagi. Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji. Adikku itu memang rajin membaca Alquran. Padahal membacanya pun belum lancar masih terbata-bata, sehingga seringkali ia menghentikan bacaannya dan bertanya pada Ibu. Ibu pun dengan sabar membimbing Fitri. Setelah membaca Alquran biasanya Fitri minta diajari menghafal surat-surat pendek. Hingga di umurnya yang baru 7 tahun dia sudah hafal setengah juz dari juz 30. Kurasa itu prestasi yang luar biasa. Karena banyak teman-temanku yang sudah duduk di bangku SMA saja yang hafalannya belum sebanyak Fitri.

    BalasHapus
  154. Sementara aku …. Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?
    Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.
    " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "
    "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"gerutuku malas.
    "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?"tanyanya penuh harap.
    "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"ujarku sambil mengedipkan mata.
    "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," ujarnya tersenyum riang.
    Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.
    Kami pun pergi ke mal. Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya. Aku sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa tujuanku menemani Fitri.
    Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.
    "Ada apa sih?" tanyaku kesal. Kulihat ia membawa satu stel baju muslim.
    "Bagus enggak Mbak?" tanyanya.
    "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede," jawabku.
    "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya". Fitri pun bercerita panjang lebar.
    Duh, aku merasa ”disentil”. Aku jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.
    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:
    "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa," ujarnya polos.
    Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.
    "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok," ujarku menahan haru.

    BalasHapus
  155. Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu. Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.
    Selesai membayar, aku hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.
    "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang," ujarnya.
    "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia" kata Fitri mengakhiri ceritanya.
    Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering. "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?" tanyaku.
    "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!" jawabnya bersemangat.
    "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."
    Degh! Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.
    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.
    Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.
    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita. Apakah kita yakin umur kita akan sampai pada Ramadan berikutnya?

    BalasHapus
  156. Nama : Tommy Darsono
    Kelas : XI IPA 6
    No : 44
    Naskah Drama
    Judul : Kesempatan Kedua
    Babak 1
    Narrator : Sore itu, Hasna dan adiknya, Fitri sedang menghitung uang mereka masing- masing di dalam kamar milik mereka berdua. Kamar milik mereka itu tamapak sangat berantakan. Banyak lembaran- lembaran uang kertas dan kepingan- kepingan uang receh berserakkan di lantai kamar mereka.
    Fitri : "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    Hasna : “ Hei…., lagi ngapain kamu dik? Kamu lagi menghitung uang ya? Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya siapa yang lebih banyak!”
    Narrator : Hasna pun beranjak mengambil kotak harta karun miliknya untuk menghitung uang di dalamya. Bersamaan dengan adiknya, Hasna pun mulai menghitung uang miliknya.
    Hasna : “ dua ratus ribu, yeah! Lihat ni dik, uang Mbak Hasna dua ratus ribu. Uang kamu berapa dik? Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD ?”
    Fitri : “ Adik baru seratus ribu, tapi masih kurang lima ratus lagi.”
    Narrator : Fitri terlihat sedih ketika dia tahu bahwa uang tabungannya lebih sedikit daripada milik kakaknya.
    Babak 2
    Narrator : Tiba- tiba saja terdengar suara ibu yang memanggil Hasna untuk meminta bantuan. Dengan lemas Hasna pun menuju ke dapur untuk menemui ibunya.
    Ibu : “ Mbak Hasna, sini! Bantu ibu dong!”
    Hasna : “ Ya ya tunggu bu. Apaan sih bu, sudah sore nih, saya lemas banget nih bu. Sudah mau buka, tapi masih saja disuruh bantuin, Hasna males bu.”
    Ibu : “ Sebentar, hanya siapin takjil saja kok! Kan buat kamu juga.”
    Narator : Fitri pun berteriak dari kamarnya dan bergegas menuju ke dapur untuk segera membantu ibunya. Menyiapakan takjil.
    Fitri : “ Ibu, adik mau Bantu juga.”
    Hasna : “Aduh, jangan! Kamu nanti malah gangguin tahu!”
    Ibu : “ Aduh Mbak Hasna. Jangan galak seperti itu. Adik kan mau Bantu juga. Udah adik menyiakan piring dan gelas saja ya.”
    Fitri : “ Ya bu.”
    Narator : Dengan penuh semangat Fitripun menyiapkan semua yang tadi ibunya katakan. Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga ibu. Namun Hasna terlihat sangat lemas. Dia terlihat seperti terpaksa untuk membantu ibunya.
    Ibu : “Nak, lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?”
    Fitri : “ Ehm, tidak perlu bu, baju yang lama juga masih bagus.”
    Ibu : “ Bener ni?”
    Narrator : Ibu menanyakan lagi kepada Fitri. Ibu masih ragu akan keputusan gadis kecilnya itu namun Fitri hanya menganggukan kepalanya saja. Sementara Hasna merasa kesal, karena mengira ibunya pilih kasih terhadapnya.
    Hasna : “ Kenapa sih?? Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil?"
    Narator : Hasna hanya bisa menggerutu di dalam hatinya. Semua pertanyaaan- pertanyaan pun bermunculan di dalam batinnya. kemudian Hasna mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian Hasna keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu ia lakukan dalam diam.
    Babak 3
    Narator : Hari ini Hasna tidak punya rencana apa-apa. Ia mau malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi Hasna pun tidur lagi. Sayup-sayup ia dengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji.
    Hasna : “ Ehm…. Rajin sekali adik. Setiap hari adik selalu mengaji. Walaupun adik masih kecil tapi ia sudah rajin membaca alquran. Padahal membacanya juga belim ter;a;u ;ancar dan masih rerbata-bata. Ia juga sering menghentikan bacaannya dan bertanya pada ibu. Tapi ibu kok sabar ya membimbing adik?
    Hasna : “Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?

    BalasHapus
  157. Babak 4
    Narator : Tiba-tiba saja Fitri masuk kekamar dan memanggil kakaknya yang sedang tidur.
    Fitri : Mbak…. Mbak Hasna, ayo bangun Mbak!
    Hasna: "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"
    Fitri : "Ke mal. adik ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin adik?"
    Hasna : "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"
    Fitri : "Beres deh! Terserah Mbak Hasna saja,"
    Hasna : “Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.
    Babak 5
    Narator : Mereka pun pergi ke mal.
    Hasna : “Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya.
    Narator : Hasna sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa dengan tujuanya menemani Fitri ke mal.Tiba-tiba Fitri pun menghampiri dan menarik baju kakaknya yang tengah sibuk memperhatikan baju-baju yang bagus.Hasna pun merasa terganggu konsentrasinya memilih-milih baju.
    Fitri : “ Mbak… Mbak Hasna!!
    Hasna : "Ada apa sih?"
    Fitri : "Bagus enggak Mbak?"

    Hasna : "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk adik. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat kamu,".

    Fitri : "Bukan, baju ini bukan untuk adik kok! Ini mau adik hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD saja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya".

    BalasHapus
  158. Narator : Fitri pun bercerita panjang lebar tentang Teh Ratri. Saat itu juga Kakaknya merasa disentil.Ia pun teringat bahwa selama ini ia selalu bersunggut-sunggut bila diminta ibunya mencuci piring. Ia juga sering marah jika adiknya selalu bertanya kepadanya. Kemudian Fitri pun melanjutkan ceritanya tenyang Teh Ratri.
    Fitri: "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa.”
    Narator : Mendengarn itu, Hasna pun terdiam. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Ia seperti terhipnotis oleh kata-kata adiknya itu .

    Hasna : "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok,"

    Narator : Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tangan kakaknya untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu.
    Babak 6
    Narator : Selesai membayar, Hasna hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahnya
    .
    Fitri : "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang. adik juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama adik kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama adik kalau Ibu juga mau berbagi masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. adik bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia"
    Hasna : “ Iya, ayo kita beli.”
    Narator : Akhirnya, Fitri pun mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering.
    Hasna : "Dik, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?"
    Fitri : "Punya dong! Kan setiap adik tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya adik tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh! Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin adik."
    Hasna : “ Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.
    Babak 7
    Narator : Akhirnya, Hasna pun menyesali semua perbuatannya dan ia pun sadar akan banyak hal yang telah ia lakukan selama ini salah. Dalam perjalanan pulang , ia menggenggam erat tangan adiknya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Hasna jadi malu pada dirinya sendiri. Selama ini ia selalu merasa iri pada adinya, ia merasa Ibu lebih menyayangi adiknya sehingga ia berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hati adiknya.

    BalasHapus
  159. Hasna : “ Fitri adikku, terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain
    Narrator : Kini, Hasna bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam dirinya, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitinya selama ini. Ia harus mengejar ketinggalanya selama ini. Ia telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah ia lewatkan dengan segudang keluh kesah.
    Hasna : “. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita.”
    Narator : Itulah ucapan syukur yang bisa di ucapkan oleh Hasna kepada Allah. Ia hanya bias berharap agar ia tidaj menyia-nyiakan kesempatan untuk kedua kalinya, yang mungkin adalah kesempatan terakhir yang diberikan Allah kepadanya.

    BalasHapus
  160. Nama: Yehekiel Rajendra
    Kelas: XI IPA 5
    No.absen: 48
    Tema: Kepedulian Sosial
    Judul: SAMPAH
    Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!
    Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya.
    Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.
    Oleh karenanya, kemunculan lelaki ramah dengan gerobak sampahnya itu benar-benar disambut gembira.
    "Sampaaah! Sampaaah!"� begitu teriaknya.
    Istriku sering merasa heran, karena ia mengaku baru pernah menjumpai tukang sampah yang setiap kali meneriakkan berita kedatangannya.
    "Seperti pedagang keliling saja,"� ujar istriku.
    Sebenarnya aku pun belum pernah menjumpai tukang sampah seperti itu, tetapi aku tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai hal yang aneh.
    "Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu,"� dugaku. Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil

    BalasHapus
  161. sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.
    Untuk pekerjaannya itu, aku melihat pendar kebahagiaan tersendiri memancar di wajah lelaki ramah itu.
    "Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!"� jawab lelaki itu ketika kutanya akan semangatnya yang membuatku iri.
    Lantas aku pun membisikkan sesuatu ke istriku. Lelaki itu pahlawan, Dik…. Istriku tak menjawab, sehingga aku tak tahu pasti, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataanku.
    * * *
    Tiba-tiba muncul sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu.
    Tertatih aku mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat usang—bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.
    "Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"ujarku.
    "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas!"� bela istriku. "Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat"�
    Aku tersenyum tipis mendengar ucapan istri yang baru beberapa bulan kunikahi itu. Di luar, kulihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya juga.
    "Sampah… sampaaah!"
    Hm… tepat sekali kedatangan lelaki ramah itu.
    "Sampah, Pak!"� ujarku.
    Lelaki itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku.
    "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu!"� teriak Pak Parlian tiba-tiba, ketus. Dan memang, begitu gerobak itu lewat, serangkum bau busuk tercium dengan sangat tajam. "Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."
    "Iya!" sambut Pak Sinaga, setali tiga uang. "Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!"�
    Aku tertegun, lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun. Sejenak ia terdiam, lalu serangkai kata-kata halusnya pun keluar.
    "Jadi, keberadaan saya mengganggu?"
    "Eh, jadi kau ini tak sadar?"� ujar Pak Diki.
    "Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!"�
    "Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya."� Tambah Pak Sinaga lagi.
    "Pak Sampah," Aa Karta, ketua RT di gang kami, tampak mencoba menengahi, "kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!"�
    Pak Sampah berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh. "Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang."�
    Masalah selesai, desisku. Bersyukurlah, karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.

    BalasHapus
  162. naskah drama

    pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket
    ivan : “Ayo kita bermain basket ke lapangan.” (ajaknya padaku.)
    ano : “Sekarang?” (tanyaku dengan sedikit mengantuk)
    ivan :“Besok! Ya sekarang!” (jawabnya dengan kesal.)
    ano:“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”
    ivan : “Iya tapi cepat ya” (pintanya)
    Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.
    ano: “Wah dingin ya.” (kataku pada temanku.)
    ivan : “Cuma begini aja dingin payah kamu.” (jawabnya)
    Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai.
    ano :“Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” (ajakku padanya.)
    ivan : “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” (paksanya)
    ano :“Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” (jawabku malas.)
    ivan :“Terserah kamu aja deh.” (jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket)
    bella :“Ano!”
    Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana
    bella : “Hai masih ingat aku nggak?” (tanyanya padaku.)
    ano : “Bella kan?”( tanyaku padanya)
    bella : . “Yupz!” (jawabnya sambil tersenyum padaku. )
    Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan.
    ano :“Van! Sini” (panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket.)
    ivan : “Apa lagi?”( tanyanya padaku dengan malas.)
    ano ; “Ada yang dateng”( jawabku)
    ivan :“Ada yang dateng”( jawabku)
    ano : “Bella!” (jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik)
    ivan :“Siapa? Nggak kedengeran!”
    ano : “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”.

    BalasHapus
  163. * * *
    Ternyata aku salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan?
    Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.
    "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah," ujar Bu Anton, berapi-api.
    "Betul sekali!" lengking Bu Asnah, penjual gado-gado. "Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"
    "Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!"
    "Ya. Kami tidak mau terima!"
    "Baiklah,"Aa Karta menimpali. "Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"�
    "Sore saja!" ujar Bu Asnah. "Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."�
    "Setuju!" teriak yang lain.
    "Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!"�
    Aku dan istriku yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.
    * * *
    Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.
    "Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus lintang pukang kabur. Kami nggak terima!"
    Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.
    "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."
    "Apa tidak dingin, Pak?" tanyaku.
    Lelaki itu tersenyum.
    "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."
    Padahal dia hanya seorang tukang sampah, aku menelan ludah.
    * * *
    "Mas…!" istriku berlari dengan tergopoh-gopoh,persis ketika aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu sempit rumah kontrakanku. "Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!"

    BalasHapus
  164. "O, ya?" aku meletakkan tas berisi laptop buntut yang biasa menemaniku bekerja pada sebuah kantor redaksi majalah bertiras minimal itu di atas karpet. Terus terang, aku letih sekali, karena harus lembur dan pulang malam seperti saat ini. Beruntung istriku masih terjaga. Paling tidak, secangkir kopi susu dan semangkok mie rebus pasti sudah menunggu di meja makan.
    "Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini."
    "Keributan?" Pantas istriku belum tidur.
    "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka nggebukin orang!"
    "Siapa yang digebukin?"
    "Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit…."
    Lidahku mendadak terasa kelu.
    * * *
    Kutatap sampah yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari.
    Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.
    "Mas, mobilnya sudah datang!"� ujar istriku, memecah lamunan.
    Aku tersentak. Segera kuraih tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakanku. Mantan kontrakan, karena mulai hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus mencicil selama limabelas tahun.
    "Sampah… sampah…!!"
    Suara cempreng itu mengiang di telingaku.

    BalasHapus
  165. Nama: Yehezkiel Rajendra
    Kelas: XI IPA 5
    No. absen: 48
    Tema: Kepedulian sosial
    Judul: SAMPAH

    Naskah drama

    Babak I

    Narator: “Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya. Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya. Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!“

    Pak Sampah: "Sampaaah! Sampaaah!" (sambil berteriak)

    Istri: “Mas, tiap hari tukang sampah itu selalu meneriakkan berita kedatangannya. Ia seperti pedagang keliling saja.”

    Suami: "Ehm…Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu,"

    Narator: “Tampaknya dugaan sang suami tersebut memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Melihat pekerjaannya itu suami itu pun melihat kebahagiaan yang memancar di wajah lelaki ramah itu.”

    Suami: “Pak,bapak sungguh hebat! Setiap hari bapak bekerja tanpa lelah hanya untuk memungut sampah-sampah di setiap tempat.”

    Pak sampah: "Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!"

    Narator: “Mendengar ucapan lelaki tua itu, sang suami pun iri dengan semangatnya yang besar. Lantas, ia pun membisikkan sesuatu ke istrinya.”

    Suami: “Bu, lelaki itu pahlawan.”

    Narator: “Namun, istri sang suami tersebut tidak menjawab, sehingga ia pun tak tahu apakah istrinya setuju atau tidak dengan pernyataannya.”
    Babak II
    Narator: “Tiba-tiba muncul sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu. Tertatih aku mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat usang”bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.”

    BalasHapus
  166. Suami: "Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"
    Istri: "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas! Mereka keluar masuk seenaknya saja bahkan Obat dan racun tikus pun sudah tak mempan sangking sakitnya mereka kini. Gang ini sudah tak sehat.”
    Narator: “Mendengar ucapan istrinya itu, Sang suami hanya bisa tersenyum tipis.”
    Babak III
    Narator: “Di luar, sang suami melihat Bu Asnah, Pak Diki, dan Aa karta yang tengah sibuk dengan keranjang sampahnya.”
    Pak sampah: "Sampah… sampaaah!"
    Suami: “Hm… tepat sekali kedatangan lelaki ramah itu. Sampah, pak! (sambil memanggil pak sampah)”
    Narator: “Lelaki itu pun mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku. Namun tiba-tiba munculah beberapa kemarahan dari para warga gang itu”
    Pak Parlian: "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu! Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."
    Pak Sinaga: “Iya! Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!"
    Narator: “Begitu banyak cemooh-cemoohan dari para warga di gang itu, namun lelaki pengangkut sampah itu hanya diam sejenak dan serangkai kata-kata halusnya pun keluar.”
    Pak Sampah: “Jadi, keberadaan saya mengganggu?”
    Pak Diki: “Eh, jadi kau ini tak sadar? Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit tahu!”
    Pak Sinaga: “Belum lagi, gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya.”
    Narator: “Namun, akhirnya Ketua RT di gang itu pun mencoba menengahi. Ia mencoba mencari jalan keluar yang terbaik untuk semuanya.”
    Aa Karta: "Kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?"
    Pak Sampah: “Ehm… Baiklah... saya akan datang mengambil sampah setiap siang. (sambil mengangguk-angguk kepala)”
    Narator: “Akhirnya masalah pun selesai, Bersyukurlah karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.”
    Babak IV
    Narator: “Ternyata dugaan sang suami salah. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan? Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.”
    Bu Anton: "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah," (dengan berapi-api)
    Bu Asnah: "Betul sekali! Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"

    BalasHapus
  167. Bu Anton dan Asnah: “Ya, kami tidak mau terima!”
    Aa Karta: "Baiklah nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"
    Bu Asnah: "Sore saja pak! kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."
    Ibu-Ibu RT: “Setuju!”
    Aa Karta: “Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!”
    Narator: “Sang suami dan istrinya yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.”
    Babak V
    Narator: “Masalah kian datang, sepertinya warga di gang itu tak henti-hentinya membuat masalah. Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.”
    Anak-anak: “Pak karta!”
    Aa Karta: “Ada apa anak-anak?”
    Narator: “Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.”
    Babak VI
    Narator: “Pak sampah hanya bisa setuju dengan permintaan para warga di gang itu dengan hati yang rendah dan lapang dada.”
    Pak Sampah: "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."
    Suami: “Apa tidak dingin pak?”
    Pak Sampah: "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."
    Narator: “Mendengar dan melihat kebesaran hati lelaki tua itu, sang suami pun hanya dapat menelan ludah karena kagum dengan sikapnya itu.”
    Babak VII
    Narator: “Tiba-tiba istri sang suami pun datang dengan tergopoh-gopoh. Saat sang suami baru saja pulang dan menginjakan kaki di ruang tamu sempit rumah yang di kontrakannya.”
    Istri: ”Mas, orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!”
    Suami: “O,ya?”
    Istri: “Tahu nggak mas tadi ada keributan di sini.”
    Suami: “Keributan? Keributan apa?”
    Istri: "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka nggebukin orang!"

    BalasHapus
  168. Suami: “Hah ? Siapa yang digebukin?” (Tanya sang suami sambil terkejut)
    Istri: “Pak sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit."
    Narator: “Tiba-tiba saja lidah sang suami terasa kelu setelah mendengar cerita dari istrinya tercinta tentang peristiwa yang menimpa lelaki tua ramah itu.”
    Babak VIII
    Narator: “Sang suami menatap sampah yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari. Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini. Tiba-tiba saja istrinya memanggilnya”
    Istri: "Mas, mobilnya sudah datang! Ayo kita naik!"
    Suami: “Oh,ya!” (sambil mengangkat tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakannya)
    Narator: “Akhirnya, mulai hari ini, sang suami dan istrinya bisa menempati rumahnya sendiri, meski harus mencicil selama 15 tahun. Sampah…sampah… suara cempreng itu akan selalu terdengar di telinga sang suami.”

    BalasHapus
  169. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya.
    ivan :“Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?”( tanya Ivan pada Bela.)
    ano : “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” (jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu.)
    bella :“Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” (jawabnya.)
    ivan : “Yah nggak kangen dong sama kita.” (tanya Ivan sedikit lemas.)
    bella : “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” (jawabnya dengan senyumnya yang manis)
    Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun
    ano : “Bell, ini siapa?” (tanyaku kepadanya)
    bella : “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” (jawabnya)
    bella :“Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” (jawabnya. )
    ivan:“Dasar pikun!”( ejek Ivan padaku)
    ano :“Emangnya kamu inget tadi?”( tanyaku pada Ivan.)
    ivan :“Nggak sih!” (jawabnya malu.)
    ano :. “Ye sama aja!”
    ivan :“Biarin aja!”.
    bella : Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” (tanyanya pada kami berdua)
    ano : “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” (jawabku tanpa pikir panjang)
    ivan : “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku.“Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.”( jawabnya kepada Bella.)
    balla :“Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” (kata Bella padaku)
    ano :“Ok deh!” jawabku cepat.
    .Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk.

    BalasHapus
  170. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  171. ibu bella :“Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” (kata beliau ramah.)
    ano : “Iya tante!” (jawabku sambil masuk kedalam rumah.)
    ibu bella : “Bella ini Ano udah dateng” (panggil tante Vivi kepada Bella)
    bella : “Iya ma bentar lagi” (teriak Bella dari kamarnya.)
    Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya.
    bella :Udah siap ayo berangkat!”( ajaknya padaku)
    Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku
    bella : “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” (tanyanya kepadaku.)
    ano : “Eh nggak apa-apa kok!” (jawabku kaget)
    Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi.
    ibu bella : “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” (ajak tante
    ano : " ya tante."( jawabku pada tante Vivi padaku.)
    Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam.
    ibu ano : “Kemana aja tadi sama Bella?” (tanya ibuku padaku)
    ano : “Dari jalan-jalan!” (jawabku sambil melanjutkan makan.)
    Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.
    ano : “Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” (kataku gugup.)
    bella : .“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!
    Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

    ano :

    BalasHapus
  172. Nama : Lusi Handayani
    Kelas : XI P5
    NO : 29

    Tema ; Kepedulian Sosial

    Berdasarkan cerpen:

    Setitik Makna yang Terlupa
    Karya : Naisbitt Iman


    Ketika kita berbicara, bahkan ketika alam semesta baru bermula,Sesungguhnya pena takdir telah kering, tertulis rapi terperinci di dalam kitab ketentuan . Kau dan aku hanyalah menjadi penyebab atas perihal yang telah Ia tentukan, yaitu keselamatan dan kesesatan.

    -Perbincangan kepada Iblis-

    Persimpangan Raya

    -Lampu Hijau-
    Pukul 12:07

    “TEEET!!!” “TEEET!!!”

    Bunyi klakson dari para pengendara yang tidak sabar, seakan-akan menggelegar memenuhi persimpangan empat tersebut. Suara itu mengejutkan seorang anak perempuan berbaju lusuh, yang sedang menadahkan sebuah bungkus plastik bekas permen ke sebuah kendaraan yang sedang berhenti.

    Dan segera setelah seorang pengendara, memasukkan dua keping uang logam lima ratusan, ia segera berlari, menepi di bawah kolong Fly Over ,bersama dengan beberapa anak-anak lain.

    Hari itu cuaca memang sedang panas-panasnya , dan dengan perbandingan waktu lampu hijau berbanding lampu merah, senilai satu berbanding lima, wajar bagi para pengendara, ingin segera terbebas dari persimpangan dan melanjutkan perjalanan.

    Akibat kejadian tadi, para pengendara kendaraan, khusunya pengendara mobil yang berharap dapat melalui persimpangan, pada giliran kali ini tidak dapat melaluinya.

    Akibatnya, tatapan sinis menyudutkan tak henti-hentinya bergulir kepada anak perempuan tadi. Ditambah dengan gerutuan menyalahkan, dan omelan salah sasaran yang dilontarkan oleh para pemilik mobil kepada supir mereka.

    Walaupun begitu, anak perempuan tadi
    sepertinya tidak begitu mempedulikan tatapan sinis tersebut. Pandangan matanya tertuju pada isi bungkusan plastik permen tadi yang berisi kira-kira sepuluh ribu rupiah, hasil mengemis dari pagi hingga siang Pukul dua belas.Uang tersebut, tentu tidaklah cukup untuk makan dirinya dan dua orang adiknya. Belum lagi, ia harus menyetor setoran lima belas ribu rupiah kepada Bang Tejo, preman di persimpangan yang terkenal galak dan tidak segan-segan main tangan.

    Tapi , apa daya dirinya sudah merasa sangat lelah karena sejak pagi, lebih tepatnya pagi kemarin. Ia hanya memakan tiga sendok makan nasi bungkus setengah basi, yang didapatkannya dari seorang penjaga warung makan yang merasa kasihan melihat keadaannya.
    Karena lelah, ia pun jatuh tertidur dibawah Fly Over tersebut.

    BalasHapus
  173. lanjutan

    Anak perempuan itu terbangun, kemudian ia menggosok-gosok kedua matanya, dan menguap lebar. Ia lalu bangun dan bersiap untuk mengemis lagi, tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak menemukan kantong permen berisi uangnya, ia mencarinya kemana-mana. Namun apa daya, kantong itu telah lenyap.

    Ia pun menangis, tapi segera ia bangun dan berdiri, ia sadar menangis tidak ada gunanya. Hari ini ia dan adik-adiknya harus makan, dan satu-satunya cara adalah dengan ia mengemis lagi.

    Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari kantong bekas permen lainnya, dengan kondisi kota yang kesadaran penduduknya akan kebersihan masih minim, hal itu bukanlah hal yang sulit. Buktinya sekitar lima belas detik kemudian, ia menemukannya tergeletak kotor di atas jalan.

    Ia mengambilnya dan membersihkan isinya, dan memulai lagi pekerjaannya. Mengemis, meminta belas kasihan para penduduk kota. Beberapa jam kemudian, ia sudah mengumpulkan uang kira-kira dua puluh ribu rupiah. Karena hari sudah semakin sore, ia segera beranjak dari tempatnya mengemis. Ketika ia baru berjalan sekitar sepuluh langkah, sebuah cengkeraman tangan menariknya, ternyata itu Bang Tejo, si preman.

    “Setoran hari ini mana?” tagih Bang Tejo
    galak

    “Innnii bbang....” jawab anak itu ketakutan.

    “Alaaah, masa cuma segini, payah amat sih
    loe!!” hardik Bang Tejo.

    “Mmaap bbang...” jawabnya dengan terbata-bata
    karena ketakutan

    “Ya udah, sono pergi, tapi inget besok harus
    lebih banyak!!”

    “Ia Bang, tapi biasanya cuma lima belas ribu.”

    “Terus??”

    “Itu ada dua puluh ribu kan Bang, berarti
    punya saya lima ribu.”

    “Alaah jadi anak kecil aja belagu, loe mesti
    tau, harga-harga naik, ya setoran ke gue
    juga ikut naik, ngerti kagak?!!”

    “Ia, Bang...”

    “Dah, sono pergi, Gue enek liat muka loe!!”

    Anak itu beranjak pergi, walaupun sedih, ia tidak menangis. Karena, itu percuma. Air matanya telah lama kering. Di perjalanan pulang, ia melihat seorang bapak yang sedang membuka dompetnya, karena buru-buru sang bapak tadi menjatuhkan selembar uang lima puluh ribuan. Ia buru-buru memungutnya

    Dalam hatinya, berkecamuk pikiran untuk menyimpan atau mengembalikan. Usul menyimpan didukung oleh akal dan perutnya, karena ia dan adik-adiknya masih kelaparan.

    Usul mengembalikan didukung oleh hati kecil, walau hati kecil ini sedikit plin-plan, karena ia juga mendukung untuk disimpan karena, merasa kasihan kepada adik-adiknya.

    BalasHapus
  174. lanjutan


    Akhirnya, ia bertekad mengembalikannya, karena menurutnya ia tidak akan pernah terpuaskan oleh kesenangan dunia, ia sudah muak dengan hidangan dunia -makanan dan minuman- yang harus ia masukan kedalam perutnya hanya untuk bertahan hidup, sebenarnya jika ia tidak memiliki adik-adik yang harus ia urus, ia sudah memilih menyelesaikan kehidupan dunianya dan mencoba rasanya hidangan kampung akhirat yang ia lama rindukan.

    Ia berlari menghampiri bapak tadi. Menepuk pinggang si bapak dan memanggilnya.

    “Pak , maaf, ini uang Bapak jatuh tadi.” kata
    si anak sambil menyerahkan uangnya

    Bapak itu segera mengambil dompet dari saku celananya, membukanya, dan menghitung uangnya. Ia menyadari bahwa uangnya kurang lima puluh ribu rupiah.

    “Terima kasih, Nak.” kata bapak itu

    “Sama-sama, Pak.” jawabnya

    “Jarang lho, di kota ini ada orang jujur
    kayak kamu, nama kamu siapa?” tanya bapak itu

    “Ani, Pak. ” jawab Ani

    “Makasih ya, Nak Ani, kenalkan nama bapak itu
    Pak Wilo. Oh iya, kamu sudah makan belum?”
    tanya bapak itu

    “Belum, Pak.”

    “Tuh ada warung, kita makan yuk!!”

    Ani merasa senang, akhirnya ia bisa makan juga, walau dengan hidangan sederhana yaitu sepiring nasi goreng dengan telur dadar, Ani memakannya dengan lahap. Ketika sendokannya yang ke delapan ia baru menyadari sesuatu.

    “Maaf Pak Wilo, ini nasi gorengnya boleh Ani
    bungkus aja ga?” tanya Ani

    “Lho, Ani kenapa? Sudah kenyang rupanya?”
    tanya Pak Wilo
    Ani tersenyum, ia sudah kenyang makanan dunia sejak lama, ia makan karena terpaksa, untuk bertahan hidup. Baginya hidup itu bukan untuk makan, tapi makanlah untuk hidup, karena sesuatu yang ia masukkan ke perutnya baginya adalah kesia-siaan yang akan dibuangnya kembali.

    “Nggak Pak, ini untuk adik-adik saya, dari
    kemarin belum makan”

    Bapak itu terhenyak lagi, ia berpikir. Anak ini benar-benar luar biasa, dalam kondisi seperti itu ia masih mengingat adik-adiknya yang belum makan, sungguh beda dengan masyarakat negeriku, yang sudah mengakar. Aku tak usah mengambil contoh para elit pejabat korup yang ada di berita surat kabar, cukup sering aku melihat istri-istri mengeluh, anak mereka tidak mendapat uang untuk membeli makanan bergizi, walau hanya sebutir telur, karena para suami mereka menghabiskannya untuk sebungkus rokok.

    BalasHapus
  175. lanjutan

    “Jangan, kamu makan saja, nanti bapak belikan
    dua bungkus untuk adik-adikmu!”

    “Terima kasih, Pak!” ucap Ani, matanya
    berbinar tidak percaya

    Sungguh jarang ada orang seperti ini, dia masih memiliki hati nurani. Masih peduli kepada kami, para rakyat kecil yang tertindas dan dipinggirkan oleh kaumnya sendiri, padahal setahuku para penduduk negeri ini, terutama yang berada di kota-kota besar sudah biasa dan tidak peduli lagi.

    Ketika ada tawuran antar pelajar, mereka berkata itu adalah hal yang biasa, bagi anak muda yang kebanyakan energi. Ketika mereka, melihat tabrakan di jalan raya, mereka langsung memukuli si penabrak, padahal belum tentu ia yang salah.

    Ketika para pejabat korupsi, mereka hanya berkata bahwa tujuan menjadi seorang pejabat adalah menjadi orang kaya, karena biaya kampanyenya juga besar, tentu pengembaliannya membutuhkan langkah-langkah yang besar pula.

    Masyarakat kelas bawah juga sama saja, mereka hanya menuntut perubahan setiap harinya, berdemo di jalan, menolak si A atau si B diangkat menjadi Pejabat A atau Pejabat B. Hanya karena terpengaruh isu-isu yang murahan.

    Tentu ada yang jujur, dan bekerja keras diantara mereka, tapi kejelekan dan kenegatifanlah yang cenderung di ekspos oleh media, akibatnya persepsi buruk tentang kamipun semakin menjadi-jadi.

    Yang jujur dan bekerja keras tidak tampak, karena mereka bercampur dengan yang malas, dan memilih jalan menuju terali besi. Diibaratkan kamu mencampur susu dan tinta di dalam gelas, susu itu ada. Tapi tinta yang terlihat.

    Ya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
    Karena itu Ani bertekad untuk, mengeluarkan adik-adiknya dari kehidupan yang sekarang. Mereka harus sekolah, dan dengan begitu mereka akan mendapat pekerjaan yang bagus.
    ****

    “Jadi rumah Ani disini?” tanya bapak itu.

    “Ia, Pak.”

    “Bapak ama Ibu Ani di mana?”

    “Ibu sudah meninggal Pak, bapak saya tak tahu
    pergi kemana.”

    “Oh, maap Ani , Bapak tidak bermaksud
    untuk...”

    “Ya, ga apa-apa kok Pak, saya sudah biasa.”

    Pembicaran mereka terhenti, ketika ia melihat si kecil Toni dan Ari keluar dari rumah. Toni dan Ari menarik-narik baju Ani

    “Kakak bawa makanan?” tanya Toni.

    “Ia, ini Kakak bawa nasi goreng dua bungkus!”

    BalasHapus
  176. lanjutan

    jawab Ani gembira.

    “Wah makasih,Kak!” katanya buru-buru membuka
    bungkus nasi goreng

    “Nah, dimakan berdua ya, yang satu lagi bua
    besok.” kata Ani

    “Ia, Kak.”

    Mereka berdua masuk ke dalam rumah non-permanen 4 x 5 m itu. Mereka makan dengan lahap, tanpa beban. Nasi goreng itu dihabiskan dalam waktu lima menit, kemudian mereka tertidur lelap.

    “Pak Wilo, saya sangat berterima kasih.” kata
    Ani

    “Nda apa-apa, Nak Ani. Justru saya, yang
    harus berterima kasih.” jawab Pak Wilo

    “Kenapa begitu, Pak?” tanya Ani heran

    “Nak Ani telah membuka pandangan saya, dulu
    saya itu orangnya selalu mengeluh, misalnya
    kalau ada masalah di kantor, saya
    menyalahkan bos saya. Dia yang salah , saya
    yang kena getahnya, dan saya selalu merasa
    menjadi orang tersial di dunia. Tapi
    ternyata masih banyak orang yang lebih tidak
    beruntung, saya jadi bersyukur dengan yang
    saya miliki.” jawab Pak Wilo

    Lalu Pak Wilo, beranjak pergi. Menaiki motor vespa tuanya, lalu menghilang dalam kegelapan malam.

    ****

    Malam semakin larut, tapi Ani belum bisa tidur, ia menatap adik-adiknya yang tertidur pulas, wajah kecil polos tanpa dosa, semoga mereka tak seperti aku pikirnya. Suasana malam dengan deruman suara kendaraan yang tak hentinya lalu-lalang menjalankan roda perekonomian membuatnya merasa melankolis. Jiwa puitisnya kembali ia teringat suatu puisi untuk adiknya.

    BalasHapus
  177. lanjutan

    Adik-adikku sayang,

    Adik, kakak sangat sayang pada kalian
    Walau rasa sayang kakak tidaklah sebesar sayangnya ibu
    Yang memberi jiwanya untuk kehidupan kalian.
    Adik, kakak akan selalu berusaha untuk menghidupi kalian
    Walau kegigihan kakak, tidak sebesar kegelapan yang selalu kembali ketika cahaya pergi.
    Adik, kakak akan selalu berusaha mengemis sebanyak-banyaknya tiap hari
    Walau, kakak tidak serajin mentari yang selalu terbit tiap pagi.
    Adik, kakak tidak akan pernah menyerah
    Walau, kakak tidak seteguh bulan yang tetap bercahaya ketika kegelapan malam tiba.
    Adik, kakak adalah kakak
    Kakak tidak seperti ibu, tidak seperti kegelapan, tidak seperti mentari , atau seperti bulan
    Kakak tidaklah sekuat,sebesar atau seteguh mereka.
    Tapi kakak akan selalu berusaha...
    Demi kalian...


    Sumber: http://kemudian.com/node/236986
    (Komunitas Penulis Terbesar di Indonesia)

    BalasHapus
  178. Naskah Drama

    Narator:Dihari yang sibuk,dimana bunyi klakson dari pengendara yang tidak sabar dipersimpangan empat,suara itu mengejutkan seorang anak perempuan yang bernama Ani,Ani menadahkan sebuah bungkus plastic bekas permen kesebuah kendaraan yang sedang berhenti

    1. Ani : ”Pak,kasihanilah saya,saya blm makan dari pagi”
    Pengemudi:Sambil menatap kesal memasukan dua keping uang logam lima ratusan.

    2. Ani : ”terima kasih”,Pak(lalu berlari menepi tepi bawah kolong fly Over, bersama dengan teman-temannya.

    Narator:hari itu cuaca memang sedang panas-panaasnya.semua pengendara ingin terbebas dari persimpangan dan melanjutkan perjalanan.Akibat kejadian tadi ,para pengendara kendaraan khususnya para pengendara mobil yang berharap dapat melalui persimpangan, pada giliran kali ini tidak dapat melaluinya.

    3. Pemilik mobil : ”Gara-gara kamu memberi anak itu uang kita jadi tertunda,gimana kamu ini, buat saya jengkel saja”

    4. Pengemudi : ”Saya kasihan , pak!melihat anak itu.Anak itu kelihatannya lapar sekali

    Narator:Walaupun anak perempuan itu ditatap dengan sinis,dia tidak memperdulikan tatapan sinis tersebut.

    5. Ani : ”Waduh!bagaimana ini,kantong plastic ini isinya paling-paling hanya sepuluh ribu rupiah pastilah tidak cukup untuk makanaku dan kedua adikku.Mana aku harus menyetor Lima ribu rupiah kepada bang Tejo preman galak itu”.

    Narator:Tapia pa daya Ani sangatlah lelah, kemarin pagi ia hanya makan tiga sendok, lalu Ani terjatuh tertidur dibawah Fly Over.

    6. Ani : sambil menggosok-gosok kedua matanya dan mengusap lebar)”dimana kantong plastikku?
    Aduh uangku hilang dan kantongnya kosong.Aku harus kerja lagi cari uang lagi kira-kira dua puluh ribu rupiah.

    7. Ani : “Yah!Lumayan deh aku dapat dua puluh ribuan.”
    Narator:Tak jauh dari situ ada tangan mencengkramnya ternyata itu Bang Tejo,si preman

    8. Bang Tejo : ”Setoran hari ini mana?”

    9. Ani : ”Ini bang…(sambil ketakutan)

    10. Bang Tejo : ”alaah,masa Cuma segini,payah amat sih loe!!”(sambil menghardik)

    11. Ani : ”Maap bang …”(sambul menjawab terbata-bata ketakutan)

    12. Bang Tejo : ”Ya udah, sono pergi,tapi ingat besok harus lebih banyak!”

    13. Ani : ”Iya Bang,tapi biasanya Cuma lima belas ribu”

    Bang Tejo:”Terus??”

    14. Ani : ”Itu ada dua puluh ribu kan Bang,berarti punya saya lima ribu”

    BalasHapus
  179. 15. Bang Tejo : ”Alah jadi anak kecil aja belagu,loe mesti tahu,harga-harga naik,ya setoran ke gue juga ikut naek,ngerti kagak?!!”

    16. Ani : ”Ya,Bang..”

    17. Bang Tejo : ”Dah,sono pergi,gue enek liat muka loe!”

    Narator:Ani beranjak pergi,di perjalanan pulang ia melihat seorang bapak membuka dompet dan uangnya lima puluh ribuan jatuh,lalu Ani memungutnya.

    18. Ani : ”Lumayan!Ah..Uang ini sebaiknya di simpan atau dikembalikan yah?..Ah lebih baik kukembalikan.

    19. Ani : ”Maaf pak,uang bapak tadi terjatuh,bapak tidak melihatnya”

    20. Bapak Wilo : ”Terima kasih ya nak!”

    21. Ani : ”Sama-sama Pak!”

    22. Bapak Wilo : ”Wah,kamu anak baik,sekarang jarang ada orang sejujur kamu di kota yang besar ini.Siapa namamu?

    23. Ani : ”Nama saya Ani.”

    24. Bapak Wilo : ”Perkenalkan nama saya Bapak Wilo,sekali lagi terima kasih,sudah makan belum?

    25. Ani : ”Belum ,Pak!”

    26. Bapak Wilo : ”Mari temani saya makan di warung sana”

    27. Ani : ”Baik pak terima kasih!(Ani makan dengan lahapnya)
    “Maaf Pak,boleh nggak nasi ini saya bawa pulang?”

    28. Bapak Wilo : ”Kenapa tidak kamu habiskan?Kamu sudah kenyang ya?”

    29. Ani : ”Bukan begitu Pak!Saya mau kasih adik-adik saya.”

    30. Bapak Wilo : ”Kamu benar-benar hebat!Kamu makanlah,biar nanti bapak belikan lagi untuk adik-adikmu

    31. Ani : ”Terima kasih,Pak.”

    Narator: Setelah selesai makan,Bapak Wilo mengatar Ani pulang ke rumahnya.
    32. Bapak Wilo : ”Ini,rumah adik Ani?”(sambil melihat sekeliling rumah)

    33. Ani : ”Ya,Pak”

    34. Bapak Wilo : “Di mana ayah dan ibu?”

    35. Ani : “Ibu sudah meninggal
    sedangkan ayah…(terdiam)
    telah pergi dan tidak
    pernah kembali.”

    BalasHapus
  180. 36. Bapak Wilo : “Maaf ya, Adik. Bapak tidak
    bermaksud untuk…”

    37. Ani : “Nggak apa-apa.”(tersenyum
    sedih)

    38. Toni : “Asyik, kakak pulang membawa
    makanan.”

    39. Ani : “Kakak bawa 2 bungkus nasi
    goreng untuk kalian berdua.”

    40. Toni : “Terima kasih, Kak.”

    41. Ani : “Nah, yang satu bungkusnya
    lagi, sebaiknya dimakan
    untuk besok.”

    42. Bapak Wilo : “Terima kasih Dik, karena
    adik, bapak telah mendapat
    hikmah. Sebelumnya Bapak
    selalu mengeluh tentang
    pekerjaan, setiap kali ada
    masalah, pasti bapak yang
    dimarahi oleh atasan,
    ternyata bapak menyadari
    masih banyak orang yang
    nasibnya kurang baik,
    akhirnya Bapak bersyukur
    dengan anugerah yang
    diberikan Tuhan kepada
    Bapak.”

    Ani: (menulis sebuah puisi)

    Adik-adikku sayang
    Adik, kakak sangat sayang pada kalian
    Walau rasa sayang kakak tidaklah sebesar sayangnya ibu
    Yang memberi jiwanya untuk kehidupan kalian
    Adik, kakak akan selalu berusaha untuk menghidupi kalian
    Walau kegigihan kakak, tidak sebesar kegelapan yang selalu kembali ketika cahaya pergi
    Adik, kakak akan selalu berusaha mengemis sebanyak-banyaknya tiap hari
    Walau, kakak tidak serajin mentari yang selalu terbit tiap pagi
    Adik, kakak tidak akan pernah menyerah
    Walau, kakak tidak seteguh bulan yang tetap bercahaya ketika kegelapan malam tiba
    Adik, kakak adalah kakak
    Kakak tidak seperti ibu, tidak seperti kegelapan, tidak seperti mentari , atau seperti bulan
    Kakak tidaklah sekuat,sebesar atau seteguh mereka
    Tapi kakak akan selalu berusaha...
    Demi kalian...

    selesai

    BalasHapus
  181. Nama : Elfira
    Kelas : XI IPA 5
    Absen : 13

    Tema cerpen : Kepedulian Sosial

    Kesempatan Kedua
    Karya : Annisa Budiastuti

    "Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…"
    "Hei, lagi ngapain kamu?" bentakku begitu melihat adikku di kamar. Kamar milik kami berdua itu tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun pada satu sisi tampak lembaran uang yang sudah ditumpuk rapi dan sepertinya tengah dihitung.
    Fitri, adikku itu langsung menghentikan aktivitasnya. Tak kusadari mataku melotot padanya dan itu membuatnya takut.
    "Kamu lagi ngitung uang ya?" tanyaku akhirnya setelah lama kami saling bertatapan. Ia mengangguk. Ia pun kembali melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda itu.
    "Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat ya, siapa yang lebih banyak!" ujarku kesal sambil mencibir ke arahnya. Ia tak bereaksi banyak. Aku pun beranjak mengambil ”kotak harta karun” milikku untuk menghitung uang di dalamnya.
    "Dua ratus ribu! Yeah!" teriakku begitu selesai. Aku melihat ke arahnya, dia juga tampak sudah selesai menghitung tabungannya. Ah, berapa banyak sih tabungan anak kelas 2 SD?
    "Dede baru seratus ribu, tapi masih kurang deng, lima ratus lagi," ujarnya sedih. Aku giliran tersenyum.
    "Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" teriak Ibu dari dapur begitu aku keluar dari kamar. Dengan lemas aku menuju dapur.
    "Udah sore Bu, aku lemes banget," ujarku dengan mimik yang menyedihkan. Aku males banget, udah mau buka gini masih disuruh bantu.
    "Sebentar, cuma nyiapin takjil aja kok! Buat kamu juga kan," ujar Ibu sambil mengelus kepalaku.
    "Ibu, Dede mau bantu!!!" teriak Fitri dari dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah sampai ke dapur dengan berlari.
    "Enggak usah ya! Kamu nanti malah ngerecokin, tahu!" tanggapku ketus.
    "Duh Mbak, jangan galak gitu dong. Dede kan mau bantu. Udah, Dede nyiapin piring sama gelas aja ya!" ujar Ibu. Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, lalu dengan semangat menyiapkan semua yang tadi dikatakan Ibu.
    Fitri bekerja dengan semangat, begitu juga Ibu. Bahkan mereka berdua bernyanyi-nyanyi dengan ceria. Sedangkan aku? Terlihat sangat terpaksa mungkin ya! Habis, aku sudah merasa 3 L: lemah, letih, dan lesu.
    "De, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?"tanya Ibu di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.
    Fitri yang ditanya malah diam saja. Wajahnya tertunduk. "Enggak usah deh Bu, kan baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!" jawabnya setelah lama terdiam.
    "Bener nih?" Ibu menanyakannya sekali lagi, masih ragu akan keputusan gadis kecil itu. Fitri mengangguk yakin.
    "Kenapa sih Ibu begitu pilih kasih? Apa hanya karena Fitri anak bungsu jadi Ibu lebih sayang? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya dua bersaudara, apa susahnya berlaku adil?" batinku kesal. Aku mengurung diri di kamar hingga azan Maghrib berkumandang. Kemudian aku keluar untuk berbuka dengan takjil, kemudian makan nasi. Semuanya itu kulakukan dalam diam.

    BalasHapus
  182. **
    Hari ini aku tidak punya rencana apa-apa. Pinginnya sih malas-malasan saja di rumah. Jadi setelah salat Subuh tadi aku tidur lagi. Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan Fitri sedang mengaji. Adikku itu memang rajin membaca Alquran. Padahal membacanya pun belum lancar masih terbata-bata, sehingga seringkali ia menghentikan bacaannya dan bertanya pada Ibu. Ibu pun dengan sabar membimbing Fitri. Setelah membaca Alquran biasanya Fitri minta diajari menghafal surat-surat pendek. Hingga di umurnya yang baru 7 tahun dia sudah hafal setengah juz dari juz 30. Kurasa itu prestasi yang luar biasa. Karena banyak teman-temanku yang sudah duduk di bangku SMA saja yang hafalannya belum sebanyak Fitri.
    Sementara aku …. Entah kenapa Ramadan kali ini aku tidak begitu bersemangat. Aku yang sedari kecil sudah lancar membaca Alquran kenapa sekarang malah malas membacanya. Padahal aku tahu membaca Alquran di bulan Ramadan termasuk amalan yang utama. Tetapi, mengapa hatiku tidak tergerak juga? Ada apa denganku? Mengapa hatiku begitu keras?
    Tiba-tiba Dede masuk ke kamar.
    " Mbak Hasna bangun dong! Tolong anterin Dede ya, mau kan? "
    "Uuugh, Mbak Hasna masih ngantuk ah! Emangnya mau kemana sih?"gerutuku malas.
    "Ke mal. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?"tanyanya penuh harap.
    "Ehm gimana ya? Asal … ada upah antarnya ya!"ujarku sambil mengedipkan mata.
    "Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja," ujarnya tersenyum riang.
    Yup, aku segera bangun dan bersiap-siap. Ya, hitung-hitung window shopping. Siapa tahu ada barang bagus, jadi bisa minta dibelikan sama Ibu.
    Kami pun pergi ke mal. Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi! Jadi ingin beli rasanya. Aku sendiri malah sibuk melihat-lihat, sampai lupa tujuanku menemani Fitri.
    Tiba-tiba Fitri menghampiriku dan menarik-narik bajuku. Aku yang sedang konsentrasi memilih baju jadi terganggu.
    "Ada apa sih?" tanyaku kesal. Kulihat ia membawa satu stel baju muslim.
    "Bagus enggak Mbak?" tanyanya.
    "Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Dede. Coba cari ukuran yang lebih kecil, yang pas buat Dede," jawabku.
    "Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede hadiahin buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri enggak? Itu, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan udah enggak punya bapak. Terus ibunya cuma penjual cilok.. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia udah enggak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan beresin rumahnya. Siangnya dia bantu-bantu cuci piring di warung Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca Alquran dan juga mengajari adik-adiknya membaca dan menulis. Teh Ratri ingin adik-adiknya jadi orang pintar walaupun enggak sekolah, pokoknya jangan sampai buta huruf kaya' ibu dan almarhum bapaknya". Fitri pun bercerita panjang lebar.
    Duh, aku merasa ”disentil”. Aku jadi teringat selama ini aku selalu bersungut-sungut bila diminta membantu Ibu mencuci piring. Aku pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini itu padaku.
    Kemudian adikku melanjutkan ceritanya:

    BalasHapus
  183. "Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang enggak harus dibeliin baju juga enggak apa-apa," ujarnya polos.
    Mendengarnya, aku terdiam. Tak mampu berkata-kata lagi. Aku seperti terhipnotis oleh kata-kata adikku.
    "Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan sangat cocok," ujarku menahan haru.
    Fitri tersenyum senang. Dengan riangnya dia menarik tanganku untuk segera menuju kasir dan membayar baju itu. Saat kulihat harganya, tak kurang dari seratus ribu rupiah.
    Selesai membayar, aku hendak buru-buru pulang, namun Fitri mencegahku.
    "Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang," ujarnya.
    "Dede juga mau beliin bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membahagiakan anak-anaknya di hari Lebaran. Ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana Lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal. Jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita tuh Mbak! Kemarin Ibu bilang sama Dede kalau Ibu juga mau berbagi Masakan lebaran Ibu untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya bahagia" kata Fitri mengakhiri ceritanya.
    Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kata-kataku seperti tercekat di tenggorokan. Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipi. Kuikuti langkah kecilnya ke tempat makanan. Ia mulai memilih-milih, hingga akhirnya dia mengambil 6 toples kue kering. "De, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?" tanyaku.
    "Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung. Jadi sekarang udah kumpul banyak deh!" jawabnya bersemangat.
    "Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang udah mau nganterin Dede."
    Degh! Aduh, aku jadi ingat permintaanku tadi sebelum mengantarnya pergi. Begitu pelitnya aku ya! Mengantar adik sendiri saja minta diupahin. Serendah itukah aku ini? Fitri saja rela menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk memberikan kebahagian buat orang lain. Aku juga ingat ketika minta pada Ibu untuk dibelikan baju Lebaran. Padahal bajuku sebenarnya masih banyak dan masih bagus-bagus. Sungguh aku merasa jadi orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.
    Dalam perjalanan pulang , kugenggam erat tangannya. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Badannya memang mungil, namun cintanya pada sesama begitu besar. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Selama ini aku selalu merasa iri padanya, merasa Ibu lebih menyayanginya sehingga aku berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatinya. Oh adikku, hatimu sungguh mulia.
    Fitri, adikku. Terima kasih telah menyadarkanku akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama. Selama ini aku terlalu egois, hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal, banyak orang di sekitarku yang membutuhkan uluran tanganku. Apa yang sudah kulakukan untuk mereka selama ini? Kalau kita mau, sebenarnya banyak hal yang bisa

    BalasHapus
  184. kita lakukan untuk membantu mereka. Dan ternyata arti kebahagiaan itu adalah bila kita bisa berguna dan membahagiakan orang lain.
    Kini, aku bertekad untuk menjadi Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku, membunuh segala penyakit hati yang menjangkitiku selama ini. Aku harus mengejar ketinggalanku selama ini. Aku telah menyia-nyiakan bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Bulan yang seharusnya diisi dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik malah kulewatkan dengan segudang keluh kesah. Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan hidayah-Mu padaku dan masih memberikan satu kesempatan lagi padaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini, karena kita tidak tahu mungkin ini adalah kesempatan terakhir yang Allah berikan untuk kita. Apakah kita yakin umur kita akan sampai pada Ramadan berikutnya?

    BalasHapus
  185. Nama : Elfira
    Kelas : XI IPA 5
    Absen : 13

    Naskah drama

    1.Narator: suatu hari si Fitri sedang bersuara sangat berisik di kamarnya. Kemudian kakaknya mendekatinya.
    2.Hasna: “Hei, lagi ngapain kamu?” (dengan suara lantang)
    3.Narator: Hasna membentak adiknya. Kamar mereka tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang receh berserakan di lantai. Namun tampak pula lembaran uang yang sudah di tumpuk rapi dan tampaknya telah di hitung. Fitri berhenti melakukan aktivitasnya. Hasna pun tanpa sadar memelototi adiknya.
    4.Hasna: “Kamu lagi hitung uang ya?” (sambil melotot)
    5.Fitri: “Ah, Mbak Hasna juga punya uang tabungan kok! Kita lihat saja siapa yang lebih banyak!” (cemberut dan kesal)
    6.Narator: Kemudian Fitri melanjutkan aktivitasnya. Hasna mengambil “kotak harta karun” miliknya dan menghitung uang yang ada di dalamnya. Setelah beberapa saat
    7.Hasna: “Dua ratus ribu! Yeah!” (berteriak senang)
    8.Fitri: “Dede baru seratus ribu. Tapi masih kurang lima ratus lagi.”
    9.Narator: Fitri terlihat murung tetapi Hasna malah merasa sangat senang. Tak lama kemudian ia Hasna di panggil ibunya. Ia dipanggil untuk membantu di dapur. Tetapi Hasna menolak untuk membantu dengan alas an kelelahan. Fitri mendengar suara mereka dan menjawab dari kamar mereka.
    10.Fitri: “Ibu, dede mau bantu!” (sambil berjalan ke arah dapur)
    11.Hasna: “Tidak perlu! Kamu nanti malah mengganggu tahu!”
    12.Ibu: “ Duh, mbak jangan kayak gitu donk. Dede kan mau bantu. Udah, dede siapkan piring sama gelas saja ya”
    13.Narator: Fitri mengacungkan jempolnya kepada ibunya dan mulai menjalankan perintah ibunya. Mereka berdua bekerja dengan penuh semangat, tidak seperti Hasna yang lesu. Di sela-sela kegiatan ibu bertanya.
    14.Ibu: “ Dede nanti mau di belikan baju seperti apa?”
    15.Fitri: “ Enggak usah deh bu, kan baju yang lama masih ada. Masih bagus lagi.”

    BalasHapus
  186. 16.Narator: mendengarnya Hasna menjadi tidak senang.
    17.Hasna: (bergumam)“Mengapa sih ibu pilih kasih? Apa karena Fitri anak bungsu jadi ibu lebih saying? Apa karena aku lebih besar jadi harus selalu mengalah? Kami hanya bersaudara, apa susahnya berlaku adil?”
    18.Narator: setelah itu, Hasna segera pergi ke kamarnya dan mengurung diri. Adzan maghrib pun berkumandang. Hasna keluar dari kamarnya untuk berbuka puasa dengan takjil kemudian makan nasi. Semua di lakukan dalam diam. Keesokan harinya pada pagi hari.
    19.Fitri: “Mbak Hasna bangun donk. Tolong anterin dede ya.”
    20.Hasna: (bangun dengan wajah lusuh) “Mbak Hasna masih ngantuk! Emangnya mau kemana sih?”
    21.Fitri: “Ke mall. Dede ingin beli sesuatu. Mau kan nganterin Dede?”
    22.Hasna: “Ehm gimana ya? Asal… ada upah antarnya ya!” (sambil mengedipkan mata sebelah)
    23.Fitri: “ Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja” (tersenyum riang)
    24.Narator: Hasna pun segera bangun dan siap-siap. Mereka pun pergi ke mall. Karena banyak baju yang di diskon serta bagus-bagus Hasna pun sibuk melihat-lihat dan melupakan tujuannya untuk menemain Fitri. Kemudian Fitri mendekatinya dan menarik-narik bajunya untuk menunjukan baju muslim yang ada di tangannya.
    25.Hasna: “ Ada apa sih?” (dengan nada meninggi dan terdengar sangat ketus)
    26.Fitri: “Bagus nggak mbak?” (dengan wajah penuh harap)
    27.Hasna: “Bagus si. Tapi sepertinya kebesaran untuk Dede. Coba cari yang ukurannya lebih kecil dan pas buat Dede”
    28.Fitri: “Bukan, baju ini bukan untuk Dede kok! Ini mau Dede berikan buat Teh Ratri. Mbak Hasna tahu Teh Ratri gak? Itu lho, anak Bi Surti yang tinggal di belakang rumah kita. Kasihan deh Mbak, dia kan sudah tidak punya ayah. Terus ibunya cuma penjual cilok. Teh Ratri sekolahnya hanya sampai tamat SD aja. Sekarang dia sudah gak sekolah lagi karena ibunya enggak punya uang untuk bayar sekolahnya. Adiknya ada 3 dan masih kecil-kecil, mereka juga tidak ada yang sekolah. Teh Ratri itu rajin lho Mbak, dia yang ngurusin adik-adiknya kalau ibunya sedang berjualan. Dia juga yang masak, mencuci piring, mencuci baju dan merapikan rumahnya. Siangnya dia membantu cuci piring di rumah Bu Hesti. Katanya dia dikasih lima ribu sehari. Uangnya diberikan pada ibunya. Malamnya Teh Ratri masih sempat membaca alquran dan juga mengajar adik-adiknya membaca dan menulis. The Ratri ingin adik-adiknya jadi orang yang pintar walaupun tidak sekolah, pokoknya jangan sampai seperti ibu dan almarhum ayahnya”

    BalasHapus
  187. 29.Narator: Hasna pun merasa “disentil”. Ia teringat bahwa ia selama ini selalu bersungut-sungut bila diminta membantu cuci piring. Ia pun selalu marah-marah dan merasa terganggu kalau Fitri bertanya ini-itu padanya. Kemudian Fitri melanjutkan ceritanya.
    30.Fitri: “ Waktu itu Teh Ratri cerita, bajunya sudah pada kekecilan tetapi tidak tega minta dibeliin baju sama ibunya. Dede jadi kasihan deh Mbak sama Teh Ratri. Jadi, Dede ingin sekali membantunya. Dede kan udah sering dibelikan baju oleh Ibu, jadi sekarang tidak dibelikan baju juga tidak apa-apa.” (sambil tersenyum)
    31.Hasna: “Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan cocok” (sambil menahan haru)
    32.Narator: Fitri tersenyum senang. Pada saat Hasna mengajak Fitri pulang, Fitri mencegahnya.
    33.Fitri: “Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang! Dede juga mau beliin bingkisan lebaran buat Ibunya Teh Ratri. Teh Ratri juga pernah cerita sama Dede kalau ibunya ingin sekali membeli kue-kue lebaran sehingga anak-anaknya juga bisa merasakan suasana lebaran yang penuh suka cita, tapi katanya harganya terlalu mahal, jadi Dede ingin membelikan kue-kue enak yang kayak di rumah kita Mbak! Kemarin ibu bilang sama Dede kalau ibu juga ingin berbagi masakan lebaran untuk Teh Ratri dan adik-adiknya. Dede juga bahagia kalau Teh Ratri dan keluarganya terlihat bahagia ”
    34.Narator: Mendengar kata-kata Fitri Hasna hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Tanpa terasa ia pun meneteskan air mata dan membasahi pipinya. Hasna mengikuti Fitri ke tempat makanan. Fitri memilih-milih hingga akhirnya memilih 6 toples kue.
    35.Hasna: “De, kuenya mahal sekali. Semuanya seratus lima puluh ribu. Emang Dede punya uang sebanyak itu?” (dengan nada meragu)
    36.Fitri: “ Punya dong! Kan setiap Dede tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Dede tabung jadi sekarang udah terkumpul banyak deh! Nah sisanya buat ongkos Mbak Hasna yang mau nganterin Dede”
    37.Narator: Hasna tersentak dan teringat dengan permintaannya sebelum mengantar Fitri pergi. Ia merasa menjadi malu pada dirinya sendiri. Karena Fitri saja rela menghabiskan uangnya hanya untuk membantu orang lain. Hasna juga ingat ketika ia meminta dibelikan baju baru namun tidak dibelikan lantaran bajunya sudah banyak yang masih bagus. Dalam perjalanan pulang, Hasna menggenggam erat tangan Fitri. Tangan mungil yang penuh cinta dan kasih. Hasna menyadari bahwa adiknya sungguh mulia. Hasna mulai menyadari bahwa dirinya adalah orang yang egois selama ini. Ia pun ingin menjadi Hasna yang “baru” yang lebih baik. Hasna pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan pada Ramadhan berikutnya yang merupakan kesempatan kedua baginya.

    BalasHapus
  188. Kesempatan Kedua

    Babak I
    Kamar tampak sangat berantakan. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan uang logam berserakan di lantai.

    Fitri : “Sepuluh ribu, dua puluh ribu, tiga puluh ribu…”
    Hasna : “Hei, lagi ngapain kamu?” (Hasna sambil melotot ke arah adiknya.)
    Fitri : “Tidak sedang melakukan apa-apa, Mbak.” (Fitri langsung berhenti sejenak.)
    Hasna : “Kamu lagi hitung uang ya?”
    Fitri : “Iya Mbak.” (Fitri mengangguk dan kembali melakukan aktivitasnya.)
    Hasna : “Ah, Mbak juga punya uang tabungan! Kita lihat ya, siapa yang lebih
    banyak!” (Hasna mencibir adiknya)
    Fitri : “Oh, ya sudah Mbak. Kita hitung sama-sama aja.”
    Hasna : (Hasna mengambil “kotak harta karun” dan menghitung uangnya)
    “Lima puluh ribu, enam puluh ribu, tujuh puluh ribu…)

    Fitri : “Wow, Mbak sudah mau selesai.”
    Hasna : “Dua ratus ribu! Yeah! Akhirnya selesai juga.” (Hasna melihat adiknya dan Fitri tampak sudah selesai menghitung tabungannya)
    Fitri : “Adik baru seratus ribu, tapi masih kurang lima ratus lagi.”
    (Fitri tampak sedih dan Hasna tersenyum)

    Tiba-tiba Ibu pun memanggil dari dapur. Dan ketika di dapur…

    Ibu : “Mbak Hasna, sini! Bantu Ibu dong!" (Dengan lemas Hasna menuju dapur.)
    Hasna : “Malas Bu, sudah mau buka masih disuruh bantu.” (Dengan mimik yang menyedihkan.)
    Ibu : “Sebentar, cuma menyiapkan takjil aja! Buat kamu juga kan.” (Ibu sambil mengelus kepala Hasna.)
    Fitri : “Ibu, Adik mau bantu!!! (Fitri berteriak dari dalam kamar dan tak lama kemudian ia sudah sampai di dapur dengan berlari.)
    Hasna : “Tidak perlu ya! Nanti kamu malah mengacaukan semuanya aja,
    tahu!”
    Fitri : “Aduh Mbak, Adik cuma mau bantu aja. Emang tidak boleh ya?”
    Ibu : “Iya sudah, Adik menyiapkan piring sama gelas aja ya!”
    Fitri : “Siap Bos!!!” (Fitri mengacungkan jempol pada Ibu, dan dengan semangat melakukan apa yang dikatakan Ibu tadi.)
    Ibu : “Adik, Lebaran nanti mau dibelikan baju seperti apa?” (Ibu bertanya di tengah-tengah aktivitasnya mencuci piring.)
    Fitri : (Terdiam) “Tidak perlu Bu, baju yang lama juga masih ada. Masih bagus lagi!”
    Ibu : “Bener? Tidak menyesal?”
    Fitri : “Iya Bu.”

    Setelah selesai menyiapkan menu buka puasa, mereka semua beristirahat sejenak. Tak lama kemudian Azan Maghrib pun berkumandang, semuanya berbuka puasa.

    BalasHapus
  189. Babak II

    Keesokan harinya...
    Tiba-tiba Adik masuk ke kamar.
    Fitri : “Mbak Hasna bangun dong! Sudah siang!!”
    Hasna : “Emang kenapa??”
    Fitri : “Tolong antar Adik ya, mau kan?”
    Hasna : “Uuugh, Mbak Hasna masih mengantuk ah! Emangnya mau kemana sih?”
    Fitri : “ Adik mau ke mal. Adik ingin beli sesuatu. Mbak mau kan antarkan Adik??”
    Hasna : “Ehm, bagaimana ya?? Asal… ada upah antarnya aja!”
    Fitri : “Beres deh! Terserah Mbak Hasna aja.” ( Fitri tersenyum riang.)
    Hasna : “Oke deh. Adik, Mbak mau siap-siap dulu ya. Adik tunggu di depan
    dulu aja.”
    Hasna dan Fitri pun pergi ke mal. Sesampainya di mal…
    Hasna : “Wah, banyak sekali baju-baju yang didiskon. Bagus-bagus lagi.” (Hasna sibuk melihat-lihat)
    Fitri : (Menghampiri Hasna dan menarik bajunya.) “Mbak, kok malah sibuk sendiri sih! Katanya tadi mau menemani
    Adik. Bagaimana sih??”
    Hasna : “Ada apa sih?” (Hasna kesal dan ia melihat adiknya membawa satu stel baju muslim)
    Fitri : “Bagus enggak Mbak?”
    Hasna : “Bagus sih bagus, tapi sepertinya terlalu besar untuk Adik. Coba cari
    ukuran yang lebih kecil, yang ukurannya pas untuk Adik.”
    Fitri : “Bukan Mbak, baju ini bukan untuk Adik kok! Ini mau Adik
    hadiahkan untuk Teh Ratri. Kasihan deh Mbak, dia sudah tidak
    punya Bapak lagi.” (Fitri bercerita panjang lebar)
    Hasna : “Oh, begitu ya. Kalau untuk Ratri sih, Mbak Hasna pikir pas dan
    sangat cocok.” (Hasna menahan haru dan Fitri tersenyum senang)
    Fitri : “Mbak, temani Adik ke kasir dulu ya?” (Fitri menarik tangan Hasna)
    Hasna : “Adik, berapa harga baju itu??” (Hasna bertanya heran)
    Fitri : “Tidak mahal kok. Tidak sampai seratus ribu rupiah.”
    Hasna : (Selesai Fitri membayar) “Ayo Adik, kita pulang.”
    Fitri : “Tunggu dulu Mbak Hasna, masih ada yang kurang. Adik juga mau belikan bingkisan Lebaran buat Ibunya Teh Ratri.”
    Hasna : “Oh ya sudah, Adik belikanlah dulu.” (Tanpa terasa Hasna meneteskan air mata setelah ia mendengar Adiknya berkata begitu dan mengikuti langkah Adiknya.)
    Fitri : “Mbak, belikan kue kering 6 toples ini aja ya??”
    Hasna : “Adik, kuenya mahal. Semuanya jadi seratus lima puluh ribu rupiah. Emang Adik punya uang sebanyak itu??”
    Fitri : “Punya dong! Kan setiap Adik tamat puasa, sehari dikasih hadiah lima ribu sama Ibu. Terus kalau tarawih ditambahin tiga ribu. Uangnya Adik tabung. Jadi sekarang sudah kumpul banyak deh! Nah, sisanya baru buat ongkos Mbak Hasna yang sudah mau antarkan Adik.”
    Hasna : “Tidak usahlah Dik. Tadi Mbak cuma bercanda aja.” (Teringat permintaanya tadi kepada Adiknya dan berpikir bahwa dirinya adalah orang paling egois, orang yang tidak pernah merasa puas dan juga tidak pernah bersyukur atas nikmat Allah yang begitu banyak.)

    Dalam perjalanan pulang, Hasna mengenggam erat tangan Adiknya.

    Hasna : “Adik, Mbak malu pada diri Mbak sendiri.”
    Fitri : “Kenapa?”
    Hasna : “Mbak selama ini selalu merasa iri padamu, merasa Ibu lebih menyayangimu sehingga Mbak berbuat hal-hal buruk yang menyakiti hatimu.”
    Fitri : “Tidak apa-apa kok. Itu kan biasa dalam kehidupan.”
    Hasna : “Adikku, hatimu sungguh mulia. Terima kasih telah menyadarkan Mbak akan pentingnya bersyukur dan berbagi kepada sesama.
    Fitri : “Mulai sekarang Mbak harus berubah.”
    Hasna : “Iya Dik. Sekarang Mbak bertekad untuk menjadi Mbak Hasna "baru" yang lebih baik, membuang segala keburukan yang ada dalam diriku.”

    BalasHapus
  190. Sampah
    Karya : Afifah Afra

    Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya. Sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira. Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!
    Tanpa disadari, setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah. Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar. Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4 x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti ikan asin di keranjangnya.
    Maka produksi sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak ukuran dua kali tiga meter yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah, lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.
    Oleh karenanya, kemunculan lelaki ramah dengan gerobak sampahnya itu benar-benar disambut gembira.
    "Sampaaah! Sampaaah!"begitu teriaknya.
    Istriku sering merasa heran, karena ia mengaku baru pernah menjumpai tukang sampah yang setiap kali meneriakkan berita kedatangannya.
    "Seperti pedagang keliling saja,"ujar istriku.
    Sebenarnya aku pun belum pernah menjumpai tukang sampah seperti itu, tetapi aku tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai hal yang aneh.
    "Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut dengan gerobaknya itu," dugaku. Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.
    Untuk pekerjaannya itu, aku melihat pendar kebahagiaan tersendiri memancar di wajah lelaki ramah itu.
    "Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!" jawab lelaki itu ketika kutanya akan semangatnya yang membuatku iri.
    Lantas aku pun membisikkan sesuatu ke istriku. Lelaki itu pahlawan, Dik…. Istriku tak menjawab, sehingga aku tak tahu pasti, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataanku.

    BalasHapus
  191. Tiba-tiba muncul sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu.
    Tertatih aku mengangkat kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang juga telah sangat usang bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap, serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.
    "Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?"ujarku.
    "Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu membuat kesal, Mas!" bela istriku.
    "Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat"
    Aku tersenyum tipis mendengar ucapan istri yang baru beberapa bulan kunikahi itu. Di luar, kulihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya juga.
    "Sampah… sampaaah!"
    Hm… tepat sekali kedatangan lelaki ramah itu.
    "Sampah, Pak!" ujarku.
    Lelaki itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku.
    "Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu!" teriak Pak Parlian tiba-tiba, ketus. Dan memang, begitu gerobak itu lewat, serangkum bau busuk tercium dengan sangat tajam. "Bisa sakit aku dibuatnya sama bau itu."
    "Iya!" sambut Pak Sinaga, setali tiga uang. "Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!
    Aku tertegun, lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun. Sejenak ia terdiam, lalu serangkai kata-kata halusnya pun keluar.
    "Jadi, keberadaan saya mengganggu?"
    "Eh, jadi kau ini tak sadar?"ujar Pak Diki.
    "Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!"
    "Belum lagi, gerobaknya segede truk, membuat yang berpapasan terpaksa harus pergi keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya." Tambah Pak Sinaga lagi.
    "Pak Sampah," Aa Karta, ketua RT di gang kami, tampak mencoba menengahi, "kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!"
    Pak Sampah berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh. "Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang."
    Masalah selesai, desisku. Bersyukurlah, karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.

    BalasHapus
  192. Ternyata aku salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari gang sempit itu. Enak sekali, bukan?
    Sayangnya, hal tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping Aa Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis, sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.
    "Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu. Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan rumah," ujar Bu Anton, berapi-api.
    "Betul sekali!" lengking Bu Asnah, penjual gado-gado. "Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu!"
    "Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!"
    "Ya. Kami tidak mau terima!"
    "Baiklah,"Aa Karta menimpali. "Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian mengusulkan kapan?"
    "Sore saja!" ujar Bu Asnah. "Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang."
    "Setuju!" teriak yang lain.
    "Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!"
    Aku dan istriku yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.
    Masalah baru kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.
    "Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus pulang kabur. Kami tidak terima!"
    Akhirnya, waktu pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para warga.
    "Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam."
    "Apa tidak dingin, Pak?" tanyaku.
    Lelaki itu tersenyum.
    "Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para langganan saya kecewa."
    Padahal dia hanya seorang tukang sampah, aku menelan ludah.
    "Mas…!" istriku berlari dengan tergopoh-gopoh, persis ketika aku baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu sempit rumah kontrakanku. "Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!"
    "O, ya?" aku meletakkan tas berisi laptop buntut yang biasa menemaniku bekerja pada sebuah kantor redaksi majalah bertiras minimal itu di atas karpet. Terus terang, aku letih sekali, karena harus lembur dan pulang malam seperti saat ini. Beruntung istriku masih terjaga. Paling tidak, secangkir kopi susu dan semangkok mie rebus pasti sudah menunggu di meja makan.
    "Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini."
    "Keributan?" Pantas istriku belum tidur.
    "Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka pukulin orang!"
    "Siapa yang dipukulin?"
    "Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit…."
    Lidahku mendadak terasa kelu.

    BalasHapus
  193. Kutatap sampah yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya. Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya bertahan masing-masing dua hari dan sehari.
    Hanya Pak Sampah yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.
    "Mas, mobilnya sudah datang!" ujar istriku, memecah lamunan.
    Aku tersentak. Segera kuraih tas terakhir yang tergeletak di rumah kontrakanku. Mantan kontrakan, karena mulai hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus mencicil selama limabelas tahun.
    "Sampah… sampah…!!"
    Suara cempreng itu mengiang di telingaku.

    BalasHapus
  194. Sampah

    Sewaktu petugas sampah datang dengan suranya yang cempreng semua warga menyambutnya dengan gembira.
    Pak Rudi : Sampaaah! Sampaaah!
    Bu Tari merasa heran dan mengaku baru pertama kali melihat petugas sampah yang seperti itu.
    Bu Tari : Seperti pedagang keliling saja.
    Sebenarnya Pak Herman juga baru pertama kali melihat petugas sampah seperti itu.
    Pak Herman : Mungkin dia sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang
    yang belum sempat buang sampah menjadi tahu, dan segera
    mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut
    dengan gerobaknya itu,
    Tampaknya dugaan Pak Herman benar. Untuk pekerjaan seperi itu terlihat kebahagian di raut wajahnya.
    Pak Rudi : Saya menganggap pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang sangat
    mulia, Nak!
    Tiba-Tiba muncul sebuah masalah baru yang berhubungan dengan sampah. Dimana banyaknya sampah di rumah Pak Herman dan Bu Tari ketika sedang bersih-bersih.
    Pak Herman : Hm… ternyata rumah kita ini jorok juga, ya?
    Bu Tari : Bukan rumah kita yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini
    yang terlalu membuat kesal, Mas!
    Pak Herman tersenyum tipis mendengar perkataan istrinya dan petugas sampahpun datang kembali.
    Pak Rudi : Sampah… sampaaah!
    Pak Herman : Sampah, Pak!
    Petugas sampah yang sudah tua tersebut menganguk dengan santun. Tiba-tiba keluar seorang tetangga Pak Herman.
    Pak Parlian : Hei… cepatlah lewatnya! Bau, tahu! -tiba, ketus. Bisa sakit aku
    dibuatnya sama bau itu.
    Pak Sinaga : Iya! Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat lagi
    jalannya. Dasar tidak tahu diri!
    Pak Herman tertegun begitu pula dengan Petugas sampah tersebut.

    BalasHapus
  195. Pak Rudi : Jadi, keberadaan saya mengganggu?
    Pak Didi : Eh, jadi kau ini tak sadar?
    Pak Sinaga : Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu! Belum lagi,
    gerobaknya segede truk, membuat yang berpapasan terpaksa harus pergi
    keluar gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya.
    Aa Karta : Pak Sampah.
    Bapak-bapak : Kami usul, bagaimana jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi
    siang saja, saat kita, para lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?
    Pak Rudi berpikir sejenak lalu ia menyuetujuinya.
    Pak Rudi : Baiklah… saya akan datang mengambil sampah setiap siang.
    Masalahpun selesai untunglah Pak Rudi mempunyai hati seluas samudera. Tetapi sekarang masalah datang dari kaum ibu .
    Bu Anton : Pak RT, kenapa tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami
    jadi merasa terganggu.
    Bu Asnah : Betul sekali! Bayangkan, setiap saat saya disibukkan bagaimana cara
    membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu menjadi buyar karena bau busuk itu! Pak RT harus membuat kebijakan tentang hal ini!
    Ibu-Ibu : Ya. Kami tidak mau terima!
    Aa Karta : Baiklah. Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian
    mengusulkan kapan?
    Bu Asnah : Sore saja! Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa
    menutup pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang.
    Ibu-Ibu : Setuju!
    Aa Karta : Baiklah, saya akan mencoba bicarakan hal itu!
    Pak Herman dan istrinya hanya bisa saling padang dan masalahpun datang kembali dari anak-anak.
    Christian : Waktu sore itu saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami
    harus pulang kabur. Kami tidak terima!
    Pada akhirnya waktu pengambilan sampah diganti menjadi malam hari. Pak Herman berpikir tidak akan ada yang dirugikan lagi kecuali Pak Rudi, tetapi tidak sedikitpun rasa sedih diraut wajahnya.
    Pak Rudi : Saya biasa tidur selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam
    satu malam. Nah, nanti saya akan mengambil sampah ini jam satu malam.
    Pak Herman : Apa tidak dingin, Pak?
    Pak Rudi : Tak apa, Nak! Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya
    tidak mau membuat para langganan saya kecewa.
    Bu Tari : Mas…! Orang-orang di sini memang sudah kelewat batas!
    Pak Herman : O, ya?
    Bu Tari : Tahu nggak, Mas, tadi ada keributan di sini.
    Pak Herman : Keributan?
    Bu Tari : Itu lho, anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu
    siskamling sambil mabuk-mabukan. Barusan mereka pukulin orang!
    Pak Herman : Siapa yang dipukulin?
    Bu Tari : Pak Sampah. Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu
    kesenangan mereka. Nah, karena luka parah, Pak Sampah akhirnya
    dilarikan ke rumah sakit….
    Pak Herman menatap samaph yang begitu banyak telah seminggu lebih sampah itu tidak ada yang memungutinya. Dua orang petugas sampah telah mencoba menggantikannya tetapi tidak ada yang bertahan.Hanya Pak Rudi yang sanggup bertahan.
    Bu Tari : Mas, mobilnya sudah datang.
    Pak Herman lansung tersentak dan meraih tasnya yang ada dikontrakan lamanya karena sekarang ia sudah bisa menempati rumah sendiri walaupun harus mencicil lima belas tahun. Sampah… sampah…!! Suara cempreng itu mengiang di telinga Pak Heman..

    BalasHapus
  196. Persahabatan itu Indah

    Nama: Christian Dinata
    No Absen:10

    Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku

    BalasHapus
  197. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.

    BalasHapus
  198. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  199. Narator: “Suatu pagi saat Ano terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namanya. Ano melihat keluar. Ivan temannya sudah menunggu diluar rumah kakeknya .Dia mengajakku untuk bermain bola basket.”
    Ivan: “Ayo kita bermain basket ke lapangan.”
    Ano: “ Sekarang?”
    Ivan: “ Besok! Ya sekarang lah!”
    Ano: “ Tunggu sebentar ya, aku mau cuci muka dulu.”
    Ivan: “ Oke, tapi cepat ya!”
    Narator: “Setelah Ano cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakeknya.”
    Ano: “ Wah dingin ya.”
    Teman: “ Cuma segini saja dingin, payah kamu.”
    Narator: “Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai.”
    Ano: “ Ramai sekali di sini. Pulang saja , malas kalau ramai. “
    Ivan: “ Dasar kamu saja malas ajak pulang. Kita ikut main saja dengan orang - orang di sini. ”
    Ano: “ Malas ah! Kamu sajasaja main, aku tunggu di sini. “
    Ivan: “ Terserah kamu saja deh!”
    Gadis: “ Ano! ”
    Ano: “ Bella?” bertanya dalam hati
    Narator: “Bella adalah teman satu SD dengan Ano dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana.”
    Gadis: “ Hai, masih ingat aku tidak?”
    Ano: “ Bella kan?”
    Bella: “ Iya.”
    Narator: “Setelah kami ngobrol tentang kabarnya Ano pun memanggil Ivan.”
    Ano: “ Van! Sini!”
    Ivan: “ Apa Lagi?”
    Ano: “ Ada yang datang.”
    Ivan: “ Siapa?”
    Ano: “ Bella!”
    Narator: “Akhirnya Ivan pun datang menghampiri Ano dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya.”
    Ivan: “ Bella? Tumben ke Jogja? Kagen sama Aku ya?”
    Bella: “Kangen lah sama kalian semua.”
    Narator: “Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun.”
    Ano: “ Bel, ini siapa?”
    Bella: “ Kamu sudah pikun ya? Ini kan Dafa! Adikku.”
    Ano: “ Oh iya, aku lupa.”
    Bella: “ Nanti sore kalian mau tidak mengantar ku ke Mall?”
    Ano: “Mau lah!”
    Bella: “ Ya sudah no nanti kamu ke rumah aku jam 4 sore ya!”
    Narator: “Saat yang Ano tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella Ano mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk.”
    Ibu: “ Eh Ano, silahkan masuk dulu! Bellanya lagi siap – siap.”
    Ano: “Iya Tante.”
    Ibu: “ Bella, ini Ano sudah datang.”
    Bella: “ Iya ma, sebentar lagi.”
    Narator: “Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, Anoterpesona melihatnya.”
    Bella: “ Sudah siap, ayo berangkat!”
    Bella: “ Ano kenapa? Kenapa dari tagi laihatin aku terus? Ada yang aneh?”
    Ano: “ tidak apa apa kok.”
    Narator: “Ano memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa Ano tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Ano berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.”

    BalasHapus
  200. Nama : Rieke Pasela
    Kelas : XI IPA 5
    No. Absen : 38

    Cerpen
    Tema : Kepedulian Sosial

    Yang Hilang dan Kembali

    Lestari merangkul pria di hadapannya.

    “Jangan pergi lagi mas!” ujarnya pelan. Matanya memohon pada pria yang berdiri kokoh di dekapannya.

    “Aku tak bisa.” Pria itu mencoba melepaskan eratnya dekapan wanita berketurunan Jawa-Sunda itu.

    Suara-suara alam membahama. Kesunyian yang terbentuk meneteskan air mata kerinduan. Pria itu baru datang pagi ini. Lima tahun sudah pria yang pernah memberikan ketulusan cinta padanya tujuh tahun silam meninggalkannya.

    “Kau tidak kangen dengan anak kita, Wulan?” ucapan Lestari makin bergetar. Matanya yang bening mulai memerah. Ia tak mampu mengatur napasnya lagi. Dadanya naik-turun tak menentu.

    Seorang bocah perempuan berdiri di belakang kaki Lestari. Sesekali bocah itu melongok ke arah pria yang membuat ibunya menangis itu. Ada kebencian yang menelisik di hati bocah itu. Namun ada pula kerinduan yang teramat, terpendam di sisa-sisa isak masa lalunya.

    “Aku tak mau lagi kau hanya menemuiku lewat sebuah surat berisi sejumlah nafkah saja, begitu menyakitkan.”

    “Tiap kali tetangga kita bertanya, di mana kau Mas? Sudahkan kau lupa tentang aku? Awalnya mereka maklum karena kau bekerja di kota sana, di Jakarta. Satu tahun, dua tahun, lalu lima tahun kau baru pulang tanpa kabar sebelumnya. Ke mana saja kau, Mas?” lanjut Lestari. Kristal air mengalir. Pipinya basah.

    Pria itu tak bergeming dari tempatnya. Gunung ego yang kokoh menanamkan akarnya pada kerak bumi. Pria itu membalikkan badannya.

    “Aku tahu itu, Tari. Aku pun rindu pada anak kita, tapi aku tak bisa.”

    “Kenapa tak bisa, Mas? Apa yang sudah kau lakukan di kota sana? Apa kau bertemu dengan wanita lain yang lebih menarik di sana sehingga kau tak mau kembali lagi ke sini selama lima tahun?” isak itu mulai terdengar jelas. Pria itu mulai gelisah. Akar-akar egonya mulai tercabut satu demi satu.

    Pria itu menggeleng. Bayangan kebahagiaan bersama isteri dan anaknya ditampik. Bayangan kebahagiaan yang tak dibutuhkannya saat ini.

    “Sekali lagi maafkan aku, Tari, aku tak bisa.” Pria itu melenggang pelan. Sebelum itu, ia melirik ke arah bocah kecil yang bersembuyi di belakang Lestari. Ia menghembus napas panjang, lalu tersenyum ke arah bocah itu.

    Kau sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik, gumam pria itu dalam hati.

    Pintu tertutup. Angin siang yang menyengat terasa dingin. Lestari hanya diam menatap kesendiriannya lagi, semuanya terjadi begitu cepat. Belum setengah hari pria itu kembali. Kini ia sudah pergi.

    “Siapa orang itu, Bu?” Wulan yang dari tadi bersembunyi mulai berani berkata, dengan nada terbata. Matanya mengisyaratkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Wulan merasakan adanya kedekatan hati ketika pria itu tersenyum padanya tadi. Kedekatan yang sudah lama ia nantikan. Entah apakah itu, Wulan sendiri tak mengerti. Ia hanya merasakan sayang begitu dalam yang tak tersampaikan.

    “Dia bukan siapa-siapa, Nak.” Lestari mengusap pipinya yang terasa basah.

    “Kenapa Ibu menangis?” isak Lestari masih terdengar. Meskipun ia sudah berusaha menahan matanya agar tidak berair lagi.

    Lestari membisu. Lidahnya kelu. Mas Seno kenapa kau pergi lagi? jeritnya keras, memantul dalam relung hatinya yang sudah lama terluka.

    ♣♣♣

    BalasHapus