Senin, 28 September 2009

KARYA OLAH NASKAH DRAMA KELAS XI IPA 7

Memberikan apresiasi terhadap kaya sastra bangsa sendiri merupakan kewajiban dan tanggung jawab kami sebagai generasi muda demi masa depan bangsa, terutama hakikat jati diri dalam memasuki era globalisasi. Bangsa kita kaya dengan khazanah budaya nusantara yang memang layak dibanggakan. Oleh sebab itu, karya dalam blog ini merupakan etape sikap kami generasi muda ke arah pengembangan budaya dan bahasa, khususnya sastra Indonesia. Apabila ada kelemahan dan kekurangan yang ditemukan, mohon dipahami bahwa itu merupakan fase pengembangan kompetensi diri kami. Terima kasih atas pemahamannya.

316 komentar:

  1. Nama : Febria
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor absen : 11

    Tema cerpen : Kepedulian Sosial


    Naskah drama

    Setitik Makna yang Terlupa

    Babak I
    Adegan I

    Suatu hari di persimpangan jalan raya, seorang anak perempuan yang bernama Ani sedang mengemis.
    (bunyi klakson mobil)
    1.Ani : “Pak, kasihanilah saya, saya dan
    adik-adik belum makan sejak pagi.”
    (mengantarkan bungkus plastik
    permen kepada pengemudi mobil)

    2.Pengemudi: (tatapan mata sinis, lalu
    mengeluarkan 2 keping Rp. 500)

    3.Ani : “Terima kasih, Pak.”
    (berlari menuju fly over)


    Adegan II

    4.Pemilik mobil: “Kenapa kamu berikan uang itu
    kepada pengemis?"
    (nada marah)

    5.Pengemudi : “Saya kasihan melihat anak
    perempuan itu”
    (nada merendah)

    Babak II
    Adegan I

    5. Ani : “Dari pagi hingga siang, aku hanya
    mendapatkan sepuluh ribu
    sedangkan aku harus menyetor
    kepada paman Tejo lima belas
    ribu, selain itu adik-adikku dan
    aku belum makan sejak pagi.”
    (menatap bungkus plastik permen)

    6. Ani : (tertidur)

    Adegan II

    7. Ani : “Di mana bungkusnya?”
    (mencari bungkusan)

    8. Ani : “Aku harus bekerja lagi”
    (mengusap air mata)

    Adegan III

    9. Pak Tejo : “Mana uang hasil mengemis hari
    ini?”

    10. Ani : “Ini, Pak” (menyerahkan uang)

    11. Pak Tejo: “Apa?, hanya ini yang kamu
    dapatkan setelah mengemis
    seharian !"

    12. Ani : “Maaf, Pak” (suara bergetar)

    13. Pak Tejo: “Sudahlah, Besok harus lebih
    banyak lagi.”

    14. Ani : “Biasa, uang yang disetor hanya
    lima belas ribu.”

    15. Pak Tejo: “Terus, kenapa?”

    16. Ani : “Itu kan ada dua puluh ribu,
    berarti sisanya yang lima ribu
    boleh untuk aku.”

    17. Pak Tejo: “Kamu ini, kecil-kecil banyak
    tingkah!, sekarang harga
    kebutuhan naik, jadi uang
    setoran juga naik.”
    (nada ketus)

    18. Ani : “Baiklah.”

    19. Pak Tejo : “Cepat pergi, aku nggak mau
    lihat mukamu lagi.”

    BalasHapus
  2. Babak III
    Adegan I

    Selembar uang lima puluh ribu terjatuh dari dompet seorang bapak)

    20. Ani : “Apa yang harus kulakukan
    dengan uang ini, apa
    sebaiknya disimpan atau
    dikembalikan.”

    “Kembalikan,tidak,kembalikan,
    tidak, sudahlah sebaiknya
    kukembalikan percuma aku
    mengambil uang itu.”
    (antara memegang dan
    menyimpan di sakunya)

    21. Ani : “Maaf pak, uang bapak
    terjatuh tadi.”
    (menyerahkan uang)

    22. Bapak Wilo : “Terima kasih, ya.”

    23. Ani : “Sama-sama”

    24. Bapak Wilo : “Di kota seperti ini, jarang
    ada orang yang jujur seperti
    kamu, siapa namamu?”

    25. Ani : “Nama saya Ani.”

    26. Bapak Wilo : “Sekali lagi terima kasih
    ya, adik Ani, perkenalkan
    nama saya Bapak Wilo. Adik
    sudah makan belum?”

    27. Ani : “Belum Pak.”

    28.Bapak Wilo : “Nah, di sana ada warung,
    kita makan di sana.”

    29. Ani : (makan dengan lahap lalu
    tiba- tiba menaruh sendoknya)

    “Maaf Pak, boleh nggak nasi
    ini saya bawa pulang.”

    30. Bapak Wilo : “Kenapa?, apa Kamu sudah
    kenyang?”

    31. Ani : “Bukan begitu, ini untuk
    adik-adik saya.”

    32.Bapak Wilo : “Anak ini benar-benar hebat,
    ia rela membiarkan
    makanannya untuk
    adik-adiknya, tidak seperti
    negeri ini dengan segala
    problem yang tidak asing
    bagi telinga kita setiap
    hari lewat media,
    contohnya: pejabat yang
    korupsi, tawuran antar
    pelajar, masyarakat
    berdemonstrasi menuntut
    adanya perubahan dari
    pemerintah. Walaupun
    begitu, masih ada beberapa
    orang yang jujur dan
    bekerja keras tetapi karena
    kebiasaan buruk Negara ini
    yang selalu menunjukkan
    keburukan daripada kebaikan
    orang.”
    (menggerutu sendiri)

    33. Bapak Wilo : “Kamu makanlah, biar nanti
    Bapak belikan untuk
    adik-adikmu.”

    34. Ani : “Terima kasih, Pak.”

    BalasHapus
  3. Setelah selesai makan, Bapak Wilo mengantar Ani ke rumah Ani.

    35. Bapak Wilo : “Ini, rumah adik Ani.”
    (melihat sekeliling rumah)

    36. Ani : “Ya, Pak.”

    37. Bapak Wilo : “Di mana ayah dan ibu?”

    38. Ani : “Ibu sudah meninggal
    sedangkan ayah…(terdiam)
    telah pergi dan tidak
    pernah kembali.”

    39. Bapak Wilo : “Maaf ya, Adik. Bapak tidak
    bermaksud untuk…”

    40. Ani : “Nggak apa-apa.”(tersenyum
    sedih)

    41. Toni : “Asyik, kakak pulang membawa
    makanan.”

    42. Ani : “Kakak bawa 2 bungkus nasi
    goreng untuk kalian berdua.”

    43. Toni : “Terima kasih, Kak.”

    44. Ani : “Nah, yang satu bungkusnya
    lagi, sebaiknya dimakan
    untuk besok.”

    44. Bapak Wilo : “Terima kasih Dik, karena
    adik, bapak telah mendapat
    hikmah. Sebelumnya Bapak
    selalu mengeluh tentang
    pekerjaan, setiap kali ada
    masalah, pasti bapak yang
    dimarahi oleh atasan,
    ternyata bapak menyadari
    masih banyak orang yang
    nasibnya kurang baik,
    akhirnya Bapak bersyukur
    dengan anugerah yang
    diberikan Tuhan kepada
    Bapak.”


    Adegan IV

    Ani: (menulis sebuah puisi)

    Adik-adikku sayang
    Adik, kakak sangat sayang pada kalian
    Walau rasa sayang kakak tidaklah sebesar sayangnya ibu
    Yang memberi jiwanya untuk kehidupan kalian
    Adik, kakak akan selalu berusaha untuk menghidupi kalian
    Walau kegigihan kakak, tidak sebesar kegelapan yang selalu kembali ketika cahaya pergi
    Adik, kakak akan selalu berusaha mengemis sebanyak-banyaknya tiap hari
    Walau, kakak tidak serajin mentari yang selalu terbit tiap pagi
    Adik, kakak tidak akan pernah menyerah
    Walau, kakak tidak seteguh bulan yang tetap bercahaya ketika kegelapan malam tiba
    Adik, kakak adalah kakak
    Kakak tidak seperti ibu, tidak seperti kegelapan, tidak seperti mentari , atau seperti bulan
    Kakak tidaklah sekuat,sebesar atau seteguh mereka
    Tapi kakak akan selalu berusaha...
    Demi kalian...

    selesai

    Palembang, 01 Oktober 2009

    BalasHapus
  4. Berdasarkan cerpen:

    Setitik Makna yang Terlupa
    Karya : Naisbitt Iman


    Ketika kita berbicara, bahkan ketika alam semesta baru bermula,Sesungguhnya pena takdir telah kering, tertulis rapi terperinci di dalam kitab ketentuan . Kau dan aku hanyalah menjadi penyebab atas perihal yang telah Ia tentukan, yaitu keselamatan dan kesesatan.

    -Perbincangan kepada Iblis-

    Persimpangan Raya

    -Lampu Hijau-
    Pukul 12:07

    “TEEET!!!” “TEEET!!!”

    Bunyi klakson dari para pengendara yang tidak sabar, seakan-akan menggelegar memenuhi persimpangan empat tersebut. Suara itu mengejutkan seorang anak perempuan berbaju lusuh, yang sedang menadahkan sebuah bungkus plastik bekas permen ke sebuah kendaraan yang sedang berhenti.

    Dan segera setelah seorang pengendara, memasukkan dua keping uang logam lima ratusan, ia segera berlari, menepi di bawah kolong Fly Over ,bersama dengan beberapa anak-anak lain.

    Hari itu cuaca memang sedang panas-panasnya , dan dengan perbandingan waktu lampu hijau berbanding lampu merah, senilai satu berbanding lima, wajar bagi para pengendara, ingin segera terbebas dari persimpangan dan melanjutkan perjalanan.

    Akibat kejadian tadi, para pengendara kendaraan, khusunya pengendara mobil yang berharap dapat melalui persimpangan, pada giliran kali ini tidak dapat melaluinya.

    Akibatnya, tatapan sinis menyudutkan tak henti-hentinya bergulir kepada anak perempuan tadi. Ditambah dengan gerutuan menyalahkan, dan omelan salah sasaran yang dilontarkan oleh para pemilik mobil kepada supir mereka.

    Walaupun begitu, anak perempuan tadi
    sepertinya tidak begitu mempedulikan tatapan sinis tersebut. Pandangan matanya tertuju pada isi bungkusan plastik permen tadi yang berisi kira-kira sepuluh ribu rupiah, hasil mengemis dari pagi hingga siang Pukul dua belas.Uang tersebut, tentu tidaklah cukup untuk makan dirinya dan dua orang adiknya. Belum lagi, ia harus menyetor setoran lima belas ribu rupiah kepada Bang Tejo, preman di persimpangan yang terkenal galak dan tidak segan-segan main tangan.

    Tapi , apa daya dirinya sudah merasa sangat lelah karena sejak pagi, lebih tepatnya pagi kemarin. Ia hanya memakan tiga sendok makan nasi bungkus setengah basi, yang didapatkannya dari seorang penjaga warung makan yang merasa kasihan melihat keadaannya.
    Karena lelah, ia pun jatuh tertidur dibawah Fly Over tersebut.

    BalasHapus
  5. ****
    Pukul 14:12

    Anak perempuan itu terbangun, kemudian ia menggosok-gosok kedua matanya, dan menguap lebar. Ia lalu bangun dan bersiap untuk mengemis lagi, tapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak menemukan kantong permen berisi uangnya, ia mencarinya kemana-mana. Namun apa daya, kantong itu telah lenyap.

    Ia pun menangis, tapi segera ia bangun dan berdiri, ia sadar menangis tidak ada gunanya. Hari ini ia dan adik-adiknya harus makan, dan satu-satunya cara adalah dengan ia mengemis lagi.

    Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari kantong bekas permen lainnya, dengan kondisi kota yang kesadaran penduduknya akan kebersihan masih minim, hal itu bukanlah hal yang sulit. Buktinya sekitar lima belas detik kemudian, ia menemukannya tergeletak kotor di atas jalan.

    Ia mengambilnya dan membersihkan isinya, dan memulai lagi pekerjaannya. Mengemis, meminta belas kasihan para penduduk kota. Beberapa jam kemudian, ia sudah mengumpulkan uang kira-kira dua puluh ribu rupiah. Karena hari sudah semakin sore, ia segera beranjak dari tempatnya mengemis. Ketika ia baru berjalan sekitar sepuluh langkah, sebuah cengkeraman tangan menariknya, ternyata itu Bang Tejo, si preman.

    “Setoran hari ini mana?” tagih Bang Tejo
    galak

    “Innnii bbang....” jawab anak itu ketakutan.

    “Alaaah, masa cuma segini, payah amat sih
    loe!!” hardik Bang Tejo.

    “Mmaap bbang...” jawabnya dengan terbata-bata
    karena ketakutan

    “Ya udah, sono pergi, tapi inget besok harus
    lebih banyak!!”

    “Ia Bang, tapi biasanya cuma lima belas ribu.”

    “Terus??”

    “Itu ada dua puluh ribu kan Bang, berarti
    punya saya lima ribu.”

    “Alaah jadi anak kecil aja belagu, loe mesti
    tau, harga-harga naik, ya setoran ke gue
    juga ikut naik, ngerti kagak?!!”

    “Ia, Bang...”

    “Dah, sono pergi, Gue enek liat muka loe!!”

    Anak itu beranjak pergi, walaupun sedih, ia tidak menangis. Karena, itu percuma. Air matanya telah lama kering. Di perjalanan pulang, ia melihat seorang bapak yang sedang membuka dompetnya, karena buru-buru sang bapak tadi menjatuhkan selembar uang lima puluh ribuan. Ia buru-buru memungutnya

    Dalam hatinya, berkecamuk pikiran untuk menyimpan atau mengembalikan. Usul menyimpan didukung oleh akal dan perutnya, karena ia dan adik-adiknya masih kelaparan.

    Usul mengembalikan didukung oleh hati kecil, walau hati kecil ini sedikit plin-plan, karena ia juga mendukung untuk disimpan karena, merasa kasihan kepada adik-adiknya.

    Akhirnya, ia bertekad mengembalikannya, karena menurutnya ia tidak akan pernah terpuaskan oleh kesenangan dunia, ia sudah muak dengan hidangan dunia -makanan dan minuman- yang harus ia masukan kedalam perutnya hanya untuk bertahan hidup, sebenarnya jika ia tidak memiliki adik-adik yang harus ia urus, ia sudah memilih menyelesaikan kehidupan dunianya dan mencoba rasanya hidangan kampung akhirat yang ia lama rindukan.

    Ia berlari menghampiri bapak tadi. Menepuk pinggang si bapak dan memanggilnya.

    “Pak , maaf, ini uang Bapak jatuh tadi.” kata
    si anak sambil menyerahkan uangnya

    Bapak itu segera mengambil dompet dari saku celananya, membukanya, dan menghitung uangnya. Ia menyadari bahwa uangnya kurang lima puluh ribu rupiah.

    “Terima kasih, Nak.” kata bapak itu

    “Sama-sama, Pak.” jawabnya

    “Jarang lho, di kota ini ada orang jujur
    kayak kamu, nama kamu siapa?” tanya bapak itu

    “Ani, Pak. ” jawab Ani

    “Makasih ya, Nak Ani, kenalkan nama bapak itu
    Pak Wilo. Oh iya, kamu sudah makan belum?”
    tanya bapak itu

    “Belum, Pak.”

    “Tuh ada warung, kita makan yuk!!”

    Ani merasa senang, akhirnya ia bisa makan juga, walau dengan hidangan sederhana yaitu sepiring nasi goreng dengan telur dadar, Ani memakannya dengan lahap. Ketika sendokannya yang ke delapan ia baru menyadari sesuatu.

    “Maaf Pak Wilo, ini nasi gorengnya boleh Ani
    bungkus aja ga?” tanya Ani

    “Lho, Ani kenapa? Sudah kenyang rupanya?”
    tanya Pak Wilo

    BalasHapus
  6. Ani tersenyum, ia sudah kenyang makanan dunia sejak lama, ia makan karena terpaksa, untuk bertahan hidup. Baginya hidup itu bukan untuk makan, tapi makanlah untuk hidup, karena sesuatu yang ia masukkan ke perutnya baginya adalah kesia-siaan yang akan dibuangnya kembali.

    “Nggak Pak, ini untuk adik-adik saya, dari
    kemarin belum makan”

    Bapak itu terhenyak lagi, ia berpikir. Anak ini benar-benar luar biasa, dalam kondisi seperti itu ia masih mengingat adik-adiknya yang belum makan, sungguh beda dengan masyarakat negeriku, yang sudah mengakar. Aku tak usah mengambil contoh para elit pejabat korup yang ada di berita surat kabar, cukup sering aku melihat istri-istri mengeluh, anak mereka tidak mendapat uang untuk membeli makanan bergizi, walau hanya sebutir telur, karena para suami mereka menghabiskannya untuk sebungkus rokok.

    “Jangan, kamu makan saja, nanti bapak belikan
    dua bungkus untuk adik-adikmu!”

    “Terima kasih, Pak!” ucap Ani, matanya
    berbinar tidak percaya

    Sungguh jarang ada orang seperti ini, dia masih memiliki hati nurani. Masih peduli kepada kami, para rakyat kecil yang tertindas dan dipinggirkan oleh kaumnya sendiri, padahal setahuku para penduduk negeri ini, terutama yang berada di kota-kota besar sudah biasa dan tidak peduli lagi.

    Ketika ada tawuran antar pelajar, mereka berkata itu adalah hal yang biasa, bagi anak muda yang kebanyakan energi. Ketika mereka, melihat tabrakan di jalan raya, mereka langsung memukuli si penabrak, padahal belum tentu ia yang salah.

    Ketika para pejabat korupsi, mereka hanya berkata bahwa tujuan menjadi seorang pejabat adalah menjadi orang kaya, karena biaya kampanyenya juga besar, tentu pengembaliannya membutuhkan langkah-langkah yang besar pula.

    Masyarakat kelas bawah juga sama saja, mereka hanya menuntut perubahan setiap harinya, berdemo di jalan, menolak si A atau si B diangkat menjadi Pejabat A atau Pejabat B. Hanya karena terpengaruh isu-isu yang murahan.

    Tentu ada yang jujur, dan bekerja keras diantara mereka, tapi kejelekan dan kenegatifanlah yang cenderung di ekspos oleh media, akibatnya persepsi buruk tentang kamipun semakin menjadi-jadi.

    Yang jujur dan bekerja keras tidak tampak, karena mereka bercampur dengan yang malas, dan memilih jalan menuju terali besi. Diibaratkan kamu mencampur susu dan tinta di dalam gelas, susu itu ada. Tapi tinta yang terlihat.

    Ya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
    Karena itu Ani bertekad untuk, mengeluarkan adik-adiknya dari kehidupan yang sekarang. Mereka harus sekolah, dan dengan begitu mereka akan mendapat pekerjaan yang bagus.

    BalasHapus
  7. ****

    “Jadi rumah Ani disini?” tanya bapak itu.

    “Ia, Pak.”

    “Bapak ama Ibu Ani di mana?”

    “Ibu sudah meninggal Pak, bapak saya tak tahu
    pergi kemana.”

    “Oh, maap Ani , Bapak tidak bermaksud
    untuk...”

    “Ya, ga apa-apa kok Pak, saya sudah biasa.”

    Pembicaran mereka terhenti, ketika ia melihat si kecil Toni dan Ari keluar dari rumah. Toni dan Ari menarik-narik baju Ani

    “Kakak bawa makanan?” tanya Toni.

    “Ia, ini Kakak bawa nasi goreng dua bungkus!”
    jawab Ani gembira.

    “Wah makasih,Kak!” katanya buru-buru membuka
    bungkus nasi goreng

    “Nah, dimakan berdua ya, yang satu lagi bua
    besok.” kata Ani

    “Ia, Kak.”

    Mereka berdua masuk ke dalam rumah non-permanen 4 x 5 m itu. Mereka makan dengan lahap, tanpa beban. Nasi goreng itu dihabiskan dalam waktu lima menit, kemudian mereka tertidur lelap.

    “Pak Wilo, saya sangat berterima kasih.” kata
    Ani

    “Nda apa-apa, Nak Ani. Justru saya, yang
    harus berterima kasih.” jawab Pak Wilo

    “Kenapa begitu, Pak?” tanya Ani heran

    “Nak Ani telah membuka pandangan saya, dulu
    saya itu orangnya selalu mengeluh, misalnya
    kalau ada masalah di kantor, saya
    menyalahkan bos saya. Dia yang salah , saya
    yang kena getahnya, dan saya selalu merasa
    menjadi orang tersial di dunia. Tapi
    ternyata masih banyak orang yang lebih tidak
    beruntung, saya jadi bersyukur dengan yang
    saya miliki.” jawab Pak Wilo

    Lalu Pak Wilo, beranjak pergi. Menaiki motor vespa tuanya, lalu menghilang dalam kegelapan malam.

    ****

    Malam semakin larut, tapi Ani belum bisa tidur, ia menatap adik-adiknya yang tertidur pulas, wajah kecil polos tanpa dosa, semoga mereka tak seperti aku pikirnya. Suasana malam dengan deruman suara kendaraan yang tak hentinya lalu-lalang menjalankan roda perekonomian membuatnya merasa melankolis. Jiwa puitisnya kembali ia teringat suatu puisi untuk adiknya.

    Adik-adikku sayang,

    Adik, kakak sangat sayang pada kalian
    Walau rasa sayang kakak tidaklah sebesar sayangnya ibu
    Yang memberi jiwanya untuk kehidupan kalian.
    Adik, kakak akan selalu berusaha untuk menghidupi kalian
    Walau kegigihan kakak, tidak sebesar kegelapan yang selalu kembali ketika cahaya pergi.
    Adik, kakak akan selalu berusaha mengemis sebanyak-banyaknya tiap hari
    Walau, kakak tidak serajin mentari yang selalu terbit tiap pagi.
    Adik, kakak tidak akan pernah menyerah
    Walau, kakak tidak seteguh bulan yang tetap bercahaya ketika kegelapan malam tiba.
    Adik, kakak adalah kakak
    Kakak tidak seperti ibu, tidak seperti kegelapan, tidak seperti mentari , atau seperti bulan
    Kakak tidaklah sekuat,sebesar atau seteguh mereka.
    Tapi kakak akan selalu berusaha...
    Demi kalian...


    Sumber: http://kemudian.com/node/236986
    (Komunitas Penulis Terbesar di Indonesia)

    BalasHapus
  8. Nama :Titin Mardiana Anggraini
    Kelas/No : XI IPA 7 / 44


    Tema : Kepedulian Lingkungan


    Naskah drama dari cerpen berjudul “Asap Hitam di Langit Waringin” karya Ivonie Zahra.

    Asap Hitam Di Langit Waringin

    Adegan I
    Alya berjalan menyusuri jalan desa yang belum diaspal dengan tenang sambil membawa satu set rantang di tangan, menikmati angin yang bertiup memainkan ujung jilbabnya. Cuaca begitu panas dan awan berarak menyelubungi matahari. Almira Safitri, nama istri Mas Alif, kakak alya. Alya telah sampai di ujung gang menuju rumah Mas Alif. Rumah sederhana dengan halaman yang dihiasi taman kecil di depannya. Menambah sejuk dan nyaman bila dipandang. Namun tidaklah dengan halaman belakang yang berupa tanah lapang saja.
    Alya: “Assalamualaikum…!”
    Mbak Mira: “Walaikumsalam…eh Dik Alya, mari masuk!” (Mbak Mira menggandeng tangan Alya)
    Alya: “Ini…ada sedikit sayur asem kesukaan Mas Alif, tadi Ibu memasaknya agak banyak.” (Alya menyerahkan pada Mbak Mira)
    Mbak Mira: “Aduh…kok repot-repot Dik, di antar kesini, Mbak terima kasih, ya.”
    Alya: “Gak apa-apa, Mbak. Alya tidak keberatan kok mengantar kemari, justru malah senang bisa ketemu Mbak.”
    Alya: “Mas Alif belum pulang, ya?”
    Mbak Mira: “Belum, Dik. Katanya banyak berkas yang mesti di urusin. Tadi sudah telpon, memberi tahu kalau pulang agak terlambat dari biasanya.”
    Mbak Mira: “Dik, kalau mau minum ambil sendiri di dapur, anggap seperti rumah sendiri.” (Mbak Mira berkata sambil berlalu ke ruangan sebelah)

    Rumah Mas Alif dibangun model huruf L. Mbak Mira mempunyai usaha jualan bawang merah yang sudah dibersihkan dari gagangnya berupa daun bawang kering serta sisa-sisa akar kering. Biasanya yang seperti ini nilai jualnya lebih mahal dibanding yang ada gagang daunnya. Kebetulan hari ini Mbak Mira tidak ke pasar, sehingga menghabiskan waktunya untuk membersihkan gagang-gagang tersebut.
    Alya: “Mbak, mau diapakan gagang itu?” (sambil menengok pekerjaan Mbak Mira)
    Mbak Mira: “Dibakar, Dik!”
    Alya: “Dibakar??” (Alya bertanya ulang sambil mengeryitkan dahi, alisnya terangkat sejenak)
    Mbak Mira: “Kenapa, Dik?”
    Alya: “Oh…tidak apa-apa.” (sahut Alya sambil kembali masuk ke dalam rumah)

    Alya sempat melihat Mbak Mira menyalakan api. Namun tiba-tiba apinya mulai membesar, Alya kembali keluar halaman.
    Alya: “Api….api…Mbak Mira….apinya…!” (Alya berteriak memanggil Mbak Mira yang telah lebih dulu masuk ke dalam rumah)

    Seketika itu Alya dan Mbak Mira berusaha memadamkan api yang berkobaran yang hampir saja merambat ke rumah.
    Mbak Mira: “Duh… maaf ya, Dik Alya, mbak jadi merepotkan kamu.” (dengan nafas tersengal)
    Alya: “Gak apa-apa, Mbak.” (Alya sambil berpamitan pulang)

    BalasHapus
  9. Adegan II
    Alya mengambil majalah yang dibeli kemarin di kios dekat pasar. Majalah Islam yang biasa menjadi menu bacaannya. Akan tetapi ia teringat kejadian yang ia lihat dan alami di rumah Mas Alif. Apakah Mas Alif tidak tahu tindakan itu? Kalau tahu kenapa tidak mengingatkan Mbak Mira. Bahwa cara tersebut tidak ramah lingkungan. Pikiran Alya semakin berkecamuk. Alya memang bukanlah “Duta Lingkungan” tetapi cara yang Mbak Mira tempuh amatlah tidak baik bahkan bisa membahayakan keadaan sekitar yaitu menimbulkan kebakaran. Saat Alya kembali menekuri majalah, ia mendengar langkah kaki Ibu mendekati.
    Ibu: “Ada apa, Al? Ibu perhatikan dari tadi kok kelihatannya cemas?”
    Alya: “Hmm…Alya kepikiran waktu di rumah Mas Alif, Bu.”
    Ibu: “Emang ada apa di rumah Masmu itu?” (Alya masih diam menatap sampul depan majalah yang ia baca tadi)
    Alya: “Alya, terus terang tidak setuju cara Mbak Mira mengolah limbah gagang kering daun bawang.”
    Ibu: “Lho…memangnya diapakan sama Mbak Mira, sehingga kamu bisa berpendapat begitu,Al?”
    Alya: “Dibakar!”
    Ibu: “O…Cuma di bakar!” (ekpresi muka datar-datar saja)
    Alya: “Kok…Ibu bilang begitu? Cara itu kan tidak baik dan tidak ramah lingkungan. Bau akibat pembakaran itu bisa mengganggu tetangga.”
    (Alya menatap Ibu lekat, ada sedikit perubahan pada raut wajah ibu yang terlihat menua)
    Alya: “Tadi saja hampir menimbulkan kebakaran, Bu.”
    Ibu: “Innalilah…yang benar aja, Al?” (Ibu bertanya sambil bercampur terkejut)
    Alya: “Iya, Bu.”
    Ibu: “Ya…kalau begitu kamu bilang langsung aja sama Masmu!”
    Alya: “Insya Allah, sebaiknya Alya bicara di rumah Mas apa di sini, Bu?”
    Ibu: “Ya, terserah kamu Al, mungkin ada baiknya di sini saja. Agar tidak menyinggung langsung perasaan Mbakmu.”

    BalasHapus
  10. Adegan III
    Alya sudah menelpon pada Mbak Mira, agar pesannya disampaikan pada Mas Alif untuk datang ke rumah sebentar. Ketika Alya selesai sholat Isya, lamat-lamat ia mendengar suara Mas Alif di ruang keluarga sedang mengobrol dengan Ibu. Alya merapikan mukena dan melangkah keluar menemui Mas Alif.
    Mas Alif: “Sudah selesai sholatnya Al?”
    (Mas Alif bertanya ramah pada Alya dengan seulas senyum yang tersungging)
    Alya: “Alhamdulilah…sudah!”
    (Alya menyahut sambil duduk di samping Ibu yang sedang menikmati acara berita)
    Mas Alif: “Tadi Mas sempat ngobrol sebentar sama Ibu, katanya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan!”
    Alya menarik nafas sejenak lalu berkata,
    Alya: “Begini Mas, kemarin Alya sempat menengok ke belakang rumah Mas. Melihat Mbak Mira membersihkan sisa gagang daun bawang kering yang tidak di gunakan.”
    Mas Alif: “Terus…!”
    Alya: “Alya sempat kaget dengan cara Mbak mengolah limbah tersebut, masa dibakar. Khan tidak baik buat lingkungan, Mas. Bau hasil pembakaran akan menggangu pernafasan karena menyengat. Lagi pula asap hitamnya dapat mencemari udara.”(sambil mengamati reaksi Mas Alif)

    Mas Alif masih diam mendengarkan penjelasan Alya, tanpa menyela sedikitpun pemaparannya.
    Mas Alif: “Kenapa kamu gak bicara langsung sama Mbak Mira, Al?” (suaranya datar terdengar)
    Alya: “Alya takut Mbak Mira akan tersinggung, Mas.”
    Mas Alif: (manggut-manggut mendengar alasan alya)
    Alya: “Alya hanya gak ingin, gara-gara salah mengolah limbah tersebut. Kesejukan Desa Waringin ini jadi kotor dan tercemari asap hitam.Kalau usulan Alya bisa diterima mungkin ini bisa agak membantu, Mas.”
    Mas Alif: “Apa?”
    Alya: “Mungkin gagang daun kering itu bisa dijadikan pupuk kompos, namun sebelumnya dioalah terlebih dahulu. Mas bisa mempelajarinya dulu dari buku atau mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang di adakan di Kecamatan.”
    Mas Alif: “Usul yang bagus, Al. Nanti akan Mas bicarakan pelan-pelan sama Mbakmu, semoga dia bisa mengerti dan tidak tersinggung” (dengan nada tegas)
    ***
    Ada rasa bahagia melingkupi hati Alya. Setidaknya ia masih memiliki rasa kepedulian akan lingkungan, yang semestinya di jaga. Bukan malah sebaliknya, di rusak seenaknya tanpa memikirkan dampaknya. Seminggu setelah usulan itu, saat Alya datang lagi mengantar kolak, tak lagi tampak asap hitam membumbung di langit Waringin. Tepatnya Mas dan Mbak telah melakukan cara-cara yang ia usulkan. Dan hasilnya kesejukan itu tetap bisa dinikmati tanpa takut untuk terganggu akibat pencemaran udara.

    BalasHapus
  11. Nama :Titin Mardiana Anggraini
    Kelas/No : XI IPA 7 / 44

    Asap Hitam Di Langit Waringin
    By: Ivonie Zahra

    Dengan satu set rantang di tangan, berisi masakan Ibu untuk Mas Alif dan istrinya. Aku berjalan menyususri jalan desa dengan tenang. Kerinduan pada saudaraku itu membuatku semangat, meskipun cuaca begitu panas dan awan berarak menyelubungi matahari. Rumah Mas Alif dengan Ibu masih berdekatan, masih dalam satu wilayah desa. Namun beda dusunnya saja. Desa kami memiliki beberapa dusun yang terpisah-pisah oleh hamparan sawah dan ladang. Aku terbiasa melewatinya sambil bersenandung, melupakan lelahnya menyususuri jalanan yang belum diaspal. Menikmati angin yang bertiup memainkan ujung jilbabku. Mas Alif memutuskan menikah di usia 25 tahun. Usia yang sama ketika Nabi juga menikah. Setelah lulus kuliah, Mas Alif langsung melamar pekerjaan di Kecamatan. Bekerja pada sebuah kantor notaris. Ketika itu aku baru saja lulus dari SMEA. Mas Alif menikah dengan teman semasa kuliahnya, akan tetapi tidak sampai lulus. Memutuskan keluar, demi membantu usaha orang tuanya. Karena usia orang tuanya yang tidak memungkinkan menjalankan usaha keluarga. Almira Safitri, nama istri Mas Alif. Gadis desa yang sederhana dan mandiri,karena didikan keluarganya sejak kecil. Aku biasa memanggilnya Mbak Mira.
    Ketika memutuskan berhenti kuliah, Mbak Mira sempat mengalami perang batin, katanya. Namun berkat perenungan yang mantap. Dia bisa melewati masa-masa itu. Aku semakin kagum dengan kesabaran, ketelatenan, dan ketegarannya. Meski dia anak bungsu, tidaklah manja seperti anak kebanyakan.Aku telah sampai di ujung gang menuju rumah Mas Alif. Rumah sederhana dengan halaman yang dihiasi taman kecil di depannya. Menambah sejuk dan nyaman bila dipandang. Namun tidaklah dengan halaman belakang, berupa tanah lapang saja.
    “Assalamualaikum…!” sapaku setelah di depan pintu. Aku masih menunggu jawaban dari dalam. Aku sempat mendengar langkah kaki mendekati pintu.
    Setelah mendekati pintu, ada sapaan dari dalam sambil membuka pintu.
    “Walaikumsalam…eh Dik Alya, mari masuk!” ajaknya sambil menggandeng tanganku. Aku bisa merasakan kehangatan kasih sayangnya padaku,adik iparnya. Itu pula yang membuat aku menyetujui pernikahan mereka. Ada pancaran ketulusan di matanya terhadap keluargaku. Lagi pula mereka pasangan yang serasi.
    “Ini…ada sedikit sayur asem kesukaan Mas Alif, tadi Ibu memasaknya agak banyak.” ujarku sambil menyerahkan pada Mbak Mira.
    “Aduh…kok repot-repot Dik, di antar kesini, Mbak terima kasih, ya.” balasnya malu-malu dan tanpa basi-basi. Mbak Mira orangnya lebih terbuka dibanding dengan kakak iparku yang lain.
    “Gak apa-apa, Mbak. Alya tidak keberatan kok mengantar kemari, justru malah senang bisa ketemu Mbak.”sahutku lagi berusaha menyegarkan suasana.
    “Mas Alif belum pulang, ya?”
    “Belum, Dik. Katanya banyak berkas yang mesti di urusin. Tadi sudah telpon, memberi tahu kalau pulang agak terlambat dari biasanya.” penjelasan Mbak Mira dengan bijak.
    “Dik, kalau mau minum ambil sendiri di dapur, anggap seperti rumah sendiri.” ujarnya kemudian sambil berlalu ke ruangan sebelah.

    BalasHapus
  12. Rumah Mas Alif dibangun model huruf L. Bentuk yang sudah mulai menjamur di desa-desa. Meski di rumah, Mbak Mira mempunyai usaha jualan bawang merah yang sudah di bersihkan dari gagangnya berupa daun bawang kering serta sisa-sisa akar kering. Baru bisa di jual ke pasar, biasanya yang seperti ini nilai jualnya lebih mahal dibanding yang ada gagang daunnya.
    Kebetulan hari ini Mbak Mira tidak ke pasar, sehingga menghabiskan waktunya untuk membersihkan gagang-gagang tersebut. Kadang juga di bantu oleh tetangga sebelah yang kebetulan sedang senggang. Dan Mbak Mira akan memberi imbalan sepantasnya.
    Sehingga tercipta kerukunan dan keharmonisan dengan tetangganya. Menjadikan lebih akrab dan nyaman.
    Aku mencoba menengok sebentar, melihat Mbak Mira menyisihkan sisa-sisa ikatan daun bawang kering ke belakang rumah. Aku sempat tersentak, di belakang rumah sudah menumpuk setinggi pinggang orang dewasa. Dan masih tergeletak, belum sempat diurusin.Dan kelihatanya Mbak Mira akan melakukan sesuatu dengan gagang tersebut. Sebelumnya sempat pula bertanya pada Mbak Mira.
    “Mbak, mau diapakan gagang itu?”tanyaku ingin tahu.
    “Dibakar, Dik!”
    “Dibakar??”tanyaku ulang sambil mengeryitkan dahi, alisku terangkat sejenak.
    “Kenapa, Dik?”tanyanya balik.
    “Oh…tidak apa-apa.”sahutku sambil kembali masuk ke dalam rumah.Sebelumya aku sempat melihat Mbak Mira menyalakan api. Namun tiba-tiba apinya mulai membesar, lantas aku kembali keluar halaman.
    “Api….api…Mbak Mira….apinya…!” aku berteriak memanggil Mbak Mira yang telah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Seketika itu aku dan Mbak Mira berusaha memadamkan api yang berkobaran, hampir saja merambat ke rumah.
    “Duh… maaf ya, Dik Alya, mbak jadi merepotkan kamu.” sahutnya masih dengan nafas tersengal karena berusaha mengerahkan tenaga memadamkan api.
    “Gak apa-apa, Mbak.” sahutku datar meski tadi aku sempat dilanda panik. Gimana seandainya tadi aku tidak kembali menengok ke belakang.Tidak kemungkinan akan menyebabkan kebakaran.
    Namun ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik pikiranku.Apalagi setelah kejadian ini. Tapi aku tidak berani mengungkapkan langsung dengan Mbak Mira. Mungkin aku rasa lebih baik aku sampaikan terlebih dahulu pada Mas Alif.Setelah ku rasa semuanya aman. Lantas aku berpamitan pulang.

    BalasHapus
  13. Aku mengambil majalah yang ku beli kemarin di kios dekat pasar. Majalah Islam yang biasa menjadi menu bacaanku. Akan tetapi aku teringat kejadian yang aku lihat dan alami di rumah Mas Alif. Apakah Mas Alif tidak tahu tindakan itu? Kalau tahu kenapa tidak mengingatkan Mbak Mira. Bahwa cara tersebut tidak ramah lingkungan. Pikiranku semakin berkecamuk. Aku memang bukanlah “Duta Lingkungan” Tapi cara yang Mbak Mira tempuh, amatlah tidak baik. Bahkan bisa membahayakan keadaan sekitar yaitu menimbulkan kebakaran. Saat aku kembali menekuri majalah, aku mendengar langkah kaki Ibu mendekati.
    “Ada apa, Al? Ibu perhatikan dari tadi kok kelihatannya cemas?” tegur Ibu.
    “Hmm…Alya kepikiran waktu di rumah Mas Alif, Bu.” sahutku hati-hati.
    “Emang ada apa di rumah Masmu itu?” Ibu mulai penasaran ingin tahu kejelasannya.
    Aku masih bermain dengan pikiranku sendiri. Apakah Ibu nantinya bisa membantuku menjelaskan pada Mas Alif, mengenai limbah dari usaha Mbak Mira.Serta kejadian kobaran api yang hampir saja menimbulkan kebakaran. Aku masih diam menatap sampul depan majalah yang aku baca tadi. Kira-kira penjelasan seperti apa yang bisa Ibu pahami nantinya. Tapi ada baiknya Ibu juga tahu.
    “Alya, terus terang tidak setuju cara Mbak Mira mengolah limbah gagang kering daun bawang.” Ungkapku kemudian.
    “Lho…memangnya diapakan sama Mbak Mira, sehingga kamu bisa berpendapat begitu,Al?” Ibu mencoba mengorek keterangan dan penjelasan alasanku.
    “Dibakar!”
    “O…Cuma di bakar!” sahutnya dengan ekpresi muka datar-datar saja.
    “Kok…Ibu bilang begitu? Cara itu khan tidak baik dan tidak ramah lingkungan. Bau akibat pembakaran itu bisa mengganggu tetangga.” uraiku berargumentasi. Aku menatap Ibu lekat, ada sedikit perubahan pada raut wajahnya yang terlihat menua.
    “Tadi saja hampir menimbulkan kebakaran, Bu.”ceritaku serius.
    “Innalilah…yang benar aja, Al?”tanya Ibu bercampur terkejut.
    “Iya, Bu.”sahutku
    “Ya…kalau begitu kamu bilang langsung aja sama Masmu!” tutur Ibu.
    “Insya Allah, sebaiknya Alya bicara di rumah Mas apa di sini, Bu?” jawabku meminta pendapat Ibu.
    “Ya, terserah kamu Al, mungkin ada baiknya di sini saja. Agar tidak menyinggung langsung perasaan Mbakmu.”nasehatnya bijaksana.

    BalasHapus
  14. Ah, hatiku agak sedikit lega. Ibu bisa mengerti penjelasan dan memahami ketidak setujuan mengenai masalah limbah. Kini tiba gilirannya membicarakan dengan Mas Alif. Harapanku Mas Alif pun bisa mengerti dengan sikapku. Aku sudah menelpon pada Mbak Mira, agar pesanku disampaikan pada Mas. Untuk datang ke rumah sebentar. Dan aku tidak menangkap sikap kecurigaan dari nada bicara Mbak Mira. Semoga nantinya mereka bisa menerima usulanku guna mengolah limbah gagang daun bawang tersebut.
    Ketika aku selesai sholat Isya, lamat-lamat kudengar suara Mas Alif di ruang keluarga sedang ngobrol dengan Ibu. Aku merapikan mukenaku dan melangkah keluar menemui Mas Alif.
    “Sudah selesai sholatnya Al?” sapa Mas Alif ramah padaku dengan seulas senyum yang tersungging.
    “Alhamdulilah…sudah!”sahutku sambil duduk di samping Ibu yang sedang menikmati acara berita.
    “Tadi Mas sempat ngobrol sebentar sama Ibu, katanya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan!”Mas Alif membuka pembicaran langsung pada pokok masalahnya. Aku menarik nafas sejenak.
    “Begini Mas, kemarin Alya sempat menengok ke belakang rumah Mas. Melihat Mbak Mira membersihkan sisa gagang daun bawang kering yang tidak di gunakan.”c eritaku dengan mimik serius.
    “Terus…!”
    “Alya sempat kaget dengan cara Mbak mengolah limbah tersebut, masa dibakar. Khan tidak baik buat lingkungan, Mas. Bau hasil pembakaran akan menggangu pernafasan karena menyengat. Lagi pula asap hitamnya dapat mencemari udara.”beberku panjang lebar sambil mengamati reaksi Mas Alif.
    Mas Alif masih diam mendengarkan penjelasanku, tanpa menyela sedikitpun pemaparanku.
    “Kenapa kamu gak bicara langsung sama Mbak Mira, Al?”suaranya datar terdengar.
    “Alya takut Mbak Mira akan tersinggung, Mas.”jawabku.
    Mas Alif hanya manggut-manggut mendengar alasanku.
    “Alya hanya gak ingin, gara-gara salah mengolah limbah tersebut. Kesejukan Desa Waringin ini jadi kotor dan tercemari asap hitam.Kalau usulan Alya bisa diterima mungkin ini bisa agak membantu, Mas.”
    “Apa?”
    “Mungkin gagang daun kering itu bisa dijadikan pupuk kompos, namun sebelumnya dioalah terlebih dahulu. Mas bisa mempelajarinya dulu dari buku atau mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang di adakan di Kecamatan.”sahutku memberikan solusi tanpa kesan menggurui.
    “Usul yang bagus, Al. Nanti akan Mas bicarakan pelan-pelan sama Mbakmu, semoga dia bisa mengerti dan tidak tersinggung.”jawabnya tegas.
    ***
    Ada rasa bahagia melingkupi hatiku. Setidaknya aku masih memiliki rasa kepedulian akan lingkungan, yang semestinya di jaga. Bukan malah sebaliknya, di rusak seenaknya tanpa memikirkan dampaknya. Seminggu setelah usulan itu. Saat aku datang lagi mengantar kolak, tak lagi tampak asap hitam membumbung di langit Waringin. Tepatnya Mas dan Mbak telah melakukan cara-cara yang aku usulkan. Dan hasilnya kesejukan itu tetap bisa kunikmati tanpa takut untuk terganggu akibat pencemaran udara.

    ---------------The End----------

    BalasHapus
  15. Nora Fransisca
    XI IPA 7/34

    Cerpen
    ANTARA SIMBOK, MAMA, DAN PAPA

    Cerpen : Sartono Kusumaningrat
    Sumber : djonkjava.blogspot.com/.../cerpen-budaya-antara-simbok-mama-dan.html

    Anakku, masik duduk di TK. Suatu siang ia pulang dengan menangis. Aku tidak begitu memperhatikannya karena tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak terpisahkan. Di jok boncengan sepeda ontelku ia tampak tidak mau bicara. Aku tersenyum saja. Ah, nanti dia toh akan berhenti sendiri dengan tangisnya. mana mungkin ia betah menangis seharian.
    Ketika sampai di rumah ia mogok makan. Istriku membujuknya dengan keras karena ia khawatir anakku akan jatuh sakit. Kalau anakku jatuh sakit, aku dan istriku jugalah yang akan kerepotan sendiri.
    "Mengapa kamu menangis ?" tanya istriku dengan cemas. Anakku menggeleng. "Ayolah cerita sama Simbok." anakku teguh dengan gelengan kepalanya.
    "Kamu dimarahi guru ?" aku nimbrung mencoba mencairkan kebisuannya. Bagaimanapun aku harus mengakui bahwa hati kecilku ingin tahu apa yang menjadi persoalannya sehingga ia pulang sekolah sambil menangis.
    Demi mendengar pertanyaanku anakku bertambah berguncang dadanya menahan tangis. Mungkin sekali ia merasa jengkel ketika sepanjang jalan ia tak kutanyai perihal penyebab tangisnya. Barangkali ia merasa tidak aku sayangi, tidak aku perhatikan sehingga rasa jengkel dan sakit hatinya terasa menumpuk di dada.
    "Aku malu….." tiba-tiba ia berbicara dalam keterbataan.
    "Lho, apa yang mesti membuatmu malu ?"
    "Pokoknya aku malu."
    "Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak ?"
    "Aku diejek."
    Aku tertawa. Istriku memberengut, matanya mendelik, tidak setuju dengan tertawaku.
    "Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan ?" istriku sewot.
    "Lho wong cuma diejek saja kok menangis."
    "Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan menangis to, Pak ? Sakit hati !"
    "Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti ?"
    "Aku diejek karena tidak punya ibu."
    "Huaaa….haaa….haaa…." Sungguh aku terbahak-bahak mendengar penuturan anakku ini.
    "Lho, lho, lho, aku ini apamu Nak kalau bukan ibumu ?" tanya istriku di sela suara tawaku.

    BalasHapus
  16. Lanjutan cerpen

    "Tidak. Aku tidak punya Ibu. Hanya punya Simbok !" anakku berteriak. Air mata masih saja terburai-burai di permukaan pipinya yang tembem.
    Aku tidak dapat menghentikan ketawaku. Istriku yang mendengar omongan anakku tersenyum kecut.
    "Lho apa bedanya to, Nak ?"
    "Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa !"
    "Ooallaaah Nak. Yang ndesa itu justru teman-temanmu itu." istriku membela diri. Apa teman-temanmu itu tahu artinya simbok ? Mana mungkin mereka tahu ! Bahkan orang tua mereka pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok memiliki arti yang sangat mulia, Nak."
    "Tidak. Aku ingin memanggil Simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil Simbok dengan simbok. Nanti dikata-katai sebagai bocah ndesa lagi."
    Kini aku menghentikan tertawaku. Nampaknya persoalan sebutan simbok dan mama ini menjadi persoalan yang gawat bagi anakku. Hal ini bisa mengganggu eksistensinya di sekolah. Bisa mempengaruhi rasa percaya dirinya. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja tidak mustahil akan membuat prestasi sekolahnya jeblok atau bahkan ia akan mogok sekolah.
    "Ketahuilah Nak, sebutan simbok memiliki arti yang dalam, bukan main-main." Aku turut menandaskan apa yang dikatakan istriku dengan wajah yang kubuat serius. Anakku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya. Wajahnya juga serius memperhatikanku. "Simbok itu memiliki makna sebagai orang yang suka tombok. Tombok itu artinya menutup kekurangan, melunasi, dan membuat sempurna. Contohnya kalau bapakmu ini sedang tidak punya uang untuk belanja, Simbok itulah yang akan menomboki. Jika bajumu robek, maka Simbokmu inilah yang akan tombok dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya."
    Anakku memandangku dan memandang wajah simboknya berganti-ganti. Nampaknya ia mencoba memahami apa yang aku katakan. Barangkali ia memang tidak dapat mengerti sepenuhnya dengan apa yang baru saja aku jelaskan itu. Tetapi paling tidak apa yang aku jelaskan itu entah separo atau seperempatnya pasti bisa menyangkut di dalam isi kepalanya.
    "Tapi panggilan simbok tetap ndesa Pak. Kenapa to Simbokku itu tidak boleh kupanggil mama ?"
    Istriku tersenyum pahit. Aku pun begitu.
    "Di samping aku tidak tahu apa makna di balik kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg dengan sebutan simbok karena aku lebih paham, lebih mengerti makna kata itu daripada kata mama atau mami, Nak."
    "Tapi aku malu."

    BalasHapus
  17. Lanjutan cerpen

    Aku terdiam. Aku mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh anakku satu-satunya itu. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Padahal aku tidak mau sebenarnya anakku ikut-ikutan gaya hidup orang lain. Bagiku sebutan mama atau mami membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Di samping aku harus mengerti apa makna dan etimologisnya, aku juga harus paham pada konsekuensi sosial dan psikologisnya bagi keluargaku sendiri.
    Sejauh pengertahuanku, sebutan ini bukan berasal dari bahasa bangsaku, bangsa Indonesia. Kata mama dan mami konon berasal dari daratan Eropa sana. Oleh bangsa bule hal ini dibawa sampai ke negeri-negeri jajahannya. Oleh karena penjajahan itu, bangsa pribumi menjadi dan dijadikan bangsa yang inferior oleh bangsa penjajah. Sebutan-sebutan, gelar, gaya berpakaian, gaya berbahasa secara langsung maupun tidak menjadi alat untuk mengkelaskan bangsa. Bangsa penjajah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang superior. Kesuperioran ini ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah sebutan mama, papa, papi, daddy, momy, dan mami ini.
    Sebutan mama dan mami menjadi penanda bahwa keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang lebih super daripada keluarga yang menyebut orang tua perempuannya dengan simbok. Dikesankan lebih barat, modern, intelek, dan mencirikan kultur kota sebagai bentuk oposisi dari kultur desa yang diwakili oleh sebutan simbok. Sebutan itu juga mengesankan bentuk kesuperioran yang lain. Entah super tingkat kekayaannya, pangkatnya, kedudukan sosialnya, intelektualitasnya, atau bahkan hanya biar disangka keluarga yang tidak ketinggalan zaman. Kini anakku sedang merasakan dampak dari semuanya itu. Aku sangat kesulitan menjelaskan ini pada anakku.
    "Kalau aku tidak boleh menyebut mama pada Simbok, aku tidak mau sekolah !" Anakku mengancam. Baginya etimologi kata itu barangkali memang tidak penting. Ia hanya melihat fungsinya sekarang. Bukan pada perjalanan sejarah artinya. Kata mama, papa, mami, dan papi lebih mengesankan fungsi kultur kota, modern, dan hebat. Ini yang dimaui anakku. Ia tidak mau ketinggalan zaman dengan teman-teman sekelasnya. Apa boleh buat, aku yang sangat malu disebut papa karena aku memang tidak tahu artinya terpaksa menerima kenyataan itu. Mulai detik itu aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok rela disebut mama demi ketenteraman hati anak kami. Dalam hati aku aku tersenyum getir, satu sekrup budaya lokal bangsaku telah lepas.

    Karya : Nora Fransisca
    Kelas : XI IPA 7 / 34
    Palembang, 3 Oktober 2009

    BalasHapus
  18. Naskah Drama
    Ditulis berdasarkan cerpen “antara simbok, mama, dan papa”, karya Sartono Kusumaningrat
    Aku memiliki seorang anak yang masih duduk di bangku TK. Suatu siang ia pulang dengan menangis. Aku tidak begitu memperhatikannya karena tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak terpisahkan. Di jok boncengan sepeda ontelku ia tampak tidak mau bicara. Aku tersenyum saja. Ah, nanti dia toh akan berhenti sendiri dengan tangisnya. Mana mungkin ia betah menangis seharian. Ketika sampai di rumah ia mogok makan. Istriku membujuknya dengan keras karena ia khawatir anakku akan jatuh sakit. Kalau anakku jatuh sakit, aku dan istriku jugalah yang akan kerepotan sendiri.
    Istriku : "Mengapa kamu menangis ?"
    Anakku : (menggeleng)
    Istriku : “Ayolah cerita sama simbok."
    Anakku : (tetap menggeleng)
    Aku : "Kamu dimarahi guru ?" (mencoba mencairkan kebisuannya)
    Ankku : "Aku malu..." (berbicara dalam keterbataan)
    Aku : "Lho, apa yang mesti membuatmu malu ?"
    Anakku : "Pokoknya aku malu."
    Aku : "Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak ?"
    Anakku : "Aku diejek."
    Aku : (tertawa)
    Istriku : (memberengut, matanya mendelik, tidak setuju dengan tertawaku)
    "Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan ?"
    Aku : "Lho wong cuma diejek saja kok menangis."
    Istriku : "Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan
    menangis to, Pak ? Sakit hati !"
    Aku : "Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti ?"
    Anakku : "Aku diejek karena tidak punya ibu."
    Aku : "Huaaa….haaa….haaa…." (tertawa terbahak-bahak)
    Istriku : "Lho, lho, lho, aku ini apamu Nak kalau bukan ibumu ?" (bertanya disela-sela tawaku)
    Anakku : "Tidak. Aku tidak punya Ibu. Hanya punya Simbok !" (teriak sambil menangis)

    Aku tidak dapat menghentikan ketawaku. Istriku yang mendengar omongan anakku tersenyum kecut.
    Istriku : "Lho apa bedanya to, Nak ?"
    Anakku : "Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa !"
    Istriku : "Ooallaaah Nak. Yang ndesa itu justru teman-temanmu itu." (membela diri) “Apa teman
    temanmu itu tahu artinya simbok ? Mana mungkin mereka tahu ! Bahkan orang tua mereka
    pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok
    memiliki arti yang sangat mulia, Nak."
    Anakku : "Tidak. Aku ingin memanggil Simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil
    Simbok dengan simbok. Nanti dikata-katai sebagai bocah ndesa lagi."

    Kini aku menghentikan tertawaku. Nampaknya persoalan sebutan simbok dan mama ini menjadi persoalan yang gawat bagi anakku. Hal ini bisa mengganggu eksistensinya di sekolah. Bisa mempengaruhi rasa percaya dirinya. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja tidak mustahil akan membuat prestasi sekolahnya jeblok atau bahkan ia akan mogok sekolah.

    Aku : "Ketahuilah Nak, sebutan simbok memiliki arti yang dalam, bukan main-main.”

    Aku turut menandaskan apa yang dikatakan istriku dengan wajah yang kubuat serius. Anakku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya. Wajahnya juga serius memperhatikanku.
    Aku : "Simbok itu memiliki makna sebagai orang yang suka tombok. Tombok itu artinya menutup
    kekurangan, melunasi, dan membuat sempurna. Contohnya kalau bapakmu ini sedang tidak
    punya uang untuk belanja, Simbok itulah yang akan menomboki. Jika bajumu robek, maka
    Simbokmu inilah yang akan tombok dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat
    bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya."

    Anakku memandangku dan memandang wajah simboknya berganti-ganti. Nampaknya ia mencoba memahami apa yang aku katakan. Barangkali ia memang tidak dapat mengerti sepenuhnya dengan apa yang baru saja aku jelaskan itu. Tetapi paling tidak apa yang aku jelaskan itu entah separo atau seperempatnya pasti bisa menyangkut di dalam isi kepalanya.

    Anakku : "Tapi panggilan simbok tetap ndesa Pak. Kenapa to Simbokku itu tidak boleh kupanggil
    mama?"

    BalasHapus
  19. Lanjutan naskah drama

    striku tersenyum pahit. Aku pun begitu.
    Aku : "Di samping aku tidak tahu apa makna di balik kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg
    dengan sebutan simbok karena aku lebih paham, lebih mengerti makna kata itu daripada kata
    mama atau mami, Nak."
    Anakku : "Tapi aku malu."

    Aku terdiam. Aku mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh anakku satu-satunya itu. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Padahal aku tidak mau sebenarnya anakku ikut-ikutan gaya hidup orang lain. Bagiku sebutan mama atau mami membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Di samping aku harus mengerti apa makna dan etimologisnya, aku juga harus paham pada konsekuensi sosial dan psikologisnya bagi keluargaku sendiri.

    Sejauh pengertahuanku, sebutan ini bukan berasal dari bahasa bangsaku, bangsa Indonesia. Kata mama dan mami konon berasal dari daratan Eropa sana. Oleh bangsa bule hal ini dibawa sampai ke negeri-negeri jajahannya. Oleh karena penjajahan itu, bangsa pribumi menjadi dan dijadikan bangsa yang inferior oleh bangsa penjajah. Sebutan-sebutan, gelar, gaya berpakaian, gaya berbahasa secara langsung maupun tidak menjadi alat untuk mengkelaskan bangsa. Bangsa penjajah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang superior. Kesuperioran ini ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah sebutan mama, papa, papi, daddy, momy, dan mami ini.
    Sebutan mama dan mami menjadi penanda bahwa keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang lebih super daripada keluarga yang menyebut orang tua perempuannya dengan simbok. Dikesankan lebih barat, modern, intelek, dan mencirikan kultur kota sebagai bentuk oposisi dari kultur desa yang diwakili oleh sebutan simbok. Sebutan itu juga mengesankan bentuk kesuperioran yang lain. Entah super tingkat kekayaannya, pangkatnya, kedudukan sosialnya, intelektualitasnya, atau bahkan hanya biar disangka keluarga yang tidak ketinggalan zaman. Kini anakku sedang merasakan dampak dari semuanya itu. Aku sangat kesulitan menjelaskan ini pada anakku.

    Anakku : "Kalau aku tidak boleh menyebut mama pada Simbok, aku tidak mau sekolah !" (ancamnya)

    Baginya etimologi kata itu barangkali memang tidak penting. Ia hanya melihat fungsinya sekarang. Bukan pada perjalanan sejarah artinya. Kata mama, papa, mami, dan papi lebih mengesankan fungsi kultur kota, modern, dan hebat. Ini yang dimaui anakku. Ia tidak mau ketinggalan zaman dengan teman-teman sekelasnya. Apa boleh buat, aku yang sangat malu disebut papa karena aku memang tidak tahu artinya terpaksa menerima kenyataan itu. Mulai detik itu aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok rela disebut mama demi ketenteraman hati anak kami. Dalam hati aku aku tersenyum getir, satu sekrup budaya lokal bangsaku telah lepas.

    Karya : Nora Fransisca
    Kelas : XI IPA 7 / 34
    Palembang, 3 Oktober 2009

    BalasHapus
  20. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  21. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  22. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  23. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  24. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  25. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  26. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  27. Telly Purnama Sari
    XI IPA 7/41

    Cerpen
    Hutan Beton Negeri Pesolek

    Cerpen : Koko P. Bhairawa

    Sumber : bhairawaputera.multiply.com/.../Cerita_Pendek_-_Hutan_Beton_Negeri_Pesolek -

    Hutan Beton Negeri Pesolek

    Cerpen

    SUNGGUH Indah pelataran negeri ini, dimana pada tiap jengkal tanahnya subur sudah pohon-pohon penyejuk. Ranum buah pun setiap saat menggiurkan tangan pemetiknya. Namun, tak satu pun dari kumpulan jemari itu yang bisa merenggutnya.
    Satu persatu penghuni negeri bersegera merapatkan diri, tatkala jam kota menegakkan jarumnya. Kini tiba saatnya kembali memulai dongeng tentang generasi atap langit.
    ***
    "Tuk,..kenapa ramai betul mereka merapatkan sayap di tiang-tiang dan gedung-gedung itu?"
    "Karena hanya tiang dan gedung itulah tempat tertinggi bagi mereka sekarang." jawab atuk sembari membulatkan pupil.
    "Cepat kau hidupkan seterongking, sudah sakit mata atuk ni!" perintah atuk lanjut dengan memicingkan matanya.
    Atuk Jum begitulah aku biasa memanggil laki-laki yang telah menghabiskan tujuh puluh sembilan tahun menikmati asam garam hidup. Atuk juga yang megajariku baca tulis arab. Sejak kecil acap kali aku bermain-main dengan atuk atau sekedar menemani pergi ke ladang di kaki bukit Betung. Senang rasanya bisa menikmati ubi bakar sembari menikmati keindahan hijau bukit yang tampak asri, terkadang aku terlelap di pondok ladang atuk.
    Akan tetapi, semua itu hanya menjadi cerita bagi adik Tyo yang baru masuk sekolah tahun ini. Pohon-pohon hijau sudah sejak lama meninggalkan punggung bukit. Bukan hanya itu nyanyian para Murai mulai menghilang dari telinga-telinga kami. Bahkan goa-goa tempat para walet menyepikan diri mulai kehilangan penghuni. Gemericik air di pancuran mulai berganti suara pompa tambang, jernihnya air di kolong tempat bibik-bibik mencuci pakaian telah berwarna coklat.
    Memang, semua yang dulu menjadi teman tidurku di pondok ladang atuk, satu persatu menghilang dari bola mata. Terlebih ketika berbondong-bondong lelaki tanpa alas kaki memasang pompa dan membalikkan tanah demi butir pasir timah. Seketika itu juga teman-teman sebayaku asyik bermain air coklat, memisahkan pasir putih dari butir pasir berwarna hitam yang kemudian dikenal dengan timah. Sekolah pun menjadi lengang bahkan beberapa guru honor memilih berlama-lama di tambang ketimbang menuliskan
    huruf ataupun kata di papan hitam di depan kelas. Mereka begitu bahagia berada di tempat itu, karena hanya dalam satu bulan saja orang-orang itu sudah bisa membeli motor bebek, ponsel, mesin cuci bahkan parabola. Kesemuanya itu hanya satu bulan,

    BalasHapus
  28. “Kalau saya masih di sana, mungkin butuh bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan ini semua!” tegas mang Jailani sepulang membeli barang-barang di pasar.
    Kecanggihan dan kemapanan penduduk di negeriku menjadikan penguasa bersemangat memungut pajak dan membangun gedung-gedung di tiap-tiap sudut yang dinilai basah. Satu – dua – tiga pusat-pusat perbelanjaan berdiri, berbagai jenis kebutuhan dengan mudahnya didapat, asal kantong kita masih cukup menukarnya dengan berlembar-lembar rupiah.
    Negeriku mulai pandai bersolek. Beragam warna mulai dioleskan pada pipi dan ditiap sudut wajah kota. Para pemilik modal tak mau ketinggalan. Dengan nilai investasi diatas rata-rata mereka dengan mudah mendapat izin mendirikan bangunan yang tingginya mengalahkan menara masjid Jami atau minimal sejajar. Mulanya hanya beberapa diantara mereka yang berani mendirikan bangunan yang sebenarnya bukan diperuntukkan bagi orang-orang seperti kita. Mereka begitu pandai membuat rumah bagi para Walet yang telah kehilangan tempat tinggal di goa-goa bukit. Alhasil, mereka sama beruntungnya dengan rekan-rekan di tambang.
    Para Walet dengan pasrahnya mendiami gedung-gedung secara berkoloni. Kini, kota telah menjadi ramai, penghuni hutan mulai hidup berdampingan.
    "Tuk,..kenapa ramai betul mereka merapatkan sayap di tiang-tiang dan gedung-gedung itu?" sekali lagi kutanyakan pada atuk.
    Atuk dengan tenang menjawab pertanyaanku, tak ada guratan senyum ataupun kesedihan di wajahnya. "Karena hanya tiang dan gedung itulah tempat tertinggi bagi mereka sekarang." Jawab atuk ringan.
    “Mereka, para walet sudah sejak lama oleh Tuhan diberikan kesempatan untuk menjelajah atap langit tanpa henti di siang, dan ketika malam kembali merapatkan sayap. Pada mulanya mereka telah terbiasa tinggal di gua-gua terjal serta tebing jurang yang tinggi. Sampai pada suatu ketika rumah-rumah mereka terpinggirkan oleh gemuruh mesin tambang dan pembabatan hutan-hutan di bukit pinggiran kota.” Jelas atuk kemudian.
    “Lalu apa mereka terbiasa hidup pada tiang-tiang ataupun gedung-gedung itu?” tanyaku penasaran.
    “Mungkin”
    “Apa mereka setuju untuk hidup berdampingan dengan manusia yang terkenal dengan tabiat aneh dan misterius?”
    “Ha..haa.., ada-ada saja kau. Sudahlah, tolong belikan atuk mu ini kopi dan gula dulu di warung bik Imah!”
    Negeriku telah padat oleh gedung-gedung yang menjulang dengan kemiripan bentuknya satu dengan yang lain. Akan tetapi diantara gedung-gedung itu saling berlomba tinggi dan kokoh. Tak heran jika halilintar mulai enggan mengoyak langit di negeri ini, karena halilintar itu telah menemukan tangga terbaik untuk menurunkan ion-ion ke permukaan bumi dengan lebih elegan. Negeriku juga mulai pandai bercermin, sehingga pembangunan menjadi harga mati bagi pendewasaan diri dan bermartabat
    Lanjutan cerpen

    ditengah-tengah negeri lain. Wajar jika setiap jengkal tanah akan kau temukan gedung-gedung tinggi serupa pohon-pohon menjulang diperbukitan yang begitu indah ketika malam dengan lampu-lampu.
    ***
    Sungguh Inn..daaa..hhh pelataran negeri ini, dimana pada tiap jengkal subur sudah beton-beton menjulang dengan penyejuk udara. Ranum buah pun setiap saat menggiurkan tangan untuk memasukkannya pada kantung-kantung ditiap pusat perbelanjaan. Tak satu pun dari kumpulan jemari itu dengan kesusahan untuk merenggutnya.
    Satu persatu penghuni negeri bersegera merapatkan diri, tatkala jam kota menegakkan jarumnya. Kini tiba saatnya kembali memulai dongeng tentang peri-peri hijau yang menaburkan kesejukan di perbukitan itu.***

    Catatan : atuk = kakek, seterongking = salah satu jenis lampu penerang , kolong = lubang bekas penambangan Timah

    BalasHapus
  29. Naskah drama

    Hutan Beton Negeri Pesolek

    Babak I

    SUNGGUH Indah pelataran negeri ini, dimana pada tiap jengkal tanahnya subur sudah pohon-pohon penyejuk. Ranum buah pun setiap saat menggiurkan tangan pemetiknya. Namun, tak satu pun dari kumpulan jemari itu yang bisa merenggutnya.
    Satu persatu penghuni negeri bersegera merapatkan diri, tatkala jam kota menegakkan jarumnya. Kini tiba saatnya kembali memulai dongeng tentang generasi atap langit.
    Aku :"Kek,,..kenapa ramai betul mereka merapatkan sayap di tiang-tiang dan gedung-gedung itu?Bagian-bagian dari mereka hampir menutup atap gedung itu"
    Kakek : (membulatkan pupil.)"Karena hanya tiang dan gedung itulah tempat tertinggi bagi mereka sekarang. Mereka merasa itulah tempat yang akan menolong mereka"
    Kakek :"Dari pada kau terus-menerus memandang ke luar lebih baik, cepat kau hidupkan lampu, sudah sakit mata kakek ni!" (memicingkan matanya.)
    Aku :”Baik, kek.”
    Kakek :”Bukan kau saja yang merindukan masa itu kakek juga. Masa-masa itu amat menyenangkan, dan membuat rindu siapa saja yang mengalaminya.”
    Aku :”Kehidupan mereka boleh amatlah maju, berbeda sekali dengan kita, kek?”
    Kakek :”ha...ha...ha... bahkan kita tak mempunyai lampu listrik seperti mereka.”

    Babak II

    Kakek Jum begitulah aku biasa memanggil laki-laki yang telah menghabiskan tujuh puluh sembilan tahun menikmati asam garam hidup. Kakek juga yang megajariku baca tulis arab. Sejak kecil acap kali aku bermain-main dengan kakek atau sekedar menemani pergi ke ladang di kaki bukit Betung. Senang rasanya bisa menikmati ubi bakar sembari menikmati keindahan hijau bukit yang tampak asri, terkadang aku terlelap di pondok ladang kakek. Aku amat menikmati masa-masaku bersama dengan kakek.
    Aku :” Kek, saya berterima kasih sekali dengan segala yang kakek berikan, kakek membawaku ke tempat-tempat indah, yang menyenangkan, ladang yang indah di kaki bukit, di sana amatlah indah dan sejuk sekali, walaupun sayang sekarang tidaklah seperti dulu kala.”
    Kakek :”ha...ha...ha..., yah, mau bagaimana lagi, banyak tanah indah ini yang dibeli mereka para penguasa, entah mereka tak pahamkah betapa indah dan penting lam kita ini, ataukah memangmereka tak peduli dengan keindahan yang diberikan Tuhan.”
    Aku :”Sayang sekali itu pergi, alam yang begitu indahhanya dapat menjadi sekedar cerita bagi Tyo.”
    Adik Tyo baru masuk sekolah tahun ini. Pohon-pohon hijau sudah sejak lama meninggalkan punggung bukit. Bukan hanya itu nyanyian para Murai mulai menghilang dari telinga-telinga kami. Bahkan goa-goa tempat para walet menyepikan diri mulai kehilangan penghuni. Gemericik air di pancuran mulai berganti suara pompa tambang, jernihnya air di lubang tempat bibik-bibik mencuci pakaian telah berwarna coklat.

    BalasHapus
  30. Babak III

    Memang, semua yang dulu menjadi teman tidurku di pondok ladang kakek, satu persatu menghilang dari bola mata. Terlebih ketika berbondong-bondong lelaki tanpa alas kaki memasang pompa dan membalikkan tanah demi butir pasir timah. Seketika itu juga teman-teman sebayaku asyik bermain air coklat, memisahkan pasir putih dari butir pasir berwarna hitam yang kemudian dikenal dengan timah. Sekolah pun menjadi lengang bahkan beberapa guru honor memilih berlama-lama di tambang ketimbang menuliskan huruf ataupun kata di papan hitam di depan kelas. Mereka begitu bahagia berada di tempat itu, karena hanya dalam satu bulan saja orang-orang itu sudah bisa membeli motor bebek, ponsel, mesin cuci bahkan parabola. Kesemuanya itu hanya satu bulan,
    mang Jailani :“Kalau saya masih di sana, mungkin butuh bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan ini semua.”
    Aku :”Kecanggihan dan kemapanan penduduk di negeriku menjadikan penguasa bersemangat memungut pajak dan membangun gedung-gedung di tiap-tiap sudut yang dinilai basah. Satu – dua – tiga pusat-pusat perbelanjaan berdiri, berbagai jenis kebutuhan dengan mudahnya didapat, asal kantong kita masih cukup menukarnya dengan berlembar-lembar rupiah.”
    mang Jailani :”Maka itu, seperti yang kukatakan tadi. Jangankan bertahun-tahun, mungkin aku takkan tahu sampai kapan aku akan berharap.”
    Negeriku mulai pandai bersolek. Beragam warna mulai dioleskan pada pipi dan ditiap sudut wajah kota. Para pemilik modal tak mau ketinggalan. Dengan nilai investasi diatas rata-rata mereka dengan mudah mendapat izin mendirikan bangunan yang tingginya mengalahkan menara masjid Jami atau minimal sejajar. Mulanya hanya beberapa diantara mereka yang berani mendirikan bangunan yang sebenarnya bukan diperuntukkan bagi orang-orang seperti kita. Mereka begitu pandai membuat rumah bagi para Walet yang telah kehilangan tempat tinggal di goa-goa bukit. Alhasil, mereka sama beruntungnya dengan rekan-rekan di tambang.
    Para Walet dengan pasrahnya mendiami gedung-gedung secara berkoloni. Kini, kota telah menjadi ramai, penghuni hutan mulai hidup berdampingan.
    Aku :"Kek,..kenapa ramai betul mereka merapatkan sayap di tiang-tiang dan gedung-gedung itu?"
    Kakek :"Karena hanya tiang dan gedung itulah tempat tertinggi bagi mereka sekarang.Tidak ada lagitempat yang layak untuk mereka terpaksalah mereka mencari tempat yang dianggapnya yang terbaik "
    Kakek :“Mereka, para walet sudah sejak lama oleh Tuhan diberikan kesempatan untuk menjelajah atap langit tanpa henti di siang, dan ketika malam kembali merapatkan sayap. Pada mulanya mereka telah terbiasa tinggal di gua-gua terjal serta tebing jurang yang tinggi dimana mereka dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik. Sampai pada suatu ketika rumah-rumah mereka terpinggirkan oleh gemuruh mesin tambang dan pembabatan hutan-hutan di bukit pinggiran kota.”
    Aku :“Lalu apa mereka terbiasa hidup pada tiang-tiang ataupun gedung-gedung itu?”
    Kakek :“Mungkin. Kakek tidak yakin mereka akan sebahagia saat mereka mendapatkan goa sebagai tempatnya istirahat melepas lelah”
    Aku :“Apa mereka setuju untuk hidup berdampingan dengan manusia yang terkenal dengan tabiat aneh dan misterius?”
    Kakek :“Ha..haa.., ada-ada saja kau. Kalaupun mereka dapat berkomentar, kakek pun ingin tahu bagaimana pendapat merekaSudahlah, tolong belikan kakek mu ini kopi dan gula dulu di warung bik Imah!”
    Aku :”Baiklah, tetapi aku masih ingin mendengar keterangan selanjutnya setelah nanti aku kembali.”

    BalasHapus
  31. Babak IV

    Negeriku telah padat oleh gedung-gedung yang menjulang dengan kemiripan benkeknya satu dengan yang lain. Akan tetapi diantara gedung-gedung itu saling berlomba tinggi dan kokoh.
    Aku :”Tak heran jika halilintar mulai enggan mengoyak langit di negeri ini, karena halilintar itu telah menemukan tangga terbaik untuk menurunkan ion-ion ke permukaan bumi dengan lebih elegan. Negeriku juga mulai pandai bercermin, sehingga pembangunan menjadi harga mati bagi pendewasaan diri dan bermartabat ditengah-tengah negeri lain. Wajar jika setiap jengkal tanah akan kau temukan gedung-gedung tinggi serupa pohon-pohon menjulang diperbukitan yang begitu indah ketika malam dengan lampu-lampu.”
    Kakek :”Yah, malam yang indah dengan lampu memang sangat indah, tetapi belum mampu mengalahkan pemandangan alam di saat fajar.”
    Aku :”Sungguh Inn..daaa..hhh pelataran negeri ini, dimana pada tiap jengkal subur sudah beton-beton menjulang dengan penyejuk udara. Ranum buah pun setiap saat menggiurkan tangan untuk memasukkannya pada kantung-kantung ditiap pusat perbelanjaan. Tak satu pun dari kumpulan jemari itu dengan kesusahan untuk merenggutnya.”
    Kakek :”Memang, berbeda dengan dahulu, kita perlu menanam sendiri buah dan sayur, tetapi enaknya kita tidak membutuhkan pendingin seperti itu.”
    Aku :”Ingin aku melihat pemandangan dulu kala yang membuatku senang, bahagia dan merasa amatlah nyaman. Udara sejuk, tanpa menggunakan pendingin, aku dapat mengajak Tyo melihat bagaimana yang kulihat dulu. Apakah ini mungkin terjadi kek?”
    Kakek :” Yah,... berdoa saja lah semoga saja mereka para penguasa merindukan keindahan alam dulu kala. Panorama tak ternilai yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.”
    Aku :” Betapa agung dan indah ciptaan-Nya, sungguh sayang mereka para pengusaha menyia-nyiakannya ya, kek.”
    Kakek :”Sekarang amat berbeda, lihatlah sudah sore, pasti sesat akan terdengar suara bising, layaknya kota besar.”
    Satu persatu penghuni negeri bersegera merapatkan diri, tatkala jam kota menegakkan jarumnya. Kini tiba saatnya kembali memulai dongeng tentang peri-peri hijau yang menaburkan kesejukan di perbukitan itu.

    -TAMAT-

    BalasHapus
  32. Nama : Yuni Marlina
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 47

    Tema : Kepedulian Lingkungan

    Kekeringan
    Tiga bulan lalu semestinya musim hujan sudah tiba. Alih-alih hujan turun, cuaca menjadi bertambah panas dari hari ke hari.. Saluran irigasi semakin menyusut airnya, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Giman yang tidak memiliki sawah seluas petani-petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air. Saat ini, air menjadi barang mewah bagi para petani Desa Brojol. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba. Namun, justru kecemasan yang datang melanda. Akankah ia gagal panen untuk ketiga kalinya tahun ini?. Tidak, itu sangat menyakitkan bagi seorang petani, apalagi petani miskin seperti Giman.
    Dari kejauhan terlihat Mbah Simo sibuk mengatur aliran air di saluran irigasi. “Saya minta bagian air sedikit, Mbah!. Sudah dua hari sawah saya kering!”. Spontan Giman berteriak melihat sosok Mbah Simo. “Biar penuh dulu sawahku. Memangnya sawahmu saja yang kering!”. Lelaki tua itu terlihat gusar.
    “Lebih baik segera bayar hutang berasmu yang kemarin. Tahun kemarin hutangmu sudah ku anggap lunas karena aku kasihan sama anakmu yang mau masuk sekolah. Tapi, sekarang jangan enak-enakkan. Kau harus bayar, mengerti!”, lanjut Mbah Simo dengan nada kesal.

    BalasHapus
  33. “Bagaimana saya bisa bayar, Mbah, kalau saya tidak bisa panen gara-gara sawah saya kekeringan?!”, sahut Giman tak kalah kesal.
    “Lho…yo ojo nyolot, Kowe!. Sawahku itu luas. Kalau kekeringan, aku ruginya juga besar. Tidak bisa dibandingkan dengan sawahmu sing sak iprit kuwi”. Giman segera sadar. Ia harus menahan diri. Ia tidak ingin terlibat masalah dengan Mbah Simo. Bisa-bisa, bunga hutangnya dinaikkan dua kali lipat. Sawah Mbah Simo memang berhektar-hektar. Ia tahu, tidaklah cukup mengalirkan air seharian untuk memenuhi sawah-sawah Mbah Simo. Ia harus bersabar sebentar untuk mendapatkan air.
    Dari balik gubuknya, Giman melihat Mbah Simo mulai menjauhi saluran irigasi. Ia segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju saluran irigasi setelah memastikan bahwa Mbah Simo benar-benar pergi. Giman beraksi, ia menyumbat aliran air yang menuju sawah Mbah Simo, kemudian ia mengalirkan air ke sawahnya. Ah, akhirnya dapat air juga, batinnya. Sudah dua hari sawahnya tak teraliri air. Keadaan ini akan bertahan setidaknya hingga sore tiba. Karena, pada sore hari biasanya Mbah simo akan mengecek ulang aliran irigasinya.

    BalasHapus
  34. “Pakde, Pakde!. Cepat ke sawah, Pakde. Sawah Mbah Simo dibakar orang!”. Mitro datang tergopoh-gopoh menghampiri Giman yang sedang mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk kayu bakar. “Apa??!. Oalah opo maneh iki?”. Sontak Giman berlari menuju sawah yang tak jauh dari tempat ia mencari ranting kering menyusul Mitro yang telah menghilang di balik pepohonan.
    Giman terkejut bukan kepalang. Puluhan orang berkumpul mengelilingi sawah Mbah Simo dengan obor yang menyala-nyala di tangan mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan sikap tak bersahabat. Api berkobar menggila oleh angin senja. Secepat kilat Si Jago Merah menyambar batang-batang padi menguning di hampir separo bagian sawah milik Mbah Simo.
    “ Biar tahu rasa dia. Seenaknya saja memonopoli air. Dia pikir hanya sawahnya saja yang butuh air!”, kutuk salah seorang dari mereka.
    “Mentang-mentang orang kaya, suka semena-mena!!”, kutuk yang lainnya.
    “Dasar pengecut. Dimana Simo?. Kalau berani suruh dia lawan orang satu kampung!!” suara lain menyahut geram.

    BalasHapus
  35. Mata Giman menyapu kerumunaan orang-orang. Ia mengenali sosok-sosok tubuh itu. Mereka adalah para tetangga Giman. Dikun, Parjo, Sarjono, Lukito. Hampir orang satu kampung!. Mereka kalap dan terus mengumpat-umpat. Mereka melemparkan obor dengan membabi buta ke tumpukan batang padi kering di tepi sawah. Kembali api berkobar semakin besar, melahap habis padi-padi yang hampir panen.
    “Tunggu!. Jangan…!. Jangan sawahku!”, reflek Giman berlari mendekat tidak dapat mencegah merambatnya api dari obor yang terlempar. Api menjalar merenggut satu per satu batang padi di sawah Giman.
    “Oalah, Gusti!. Kumohon matikan apinya. Itu sawahku..!!!”. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengar. Riuh redam umpatan orang-orang itu menelan teriakan Giman. Ia terduduk lesu. Ia ingin menangis seperti bayi, jika tidak teringat akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus tegar menghadapi apapun.
    SUMBER : http://peperonity.com/go/sites/mview/rohmah/21210257

    BalasHapus
  36. Nama : Yuni Marlina
    Kelas : XI IPA 7
    No : 47

    Naskah Drama

    KEKERINGAN

    Pada suatu hari, di Desa Brojol. Hiduplah seorang petani miskin yang bernama Giman. Ia adalah seorang petani yang bekerja keras demi kelangsungan hidupnya bersama dengan putri semata wayangnya. Selain Giman, masih ada petani-petani lain yang hidup di desa itu. Namun, ada satu petani yang memiliki sawah paling luas di antara petani-petani lainnya, yang bernama Mbah Simo. Ia adalah petani kaya namun sikapnya sangat sombong dan hanya mementingkan diri sendiri.
    1. Giman : “Pagi, Mbah. Pie kabare?” (berjalan sambil bersenyum manis)
    2. Mbah Simo : “Tak usah banyak bicara. Apa tujuanmu datang ke sini?” (raut
    muka yang sedang marah)
    3. Giman : “Mbah tau saja… Aku ingin membeli beras tapi aku menghutang
    dulu. Mungkin beberapa hari lagi, aku baru akan
    membayarnya.” (dengan wajah yang memelas)
    4. Mbah Simo : “Baiklah… Akan ku berikan beras yang kau inginkan. Namun,
    beberapa hari ke depan akan tagih janjimu.” (menjawab dengan
    sedikit nada terpaksa)
    5. Giman : “Makasih ya, Mbah. Aku janji akan membayar secepatnya,
    setelah sawahku berhasil panen.” (dengan wajah yang senang)

    BalasHapus
  37. Ternyata, sawah Giman gagal panen. Ini disebabkan karena musim kemarau yang panjang sekali. Hari demi hari di lewatinya dengan susah, seharusnya tiga bulan yang lalu musim hujan sudah tiba. Alih-alih hujan turun, cuaca menjadi bertambah panas dari hari ke hari… Saluran irigasi semakin menyusut airnya, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Giman yang tidak memiliki sawah seluas petani-petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air.
    6. Giman :”Wah… Saya harus mencari strategi, agar sawahku dapat dialiri
    air. Tapi, bagaimanakah caranya?” (bertanya pada diri sendiri
    dengan bingungnya)
    Saat ini, air menjadi barang mewah bagi para petani Desa Brojol. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba. Namun, justru kecemasan yang datang melanda. Apakah ia gagal panen untuk ketiga kalinya tahun ini? Tidak, itu sangat menyakitkan bagi seorang petani, apalagi petani miskin seperti Giman.
    Dari kejauhan terlihat Mbah Simo sibuk mengatur aliran air di saluran irigasi. Lalu, Giman datang mendekatinya.
    7. Giman : “Saya minta bagian air sedikit, Mbah! Sudah dua hari sawah saya
    kering!” (meminta dengan tenang)
    8. Mbah Simo : “Emangnya kamu siapa saya?” (menjawab dengan singakat dan
    arogan)
    9. Giman : “Saya memang bukan keluarga, saudara, dan teman Mbah, tapi
    kita kan tetangga. Semestinya, Mbah harus saling tolong
    menolong dengan tetangga sendiri.” (menjelaskan semuanya
    dengan sabar)
    10. Mbah Simo : “Walaupun kamu tetangga saya. Saya tidak akan pernah
    membantu kamu dan keluarga kamu.” (memasang wajah yang
    sombong dan egois)

    BalasHapus
  38. 11. Giman : “Mbah, tolong bagikan sedikit air saja untuk sawahku.” (meminta
    dengan lembut)
    12. Mbah Simo : “Kamu itu orang misikn. Saya tidak rela membagian air kepada
    orang miskin. Sawah kamu juga kecil. Sawahku lebih berharga
    daripada sawahmu.” (menjawab dengan membanggakan
    sawahnya)
    Percakapan Giman dan Mbah Simo pun semakin panas.
    13. Giman : “Tolonglah, Mbah.” (meminta kembali dengan setenang-
    tenangnya)
    14. Mbah Simo : “Lebih baik kamu bayar dulu hutangmu yang kemarin. Tahun
    kemarin hutangmu sudah ku anggap lunas karena aku kasihan
    sama anakmu yang mau masuk sekolah. Tapi sekali ini kamu
    harus bayar. Ingat itu!” (menjawab dengan nada yang tinggi dan
    tidak memperdulikannya)
    15. Giman : “Bagaiman saya bisa bayar hutangku kalau saya tidak bisa panen
    gara-gara sawah saya kekeringan?” (bertanya dengan nada yang
    tinggi)
    16. Mbah Simo : “Kenapa kamu jadi bernada tinggi? Sawahku itu luas. Kalau
    kekeringan, aku ruginya juga besar. Tidak bisa dibandingkan
    dengan sawahmu yang kecil itu.” (menjawab dengan sesuka hati
    tanpa memperdulikan Giman lagi)

    BalasHapus
  39. Giman pun sadar. Dia harus sabar dalam menghadapi emosinya terhadap Mbah Simo. Jika dia tidak sabar, bunga hutangnya bisa-bisa dinaikkan dua kali lipat. Ia pun harus bersabar untuk mendapatkan air.
    Setelah Mbah Simo mengalirkan air ke sawahnya, Giman segera menutup saluran airnya dan memindahkannya untuk mengalirkan air ke sawahnya.
    17. Giman : “Alhamdulilah. Akhirnya sawah saya dialirin air juga. Sudah dua
    hari sawahku tidak teraliri air. Setidaknya sampai sore hari
    keadaan ini akan bertahan.” (bersyukur kepada Tuhan)
    Tiba-tiba, sawah Mbah Simo terbakar.
    18. Mitro : “Pakde, pakde! Cepat ke sawah, Pakde.” (berteriak dengan
    kencangnya)
    19. Giman : “Ada apa sih teriak-teriak? Nanti Pakde kamu marah.”
    (memberikan nasihat dengan lembut)
    20. Mitro : “Sawah Pakde dibakar oang.” (menjawab dengan nada yang
    kebingungan)
    21. Giman : “Apa? Apa yang terjadi ini?” (bertanya dengan kebingungan)

    BalasHapus
  40. Giman dan Mitro pun segera ke sawah Mbah Simo. Disana sudah ada Dikun, Parjo, Sarjono, dan Lukito. Mereka adalah tetangga Mbah Simo yang menyaksikan kebakaran sawah Mbah Simo.
    22. Dikun : “Biar tahu rasa dia. Seenaknya saja memonopoli air.” (memaki
    Mbah Simo dengan keras)
    23. Sarjono : “Dia pikir hanya sawahnya saja yang butuh air!” (dengan raut
    muka yang marah)
    24. Lukito : “Mentang-mentang orang kaya, suka semena-mena!!” (dengan
    raut wajah yang marah)
    25. Parjo : “Dasar pengecut! Dimana kamu, Simo? Kalau berani suruh dia
    lawan orang satu kampung.” (berteriak dengan nada yang tinggi)
    Tak disangka, salah seorang warga kampung Mbah Simo melemparkan obor dengan membabi buta, melahap habis padi-padi yang hampir panen.
    26. Giman : “Tunggu! Jangan….! Jangan sawahku! Aku ingin ke sawahku.”
    (dengan raut muka yang terkejut)
    27. Sarjono : “Jangan kesana, Man. Itu sangat berbahaya.” (mencegah Giman)
    28. Giman : “Ya Allah! Kumohon matikan apinya. Itu sawahku..!! (menangis
    dengan sedihnya)
    Ternyata, tidak ada yang mendengar keluhan Giman. Semua orang pun telah pergi satu per satu. Giman pun tertunduk lesu. Dia pun ingin menangis tetapi dia teringat akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus tegar untuk menghadapi apapun.

    BalasHapus
  41. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  42. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  43. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  44. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  45. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  46. Nama : Astrid
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor Absen : 05

    Tema cerpen : Patriotisme dan Kepahlawanan

    Naskah Drama

    Pahlawan

    Pak Torren adalah seorang pegawai negeri yang tinggal di suatu kota dimana korupsi menjadi keutamaan mencapai kemakmuran. Sebenarnya ia membenci pekerjaan itu. Namun ia belum mempunyai waktu untuk melepaskan kepenatannya itu.
    Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kanti belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.

    Pak Walikota : “Apa salahnya pegawai negeri? Pegawai negeri bukanlah orang-orang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat pernikahan atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi kita tak bisa diremehkan.”

    Pak Torren : “Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita. Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan. Jadi apa tidak sebaiknya kita telah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?”

    Pak Walikota : ”Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat.” (meninggalkan meja makan)

    Pak Torren : “Ahh.. ini jawaban atau doktrin. Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan buruk terhadap masyarakat yang tidak mampu selalu terjadi. Padahal dari pedagang kaki lima itulah kita memdapat setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kiat bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah justru merka yang menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Meraka tidak memperoleh pekerjaan itu dari kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah. Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini?” (Dengan nada sedikit tinggi)

    Temannya hanya bisa menepuk pundak Pak Torren dengan maksud untuk meredakan emosi Pak Torren.

    BalasHapus
  47. Keesokan harinya, kantor Pak Torren kedatangan tamu yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengan Pak Torren. Orang penting itu pun bertanya,
    Orang penting : “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?” (Sambil tersenyum)

    Pak Torren : “Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyebrang.” (Sambil menunjuk dengan ibu jarinya)

    Orang penting : “Oh begitu. Terima kasih Pak.” (Sambil tersenyum, sekilas ia perhatikan meja kerja Pak Torren kemudian perlahan-lahan ia mendekati Pak Torren). “Bapak mau Jumatan bareng dengan saya?”

    Pak Torren : “Maaf, Saya masih sibuk. Saya tidak punya waktu.” (Tanpa menoleh kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaan)

    Orang Penting : “Wah! Hati-hati lho Pak!” (Sambil tersenyum)

    Pak Torren : “Maksud bapak?” (Dengan nada bingung dan sedikit tersinggung)

    Orang Penting : “Oh tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta kita, dan memberikan kita waktu yang lebih banyak, bukankah kita malah jadi susah?” (Sambil Tersenyum). “Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan isteri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua kita akan memiliki waktu lebih banyak?” (Diam sejenak). “Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan saya tidak berkenan di hati Bapak.” (Sambil membungkukkan badan). “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesame saudara, agar kita senantiasa menjadi orang yang harus mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan. Saya permisi ya Pak!” (Berjalan menuju anak tangga)

    Tiga bulan telah berlalu, Pak Torren sekarang lebih aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota sering menegur bahkan mengancamnya. Hal ini terjadi karena ia merasa takut apabila Pak Torren akan melaporkannya ke kantor polisi akibat tindak korupsi yang telah dilakukannya.

    Sabtu pagi, rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Dan demi menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, Pak Torren pun harus dirawat di rumah sakit akibat menderita luka bakar yang cukup parah. Namun keluarganya selamat. Ini semua berkat pertolongan dari Pak Torren sebagai kepala keluarga.

    BalasHapus
  48. Ketika di rumah sakit, Pak Torren mendapat kunjungan sesorang yang pernah menasehatinya.
    Orang penting : “Selamat siang Pak!” (Sambil tersenyum)

    Pak Torren : “Owh.. Selamat siang Pak! Bapak yang waktu itu pernah datang ke kantor saya kan?” (Dengan ekspresi terkejut)

    Orang penting : “Ya betul. Perkenalkan nama saya Sungkono, saya dari Badan Pemberantas Korupsi. Kadatangan saya ke sini untuk memberitakan bahwa Pak Walikota telah masuk penjara dan dikenakan hukuman kurungan selama tiga tahun akibat tindak korupsi yang telah dilakukannya. Semua ini berkat dokumen-dokumen dari Pak Torren yang diserahkan ke saya lewat anak bapak. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak yang telah membantu kami dalam memberantas korupsi di negeri kita ini.” (Menjabat tangan Pak Torren sambil tersenyum)

    Pak Torren : “Terima kasih kembali Pak. Saya dengan senang hati akan membantu bapak demi kesejarteraan bangsa kita ini.”

    Orang penting : “Baiklah itu saja yang ingin saya sampaikan. Kalau begitu saya permisi pak.”

    Pak Torren : “Baiklah pak. Hati-hati dijalan.”

    Sayangnya semenjak kejadian itu, Pak Torren tidak dapat bertahan lama. Ia pun mangkat sebagai pahlawan dan meninggalkan keluarganya sendirian. Anak-anak dan istrinya pun akhirnya kembali ke kampung mereka di Puwokerto setelah kepergian suaminya.

    Namun sebelum mereka kembali ke kampung, tak lupa mereka pergi ke pemakaman suami dan ayah mereka.
    Anak-anak : “Bapak, kami bangga punya bapak sepertimu.” (Dengan wajah sedih)

    Isteri : “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku.” (Dengan lirih)

    Setelah itu mereka kembali ke kampung halaman mereka di Puwokerto.

    BalasHapus
  49. Berdasarkan cerpen:

    Pahlawan
    Karya : Mugi Subagyo

    Pak Torren adalah seorang pegawai negeri yang tinggal di suatu kota dimana korupsi menjadi keutamaan mencapai kemakmuran. Namun sebenarnya ia sendiri membenci pekerjaannya itu, dan dengan perasaan yang dirundung kebencian, disenandungkan pertanyaan pada Tuhan yang menarik garis takdirnya justru ke pekerjaan itu; menjadi pegawai negeri, di seksi kependudukan.

    Pukul satu siang, kesempatan untuk melepas unek-unek di kepalanya datang. Mereka makan siang di kantin belakang kantor walikota. Dan setelah berbasa-basi, mulai disampaikannya pandangan masyarakat yang meremehkan pegawai negeri.

    “Apa salahnya pegawai negeri? Pegawai negeri bukanlah orang-orang yang lemah, bukan orang-orang sepele yang patut diremehkan. Pegawai negeri yang menentukan status kependudukan, status rumah seseorang, menentukan pajak, ijin usaha para pengusaha, surat keterangan berkelakuan baik, surat sengketa tanah, surat nikah atau talak, nasib sekolah anak-anak. Jadi kita tak bisa diremehkan.” Sebuah jawaban didapat dari Pak Walikota, saat Ia tanyakan pendapatnya berkenaan dengan opini yang berkembang di masyarakat.


    “Tapi Pak, Saya pikir ada baiknya jika kita mau berhenti sesaat guna mendengarkan keinginan masyarakat kita.” Pak Torren menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada banyak kejadian tidak adil yang telah terjadi.

    “Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kekakuan, kemacetan segala urusan, jadi, apa tidak sebaiknya kita telah kembali aturan yang ada untuk diperbaiki?” bujuknya.

    “Jangan berpikir! Jangan gunakan perasaan! Taati saja peraturan yang ada, maka kamu senantiasa benar dan sudah pasti selamat,” ucap Pak Walikota sembari meninggalkan makanan yang masih bersisa itu.

    “Ahh.. ini jawaban atau sebuah doktrin” keluh Pak Torren ketika Pak Walikota meninggalkannya bersama seorang pegawai negri yang lain. Ia pun mulai mengemukakan unek-uneknya kepada temannya itu, “Tidak-kah Ia merasa seperti yang kurasakan? Perlakuan buruk terhadap masyarakat yang tidak mampu selalu terjadi. Padahal dari pedagang kaki lima itu, kita tarik setoran bertitel retribusi. Dan masyarakat, kita bebani kewajiban untuk memberikan data diri juga ijin untuk melakukan banyak hal. Bukankah mereka yang justru menggerakkan roda ekonomi, dan sebagai catatan: Mereka tidak memperoleh pekerjaan itu dari kita, dari Birokrasi atau dari pemerintah. Ya! Mereka bangkit dan berdiri dengan kaki sendiri, dan kita tinggal memerasnya dengan berbagai peraturan. Tidak-kah Ia sadari bahwa adat dunia balas membalas? Apakah tenang hatinya setelah mendapat uang banyak hasil manipulasi yang dilakukan dengan bantuanku selama ini?”

    Temannya hanya bisa menepuk pundak Pak Torren bermaksud untuk meredakan emosi Pak Torren. Semua pertanyaan itu tinggal menjadi pertanyaan, karena Pak Walikota telah meninggalkan mereka. Tinggal Pak Torren termangu dengan kegundahan, hingga air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.

    BalasHapus
  50. Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”

    “Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.
    Hari itu, Jumat siang jam sebelas lewat. Kantornya kedatangan seseorang yang terkesan “penting”. Setelah berbicara beberapa saat di ruang kerja pimpinan, orang tersebut keluar dan berpapasan langsung dengannya. Sambil tersenyum Ia bertanya: “Maaf Pak, Dimana letak Mesjid terdekat ya?”

    “Oh, Bapak keluar, lalu belok kiri, tidak jauh kemudian ada Mesjid, letaknya di sisi kanan jalan, Bapak tinggal menyeberang” Jawab Pak Torren seraya menunjuk dengan ibu jarinya.

    “Oh, begitu. Terima kasih Pak” Orang Penting tersebut tersenyum, sekilas Ia perhatikan meja kerja Pak Torren yang dipenuhi arsip juga dokumen yang sepertinya dalam tahap sedang dikerjakan. Diiihatnya dokumen tersebut sebagian besar adalah proposal dari perusahaan, pesantren atau pengurus mesjid. Kemudian dengan agak lambat Ia dekati Pak Torren penuh kehati-hatian, diajukannya pertanyaan dengan lembut: “Bapak mau Jumatan bareng dengan saya?”

    “Maaf, Saya masih sibuk, Saya tidak punya waktu” Tanpa menoleh Pak Torren melanjutkan pekerjaannya. Mungkin ingin menunjukkan ke orang lain, bahwa pegawai negeri bukanlah pengangguran terselubung seperti pendapat orang kebanyakan.

    “Wah! Hati-hati lho Pak!” masih dengan senyum, Orang Penting ini mengingatkan.

    “Maksud Bapak?” Tanya Pak Torren dengan nada bingung dan sedikit tersinggung.

    “Oh Tidak, Saya tak bermaksud apa-apa, hanya mengingatkan bahwa sebaiknya kita senantiasa berhati-hati dalam ucapan, karena bila Tuhan menjawab pinta kita, dan memberikan kita waktu yang lebih banyak, bukankah kita malah jadi susah?” Orang ini menjawab dengan tebu yang ditanam di bibir; manis sekali.

    “Waktu yang banyak, bisa berarti kita kehilangan banyak, mungkin kehilangan istri dan anak atau keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan harta. Atau meski itu semua tidak kita miliki, bisa saja kita kehilangan kesehatan. Bukankah dengan itu semua kita akan memiliki waktu lebih banyak?” Keduanya sunyi sejenak.

    “Ya sudah Pak, maaf kalau ucapan Saya tidak berkenan di hati Bapak.” Sambil membungkukkan badan “Saya hanya sekedar mengingatkan sebagai sesama saudara, agar kita senantiasa menjadi orang yang mawas diri tanpa perlu dipaksa oleh Tuhan” Masih dengan senyum “Saya permisi ya Pak!” Dan Ia pun melangkah menuju ke anak tangga, meninggalkan Pak Torren dengan gedoran keras di pintu hatinya. Pak Torren tidak lagi mempertanyakan siapa gerangan bapak tadi, juga maksud kedatangan di kantornya, karena nanti pasti Pak Walikota akan menyampaikan perihal orang tersebut. Namun perkataan tadi mampu membuka pintu hati yang selama ini macet oleh karat.

    BalasHapus
  51. Sudah tiga bulan lebih, Pak Torren aktif berorganisasi di luar kegiatan kantor. Bersama organisasi pemuda dan masyarakat, Ia turut mendukung aksi yang menuntut pemerintahan yang baik di instansinya. Awalnya banyak orang ragu akan perubahan sikap ini, namun kelamaan mereka percaya. Bukan hanya masyarakat yang senang dengan perubahan ini, anak dan istrinya-pun mendukung, karena selama ini mereka dikucilkan tetangga karena dianggap sebagai istri dan anak-anak yang dibesarkan dari hasil korupsi.

    Namun tidak semua orang suka melihat perubahan ini. Pak Walikota menegurnya berkali-kali bahkan mengancam. Hingga Sabtu pagi rumah Pak Torren dan beberapa rumah di sekitarnya terbakar. Mungkin si pelaku ingin memberikan penerangan agar dipahami Pak Torren. Sayangnya teguran ini tidak berhasil. Maklum, api bisa membakar banyak, tapi menerangi hanya sebentar.


    Meski Pak Torren meyakini satu hal, bahwa tak ada jalan yang pasti untuk menang, namun ada jalan yang pasti untuk tidak kalah, yaitu jangan bertanding. Pak Torren memilih bertanding, dengan hasil tubuh penuh luka bakar saat berusaha menyelamatkan anaknya yang masih kecil di lantai atas, ketika kebakaran terjadi. Keluarganya selamat.

    Di rumah sakit, kunjungan orang penting yang pernah menasihatinya, sanggup membuat ceria. orang tersebut, Pak Sungkono dari Badan Pemberantasan Korupsi. Dia menerima tumpukan dokumen dari anak Pak Torren. Dengan data ini, jatuh hukuman kurungan tiga tahun lamanya untuk Pak Walikota, hanya Sang Walikota. Tidak ada lapisan diatasnya yang ikut menginap di bui. Pak Walikota pasang badan sendirian, gagah berani. Hukuman orang seperti ini, biasanya akan banyak mendapat remisi, potong masa tahanan; bantuan dari “orang atas” yang telah menganggapnya pahlawan penyelamat muka.

    Sayangnya Pak Torren tidak bertahan lama untuk melihat hasil perjuangannya, entah karena luka bakar yang diderita atau memang Tuhan ingin segera menemuinya untuk sesuatu yang abadi yang bakal diterima; Pak Torren pun mangkat sebagai pahlawan dan meninggalkan keluarganya sendirian. Anak-anak dan istrinya pun akhirnya kembali ke kampung mereka di Puwokerto setelah kepergian suaminya.
    Namun sebelum mereka kembali ke kampung, tak lupa mereka pergi ke pemakaman suami dan ayah mereka.Tak satu-pun dari ketiga anaknya yang menangis tersedu-sedan, hanya wajah yang terlihat sedih dengan ucapan bangga: “Bapak, Kami bangga punya bapak sepertimu”. Dan istrinya bergumam lirih: “Suamiku, Engkau-lah pahlawanku”.

    BalasHapus
  52. Nama : Meldha Afriyanti
    Kelas: XI IPA 7
    Absen: 30
    Naskah drama:

    Bangku Belakang

    Adegan 1
    Bangku Belakang Ia masih saja termangu disudut kelas. Matanya memerah menahan isak tangis yang tersendat. Ia dihukum lagi, berdiri didepan kelas gara-gara tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan gurunya. Sudah pasti celotehan teman-temannya keluar bergemuruh. Suasana sekolah yang sayup seketika itu seperti pasar.. Hal yang sudah lumrah dijumpai di setiap sekolah. Ada saja guru yang amat tanggap dengan kejenuhan muridnya. Tidak demikian halnya guru yang amat memahami karakeristik anak didiknya, ia tetap patuh pada kewajibannya tapi tanpa menghilangkan sisi lain dari dunia anak didiknya.

    Babak 1
    Bel berdentang beberapa kali menandakan jam sekolah telah usai. Para murid berhamburan keluar, bernyanyi-nyanyi, tertawa bahkan ada juga yang dorong-dorogan. Mereka berpikir inilah saat dimana semua beban dapat dilepaskan dan serasa telah keluar dari jeratan pelajaran-pelajaran yang sangat melelahkan otak mereka. Tidak demikian halnya dengan Rahmansyah, ia pulang sekolah dengan mata sembab. Langkah yang pelan, amat malu baginya berulang kali harus berdiri didepan kelas.
    Teman Ramansyah : “ Hei Ramansyah kau ini anak bodoh!”, pantas saja kau menjadi langganan untuk diberi jatah paling depan.(disebelah papan tulis dengan terkadang kaki terangkat satu).
    Ramansyah : (hening dengan wajah lesu)
    Lain halnya dengan Ibu Guru Asni, Rahmansyah selalu kebanjiran pujian dari Ibu Asni, karena selain ia pintar mendeklamasikan puisi juga teramat merdu suaranya dan amat menjiwai ketika disuruh maju untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri pada jam pelajaran bahasa indonesia dan kesenian. Setidaknya apa yang ia peroleh dari Ibu Asni sedikit menghilangkan keputusasaannya selama ini terhadap beberapa pelajaran lainnya.

    Babak 2
    Seperti biasanya Ramansyah pun pulang dengan wajah yang tidak begitu semangat.
    Ramansyah : “ Assalamu’alaikum”.(Rahmansyah mengetuk pintu rumahnya sebelum ia masuk dan melemparkan tubuhnya ke kasur).
    Hening, tidak ada sahutan dari dalam. Ia masuk dan segera melampiaskan tubuhnya keinginan yang sudah menari sedari tadi dipikirannya. Lama ia terdiam sampai tersadari olehnya lapar yang teramat sangat. Bergegas ia bangun dan membuka nampan nasi di ruangan yang menyatu dengan dapurBapaknya mungkin masih di tempat juragan Pardi untuk menyetor gula merah hasil sadapannya. Sementara ibunya sudah lama tida bersamanya sejak dua tahun yang lalu. Ibunya bekerja sebagai TKW di luar negeri dengan hasil menjual sawah sebagai ongkosnya. Bukan ibunya Rahmansyah saja yang seperti itu ada beberapa puluh bahkan ribuan ibu-ibu lainnya ditempat berbeda yang mengais rejeki sebagai TKW.

    Babak 3
    Seperti yang dilakukanya saat hatinya merasa sedih, dengan mata yang sudah meredup Ramansyah berbaring di tempat tidurnya. Tanpa sadar Ramansyah pun tertidur dengan lelapnya diselang udara yang dingin pada malam itu.
    Ayah : ”Bagun nak, sudah pagi!”.”Nanti setelah shalat shubuh, bumbung yang diikat itu kamu bawa ke kebun kelapa”.
    Ramansyah : ”Iya Ayah”.
    Setelah semua diselesaikan, Rahmansyah buru-buru mandi. Hari ini pada jam pertama adalah pelajaran pak guru Kusur. Beliau yang selanjutnya menjadi momok untuk seorang Rahmansyah.
    Ramansyah : ”Ayah, Ramansyah berangkat”,pamitnya.
    Ayah : ”Iya, hati-hati di jalan, jangan lupa selalu turuti kata-kata Bapak guru, jangan melawan!!.Pesan Ayah.

    BalasHapus
  53. Adegan 2
    Baginya mendapatkan hukuman dari pak guru merupakan satu bentuk perhatian dan wujud kasih sayang. Keyakinan seperti itulah yang memacu semangatnya untuk terus belajar. Bagi Rahmansyah mungkin hal itu sebagai satu perlakuan dan konsekuensi yang harus diterima sebagai pengganti atas apa yang dilakukan. Entah itu pujian ataupun makian, ia masih sedikit menyunggingkan senyum meskipun sebelumnya telah keluar air mata sebagai bentuk kemarahan atau kekecewaan kepada dirinya sendiri. Ditentengnya buku pelajaran yang menjadi jatah jam pertama, sambil berjalan ia masih saja menghafal beberapa soal latihan. Setidaknya tidak jauh dengan soal yang akan diberikan pak kusur.

    Babak 4
    Tanpa disadari olehnya ada Ibu Asni yang sedari tadi memperhatikan dari ujung jalan yang memisahkan sekolahnya dengan arah menuju rumahnya.
    Ibu Asni : ”Selamat pagi Ramansyah, rajin sekali kamu nak,”sapa Bu Asni Hangat.
    Ramansyah : ”I...i…ya bu, selamat pagi juga”.
    Ibu Asni : Lusa kamu mulai latihan menyanyi untuk persiapan lomba di kecamatan.
    Ramansyah : ”I...i…ya bu, saya berangkat latihan.
    Ibu Asni : ”Latihanya di tempat Ibu Guru”.
    Ramansyah :”Iya Bu!”.

    Babak 5
    “Teeet…teeet..teeeeet…..” nyaring bunyi bel sekolah tanda akan dimulainya pelajaran. Rahmansyah berlari-lari kecil menuju ruang kelasnya.
    Teman Ramansyah:“Ia pasti akan menjadi penunggu papan tulis lagi”.
    Rahmansyah:(hanya tersenyum simpul).
    Pak Wajikin, pak Hendratmo dan pak Kusur yang menilai Rahmansyah hanya sebagai murid bawang konthong, tapi ada juga Ibu Asni yang sangat mengagumi kemampuannya dibidang selain ketiga pelajaran pak guru itu. Anehnya ketiga pelajaran itu yang diagung-agungkan sebagai batas antara pintar dan tidak pintar untuk seorang anak didik. Dengan anggapan, bahwa kemampuan itulah yang di akui sebagai prestasi untuk bisa disejajarkan dengan kebutuhan manusia-manusia modern. Sekecil apapun sesuatu itu ada dan timbul tidak berarti tanpa nilai. Hanya dengan perlakuan dan penghargaan sesuai takaran untuk kemudian bisa menjadi bagian penting dalam kehidupan, akan semakin memperkaya warna.

    Babak 6
    Terdengar sayup-sayup alunan musik dari radio di kantin belakang sekolah. “ Tiada yang salah dengan perbedaan dan segala yang kita punyayang salah hanyalah sudut pandang kita yang membuat kita terpisah bukankah kita diciptakan untuk dapat saling melengkapi mengapa ini yang terjadi….”
    Titah : Perintah Jorog-jorogan saling mendorong dengan tujuan agar terjatuh.
    Bawang Konthong :Usia pra sekolah tapi sudah mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah Lirik lagu “Mengapa ini yang terjadi” .

    BalasHapus
  54. Nama : Meldha Afriayanti
    Kelas : XI IPA 7
    Absen: 30
    Cerita pendek:

    Bangku Belakang
    Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda


    Bangku Belakang Ia masih saja termangu disudut kelas. Matanya memerah menahan isak tangis yang tersendat. Ia dihukum lagi, berdiri didepan kelas gara-gara tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan gurunya. Sudah pasti celotehan teman-temannya keluar bergemuruh. Suasana sekolah yang sayup seketika itu seperti pasar.. Hal yang sudah lumrah dijumpai di setiap sekolah. Ada saja guru yang amat tanggap dengan kejenuhan muridnya. Berbagai strategi dipasang untuk menghadapi beragam karakter murid agar tidak lekas bosan dengan suasana kelas, namun tak sedikit pula yang memperlakukan muridnya sebagai robot yang harus disusupi sekian teori demi pengejaran target-target. Karena bagaimanapun juga; menurutnya target itu merupakan dewa yang harus dipatuhi dan dituruti sebagai titah untuk pencapaian hasil suatu proses pendidikan. Tidak demikian halnya guru yang amat memahami karakeristik anak didiknya, ia tetap patuh pada kewajibannya tapi tanpa menghilangkan sisi lain dari dunia anak didiknya.
    Bel berdentang beberapa kali menandakan jam sekolah telah usai. Para murid berhamburan keluar, bernyanyi-nyanyi, tertawa bahkan ada juga yang jorog-jorogan. Mereka berpikir inilah saat dimana semua beban dapat dilepaskan dan serasa telah keluar dari jeratan pelajaran-pelajaran yang sangat melelahkan otak mereka. Tidak demikian halnya dengan Rahmansyah, ia pulang sekolah dengan mata sembab. Langkah yang pelan, amat malu baginya berulang kali harus berdiri didepan kelas. Bukan ia tidak belajar tapi terlampau sulit untuknya menyelesaikan tugas itu. Ia sudah berusaha sekuatnya. Tapi entah kenapa selalu tugas yang diberikan pak guru Wajikin tidak mampu ia selesaikan dengan hasil yang baik. Belum tentu ia bisa pulang sekolah dengan sekulum senyuman.
    Maki-makian dari teman sekelasnya sudah terlalu pedas untuk dikatakan sebagai cambuk. Bukan Pak Wajikin saja, ada Pak Hendratmo, Pak Kusur yang juga menjadi langganannya untuk diberi jatah tempat paling depan: di sebelah papan tulis dengan terkadang kaki terangakat satu. Lain halnya dengan Ibu Guru Asni, Rahmansyah selalu kebanjiran pujian dari Ibu Asni, karena selain ia pintar mendeklamasikan puisi juga teramat merdu suaranya dan amat menjiwai ketika disuruh maju untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri pada jam pelajaran bahasa indonesia dan kesenian. Setidaknya apa yang ia peroleh dari Ibu Asni sedikit menghilangkan keputusasaannya selama ini terhadap beberapa pelajaran lainnya.

    BalasHapus
  55. “ Assalamu’alaikum”. Rahmansyah mengetuk pintu rumahnya sebelum ia masuk dan melemparkan tubuhnya ke kasur. Hening, tidak ada sahutan dari dalam. ia pun masuk dan segera melampiaskan keinginan yang sudah menari sedari tadi dipikirannya. Lama ia terdiam sampai tersadari olehnya lapar yang teramat sangat. Bergegas ia bangun dan membuka nampan nasi di ruangan yang menyatu dengan dapur. ". Mungkin tanah air kita sudah tidak lagi menjanjikan untuk memberikan penghasilan yang banyak dalam waktu relatif singkat dengan potensi kemampuan yang pas-pasan pula.
    Banyak orang menilai seperti itu. Yang mengherankan adalah rata-rata dari para calon TKW itu beroleh modal untuk bisa mendapatkan pekerjaan dengan iming-iming hasil yang besar melalui keputusan yang terlalu spekulatif. Ya, dengan menjual sebagaian tanah pekarangan atau sawah, yang belum tentu bisa didapatkan kembali setelah pulang menjadi TKW. Belum lagi semut-semut yang mengigit dengan topeng sebagai penyedia jasa penyaluran tenaga kerja.
    Seperti yang dilakuaknya saat hatinya merasa sedih, dengan mata yang sudah meredup Ramansyah berbaring di tempat tidurnya. Tanpa sadar Ramansyah pun tertidur dengan lelapnya diselang udara yang dingin pada malam itu.“Bangun nak, sudah pagi!”, Ayah Rahmansyah membangunkan. “ nanti setelah shalat shubuh, bumbung yang sudah diikat itu kamu bawa ke kebun kelapa ”. Ayah melanjutkan. “iya Ayah”, jawab Rahmansyah dengan suara lemas. Setelah semua diselesaikan, Rahmansyah buru-buru mandi. Hari ini pada jam pertama adalah pelajaran pak guru Kusur. Beliau yang selanjutnya menjadi momok untuk seorang Rahmansyah. “ Ayah, Rahmansyah berangkat”, pamitnya. “ iya, hati-hati di jalan, jangan lupa selalu turuti kata-kata bapak guru, jangan melawan!!”. Pesan Ayah. Meskipun akan seperti kemarin-kemarin namun tidak meyurutkan langkah Rahmansyah untuk menimba ilmu.
    Baginya mendapatkan hukuman dari pak guru merupakan satu bentuk perhatian dan wujud kasih sayang. Keyakinan seperti itulah yang memacu semangatnya untuk terus belajar. Tapi, apakah sama juga dengan anak-anak lain yang mengalami suasana belajar seperti Rahmansyah yang juga mempunyai keyakinan seperti itu, atau malah menjadikannya semakin takut untuk belajar karena imbas yang harus diterimanya ketika ia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sekolah. Bagi Rahmansyah mungkin hal itu sebagai satu perlakuan dan konsekuensi yang harus diterima sebagai pengganti atas apa yang dilakukan. Entah itu pujian ataupun makian, ia masih sedikit menyunggingkan senyum meskipun sebelumnya telah keluar air mata sebagai bentuk kemarahan atau kekecewaan kepada dirinya sendiri. Ditentengnya buku pelajaran yang menjadi jatah jam pertama, sambil berjalan ia masih saja menghafal beberapa soal latihan. Setidaknya tidak jauh dengan soal yang akan diberikan pak kusur.
    Tanpa disadari olehnya ada Ibu Asni yang sedari tadi memperhatikan dari ujung jalan yang memisahkan sekolahnya dengan arah menuju rumahnya. “ Selamat pagi Rahmansyah, rajin sekali kamu nak,” sapa Bu Asni hangat. “ i..i..ya, bu, selamat pagi juga” jawab Rahmansyah setengah kaget dan gugup.” Lusa kamu mulai latihan menyanyi untuk persiapan lomba di kecamatan”. Lanjut Ibu Asni. “ i..i.ya bu, saya berangkat latihan” jawab Rahmansyah sedikit kebingungan juga antara perhatiannya kepada latihan soal dan sapaan Ibu Asni.” Latihannya di tempat Ibu Guru”. Bu Asni menjelaskan. “iya Bu !” kali ini Rahmansyah menjawab tegas.

    BalasHapus
  56. “Teeet…teeet..teeeeet…..” nyaring bunyi bel sekolah tanda akan dimulainya pelajaran. Rahmansyah berlari-lari kecil menuju ruang kelasnya. Ada selentingan terdengar oleh telinga Rahmansyah yang mengatakan bahwa ia pasti akan menjadi penunggu papan tulis lagi. Rahmansyah hanya tersenyum simpul. Meskipun pada akhirnya akan seperti yang dikatakan temannya, toh bukan karena kesalahannya kalau ia tidak bisa untuk mengerjakan soal yang diberikan dengan benar. Ia mampu mengerjakan setidaknya menurut perspektif dia sendiri.
    Hanya karena standarisasi yang menjadikan penyetaraan atas kebenaran dari suatu soal yang menjadikan ia sebagai penunggu papan tulis. Ada pak Wajikin, pak Hendratmo dan pak Kusur yang menilai Rahmansyah hanya sebagai murid bawang konthong, tapi ada juga Ibu Asni yang sangat mengagumi kemampuannya dibidang selain ketiga pelajaran pak guru itu. Anehnya ketiga pelajaran itu yang diagung-agungkan sebagai batas antara pintar dan tidak pintar untuk seorang anak didik. Dengan anggapan, bahwa kemampuan itulah yang di akui sebagai prestasi untuk bisa disejajarkan dengan kebutuhan manusia-manusia modern. Ada beberapa yang dilupakan namun juga tidak bisa dikatakan tidak penting sebagai bagian dari pelajaran juga. Bagian itu yang sering dianggap kurang bernilai untuk disandingkan dengan kebutuhan hari ini, mempersiapkan sekian generasi selanjutnya sebagai pengganti tugas hari ini. Sekecil apapun sesuatu itu ada dan timbul tidak berarti tanpa nilai. Hanya dengan perlakuan dan penghargaan sesuai takaran untuk kemudian bisa menjadi bagian penting dalam kehidupan, akan semakin memperkaya warna.
    Terdengar sayup-sayup alunan musik dari radio di kantin belakang sekolah.“ Tiada yang salah dengan perbedaan dan segala yang kita punyayang salah hanyalah sudut pandang kita yang membuat kita terpisah bukankah kita diciptakan untuk dapat saling melengkapi mengapa ini yang terjadi….” Titah : Perintah Jorog-jorogan saling mendorong dengan tujuan agar terjatuh. Bawang konthong : Usia pra sekolah tapi sudah mengikuti pelajaran-pelajaran sekola Lirik lagu “Mengapa ini yang terjadi”.

    Sumber: http://cerpen.net/view/printview-302.html

    BalasHapus
  57. Nama : Fredy Tandri
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor absen : 13
    Tema naskah drama : kepedulian sosial
    Sumber : kumpulan-cerpen.blogspot.com {Naskah drama diperoleh dari konsep cerpen Putu Wijaya (Cirendeu 1-3-03) dengan berbagai banyak perubahan.}


    Peradilan Rakyat
    Prolog : Hukum dari suatu negara tidaklah akan menjadi suatu konsep hidup yang sempurna. Kadang orang yang baik dikira penjahat dan orang jahat pura-pura menjadi korban kejahatan. Rakyat yang hidup melata dalam negara disebabkan para koruptor yang dilindungi negara. Suatu hari seorang pemuda yang ayahnya merupakan seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum, telah merasakan berbagai pedihnya kehidupan rakyat. Ia bertemu seorang penjahat yang baik hati dan merupakan rakyat yang ingin membela nasib teman-temannya. Namun ia dijatuhi hukuman mati. Pengacara muda bertanya tentang asal usul dan sebab kejahatanny. Ketika penjahat itu menceritakannya, pemuda menyadarinya bahwa ada yang tidak beres dengan hukum negara ini. Kemudian ia mendalami pendidikan di bidang hukum dan berhasil lulus dari falkutas hukum untuk menjadi pengacara dan ingin menegakkan kebenaran di negaranya.

    Intro: Musik pop mengiringi masuknya pengacara muda. Saat adegan terakhir diakhiri, diiringi musik dengan ending lagu yang berkesan sedih dan haru untuk memberikan kesan prihatin bagi penonton.

    1. Babak 1
    1.1. Adegan 1
    Pengacara muda tersebut mengunjungi ayahnya yang sedang duduk di kursi sambil membaca koran.
    1. Pengacara muda :"Aku datang tidak sebagai putramu. Aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."(menatap pengacara tua dengan berdiri tegak di depannya)
    Pengacara tua yang berjambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursinya. Kemudian ia melipat korannya dan meletakkan di pangkuannya.
    2. Pengacara senior :"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"(dengan tenang dan meletakkan korannya di meja)
    3. Pengacara muda :"Ayahanda bertanya kepadaku?"(tertegun)
    4. Pengacara Tua :"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."(dengan tenang)
    5. Pengacara muda :"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."(Sambil tersenyum kecut seperti menyindir)
    6. Pengacara senior :"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda.”

    BalasHapus
  58. 1.2. Adegan 2
    Pengacara tua beranjak dari kursinya dan mengambil sebuah buku yang tertata di bawah meja. Setelah diambil, ia kembali duduk di kursinya.
    7. Pengacara Senior :”Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan?(membuka sehelai halaman dan memperlihatkan ke pengacara muda)
    8. Pengacara Senior :”Mereka menyebutku Singa Lapar. (sambil menunjuk sebuah kalimat dengan huruf yang agak besar di buku). Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."(menutup buku dan meletakkan di meja)
    1.3. Adegan 3
    Kemudian pengacara senior beranjak dari kursinya dan menuju pintu keluar. Saat tiba di depan pintu, ia menatap mata pengacara muda seakan-akan ingin mengajaknya berjalan-jalan keluar. Kemudian pengacara tua membukakan pintu dan mereka menuju ke taman kota.

    2. Babak 2
    2.1. Adegan 1
    Kemudian mereka berjalan-jalan berdampingan. Tiba-tiba, pengacara tua menatap pengacara muda dan memandang langit seperti memberi suatu isyarat. Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pengacara tua tersebut seperti pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa. Pengacara tua membalas tatapan pengacara muda kemudian memulai pembicaraannya.
    9. Pengacara muda :"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku mungkin punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau hanya penegak keadilan yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau jugalah yang membuat keadilan itu sendiri. Mungkin ini akan berbeda dari segala konsep hidupmu namun kebenaran dari suatu hidup dimiliki semua orang dengan pandangan yang berbeda. Aku akan melakukannya meski kata orang itu jahat. Karena itulah jalanku dan itulah jalanmu."
    10. Pengacara senior :"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."(dengan nada tenang)
    11. Pengacara muda :"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"(dengan nada menyindir)
    12. Pengacara senior :"Kau sudah mulai lagi dengan pujian-pujianmu!"(tertawa)

    2.2. Adegan 2
    Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya dari tadi lalu menatap pengacara tua.
    12. Pengacara muda :”Maafkan aku.”(menundukkan kepala).
    13. Pengacara senior :"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan."(mengangkat tangan seperti menikmati pujian itu)
    Pengacara Muda diam seakan dikelilingi rasa bersalah. Sebenarnya ia tak mau mengatakannya namun tiba-tiba pengecara senior mengejutkannya.
    14. Pengacara senior :"Jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku namun juga jangan mengalir sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena tidak semua yang kau lihat itu sesuai dengan mata orang lain. Kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."(mengangkat kedua tangan kemudian memegang pundak pengacara senior)
    Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu mereka meneruskan perjalanannya dengan lebih tenang.

    BalasHapus
  59. 3. Babak 3
    3.1. Adegan 1
    Mereka sampai di taman kota. Pengacara tua mendorong bahu pengacara muda menuju sebuah bangku. Kemudian mereka duduk berdua. Pengacara tua menawarkan pengacara tua secangkir kopi.
    16. Pengacara senior :”Hei nak, kita tenangkan sementara diri kita. Saya akan membeli kopi untuk kita berdua.”(sambil memegang pundak pengacara muda dan beranjak dari kursi).
    Tiba-tiba pengacara muda menarik tangan pengacara tua untuk memberhentikan jalannya dan menatapnya dengan serius.
    17. Pengacara muda :"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."(menarik tangan pengacara tua)
    18. Pengacara senior :"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."(kembali duduk di kursi)
    19. Pengacara muda :"Terima kasih. (menggenggam tangan dan menatap pengacara senior) Begini, belum lama ini negara melarang aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan harapan bahwa aku akan mengetahui kenyataannya bahwa pada akhirnya negara tidak cukup adil, dalam melaksanakan tugasnya. Setelah mendengar beberapa kata dari pihak keluarga yang belum bisa dipercayai kepastiannya, aku tetap membelanya. Kenapa? Karena aku yakin jalan yang aku lewati meski melawan arus hidup. Jalan yang bukan diberikan oleh pihak lain namun didapat dapat dari berbagai olahan dari pihak lain yang akan menjadi keputusan kongkretku. Negara mungkin benar bila melarangku untuk membelanya karena berbagai kalimat yang berisi catatan kriminal mengenai penjahat tersebut di media masa. Namun negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater yang tidak asing , bahwa di negeri yang hukumnya telah sempurna dan tidak tercela ini, sudah ada rutinitas bahwa seorang penjahat akan disingkirkan. Namun hukum yang aneh mulai muncul. Penjahat yang paling kejam diberikan seorang pembela bahkan disapu bersih dari status bajingannya, bahkan ini dilakukan oleh pihak negara. Sedangkan penjahat yang tidak tahu apa-apa permasalahannya malah dibuang tanpa proses hukum. Penjahat yang seperti itu dicap label penjahat oleh negara dengan alasan yang tidak jelas dan diberitakan di media massa tanpa pembelaan diri dari sang penjahat itu sendiri. Mungkin tujuannya agar, status bajingan dari penjahat berselimut yang tidak dapat hilang tersebut dapat ditanggung oleh seseorang. Telah aku bilang bahwa keputusan ini aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran, rakyat dan hati nuraniku untuk semua sepak-terjangku, sebab aku percaya bahwa jalanku ini akan memberikan buah baru yang mungkin akan menghancurkan negara namun akan memberi kehangatan bagi rakyat.”

    BalasHapus
  60. 3.2. Adegan 2
    Pengacara muda kemudian melanjutkan argumennya tentang penolakannya terhadap keputusan negara.
    20. Pengacara muda: “Aku ingin berkata tidak kepada negara bahwa aku tidak akan membela, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater yang telah direncanakan, tetapi mutlak hanya demi pencarian kebenaran sejati yang meski dingin dan beku bila aku cari. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku tolak. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan tidak diterima oleh siapa pun. Suatu kejahatan akan tetap dikatakan kejahatan bila telah dilabel hukum oleh negara. Manipulasi pada rakyat juga akan dilakukan hanya untuk beberapa koper kertas itu saja. Bila negara dapat menjebloskan penjahat itu sampai ke titik terakhirnya, seperti hukuman tembak mati, walaupun dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda. Kemenangan dapat menyingkirkan penghalangnya dan pengikut penghalangnya. Karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang dianggap telak dan bersih dengan hukum yang mereka buat sendiri. Karena aku yang menjadi penghalangnya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang bila aku menentangnya.”(menjelaskan sambil menatap mata pengacara senior itu dengan serius)
    21. Pengacara muda :”Negara hanyalah percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan memanipulasi hukum, sebagaimana yang sudah Anda ketahui selama ini."

    3.3. Adegan 3
    Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Pengacara senior kemudian menatap wajah pengacara muda. Kemudian pengacara muda melanjutkan.
    22. Pengacara muda :"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menerima itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku atas larangannya. Namun penjahat itu malah memperingatkanku untuk tidak membelanya seakan-akan untuk melindungiku dari sebuah ancaman maut."(dengan nada memohon)
    23. Pengacara tua :"Lalu kamu tetap membelanya?" (memotong dengan tiba-tiba)
    24. Pengacara muda :"Bagaimana Anda tahu?" (terkejut dan menatap pengacara tua itu dengan heran)

    3.4. Adegan 3
    Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke sebuah kedai kecil. Ia beranjak dari kursinya dan menuju kedai tersebut. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan memandang pengacara muda sambil menekuk-nekuk keempat jarinya ke bawah. Pengacara muda kemudian beranjak dari kursinya dan mengikuti langkah ayahnya.

    BalasHapus
  61. 4. Babak 4
    4.1. Adegan 1
    Sebentar saja, mereka sudah mengarungi jarak beberapa meter. Saat tiba di kedai, pengacara tua duduk di sebuah bangku dan melambaikan tangan kepada seorang pelayan kedai.
    26. Pengacara senior :”Dua, nak, seperti biasa.”(mengangkat tangan dan menunjukkan angka dua dengan jarinya)
    Sambil menghela napas, pengacara tua menunjukkan kursi di sebelahnya kepada pengacara muda. Pengacara muda duduk dan meletakkan kedua tangannya di meja.
    27. Pengacara senior :"Hmm..., engkau tahu kenapa aku tahu. (diam sejenak dan kembali melanjutkan jawabannya) Sebab aku kenal siapa kamu."(menghembusakan nafasnya)

    4.2. Adegan 2
    Pengacara muda sekarang menarik napas panjang dan pelayan kedai datang dan membawa dua cangkir kopi hangat kepada mereka dan menyuguhkannya. Pengacara senior mengucapkan terima kasih kepada pelayan kedai kemudian pelayan meninggalkan mereka berdua. Cangkir kopi yang terletak di depan pengacara muda diangkat dan diminum sedikit oleh pengacara muda kemudian ia berkata.
    28. Pengacara muda :"Ya aku tetap akan membelanya, sebab aku seorang manusia yang patuh akan keputusan yang aku yakini. Aku tidak harus takut akan kehilangan kata ’professional’ dari diriku karena pembangkanganku untuk negara, meski harus mati namun itulah jalanku. Aku juga berharap agar tindakanku engkau sadari dan kau mengerti. Aku berharap agar kau tidak menganggapku seperti negara menganggapmu. Menjadi sebagai seorang pengacara adalah cita-citaku. Tugas pengacara untuk membuktikan kebenaran. Akan kulakukan meski dinaggap mengungkiri kebenaran. Aku mengganggap bahwa hukum bukanlah konsep hidup yang tidak dapat ditentukan masing-masing orang. Aku akan melihat mereka yang baik atau jahat berdasarkan bukti-bukti yang kudapat. Aku bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta bila tidak sesuai dengan panutan hukumku. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada rakyat yang membutuhkan peradilan meski ia miskin karena untuk membantu sistem kemasyarakatan, dalam menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

    4.3. Adegan 3
    Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Ia meneguk kopi yang terletak di meja. Kemudian ia bertanya.
    29. Pengacara senior :"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan? Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."(sambil menggelus janggut)
    Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
    30. Pengacara muda :"Jadi langkahku sudah benar?"(dengan bingung)
    Orang tua itu kembali mengelus janggutnya dan berkata.
    31. Pengacara senior :"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai yang tidak benar bahkan atau yang benar. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan juga keputusan kongkretmu sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada alat perang politik yang akan menghadangmu. Namun, anjuran dari seorang penjahat untuk tidak membelanya, malah kau tidak terima, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai dirimu, kau tak bisa menolak kebohongan yang minta tolong agar kamu tidak membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor yang mungkin akan menghilangkan nyawamu. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"(menatap mata pengacara muda dengan serius)
    32. Pengacara muda :"Tidak! Sama sekali tidak!"(terkejut dan membalas tatapan pengacara tua dan menjawabnya dengan lantang)
    33. Pengacara senior :"Bukan juga karena uang?!"(dengan nada serius)
    34. Pengacara muda :"BUKAN !!!"(dengan lantang)
    35. Pengacara senior :"Lalu karena apa?"

    BalasHapus
  62. 4.4. Adegan 4
    Tiba-tiba pengacara muda diam sejenak dan menatap cangkir kopi. Lalu ia menatap pengacara tua itu dan tersenyum.
    36. Pengacara muda :"Karena aku akan membelanya."(dengan pelan kemudian menggenggam tangan dan menatapnya sambil memainkan kedua ibu jarinya)
    37. Pengacara senior :"Supaya dia menang?"(menatap pengacara muda dengan nada heran)
    38. Pengacara muda :"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati adalah kebenaran yang paling benar yang ada di tangan Tuhan dan mungkin hanya mimpi yang tak akan pernah tercapai karena berbagai rintangan dan hambatan yang mengintarinya. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku meski ia menolakku. Aku tahu ia sekarang terperojok dalam suatu lubang yang dibuat orang yang biadab. Meski aku tahu saat menolongnya akan jatuh juga. Tapi aku tidak takut, aku yakin bahwa kebenaran hidup akan mengirimkan malaikat kepadaku "

    4.5. Adegan 5
    Pengacara tua termenung. Ia kembali meneguk kopinya kemudian menghembuskan napasnya sambil tersenyum.
    39. Pengacara muda :"Apa jawabanku salah?"(dengan heran)
    Orang tua itu menggeleng dan menatapnya. Ia menepuk pundak pengacara muda.
    40. Pengacara senior :"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."(mengelus janggut)
    41. Pengacara muda :"Tapi Anda jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Seperti yang Anda tahu, sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan untuk menghadapiku."
    42. Pengacara Senior :"Tapi kamu akan menang."(dengan nada suara pelan kemudian meneguk kopinya lalu mentap dan memegang cangkir kopinya)
    43. Pengacara muda :"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."(kembali menatap pengacara tua dengan nada heran)
    44. Pengacara senior :"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena keyakinanmu yang besar. Keputusanmu terlalu kuat untuk dikalahkan saat ini."
    45. Pengacara muda :"Itu pujian atau peringatan?"(tertawa kecil)
    46. Pengacara senior :""Pujian."
    47. Pengacara muda :"Asal Anda jujur saja."(menatap mata pengacara senior)
    48. Pengacara senior :"Aku jujur."(meneguk kopinya)
    49. Pengacara muda :"Betul?"
    50. Pengacara senior :"Betul!"(manggut-manggut lalu meneguk cangkir kopinya lagi)
    Tidak terasa cangkir kopi mereka telah kosong. Pengacara tua beranjak dari kursinya dan menuju meja kasir. Kemudian ia menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan kepada pelayan sambil memberi senyuman. Pelayan membalas senyuman dan mengucapkan terima kasih. Merekapun keluar dari kedai dan melanjutkan perjalanan menuju rumah mereka.

    BalasHapus
  63. 5. Babak 5
    5.1. Adegan 1
    Dalam perjalanan pulang, pengacara muda itu tersenyum. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi untuk melanjutkan pembicaraan.
    51. Pengacara Senior :"Tapi kamu tetap membela penjahat itu, bukan karena takut dengannya, bukan?"(mengulang pertanyaan dengan nada menyindir)
    52. Pengacara muda :"Bukan! Kenapa mesti takut?!"(lantang)
    53. Pengacara Senior :"Mereka tidak mengancam kamu?"
    54. Pengacara muda :"Mengacam bagaimana?"(lantang)
    55. Pengacara Senior :"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"
    56. Pengacara muda :"Tidak."
    57. Pengacara senior :"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"(dengan nada terkejut)
    58. Pengacara muda :"Tidak."
    59. Pengacara tua :"Wah! Itu tidak profesional!"(sambil tersenyum)

    5.2. Adegan 2
    Pengacara muda itu tertawa. Pengacara senior membalas tawanya. Kemudian pengacara muda menjawabnya dengan lembut.
    60. Pengacara muda :"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang. Aku menolongnya karena itu kebenaran!"
    61. Pengacara senior :"Tapi bagaimana kalau kau sampai kalah?"
    Pengacara muda itu terdiam dan menghentikan langkahnya. Pengacara tua menatapnya dan mengulang pertanyaannya.
    62. Pengacara senior :"Bagaimana kalau kau sampai kalah? Negara akan mendapat kemenangan abadi. Jangan main-main dengan kejahatan!(berhenti seasaat) Jadi kamu akan memenangkan perkara itu meski penjahat itu telah dicap buruk oleh negara?"
    Pengacara muda itu tak menjawab bagaikan sebuah patung yang tenang dan hening seakan-akan menjawab pertanyaannya dengan kekuatan telepati. Kemudian Pengacara tua menjawab pertanyaannya.
    63. Pengacara senior :"Berarti ya!"
    64. Pengacara muda :"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang! Aku juga akan menyadarkan negara juga menyelamatkan rakyat dan membuka selimut dari sang harimau. Meski harus mati.... Sekali lagi kukatakan inilah jalanku, inilah hidupku, dan inilah kebenaranku!"(menggenggam tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi)

    5.3. Adegan 3
    Orang tua itu terkejut. Ia merentangkan tangannya. Kemudian kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
    65. Pengacara senior :"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."(menepuk bahu pengacara muda)
    66. Pengacara muda :"Betul. Aku percaya bahwa ia benar, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
    67. Pengacara senior :"Dan kamu membelanya tanpa adanya harapan menang dari situasi nanti?"(seakan penuh dari rasa ingin tahu)
    68. Pengacara muda :"Betul."(dengan lantang)
    69. Pengacara senior :"Kalau begitu, berjuanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.” (menunjukkan genggaman tangannya memberi semangat

    BalasHapus
  64. 5.4. Adegan 4
    Pengacara tua merongoh sakunya dan mengeluarkan sebuah handphone dan menelepon seseorang sesaat. Kemudian pengacara tua melanjutkan perkataannya.
    70. Pengacara senior :"Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai rintangan, seakan-akan kamu sudah kehilangan diri di masyarakat dari pengejaran keadilan dan kebenaran menurut negara. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menjadi serbuk pasir untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."(sambil memandang langit)
    Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
    71. Pengacara senior :"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku meski hanya untuk malam ini sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."(dengan sedih)

    5.5. Adegan 5
    Pengacara muda itu juga sedih namun ia sangat senang karena ayahnya telah mau menerima keputusannya. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi tiba-tiba, di sebelah mereka berhenti sebuah mobil dan seorang wanita yang mengaku sebagai sekretaris pengacara senior keluar dari mobil dan mengajak orang tua itu untuk masuk ke dalam mobil. Pengacara tua membalas pelukan pengacara muda dan memperingatkan dengan suara yang agak lemah. Nampaknya ia sudah lelah berjalan.
    72. Pengacara senior :"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."(kemudian menguap)
    73.. Pengacara muda :"Tapi..."(belum sempat bicara)
    Pengacara tua itu masuk ke dalam mobil dan sekretarisnya menutup pintu mobil, lalu pengacara tua menyandarkan punggungnya ke kursi dan menutup matanya. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya dengan sebuah selimut. Setelah itu wanita itu membuka jendela mobil dan menoleh kepada pengacara muda.
    74. Sekretaris wanita:"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat sore."(menunjukkan senyum pada pengacara muda)
    Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dari jendela mobil dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke jendela mobil dan membisikkan telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua yang lelah itu.
    75. Pengacara muda :"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membunuh bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk lenyap seperti hamparan pasir dan debu. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."
    Kemudian sekretaris itu menutup jendela dan mobil berjalan. Sedangkan pengacara muda berjalan menuju rumahnya.

    BalasHapus
  65. 5.6. Adegan 6
    Besoknya, pengacara muda datang ke gedung peradilan. Pada saat sidang dimulai, ia sudah memulai memegang kendali situasi dan hampir menyelamatkan penjahat yang tak bersalah itu. Namun apa yang dibisikkan pengacara muda itu hanyalah menjadi sebuah mimpi. Tiba-tiba, saat menuju puncak acara, datang seseorang yang menjadi pendukung negara, berhasil mengalahkan pengacara muda tersebut. Semua orang bingung mengapa pengacara muda mengalah dalam sidang tersebut saat melihat wajahnya. Dengan gemilang dan mudah, negara mempecundangi kebenaran dan menutup erat selimut para koruptor di pengadilan dan membunuh mental kembali para penjahat yang tidak bersalah itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh dan yakin akan merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk. Penjahat yang sedih akan nasib pembelanya telah dijebloskan dan tidak mungkin lagi dapat mengungkapkan kebenaran, karena kebenaran tak mungkin lagi diperjuangkan. Negara pun marah akan pembangkangan tersebut seperti terbakar dan mengalir bagai lava panas. Mereka menuju ke arah pengacara muda dan membawanya ke suatu tempat di gedung peradilan yang menjadi surga bagi para koruptor.
    Sang pengacara muda yang hanya ingin membela kebenaran itu disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi seonggok daging yang tak bernyawa. Tetapi itu pun belum cukup, rakyat terus dimanipulasi akan kebenaran dan terus menerus dipaksa menjalani kehidupan dari pemerintahan yang tidak sah hanya untuk menambah uang saku bagi para koruptor.

    6. Babak 6
    6.1. Adegan 1
    Keesekon harinya, Pengacara tua itu terpagut di kursi kerjanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak putranya dengan suaranya yang empuk, dan membuat air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
    76. Pengacara senior :”Apa mungkin dia bersalah? (sambil menangis dan memukul meja)
    77. Sekretaris :”Jangan berburuk sangka terhadap anakmu, pak. Mungkin dia ada alasan mengalah. Mungkin kemarin lusa ia mengajakmu berdialog dengannya untuk memeberi suatu isyarat.(menghibur pengacara itu)
    Pengacara tua itu diliputi rasa bersalah dan mencari-cari makna dari pertemuan terakhir dari anaknya. Sebenarnya ia sadar ia bersalah dan juga kekalahan pengacara muda itu namun tetap mencari tahu pesan yang ditinggalkan pengacara muda itu.

    BalasHapus
  66. 6.2. Adegan 2
    Setelah 1 tahun berlalu atas kejadian tersebut, negara tersebut menjadi pecah. Terjadi berbagai masalah seperti krisis ekonomi, politik negara yang hancur, dan hubungan diplomatik dengan negara lain yang rusak. Pengacara senior melayat ke makam anaknya atas rasa penyesalannya dan mengetahui jawabannya.
    78. Pengacara senior :"Aku terus melarangmu untuk membuka pintu kebenaran dan mengharapkanmu untuk terus hidup dan datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah bahwa kamu bukan saja seorang pengacara, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau merasakan pelukan dari seorang ayah kepada putranya. Jika saja kau tidak berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang kau buru untuk peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini, mungkin kau tidak akan menghadapi kematian. Namun kau terus menempuhnya tanpa ragu hanya bermodalkan kebenaranmu."(sambil menangis menatap makam anaknya)
    Pengacara Senior mengusap air matanya dan tertegun kemudian memberitahu maksud kedatangannya
    79. Pengacara senior :"Seandainya aku lakukan perbuatan itu di masa mudaku, mungkin ini tidak akan terjadi padamu. Seandainya aku tidak mengulangi kesalahanku dengan datang sebagai penantangmu di pengadilan hanya untuk ketenaranku. Tapi mengapa kau mengalah. Apa kau takut melawan ayahmu yang keparat ini. Ternyata kekalahanmu membuatku sadar. Kau mengalah bukan karena takut padaku melainkan untuk mengingatkan orang sepertiku. Menurutmu, meski kau menang melawanku, negara tetap hancur. Banyak rakyat yang menganggumiku telah terlalu percaya bahwa aku adalah kebenaran sehingga, bila aku kalah, maka hanya menimbulkan kebingungan pada rakyat mengenai kebenaran dan akan timbul kekacauan. Namun dengan kekalahanmu kau berharap aku sadar dan berjuang bersama rakyat untuk menghilangkan penjajahan ini. Meski kini kau telah tiada, mungkin besok aku akan menyusulmu untuk memperbaiki kesalahanku. Tapi aku tetap percaya diri atas kemenangan dari tindakanku esok. Dan sesuai wasiatmu, aku akan memerangi negara konyol ini bersama rakyatmu." (memeluk papan nisan anaknya dan menatap langit).

    *-SELESAI-*

    BalasHapus
  67. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  68. Antonius Ivan
    XI IPA 7 / 04

    Judul : Balada Gadis Kecil Berambut Kuncir Kuda
    Sumber : http://sawali.info/2008/08/15/balada-gadis-kecil-berambut-ekor/

    Seorang gadis kecil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
    Kepada para tetangga, dia selalu bilang
    “Ini foto kakekku! Seorang pejuang yang gagah berani!”
    Para tetangga membuang muka dan meludah
    Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
    Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa
    Dia bawa foto kakeknya yang kusam itu dari desa ke desa, dari kota ke kota
    Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyum kegamangan
    Tak seorang pun yang menggubrisnya
    Semua orang membuang muka dan meludah

    Di sebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam
    Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya
    Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman
    Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran
    Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal
    Suara tawa menyeruak di sela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising

    “Aih, aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!”
    “Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!”
    “Hehehehehe …. Saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!”

    Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya
    Dia hanya bisa mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai
    Di atas koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak bisa terpejam

    Dalam bentangan layar memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bambu runcing
    Bersama laskar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya
    Mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang
    Dengan pekik “Merdeka!” sepenuh tenaga
    Sang kakek terus merangsek ke tengah kancah pertempuran
    Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya
    Entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bambu runcingnya yang merah darah
    Namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun
    Sang kakek tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya
    Sang kakek tewas meregang nyawa
    Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka

    BalasHapus
  69. Tak jelas lagi di mana jasat sang kakek
    Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang
    Hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail menghadap ke haribaan-Nya

    Begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar simbok gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur

    “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang perempuan tambun sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya
    Gadis kecil itu tergeragap
    Sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan
    Sambil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
    Gadis kecil berambut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek

    Di tengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval
    Di tengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah
    Ditatapnya foto-foto pejuang berbingkai rapi di barisan terdepan
    Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak kerumunan penonton
    Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi di barisan terdepan

    “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang petugas keamanan
    Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli
    Di bawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya
    Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval di barisan terdepan
    Karena dianggap mengganggu pemandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya
    Diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan
    Tubuhnya tersungkur
    Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan telah robek tanpa bentuk
    Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirnya yang pecah
    Dia mencium bau darah
    Para penonton membuang muka dan meludah
    Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
    Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda.

    BalasHapus
  70. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  71. Naskah Drama

    Adegan 1 :Seorang gadis kecil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai dia selalu bertaka kepada para tetangganya.

    Gadis Kecil : “Ini foto kakekku! Seorang pejuang yang gagah berani!”

    Adegan 2 : Para tetangga membuang muka dan meludah kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis. Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa. Dia bawa foto kakeknya yang kusam itu dari desa ke desa, dari kota ke kota.

    Adegan 3 : Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyum kegamangan tak seorang pun yang menggubrisnya semua orang membuang muka dan meludah.

    Adegan 4 : Di sebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam, dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya. Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman, gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran, kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal, suara tawa menyeruak di sela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising.
    Perempuan 1 : “Aih, aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!”
    Perempuan 2 : “Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!”
    Perempuan 3 : “Hehehehehe …. Saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!”

    Adegan 5 : Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya, dia hanya bisa mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai, di atas koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak bisa terpejam.

    Adegan 6 : Dalam bentangan layar memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bambu runcing, bersama laskar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya, mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang, dengan pekik “Merdeka!” sepenuh tenaga, sang kakek terus merangsek ke tengah kancah pertempuran, desingan peluru dan martir tak dihiraukannya, entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bambu runcingnya yang merah darah, namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun, sang kakek tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya, sang kakek tewas meregang nyawa, menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka, tak jelas lagi di mana jasat sang kakek. Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang, hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail menghadap ke haribaan-Nya, begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar simbok gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur.

    BalasHapus
  72. Perempuan tambun : “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” (sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya.)

    Adegan 7 : Gadis kecil itu tergeragap, sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan, sambil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, gadis kecil berambut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek.

    Adegan 8 : Di tengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval, di tengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah. Ditatapnya foto-foto pejuang berbingkai rapi di barisan terdepan
    seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak kerumunan penonton. Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi di barisan terdepan.
    Petugas Keamanan : “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!”
    (sambil mendorong gadis itu.)

    Adegan 9 : Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli, di bawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya. Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval di barisan terdepan, karena dianggap mengganggu pemandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya, diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan, tubuhnya tersungkur.
    Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan telah robek tanpa bentuk. Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirnya yang pecah
    Dia mencium bau darah, para penonton membuang muka dan meludah, kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis, di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda.


    (selesai)

    BalasHapus
  73. Nama : Monica Callorin
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 31
    Tema : Krisis Budaya
    Sumber: www.geocities.com/spsinambela/fik1.htm
    TOPENG
    karya : Slamat P. Sinambela

    Namaku Cindy. Aku tumbuh dalam keluarga yang harmonis. Ayah dan ibuku berpendidikan tinggi dan aktif ikut pelayanan di gereja. Sampai SMA aku masih berada di dekat mereka, tetapi setelah kuliah, aku memilih untuk pindah ke kota lain, dimana aku menjadi mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri ternama. "Supaya mandiri," begitu alasanku pada ayah dan ibuku.

    Sejak itu, hidupku banyak berubah. Teman-teman dekatku berasal dari keluarga mewah, semuanya konsumtif dan berkubang dalam gaya hidup glamour. Akhirnya aku terpengaruh dengan mereka, setelah sekian lama bertahan untuk tidak ikut arus. Aku mulai gunakan barang-barang mahal dan lagi tren. Akibatnya, kiriman uangku setiap bulan selalu tidak cukup lagi. Hanya untuk peralatan wanita saja, aku bisa menghabiskan 400 sampai 500 ribu rupiah setiap bulannya.

    Awalnya aku masih bisa berdalih untuk tambahan uang itu: beli buku-lah, seminar-lah, dan semuanya hanya meminta pada ibu. Dan jumlah yang kubutuhkan itu akan masuk dalam rekeningku. Tapi lama-kelamaan, aku tidak tega menguras orangtuaku dengan kebohongan-kebohongan itu.

    Aku mulai mencari cara-cara untuk menambah uang saku. Tapi, sepertinya tidak ada jalan keluar. Aku tak berbakat wirausaha. Ketika beberapa teman mengetahui hal ini, mereka mencoba untuk memberikan solusi. Tetapi aku selalu gagal dengan kiat-kiat mereka.

    Aku akhirnya ditawari menjadi seorang pekerja seks oleh Vinka, salah seorang temanku. Aku tercekat dan ingin memakinya saat itu. Untung dia buru-buru meminta maaf. Dia meninggalkanku dengan pesan untuk menghubunginya jika aku berubah pikiran. Dari ceritanya, dia telah menjalani kehidupan itu hampir setahun. Dan memang - diantara geng kami, dia yang paling boros dalam belanja dan traktir. katanya, "Di mana lagi dapat uang yang mudah dan jumlahnya besar?"
    ***

    BalasHapus
  74. Kepalaku berputar-putar mempertimbangkan tawaran itu. Aku begitu tertekan dengan semakin banyaknya kebutuhanku. Aku tak punya pikiran waras lagi. Dengan amat risih, aku hubungi Vinka. Dia tertawa penuh kemenangan saat aku menghubungi ponselnya. Dia berjanji menjaga rahasia ini dengan baik. Dan itu membuat aku sedikit nyaman.

    Aku dikenalkan Vinka dengan Tante Yos, yang menjadi ibu bagi pekerja-pekerja sex di sini. Untuk layanan perdana aku tidur dengan Om Gandring, seorang pengusaha sukses di kota ini dan sangat royal, yang akhirnya menjadi pelanggan tetapku. Aku mendapat empat juta rupiah untuk sebuah kesucian yang aku gadaikan, ditambah tips dari Om Gandring. Aku melakukannya dengan kesakitan yang amat sangat. Tetapi para pekerja yang lain, dengan tersenyum menghiburku, kata mereka, "Nanti juga tidak sakit lagi."

    Sejak bekerja dengan Tante Yos, aku mulai merasakan kebebasan finansial penuh. Kuliahku juga berjalan terus dengan baik. Aku selalu menjaga agar nilai-nilaiku tetap. Bekerja di rumah Tante Yos tidak harus beronda di sana setiap malam. Kami yang rata-rata mahasiswi bekerja hanya empat malam dalam seminggu, setelah itu kami bebas di malam-malam yang lainnya. Tante Yos juga sudah seperti ibu bagi pekerja-pekerjanya. Banyak yang curhat ke dia, termasuk aku kalau lagi ada masalah. Dia begitu perhatian, seperti ibuku.

    Tempat pelacuran ini termasuk elit di kota ini. Kami berada di bawah pengawasan dokter spesialis, sehingga tidak terlalu was-was dengan keadaan kesehatan kami. Aku sendiri juga melanggankan diri pada dokter kecantikan ternama dan ikut kebugaran tubuh untuk menjaga kesehatanku.
    ***

    BalasHapus
  75. Di sisi lain hidupku, aku rajin ke gereja. Hal ini tak pernah kutinggalkan sejak kanak-kanak. Setelah jadi pekerja malam, awalnya sulit untuk konsentrasi dalam ibadah. Selalu saja seperti ada suara orang mentertawakanku. Berulangkali aku mencoba untuk menepisnya, tetapi tetap sulit. Lama-lama aku mulai tidak peduli dengan suara-suara itu. Aku akhirnya bisa menikmatinya, mungkin mata hatiku sudah tumpul, entahlah…

    Aku bergabung dengan persekutuan pemuda. Di sana aku mengenal seorang pendeta muda yang baru lulus sebuah sekolah alkitab. Orangnya tampan, tinggi dan postur badannya ideal. Kacamatanya menambah manis wajahnya yang juga dihiasi cukuran kumisa yang tampak kehijauan karena kulit putihnya. Namanya John Setiawan.

    Kak John melayani kotbah pada persekutuan pemuda di hari Sabtu dan sesekali pada ibadah Minggu. Penampilannya sangat menarik kaum hawa yang hadir. Jika berkotbah, pakaiannya selalu rapi dan bersahaja. Kotbahnya juga sangat menyentuh para pemuda yang hadir. Tema-temanya juga menggiurkan, tidak seperti pendeta senior yang berkotbah dengan suara lamban dan sering membosankan. Dia berkotbah dengan sangat teatrikal sekali--irama suaranya akan naik turun dan volumenya ditatanya dengan sangat sempurna. Pokoknya satu kali saja dia tidak hadir pasti akan mengecewakan kami. Kak John seperti dikultuskan dalam persekutuan ini.

    Kak John memang sangat pantas menjadi hamba Tuhan. Dia gampang bergaul, santun, berkarisma juga berempati tinggi. Lama-lama akupun mulai merasakan getar-getar halus dalam hatiku jika melihat sosoknya. Teman-teman yang lain juga tampaknya mengalami perasaan yang sama denganku. Semuanya kudengar lewat cerita-cerita dan cekikikan mereka--ketika tanpa sadar membeberkan perasaannya kepada teman lainnya. Ibu-ibu dan oma-oma juga mulai menggodanya untuk jadi menantu. "Nak John, kalau ada waktu main ke rumah tante, ya!" kira-kira begitu pinta mereka setiap ada kesempatan berbincang dengan Kak John.

    Karena Kak John, aku juga mulai ikut pelayanan di ibadah pemuda. Mulanya sekujur tubuhku bergetar ketika menjadi kolektan, tetapi aku terus memberanikan diri. Hingga akhirnya aku dipercaya memimpin pujian. Hmm, dengan menjadi pelayan aku bisa bersebelahan dengan Kak John. Suatu kesempatan yang kutunggu-tunggu, aku bisa semakin intens berkomunikasi dengannya. Setiap kali melakukan latihan dan persiapan ibadah, aku selalu berusaha untuk menarik perhatiannya. Dia juga dengan sabar memberikan arahan ketika aku salah, juga membekali tips agar tidak riskan di depan jemaat.

    Kak John telah menjadi bayangan manis yang mengganggu hari-hariku akhir-akhir ini. Keinginan untuk menikmati wajahnya yang memukau selalu berkelebat di otakku. Namun aku sadar, aku terlalu hina baginya. Bagaimana bisa dia menerimaku jika tahu siapa aku sebenarnya? Pikiran-pikiran liar mulai menari-nari di otakku, aku berpolemik sendiri. Bukankah ada ampun bagi orang-orang sepertiku?

    Aku jadi ingat masa kecilku yang bahagia. Papa selalu menggodaku, “Cindy manis, bidadari kecilku,," kemudian menggendongku dengan nyaman sambil sesekali menciumiku.bidadari kecil? Aku tak bisa membayangkan bagaimana menjelaskannya jika sampai kedua orangtuaku tahu aku menjalankan profesi ini. Menjadi anjing liar bertopeng malaikat. Menceritakan puterinya yang semata wayang menjadi bidadari jatuh. Ah, pikiranku terus berdebat, sampai aku tak merasakan dua butiran air menetes dari mataku...
    ***

    BalasHapus
  76. Malam ini aku dinas, begitu istilah kami untuk mengatakan bekerja di rumah Tante Yos. Tapi sejak berangkat tadi aku merasakan kegamangan yang berlebihan. Malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku mencoba melenyapkan perasaan itu. Aku memesan taksi dan berhenti satu blok sebelum rumah Tante Yos. Begitulah cara kami untuk menyamarkan diri. Kami selalu berjalan lewat gang-gang kecil yang jarang dilalui orang. Begitu tiba, aku masuk ke kamarku.

    Kami bekerja di kamar masing-masing. Di setiap kamar ada TV, kulkas, kamar mandi dan kondom. Sepasang kursi dan meja kecil berisi makanan dan minuman ringan yang bisa kami nikmati beserta tamu. Benar-benar sangat privasional. Di pintu kamar tertulis namaku: Yolan. Begitulah, tak mungkin aku menggunakan nama asliku di tempat haram ini.

    Aku termasuk telat mendapat tamu malam ini. Biasanya tak sampai jam segini, semua kamar udah dikunjungi laki-laki hidung-belang. Perasaanku masih saja gulau, aku tak tahu apa penyebabnya. Aku pasang TV dengan suara pelan untuk menghiburku.

    Tak lama kemudian, aku mendengar Tante Yos sayup-sayup berbicara di gang depan kamar. "Ada Yolan di kamar ujung, tenang saja, orangnya cantik. Yang pasti tidak kecewa deh," begitu suaranya yang sengaja dibuat genit.

    "Bener tan, tak mengecewakan, hahaha…," timpal suara laki-laki yang sangat aku kenal.

    "Ah, tak mungkin dia," batinku .

    Pintu kamarku berderit. Wajah Tante Yos menyeruak duluan. Kemudian disusul sebuah sosok bayangan manis yang mengganggu hari-hariku akhir-akhir ini. Mataku langsung gelap, penuh dengan kunang-kunang
    Tak menyangka, firasat burukku terungkap dari seseorang muncul dibalik pintu itu, seketika aku berbalik terkejut dan menatap malu. Di dalam hatiku berbuih rasa tak berdaya menatap sosok pria yang aku impikan yaitu Kak John. Kak John datang ke sini karena telah mencurigaiku cukup lama. Kak John juga terkejut karena ia melihat sosok wanita dibalik rambut yang terurai itu dan ternyata benar itu adalah Cindy. Firasatnya mengatakan benar, kecurigaannya ternyata tidak salah lagi, ini benar adalah orang yang selalu menemaninya di dalam gereja.Dan Cindy adalah sosok wanita yang diidamkan oleh Kak John. Di dalam kamar tersebut Kak John melakukan berbagai cara menanyakan alasan aku bekerja di sini dan meminta Cindy untuk menghentikan pekerjaan haram ini..
    Setelah dari itu, Kak John mengantarku pulang sampai di depan rumah. Sesampainya Kak John menyatakan cintanya kepadaku, tetapi aku menolaknya. Ku menatap dia dan berkata, “Aku wanita yang tidak pantas untukmu, aku adalah wanita yang tidak suci lagi, masih banyak wanita yang lebih pantas untukmu.”
    ***********************************************

    BalasHapus
  77. Naskah drama

    Cindy adalah seorang lulusan siswi SMA di suatu kota kecil yang jauh dari pergaulan dunia modern. Melalui kedua orang tuanya yang aktif dalam pelayanan gereja, Cindy memegang teguh adat dan istiadat yang diwariskan orangtuanya sehingga perilaku dan tutur katanya selama ini sesuai dengan budaya agama. Seusai menamatkan SMA, Cindy memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kota lain.
    Cindy : Bu, setelah tamat SMA ini aku ingin sekali melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Supaya Mandiri? Boleh ya bu? (Cindy menggerutu)
    Ibu Cindy : Coba kamu tanyakan pada ayahmu terlebih dahulu, nak? (sambil membelai rambut Cindy)
    Cindy : Yah, ibu… jika ibu mengijinkan aku, pasti ayah setuju dengan keputusan ibu. (membujuk ibunya agar dapat memunuhi kehendaknya)
    Ting..tong.. Tiba-tiba terdengar bunyi bel rumah yang menandakan ayah Cindy pulang dari pelayanan gereja yang telah menjadi kebiasaanya di setiap malam Minggu.
    Cindy : Malam ayah (seketika Cindy berlari dan mencium pipi ayahnya?)
    Ayah Cindy : Malam juga Cin.. tidak biasanya kamu seperti ini. Pasti ada maunya ya? (menatap Cindy heran sambil mengeluarkan senyuman khasnya)
    Cindy : Ayah memang yang paling tahu tentang Cindy. Begini ayah, aku kan sudah lulus SMA dan ingin sekali melanjutkan pendidikanku ke kota lain seperti teman-temanku. Boleh ya yah? (sambil mengayun-ayunkan tangan ayahnya)
    Ayah Cindy : Hm… (menghembuskan nafas segarnya)
    Cindy : Ayolah yah, di sana aku akan belajar lebih mandiri dan pasti akan belajar banyak. (mencuri perhatian dengan memijat-mijat pundak ayahnya)
    Ibu Cindy : Besok saja ya nak lanjutkannya, mungkin ayahmu sudah lelah sekarang dan hendak beristiraha. (bergegas menyiapkan baju ganti)
    Ayah Cindy : Ya sudah nak kalau itu maumu, guna masa depanmu nanti. Apa yang terbaik untuk bintang hati ayah, pasti ayah dukung. (dengan mengelus wajah Cindy yang tampak gembira)
    Cindy : Asyik… terima kasih yah dan ibu. Aku sangat sayang kalian. (berlompat dan berteriak kegirangan)
    Atas doa dan restu orangtuanya, Cindy kemudian beangkat dan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi.

    ******

    BalasHapus
  78. Setelah menginjak beberapa bulan kemudian, hidupnya banyak berubah. Cindy terpengaruh oleh teman-temanya yang konsumtif dan berkubang dalam gaya hidup glamour. Barang-barang mahal mulai dikonsumtif. Berbagai alasan ditempuh untuk meminta tambahan uang. Selintas pembicaraanya.
    Cindy : Bu, aku minta tambahan uang ya untuk keperluan membeli buku. (dengan suara yang meyakinkan)
    Ibu Cindy : Ia nak, ibu akan mengirimkan ke rekeningmu. Ibu segera mentransfernya. Baik-baik ya di sana.
    Cindy : Baik bu… (meskipun ada rasa yang mengganjal dalam diri Cindy)
    Awalnya Cindy masih bisa berdalih untuk tambahan uang itu seperti membeli buku, keperluan seminar, dan semuany hanya tinggal meminta ibunya. Dan jumlah yang kubutuhkan itu akan masuk dalam rekening Cindy. Tapi lama-kelamaan, Cindy tidak tega menguras harta orangtuanya dengan kebohongan-kebohongan itu
    .
    Semua usaha telah dilakukan Cindy guna menutupi kebutuhannya. Tetapi ia selalu gagal dalam kiat-kiat usahanya. Akhirnya, seorang teman Cindy memberikan jalan keluar.
    Vinka : Apakah kamu mau menerima tawaranku? (menatap kasihan)
    Cindy : Apa maksudmu? (sambil mengaruk-garukan kepalanya seolah bingung)
    Vinka :Kamu mau tambahan uang? Aku bisa membantumu asalkan kamu mau menjadi pekerja seks sepertiku. Kamu bias gunakan uang itu sepuasnya yang kamu mau. (meyakinkan Cindy)
    Cindy : Apa???? Kamu kira aku ini perempuan murahan?(memasang amarah yang membara di wajahnya)
    Vinka : Maaf sebelumnya Cin, aku hanya memberikan solusi. Jaman sekarang cari uang sangat sulit. Di mana lagi bias dapat uang yang mudah dan jumlahnya banyak? Benar kan, ini nomor teleponku, kamu bias menghubungiku jika kamu berubah pikiran. (sambil memberikan sebuah kertas kecil berisikan nomor telepon Vinka)
    Kepala Cindy berputar-putar mempertimbangkan tawaran itu. Akhirnya Cindy mengambil langkah dengan menghubungi Vinka dan Vinka pun berjanji menjaga rahasia ini dengan baik. Dikenalkanlah Cindy dengan Tante Yos.
    Vinka : Tante Yos, nih aku bawa barang baru untuk tante. Tante pasti senang kan? Bagaimana tante? (menunjuk ke arah Cindy)
    Cindy : Perkenalkan namaku Cindy Lusia, biasa dipanggil dengan sebutan Cindy. (mengulurkan tangannya)
    Tante Yos : Wah, sangat special sekali. Anaknya cantik, seksi, dan mempesona. (mengagumi Cindy). Namaku Yoselin Anggraina, biasa anak-anak di sini memanggil Tante Yos. (menyalami tangan Cindy)
    Cindy : Terimakasih tante. Pujian ini menjadi awal semangat hidupku. Wah, nama yang indah. (tersenyum manis)
    Vinka : Tan, aku permisi dulu untuk melayani tamu yang lain karena telah cukup lama menunggu. (sambil membungkukkan badan)
    Tante Yos : Ya silahkan Vin. (mempersilahkan Vina)
    Oh ya Cin, namamu di sini kita palsukan ya menjadi Yoan saja ya?
    Cindy : (mengangguk menyetujui)
    Tiba-tiba seorang sosok pria yang terlihat usianya sekitar setengah baya datang menghampiri Tante Yos. Namanya Gandring, ia adalah seorang pengusaha sukses di kota ini dan sangat royal.
    Om Gandring: Apakah ada barang baru di sini? (sambil melihat-lihat)
    Tante Yos : Kebetulan, kenalkan ini Cindy. Dia baru saja bekerja di sini. Pasti Anda puas dengan layananya. (sambil bermain mata dengan Cindy)
    Cindy mendapat empat juta rupiah untuk sebuah kesucian yang ia gadaikan, ditambah tips dari Om Gandring. Ia melakukannya dengan kesakitan yang amat sangat. Om Gandring menjadi pelanggan tetap Cindy. Setelah bekerja dengan Tante Yos, Cindy mulai merasakan kebebasan finansial penuh. Kuliahnya berjalan dengan baik. Para pekerja yang terdiri dari mahasiswa itu, hanya bekerja empat malam dalam seminggu. di bawah pengawasan dokter spesialis, sehingga tidak terlalu was-was dengan keadaan kesehatan kami
    *******

    BalasHapus
  79. Di sisi lain, Cindy juga aktif di gereja sehingga ia dipercaya untuk menjadi pemimpin pujian. Dipertemukannyalah dengan John Setiawan. John melayani kotbah pada persekutuan muda. Sosok John yang menarik dan berwibawa sangat menarik perhatian Cindy dan kaum hawa lainnya. Sesekali ia mengajarkan dan memperhatikan Cindy. Di dalam kesempatan latihan, setiap kali ia bertanya
    Kak John : Apakah kamu telah mempersiapkan pujian untuk besok?
    Cindy : Tentu kak..(tersenyum manis)
    Kak John : Apakah kamu lelah hari ini? (memandang wajah Cindy lembut)
    Cindy : Walau lelah, tetap semangat pastinya..(tersenyum lebar seiring menutupi pertanyaan dalam dirinya“ Bagaimanakah dia bisa menerimaku, jika tahu siapa aku sebenarnya?”)
    ***********
    Malam ini, tepatnya malam dimana Cindy bekerja di rumah Yos. Malam ini dirasakan berbeda daripada malam sebelumnya. Tidak seperti biasanya, Cindy telat mendapatkan tamu dan ia hanya termenung sambil menonton televisi. Seketika terdengar suara yang tak asing.
    Kak John : Adakah wanita yang sangat cantik di sini?(sambil menatap sekeliling rumah Yos)
    Tante Yos : Tentu ada, yang jelas tidak mengecewakan Anda. Sini ku bawa kamu ke kamar yang paling ujung.
    Kak John : Terimakasih ya. (dengan segera membuka pintu)
    Cindy : kakak? (dengan gemetaran)
    Kak John : Cindy? Apakah ini sungguh kamu?
    Cindy : (hanya diam dan mengangguk)
    Kak John : Apa yang kamu lakukan di sini? (menghampirinya)
    Cindy : Mm.. Aku rapuh kak. Rapuh termakan budaya ini. Gaya hidupku mendidih, uang yang dikirim oleh orangtuaku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku saat ini. (sambil meneteskan air mata)
    Kak John : Apakah kamu ingat yang telah Tuhan ajarkanpada kita dan iman diri agar tidak terpengaruh oleh budaya luar? Oleh karena itu, berhentilah sebelum berbuat melebihi batas lagi.
    Cindy : Aku menyesal kak, aku ingin seperti dulu lagi. mengusap air matanya)
    Kak John : ya sudah, mari kita pulang saja. (merangkulnya dan bersama-sama menuju mobil)
    Sesampainya di depan rumah Cindy
    Kak John :Cin, apakah kamu bersedia menjadi pendamping hidupku?
    Cindy : Maap sebelumnya, aku wanita yang tidak pantas untukmu, aku adalah wanita yang tidak suci lagi, masih banyak wanita yang lebih pantas untukmu. Lebih baik, pergilah kamu dari sisiku.

    **************************TAMAT*************************

    BalasHapus
  80. Nama : Hansen Lauwa
    Kelas : XI IPA 7
    No Absen : 16
    Tema : Kepedulian Sosial
    Sumber : www.pacific.net.id/bobo/cerpen128.html

    Cerpen

    Menanam Kebaikan

    Setiap orang punya cara tersendiri untuk menanam kebaikan. Begitu pula dengan Pak Saroji. Pensiunan guru itu hidup sederhana dengan istrinya. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal terpisah di luar kota.
    Uang pensiunan Pak Saroji tidak besar. Jadi ia tidak mampu menyumbang uang ke panti asuhan. Pak Saroji juga tak kuat membantu membangun rumah ibadah, karena ia sakit-sakitan. Tapi tentu masih banyak cara untuk berbuat baik, begitu pikir Pak Saroji
    Pak Saroji lalu merencanakan sesuatu. Ia tak ingin hanya berdiam diri. Suatu hari sepulang dari mengambil uang pensiun, ia membawa sekeranjang rambutan. Merah warna kulitnya, ranum, dan pasti manis rasanya!
    "Banyak sekali, Pak? Untuk siapa?" sambut Ibu Saroji penasaran.
    "Ya, untuk kita berdua!" jawab Pak Saroji sambil tersenyum.
    "Seminggu tidak bakal habis. Mana gigi sudah tidak utuh lagi!" lanjut Bu Saroji.
    "Gampang!"
    "Lo? Maksud Bapak?"
    "Panggil saja anak-anak tetangga itu. Kita undang mereka untuk makan rambutan. Apa salahnya? Selama ini pasti mereka anggap kita ini suami-istri cerewet. Karena banyak melarang dan mengomeli apa saja yang mereka kerjakan!"
    Bu Saroji tak ingin lagi membantah. Ia tahu, suaminya pasti punya rencana baik.
    Siang itu setelah makan bersama istrinya, Pak Saroji membawa semua rambutan itu ke teras rumah. Ia lalu memanggil anak-anak tetangga satu persatu. Umur mereka antara 10 hingga 15 tahun.
    "Kalian tentu suka buah rambutan?" tanya Pak Saroji spontan.
    "Tentu, kek!" Wah mimpi apa nih kok tiba-tiba kakek berbaik hati dengan mengundang pesta rambutan!" celetuk Rusli sambil tertawa kegirangan.
    Disanjung begitu Pak Saroji mengangguk-angguk. "Sudahlah, tak usah banyak bicara. Ayo kita sikat rambutan ini rame-rame!"
    Tanpa diperintah dua kali, Abid, Didi dan Sastri berebut cepat memilih butiran yang merah tua dan besar. Anak-anak lahap makan buah segar itu. Sesekali mereka berceloteh dan saling ledek. Lalu pecah tawa ria, yang diikuti senyum cerah Pak Saroji. Bu Saroji keluar membawa baki berisi 6 gelas es sirup.
    "Manis, nak?" tanya Bu Saroji sambil berusaha menyembunyikan rasa penasaran.
    "Wah, sering-sering nek bikin pesta kejutan begini. Asyik, lo!" ujar Mira.
    "Boleh juga! Tapi ada syaratnya!" jawab Pak Saroji serius.
    Dipandanginya mata satu per satu anak-anak yang duduk di lantai teras rumahnya. Serentak anak-anak berhenti mengunyah. Mereka menerka-nerka dalam hati apakah ini semacam jebakan?
    "Syarat, kek?" gumam Didi sambil meringis.
    "Gampang kok syaratnya. Jika kalian makan 10 butir rambutan, berarti ada 10 biji rambutan. Pesta buah bulan depan kita lanjutkan jika kalian bersedia mencari biji buah sebanyak yang kalian makan. Cari dimana saja, lalu serahkan pada kakek!"
    Anak-anak tercengang. Ada perasaan menyesal setelah makan banyak-banyak. Tiap anak rata-rata makan 25 butir rambutan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali tertawa-tawa. Tidak sulit mencari biji rambutan, berapapun banyaknya. Bukankah sekarang lagi musim rambutan?
    Bulan berikutnya Pak Saroji tidak ingkar janji. Sekeranjang buah salak ditenteng pulang. Anak-anak sudah menunggu. Kali ini 9 orang anak sudah berkumpul tanpa diundang. Mereka sudah tahu syaratnya. Cuma yang agak mengagetkan Pak Saroji ganti membawa buah salak.

    BalasHapus
  81. "Siap menerima tantangan?" tanya Pak Saroji meniru iklan di televisi.
    Anak-anak jelas tertantang. Salak pondoh itu pasti manis sekali. Legit dan harum. Mereka mau saja memenuhi syarat yang telah disepakati. Maka begitulah berturut-turut. Setiap bulan Pak saroji menyisihkan uang pensiunnya untuk membeli buah-buahan berbiji.
    Sepetak tanah di belakang rumnah Pak Saroji telah disiapkan unbtuk membuat persemaian. Biji buah yang disebarkan, ada pula yang ditanam di dalam polibek. Tanah dipupuk,dipetak-petak, dan diberi catatan-catatan penanaman. Seperti petugas pertanian. Ya, Pak Saroji sedang menyiapkan bibit buah-buahan. Tak sulit pula mengajak anak-anak membantu.
    "Nah, anak-anak bulan ini pesta buah terakhir. Kini kegiatan anda menguji ketahanan kaki dan tubuh!" bujuk Pak Saroji kepada anak-anak yang terlihat agak kecewa.
    "Untuk apa, kek? Menanam bibit?" tanya Rusli.
    "Tepat sekali!" ujarnya sambil mengelus kepala anak-anak yang ada di dekatnya. "Nenek sudah menyiapkan makan siang dengan goreng ikan mas, sayur lodeh, sambal terasi, dan minuman kelapa muda. Nanti kalau kita sudah sampai ke ujung desa."
    Anak-anak sudah menyiapkan cangkul. Lima belas orang anak kini. Cukup banyak untuk mewujudkan cita-citanya. Pak Saroji tidak punya kebun, atau pekarangan yang luas. Jadi, bibit-bibit itu ditanam di kebun orang. Di pinggir pekarangan, di pematang, tepian sungai, dan tentu juga di lereng perbukitan belakang desa. Pak Saroji telah minta izin kepada pemilik lahan. Kegiatan itu dlakukan tiap hari minggu sampai semua benih dan bibit disebarkan. Anak-anak ternyata menikmati acara ini, sebab mereka dapat berpesta masakan Bu Saroji yang dikenal sangat lezat!
    Begitulah cara Pak Saroji berusaha menanam kebaikan. Ia tidak mengharapkan imbalan dan pujian. Orang-orang kagum akan keluhuran budi Pak Saroji.
    Kelak jika desa itu menghijau dengan pohon buah-buahan, panen melimoah, dan nama desa menjadi terkenal, orang tentu tak lupa akan Pak Saroji. Sayangnya orang seperti Pak Saroji ternyata tidak banyak.

    BalasHapus
  82. Naskah Drama

    Pak Saroji merupakan pensiunan guru hidup sederhana dengan istrinya. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal terpisah di luar kota.
    Pak Saroji tidak mampu menyumbang uang ke panti asuhan, rumah ibadah, dan sebagainya. Tetapi Pak Saroji tetap mencari cara untuk menanamkan kebaikan.

    Pada suatu hari, Sesudah Pak Saroji mengambil uang pensiun, ia membawa sekeranjang rambutan yang berwarna merah, ranum, dan manis.

    Bu Saroji : "Banyak sekali pak? Untuk siapa?"
    ( penasaran )
    Pak Saroji : "Ya, untuk kita berdua!" (sambil tersenyum)
    Bu Saroji : "Seminggu tidak bakal habis. Mana gigi sudah tidak utuh lagi!" (
    lanjutnya)
    Pak Saroji : "Gampang!"
    Bu Saroji : "Lo? Maksud bapak?"
    Pak Saroji : "Panggil saja anak-anak tetangga itu. Kita undang mereka untuk makan rambutan. Apa salahnya? Selama ini pasti mereka anggap kita ini suami istri cerewet. Karena banyak melarang dan mengomeli apa saja yang mereka kerjakan!" (balasnya)

    Siang itu setelah makan bersama istrinya, Pak Saroji membawa semua rambutan itu ke teras rumah. Ia lalu memanggil anak satu per satu.

    Pak Saroji : "Kalian tentu suka buah rambutan?" (dengan spontan)
    Rusli : "Tentu kek! Wah mimpi apa nih kok tiba-tiba kakek berbaik hati dengan mengundang pesta rambutan!" (celetuk sambil kegirangan)
    Pak Saroji : "Sudahlah, tak usah banyak bicara. Ayo kita sikat rambutan ini rame-rame!" (mengangguk-angguk)

    Tanpa diperintah dua kali,Abid,Didi,dan Sastri berebut cepat memilih butiran merah tua dan besar. Anak-anak lahap makan buah segar itu. Sesekali mereka berceloteh dan saling ledek. Lalu pecah tawa ria, yang diikuti senyum cerah Pak Saroji. Bu Saroji keluar membawa baki berisi 6 gelas es sirup.

    Bu Saroji : "Manis nak?" (tanya sambil menyembunyikan rasa penasaran)
    Mira : "Wah, sering-sering nek bkin pesta kejutan begini. Asyik, Lo!"
    Pak Saroji : "Boleh juga! Tapi ada syaratnya!" (serius)

    BalasHapus
  83. Didi :"Syarat kek?" (gumam sambil meringis)
    Pak Saroji: "Gampang kok syaratnya. Jika kalian makan 10 butir rambutan berarti ada 10 biji rambutan. Pesta buah bulan depan kita lanjutkan jika kalian bersedia mencari biji buah sebanyak yang kalian makan. Cari dimana saja, lalu serahkan kepada kakek!"

    Anak-anak tercengang. Ada perasaaan menyesal setelah makan banyak-banyak. Tiap anak rata-rata makan 25 butir rambutan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali tertawa0tawa. Tidak sulit mencari biji rambutan, berapapunb banyaknya. Bukankah sekarang lagi musim rambutan?

    Bulan berikutnya Pak Saroji tidak ingkar janji. Sekeranjang buah salak ditenteng pulang. Anak-anak sudah menunggu. Kali ini 9 orang anak sudah berkumpul tanpa diunbdang. Mereka sudah tahu syaratnya. Cuma yang agak mengangetkan Pak Saroji mengganti buah salak.

    Pak Saroji : "Siap menerima tantangan?" (tanya sambil meniru iklan)

    Anak-anak jelas tertantang. Salak pondoh itu pasti manis sekali. Legit dan harum. Mereka mau saja memenuhi syarat yang telah disepakati. Maka begitulah berturut-turut. Setiap bulan Pak Saroji menyisihkan uang pensiunnya untuk membeli buah-buahan berbiji.
    Sepetak tanah di belakang rumah Pak Saroji telah disiapkan untuk membuat persemaian. Biji buah yang disebarkan, ada pula yang ditanam di dalam polibek. Tanah dipupuk, dipetak-petak, dan diberi catatan menyiapkan bibit buah-buahan. Tak sulit pula mengajak anak-anak membantu.

    Pak Saroji : "Nah, anak-anak bulan ini pesta buah terakhir. Kini kegiatan kita menguji ketahanan kaki dan tubuh!" (bujuknya)
    Rusli : "Untuk apa kek? Menanam bibit?"
    Pak Saroji : "Tepat sekali!" (ujarnya)"Nenek sudah menyiapkan makan siang dengan goreng ikan mas, sayur lodeh, sambal terasi, dan minuman kelapa muda. Nanti kalau kita sudah sampai ke ujung desa."

    Anak-anak sudah menyiapkan cangkul. Lima belas orang anak kini. Cukup banyak untuk mewujudkan cita-citanya. Pak Saroji tidak punya kebun, atau pekarangan luas. Jadi, bibit-bibit itu ditanam di kebun orang. Di pinggir pekarangan, di pematang, tepian sungai, dan tentu juga di lereng perbukitan belakang desa. Pak Saroji telah minta izin kepada pemilik lahan. Kegiatan itu dilakukan tiap hari minggu sampai semua benih dan bibit disebarkan. Anak-anak ternyata menikmati acara ini, sebab mereka dapat berpeswta masakan Bu Saroji yang dikenal sangat lezat.
    Begitulah cara Pak Saroji berusaha menanam kebaikan. Ia tidak mengharapkan imbalan dan pujian. Orang-orang kagum akan keluhuran budi Pak Saroji.
    Kelak jika desa itu menghijau dengan pohon buah-buahan, panen melimpah, dan nama desa menjadi terkenal, orang tentu tak akan lupa akan Pak Saroji. Sayangnya orang seperti Pak Saroji ternyata tidak banyak.

    *******************SELESAI***********************

    BalasHapus
  84. Nama : Ajeng Wulandari
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor absen :03

    Tema: Patriotisme

    Bendera Setengah Tiang
    Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsSastra.aspx?id=11608

    Ngadimun masih memandang bendera yang dipasang di halaman rumahnya yang sempit di sebuah desa pinggiran hutan itu. Dia ingat benar kakaknya Ngadiman saat merobek bendera merah putih biru, benderanya Kompeni, yang dirobek warna biru dengan arit alat untuk mencari rumput, sehingga hanya merah putih saja yang ada. Dengan merobek bendera itu, dua kawannya tertembus peluru, dan Ngadiman lari pontang panting memasuki hutan dengan hujan peluru yang mendesing.
    Tuhan masih melindungi nyawa Ngadiman, karena terperosot ke tebing, dan para Kompeni mengurungkan untuk mengejar, ekstrimis-ekstrimis itu. Ngadimun ingat juga, ketika dengan aritnya, memutuskan jembatan bambu yang melintas ke desanya, yang melintang Kali Gede dan menghubungkan dua tebing yang menuju ke Desa Gondang Legi, agar para pejuang yang bermarkas di desanya selamat. Kemudian lari pontang-panting untuk memberikan berita kepada komandan Mardi agar bersembunyi di hutan sebelah, karena kompeni telah mencium markas persembunyian.
    Maka tak salah kalau Ngadimun mengibarkan bendera setengah tiang, saat kakaknya Ngadiman meninggal dunia, karena penyakit yang menyerang tubuhnya yang kerempeng, kurus kering, tak terurus, karena keadaan di desanya yang benar-benar minus. Ngadimun menganggap kakaknya seorang pahlawan sejati bagi keluarga, yang menyelamatkan keluarga, desa dan negaranya saat itu yang sedang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik tercinta ini.
    Anak-anak muda yang berlalu lalang melewati rumah Ngadimun, mungkin terheran-heran. Tak ada pengumuman di televisi, di radio ataupun di surat kabar, bahwa hari ini ada seorang pahlawan yang meninggal dunia. Atau bukan pula memperingati hari besar nasional, atau hari berkabung nasional, namun di rumah gubug reyot terkibar bendera setengah tiang, dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, dan ukurannyapun tidak simetris sesuai dengan aturan yang ada.
    “ Pak De, ini beras titipan emak, untuk selametan 3 harinya Pak De Ngadiman nanti malam”, sapa Jasmin keponakannya yang membubarkan lamunan Ngadimun mengenang kakaknya yang tercinta yang meninggal hari Sabtu Wage, 2 hari yang lalu.
    “ Oh iya Jas, nanti malem pada datang kan. Yasinan mendoakan Pak De mu semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan amal dan ibadah nya”, jawab Ngadimun.
    “Wah ya jelas pak de. Malah Bapak nanti malam mau ngajak Pak Lik Ngadiyoyang kebetulan hari ini datang juga, dan teman-temanya seperti pak ustadz guru ngaji saya dulu waktu masih sekolah rakyat”, jawab Jasmin.
    “Syukurlah” jawab Ngadimun singkat.
    “Pak De, Pahlawan siapa yang meninggal hari ini, kok mengibarkan bendera setengah tiang”, tanya Jasmin sambil mengamati bendera merah putih yang lusuh itu.
    “Ya Pak De mu Ngadiman to le. Dia itu kan pahlawan sejati bagi keluarga kita, desa kita, mungkin malah negeri kita.” jawabnya singkat sambil berdiri dan menghampiri tiang bendera yang diikat di pagar bambu yang reyot itu.

    BalasHapus
  85. “Coba perhatikan. Bendera ini menelan korban dua orang teman ngaritnya pakdemu Ngadiman. Masíh ada sisa sobekan biru, bendera kompeni. Warna biru disobek, dan tinggal dua warna merah dan putih saja”.
    ‘Tapi Pak De, seorang pahlawan kan harus ada pengakuan dari negara, pemerintah atau anggota DPR”, tanya Jasman dengan lugunya.
    “Aku nggak peduli dengan pengakuan mereka. Kalau masyarakat desa ini, pemerintah negeri ini, atau anggota dewan yang duduk di Jakarta sana nggak mengakui, tak apa. Tetapi hati yang paling dalam dari pak De mu ini, mengakui, bahwa Pak De mu Ngadiman adalah seorang pahlawan. Seorang yang banyak jasanya. Tidak perlu dikubur di Taman Makam Pahlawan, tidak perlu surat keputusan, tidak perlu tanda jasa. Tapi Pakde mu berjuang tulus ikhlas. Sebagai tukang ngarit yang kerjaannya mengumpulkan rumput, mengembala kambingnya ndoro sinder dan mengetahui ada Kompeni yang memusuhi pejuang, rasa patriotnya tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan pejuang”, Ngadimun berhenti sejenak dan duduk kembali di bangku reot sambil mengeluarkan tembakau dan klobot untuk membungkus, dan menyalakan api, dan menghisap dalam-dalam.
    Jasman yang putus sekolah rakyat dan kini hanya bekerja sebagai pesuruh di sekolah dasar negeri satu-satunya di desa itu, hanya duduk diam. Jasman yang biasa menaikkan dan menurunkan bendera tak ada perintah dari kepala sekolah untuk menaikkan bendera setengah tiang, oleh karena itu Jasman, ingin tahu mengapa Pak De Ngadimun, sejak meninggalnya Pak De Ngadiman, memasang bendera setengah tiang.
    “Jas ….”, kata Ngadimun memecahkan keheningan sejenak. “Masíh banyak Ngadiman-Ngadiman di negeri ini. Dari ujung barat hinggai timur, yang mengalami berbagai peperangan untuk mempertahankan negeri ini. Mereka hidup tak terurus, apa adanya. Nasibnya macam-macam, dan hidupnya serba kesusahan. Tapi Pakdemu tegar, jiwa pejuangnya masih tersimpan di dalam dada, pantang menyerah untuk mengarungi hidup ini, Pakde mu tak pernah membuat surat atau permohonan agar diakui menjadi pejuang. Walaupun tak ada tanda jasa, pengakuan dari negara, tapi dia tetap hidup dan berjuang untuk menyambung nyawa demi sesuap nasi”, kata Ngadimun berapi-api.
    “Pak De mu Ngadiman juga demikian, walau sebagai tukang ngarit sepanjang hidupnya, hingga mengakhiri hayatnya, masih mencari rumput, menghidupi ternak peliharaan orang, dia pantang menyerah, hanya untuk sesuap nasi, bertahan hidup”. Jasman tak terasa menitikkan air matanya, mengenang nasib para pejuang seperti Pak De nya, yang sehari-hari membawa keranjang rumput ke pinggir hutan yang semakin menyempit. Karena dibabat diambil kayunya, dibuat ladang dan perkebunan.
    Pernah sekali bertemu seminggu sebelum meninggal, Pak De Ngadiman yang masih memperlihatkan raut wajah yang keras, pantang menyerah, walau jalan tertatih tatih karena ditelan usia, mengatakan, bahwa jaman dulu, tak pernah ada banjir dan tanah longsor di desa ini, karena hutannya aman, Seperti Kali Gede yang dulu jernih, kemarau dan musim hujan tak pernah kering dan banjir. Namun kini, kali yang merupakan hulu Waduk Kedungombo itu kering kerontang, dan yang nampak hanya batu cadas yang mencuat, sedangkan pasir dan batunya lenyap digali dan ditambang.

    BalasHapus
  86. “Sudahlah Jas, sana ke sekolah. Anak-anak penerus negeri ini yang akan menimba ilmu sudah terlihat berangkat. Nanti kamu kesiangan. Cintailah pekerjaanmu. Kamu juga seorang pejuang yang setiap pagi menyiapkan segalanya untuk anak-anak belajar. Dan guru-guru itu yang memberikan ilmu.”, perintah Ngadimun kepada keponakannya Jasman.
    Ngadimun memandang, keponakan satu-satunya yang betah tinggal di desa ini, mencurahkan tenaga dan pikiran untuk desa yang jauh dari keramain kota. Jasman mencium tangan Pakde nya, dan mengucapkan salam, sebelum melangkah menuju ke sekolah. Dan, Jasman di luar kesadaran saat menaikkan bendera Merah Putih. Setelah dikerek sampai ujung atas, kemudian menurunkan kembali setengah tiang. ”Aku menghormati Pak De ku yang meninggal. Kalau ada orang yang bertanya, mengapa setengah tiang. Aku akan menjawab, seperti apa yang telah dijelaskan Pak De Ngadimun, Bahwa Pakdeku Ngadiman tiga hari yang lalu meninggal, dan tak ada yang peduli siapa sebenarnya Pak De Ngadiman”, katanya lirih dalam hati.

    Oleh : Edy Hendras Wahyono.

    Naskah Drama:

    Ngadimun masih memandang bendera yang dipasang di halaman rumahnya yang terpasang setengah tiang untuk menginggat jasa kakaknya Ngadiman yang telah berjuang untuk keluarga, desa, negaranya yang sedang memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan. Anak-anak muda yang berlalu lalang melewati rumah Ngadimun, mungkin terheran-heran. Tak ada pengumuman bahwa hari ini ada seorang pahlawan meninggal atau bukan pula memperingati hari besar nasional, atau hari berkabung nasional, namun di rumah gubug reyot terkibar bendera setengah tiang yang sudah lusuh.

    Jasmin: Pakde, ini beras titipan emak, untuk selametan 3 harinya Pakde Ngadiman nanti malam

    Ngadimun: Oh iya Jas, nanti malam pada datangkan. Yasinan mendoakan Pakde mu semoga arwahnya mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan amal dan ibadah nya

    Jasmin: Wah ya jelas pak de. Malah Bapak nanti malam mau ngajak Pak Lik Ngadiyoyang kebetulan hari ini datang juga, dan teman-temanya seperti pak ustadz guru ngaji saya dulu waktu masih sekolah rakyat

    Ngadimun:Syukurlah

    Jasmin: Pak De, Pahlawan siapa yang meninggal hari ini, kok mengibarkan bendera setengah tiang

    Ngadimun:Ya Pakdemu Ngadiman itu nak. Dia itu kan pahlawan sejati bagi keluarga kita, desa kita, mungkin malah negeri kita. Coba perhatikan. Bendera ini menelan korban dua orang teman ngaritnya pakdemu Ngadiman. Masíh ada sisa sobekan biru, bendera kompeni. Warna biru disobek, dan tinggal dua warna merah dan putih saja

    Jasman: Tapi Pak De, seorang pahlawan kan harus ada pengakuan dari negara, pemerintah atau anggota DPR

    Ngadimun: Aku nggak peduli dengan pengakuan mereka. Kalau masyarakat desa ini, pemerintah negeri ini, atau anggota dewan yang duduk di Jakarta sana nggak mengakui, tak apa. Tetapi hati yang paling dalam dari pak De mu ini, mengakui, bahwa Pak De mu Ngadiman adalah seorang pahlawan. Seorang yang banyak jasanya. Tidak perlu dikubur di Taman Makam Pahlawan, tidak perlu surat keputusan, tidak perlu tanda jasa. Tapi Pakde mu berjuang tulus ikhlas. Sebagai tukang ngarit yang kerjaannya mengumpulkan rumput, mengembala kambingnya ndoro sinder dan mengetahui ada Kompeni yang memusuhi pejuang, rasa patriotnya tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan pejuang

    BalasHapus
  87. Jasman yang bekerja sebagai pesuruh di sekolahan dan biasanya menaikkan dan menurrunkan bendera tak mendapatkan perintah menaikkan bendera setengah tiang oleh karena itu dia ingin tahu mengapa Pakde Ngadimun memasang bendera setengah tiang sejak meninggalnya Pakde Ngadiman

    Ngadimun: Jas ….Masíh banyak Ngadiman-Ngadiman di negeri ini. Dari ujung barat hinggai timur, yang mengalami berbagai peperangan untuk mempertahankan negeri ini. Mereka hidup tak terurus, apa adanya. Nasibnya macam-macam, dan hidupnya serba kesusahan. Tapi Pakdemu tegar, jiwa pejuangnya masih tersimpan di dalam dada, pantang menyerah untuk mengarungi hidup ini, Pakde mu tak pernah membuat surat atau permohonan agar diakui menjadi pejuang. Walaupun tak ada tanda jasa, pengakuan dari negara, tapi dia tetap hidup dan berjuang untuk menyambung nyawa demi sesuap nasi. Pak De mu Ngadiman juga demikian, walau sebagai tukang ngarit sepanjang hidupnya, hingga mengakhiri hayatnya, masih mencari rumput, menghidupi ternak peliharaan orang, dia pantang menyerah, hanya untuk sesuap nasi, bertahan hidup

    Namun Jasman tak terasa menitihkan air matanya mengenang nasib Pakdenya.Seminggu sebelum meninggalnya Pakde Ngadiman, dia memperlihatkan raut wajah yang keras, pantang menyerah, walau jalan tertatih-tatih karena ditelan usia. Dia mengatakan jaman dulu, tak pernah ada banjir dan tanah longsor di desa ini, karena hutannya aman

    Ngadimun: Sudahlah Jas, sana ke sekolah. Anak-anak penerus negeri ini yang akan menimba ilmu sudah terlihat berangkat. Nanti kamu kesiangan. Cintailah pekerjaanmu. Kamu juga seorang pejuang yang setiap pagi menyiapkan segalanya untuk anak-anak belajar. Dan guru-guru itu yang memberikan ilmu

    Jasman pun mencium tangan Pakdenya dan mengucapkan salam lalu menaikkan bendera sampai kepuncaknya lalu menurunkannya lagi hingga setengah tiang

    Jasman: Aku menghormati Pakde ku yang meninggal. Kalau ada orang yang bertanya, mengapa setengah tiang. Aku akan menjawab, seperti apa yang telah dijelaskan Pak De Ngadimun, Bahwa Pakdeku Ngadiman tiga hari yang lalu meninggal, dan tak ada yang peduli siapa sebenarnya Pak De Ngadiman

    BalasHapus
  88. Tema : Kepahlawanan

    Balada Gadis Kecil Berambut Ekor Kuda
    Sumber: http://sawali.info/2008/08/15/balada-gadis-kecil-berambut-ekor/

    Seorang gadis kecil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
    Kepada para tetangga, dia selalu bilang
    “Ini foto kakekku! Seorang pejuang yang gagah berani!”
    Para tetangga membuang muka dan meludah
    Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
    Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa
    Dia bawa foto kakeknya yang kusam itu dari desa ke desa, dari kota ke kota
    Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyum kegamangan
    Tak seorang pun yang menggubrisnya
    Semua orang membuang muka dan meludah
    Di sebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam
    Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya
    Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman
    Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran
    Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal
    Suara tawa menyeruak di sela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising
    “Aih, aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!”
    “Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!”
    “Hehehehehe …. Saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!”
    Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya
    Dia hanya bisa mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai
    Di atas koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak bisa terpejam
    Dalam bentangan layar memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bambu runcing
    Bersama laskar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya
    Mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang
    Dengan pekik “Merdeka!” sepenuh tenaga
    Sang kakek terus merangsek ke tengah kancah pertempuran
    Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya
    Entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bambu runcingnya yang merah darah
    Namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun
    Sang kakek tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya
    Sang kakek tewas meregang nyawa
    Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka
    Tak jelas lagi di mana jasat sang kakek
    Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang
    Hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail menghadap ke haribaan-Nya
    Begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar simbok gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur

    BalasHapus
  89. “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang perempuan tambun sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya
    Gadis kecil itu tergeragap
    Sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan
    Sambil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai
    Gadis kecil berambut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek
    Di tengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval
    Di tengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah
    Ditatapnya foto-foto pejuang berbingkai rapi di barisan terdepan
    Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak kerumunan penonton
    Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi di barisan terdepan
    “Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!” hardik seorang petugas keamanan
    Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli
    Di bawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya
    Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval di barisan terdepan
    Karena dianggap mengganggu pemandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya
    Diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan
    Tubuhnya tersungkur
    Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan telah robek tanpa bentuk
    Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirnya yang pecah
    Dia mencium bau darah
    Para penonton membuang muka dan meludah
    Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis
    Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda

    Naskah Drama:

    Disebuah pedesaan hiduplah seorang gadis kecil yang berambut seperti ekor kuda.
    Setiap hari dia membawa foto kakeknya dan menunjukkan pada semua orang.

    Gadis Kecil: “Ini foto kakekku! Seorang pejuang yang gagah berani!”

    Tetangga: Cuh Siapa sih yang ada di foto ini jelek banget ! (dengan wajah yang sinis)
    Siapa yang percaya dia pejuang. Hahahaha…….

    Gadis Kecil: Kakekku seorang pejuang! Kakekku hebat! Lihat dia seorang pejuang

    BalasHapus
  90. Dia terus berjalan dengan foto kakeknya di tangannya. Sampai pada suatu saat dia di sebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam.Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya.Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman.Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran.Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal.Suara tawa menyeruak di sela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising

    Siska: Aih, aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!

    Ane: Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!

    Rohmla: Hehehehehe …. Saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!

    Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya.Dia hanya bisa mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai.Dia teringgat pada kakeknya yang telah berjuang dan selalu meneriakkan MERDEKA.Sang kakek terus merangsek ke tengah kancah pertempuran.Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya.Sang kakek tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya.
    Sang kakek tewas meregang nyawa.Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka.Tak jelas lagi di mana jasat sang kakek.Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang.

    Rana: Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!

    Lalu gadis kecil berambit ekor kuda itupun pergi meninggalkan gerbong tua itu. Ditengah terik matahari, dia melihat karnaval. Ditatapnya foto-foto pejuang berbingkai rapi di barisan terdepan.Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak kerumunan penonton.Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi di barisan terdepan

    Petugas: Hei! minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan di sini!

    Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli.Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval di barisan terdepan.Karena dianggap mengganggu pemandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya

    Petugas: Pergi kamu dari sini. Tempatmu bukan disini gelandangan

    Diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan.Tubuhnya tersungkur.Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan telah robek tanpa bentuk.Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirnya yang pecah.Dia mencium bau darah.

    Para penonton : Cuh… Dasar gelandangan

    Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda

    BalasHapus
  91. Cerpen Lingkungan
    Nama:Suryahadi
    Kelas:XIP7
    Kekeringan
    karya Rosmah

    Tiga bulan lalu semestinya hujan telah turun. Alih-alih hujan turun, cuaca bertambah panas dari hari ke hari, saluran irigrasi semakin menyusut airnya bahkan, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Giman yang tidak memiliki sawah seluas petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air. Air saat ini menjadi barang berharga bagi para petani di Desa Brojol. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba , namun justru kecemasan yang datang melanda. Akankah ia gagal panen untuk yang ketiga kalinya tahun ini?. Hal ini merupakan hal yang menyedihkan apalagi bagi seorang petani seperti Giman. Dari jauh Mbah Simo sedang sibuk mengatur aliran air. "Saya minta airnya sedikit mbah" kata Giman. "Biar penuh dulu sawahku, memangnya sawahmu saja yang kering!". Lelaki tua itu terlihat gusar.
    "Sebaiknya bayar dulu hutang berasmu yang kemarin! tahun kemarin hutang berasmu sudah kuanggap lunas karena aku merasa kasihan melihat anakmu yang mau sekolah,namun kau jangan enak-enakan ya sekarang. sisa hutangmu harus kamu bayar. "Bagaimana saya bisa bayar mbah,kalau saya tidak bisa panen karena gagal panen". Sahut Giman kesal. "Sawahkku itu luas, bila tak dialiri air, aku juga rugi besar, dibandingkan sawhmu yang sempit itu".
    Giman sadar, ia tak mau mencari masalh dengan Mbah Simo, bisa-bisa hutangnya dinaikan 2 kali lipat. Ia pun mengatur strategi. Ketika Mbah Simo pergi,ia segera menyumbat saluran air Mbah Simo dan mengalirkannya ke sawahnya. "Ah akhirnya kebagian air juga".
    Keesokan harinya, "Pakde-pakde sawah Mbah Simo mau dibakar warga", ujar MItro, Giman pun segera mengikuti Mitro yang menghilang di balik rerumputan. "Ayo kita bakar sawah orang pelit ini" ujar seorang warga. Giman pun melihat kearah warga satu persatu, ternyata mereka semua membawa api, obor dan minyak tanah. Mereka semua adalah teman-teman seperjuangan Giman. Biar tahu rasa dia, seenaknya saja memonopoli air". ujar warga lain kesal.
    Kobaran api pun membara, si jago merah melahap hampir setengah Sawah Mbah Simo. Angin pun berhembus, api semakin menggila, dan api pun menyambar sawah Giman. "Hentikan-hentikan itu sawahku".ujar Giman. Semua tak memperdulikannya.Ya Tuhan..... Ujar Giman. Api pun melahap semua sawah Giman.Giman tertunduk lesu, menangis seperti bayi,jika tak teringat tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus tegar menghadapi apapun.

    BalasHapus
  92. Nama : Bil Leon
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor absen : 7

    Cerpen
    Tema : Patriotisme


    Apa Itu Patriotisme

    Pagi ini aku bangun karena berisik banyak sorak-sorai dari lapangan. Maklum rumahku terletak di sebelah lapangan. "Whoaaa.... apaan sih berisik banget" ujarku sambil liat jam di hape.
    ternyata sudah jam 9 pagi. wah pantesan dilapangan sudah ramai. aku beranjak dari tempat tidurku yang berantakan. sudah 2 hari kamar ini nggak dibersihkan.
    Segera kubereskan kasur guling dan buku-buku tadi malam. Langsung menuju kamar mandi.
    baru saja mau masuk ke kamar mandi, sebuah suara memanggil dari luar. "assalamualaikum".. diiringi suara ketukan pintu. siapa nih yang datang?. dirumah ini hanya aku seorang. papa, mama dan adik paling sudah larut di lapangan mengikuti acara 17an.
    Siapa? jeritku dari depan kamar mandi. "Aku, lies," jawabnya.
    aku pun keluar menemui lies. "minta minum dong. haus nih, baru balik dari upacara" belum sempat aku bicara lies udah ngomong duluan. owh, nih anak upacara, pantesan mukanya peluh berkeringatan gitu. "upacara dimana lies?"tanyaku.
    Ya dilapangan lah, masak di kuburan. Sambil menuju dapur dan membuka kulkas, beberapa detik kemudian botol air minum sudah habis setengahnya. "Koq kamu gak upacara sih. Masih hapal lagu Indonesia Raya?." tatapnya penuh selidik.
    "hahaha.. masihlah" jawabku, "ngapain upacara? kek anak sekolahan aja ah" sambungku lagi. mata lies mendelik mendengar ucapanku. ia letakkan botol minuman dimeja. "kamu payah ah. nggak cinta tanah air" katanya.
    Loh emangnya cinta tanah air mesti ditunjukkan sama ikut upacara. Yang penting tuh aksi, langsung kerja nyata, konkret. Upacara cuma ceremonial kalau kita nggak pernah lakuin apapun terhadap masyarakat ini.
    "trus seandainya semua org indonesia raya ini berfikir kayak kamu, lalu upacara gimana? ditiadakan?" tanya lies lagi.
    "Cukuplah manusia berseragam saja yang upacara. Kita membangun negeri ini dengan cara yang berbeda, karena peran kita juga berbeda" sambil menepuk jidat lies yang ngeloyor pergi.
    "Sakit tau!. udah ah, aku mau ke lapangan. eh mama-mu mana?" tanya lies, "aku mo ngajak mama ikut lomba ngupas nanas" ujarnya bersemangat.
    "Udah dilapangan" kataku sambil ganti baju. "Loh kamu mo kemana lagi, lapangan? bareng ya." kata Lies.
    dalam hati lies heran, nih anak kan belum mandi. sekalipun ganti baju ya tetap aja masih kucel. tapi gak apalah, dia ini satu-satunya teman yang aneh tapi nyata.
    Dalam perjalanan menuju warnet, aku melihat puluhan umbul-umbul warna-warni dan wajah-wajah gembira gerombolan anak kecil yang sedang lomba sambil didampingi orangtuanya masing-masing. Tak terasa butiran kristal menetes dari pelupuk mata.
    sambil berkata lirih aku berujar... MERDEKA !

    Sumber : http://cerpenista.com/cerpen/baca/apa_itu_patriotisme

    BalasHapus
  93. Naskah Drama

    Apa itu Patriotisme

    Pagi hari di 17 Agustus. Suasana lapangan sebelah rumah rdy begitu berisik dan membangunkan Ardy dari tidur lelapnya.
    Ardy : “Wah berisik sekali di luar. Padahal lagi asyik-asyiknya tidur.”
    Ardy : “Oh iya, inikan sudah jam 9 pagi. Aku harus cepat mandi dan membereskan kamar ini.”

    Ardy pun turun dari kamar lantai 2 nya menuju kamar mandi di lantai satu. Ketika ingin masuk ke kamar mandi, tiba – tiba….

    Lies : “Assalamualaikum”
    Ardy : “Siapa ya?”
    Lies : “Aku, Lies.”
    Ardy : “Oh Lies. Sebentar, saya bukakan pintu.”

    Ardy membuka pintu

    Lies : “Dy, minta minum ya. Baru pulang dari upacara nih, jadi haus sekali.”
    Ardy : “Iya, iya. Kamu berkeringat sekali, upacara dimana Lies?”
    Lies : “Di lapangan, masa di kuburan. Udah, aku haus sekali, mau minum dulu.”

    Lies menuju kulkas di dekat dapur dan mengambil botol minum. Ia langsung meneguk air sampai setengah botolnya saja. Setelah minum…

    Lies : “Kamu tidak upacara, Dy? Jangan – jangan kamu lupa lagu Indonesia raya?”
    Ardy : “Masih hafal lah. Buat apa Upacara? Seperti anak sekolahan saja.”
    Lies : “Kamu ini! Tidak cinta tanah air…”
    Ardy : “Cinta tanah air harus ditunjukkan dengan upacara saja kah? Yang penting itu aksi, kerja nyata & konkret. Upacara kan hanya seremonial, kalau kita tidak melakukan apapun pada masyarakat sama saja bohong.”
    Lies : “Seandainya semua orang Indonesia berpikir seperti kamu, upacara bagaimana? Ditiadakan?”
    Ardy : “Cukup manusia berseragam saja yang upacara. Kita bangun negeri ini dengan cara yang berbeda, karena peran kita juga berbeda.”

    Lies terdiam dan Ardy menepuk kening Lies.

    Lies : “Sakit! Dasar kamu ini. Sudah ah, mau ke lapangan dulu. Oh ya, Mamamu kemana Dy?
    Ardy : “Mamaku sudah di lapangan. Aku mau mengajak mamaku loba mengupas kulit nanas. Tapi, aku ganti baju dulu ya Lies.”
    Lies : “Ya sudah, aku tunggu. Kita ke lapangan sama-sama ya.”

    Ardy ke kamar untuk mengganti baju

    Lies : “Anak satu ini kan belum mandi, biarpun sudah ganti baju tetap saja jorok. Tapi dia satu-satunya teman ku yang paling aneh. Hahahaha.”

    Mereka berjalan bersama menuju lapangan

    Ardy : “Cantik ya umbul-umbulnya. Mana anak-anak kecil terlihat gembira berpartisipasi dalam lomba-lomba. Senang sekali rasanya, terharu aku jadinya.”
    Lies : “Ya, cantik sekali. Aku juga ikut terharu bercampur senang.”
    Ardy : “Ayo kita teriakan MERDEKA.”

    BalasHapus
  94. Naskah Drama
    Nama:Suryahadi
    Kelas:XIP7
    Nomor Absen:40

    Kekeringan
    Karya Rohmah


    Narator: Musim Panas lalu semstinya musim hujan telah tiba. Alih-Alih hujan turun, saluran irigrasi semakin surut airnya. Hal ini sangat menyedihkan , apalagi petani seperti Giman. Dari kejauhan, terlihat Mbah Simo sedang mengaliri saluran irigrasinya.

    Giman:"Bagi sedikit airnya mbah sudah dua hari sawah saya kering".. ujar Giman

    Mbah Simo:"Biar penuh dulu sawahku.. memangnya sawahmu saja yang kering.." ujar pria tua itu dengan cemberut.

    Mbah Simo:" Lebih baik bayar saja hutangmu yang lalu, hutangmu yang kemarin telah kuanggap lunas karena, aku merasa kasihan melihat ankmu yang mau bersekolah, sekarang kamu jangna enak-enakan ya, kamu harus bayar."

    Giman:"Bagaimana saya bisa bayar mbah, jika saya gagal panen kali ini" ujar Giman dengan nada tingi.

    Mbah Simo:" Sawahku juga luas, bila tak dialiri, aku rugi besar, enak saja kamu"

    Narator:karena Giman tak ingin terlibat masalah lebih jauh dengan Mbah Simo, ia pun mengalah dan ketika Mbah Simo telah pergi dari sawhnya dan akan pulang sore nanti, Giman mengatur strategi, saluran irigrasi Mbah Simo disumbatnya dan ia segera mengalirkannya menuju sawahnya yang kecil.

    Giman:"Ah akhirnya, kebagian juga airnya" ujar Giman lega.

    Mitro:"paman, paman, sawah Mbah Simo maudibakar warga" ujar Mitro sambil segera berlari menuju sawah tersebut, Giman pun mengikutinya dengan tegesa-gesa

    Warga:"ayo kita bakar habis sawahnya orang pelit ini"ujar warga geram

    Warga:"Ayo keluar Mbah Simo, yang memonopoli air kami"ujar warga lain dengan marah

    Narator:Api pun melahap habis sawah Mbah Simo, api terus berkobar, Giman melihat, warga-warga itu adalah orang yang mereka kenal, Kobaran api pun semakin membara, karena angin bertiup kencang, aapi pun menyambar sawah Giman.

    Giman: Ya Tuhan, tolonglah,teman-teman, hentikan, sudah, itu sawahku...

    Narator: Namun tak ada yang memperdulikannya. Api pun melahap habis sawah Giman. ia tertunduk lesu dan menanggis seperti bayi bila tidak teringat akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus menghidupi keluarga.

    BalasHapus
  95. nama :kemas deka puthu pratama
    absen: 26
    Suasana di depan sekolah pada suatu siang sepulang sekolah. Terlihat seorang anak sekolah bernama Deri membeli beberapa kantung kacang dari sebuah warung.

    Ia segera pulang ke rumahnya.

    Suasana rumah Deri. Deri membuka sepatu dan kaus kakinya. Ia meletakkannya begitu saja di belakang pintu rumahnya. Ia lalu segera pergi ke kamarnya. Ibunya melihat tindakan Deri.

    Ibu : (marah) “Deri, sepatumu jangan diletakkan sembarangan. Kan, sudah ibu sediakan rak khusus untuk menyimpan sepatu.”

    Deri : (menyeka keringat di keningnya) “Deri kan capek, Bu. Hari ini rasa nya gerah banget. Lagian, kan ada Bi Surti.”

    Ibu : “Bi Surti pulang kampung selama tiga hari. Lagian, kenapa kamu menanyakan Bi Surti?”

    Deri : “Biasanya kan Bi Surti yang suka membereskan sepatuku.”

    Ibu : (kesal) “Untuk hal seperti ini, Ibu rasa kamu bisa me ngerjakannya sendiri.”

    Deri : (segera mengambil sepatu dan kaus kakinya yang ber serakan) “Aahh… Ibu.”

    Deri segera masuk ke kamarnya. Suasana berganti menjadi kamar Deri. Di kamar, terdapat sebuah tempat tidur kecil, kipas angin, meja belajar, dan sebuah tempat sampah. Deri merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Ia melemparkan tasnya ke samping bawah meja belajarnya. Ia belum mengganti baju seragamnya. Lalu, ia menyalakan kipas angin.

    Deri : (sambil membaca buku yang diambilnya dari meja belajar) “Ahh… begini kan lebih enak….”

    Deri membuka bungkus kacang yang ia beli tadi. Ia membuka satu per satu dan melemparkan begitu saja kulit-kulit kacang ke bawah tempat tidurnya.

    Suasana malam. Deri tidak bisa tidur. Ia mendengar suara-suara aneh.

    Ciiitttt… cit… cittt…. Deri ketakutan. Dari kolong tempat tidurnya, keluar seekor tikus.

    Deri kaget. Ia paling takut pada tikus. Tidak berapa lama kemudian, beberapa ekor tikus keluar dari kolong tempat tidurnya. Deri mengambil sapu ijuk.

    Deri : (mencoba mengusir tikus-tikus) “Ukhhh… mengganggu saja!” (memukul seekor tikus)

    Beberapa tikus malah menghampiri Deri.

    Deri : (ketakutan dan menjerit-jerit) “Ibu, Ibu tolongin Deri!”

    Ibu : (membuka pintu kamar Deri) “Ada apa kok kamu teriak-teriak?”

    Deri : (wajahnya pucat) “Ibu, banyak si Jerry!”

    Ibu : “Jerry, siapa itu Jerry?”

    Deri : (menunjuk ke bawah tempat tidurnya) “Maksud Deri banyak tikus kecil.”

    Ibu : (kebingungan) “Di mana?”

    Deri : “Itu di bawah tempat tidur Deri!

    Deri takut. Deri tidak mau tidur di kamar Deri.”

    Ibu : “Ya sudah, malam ini kamu tidur bersama kakakmu saja.”

    Suasana pagi hari. Ibu masuk ke kamar

    Deri. Ia kaget melihat sampah-sampah berserakan di bawah tempat tidur Deri.

    Ibu : (berteriak, mukanya cemberut)

    “Derii…sini!”

    Deri : (memakai seragam sekolah) “Ya ada apa, Bu?”

    Ibu : “Lihat!” (menunjuk ke sampah yang berserakan) “Kamu jorok sekali. Pantas banyak tikus di kamarmu.”

    Deri : (malu dan tertunduk) “Habis bagaimana dong?”

    Ibu : “Lho kok, malah tanya. Mulai sekarang kamu harus menjaga kebersihan kamarmu. Kamu jangan membuang sampah sembarangan lagi. Kan, sudah ibu sediakan tempat sampah di kamarmu (menunjuk ke tempat sampah).

    Apa perlu Ibu membuatkan plang peringatan di sini?”
    Deri : “Ibu bisa saja. Deri janji tidak akan membuang sampah sembarangan lagi.
    Deri kapok sama si Jerry-Jerry nakal.”
    Ibu : (tersenyum) “Ya sudah, sekarang kamu pergi sekolah. Pulang sekolah nanti, kamu harus membersihkan kamar mu.”
    Deri : “Baik, Bu!”
    Sejak saat itu, Deri selalu menjaga kebersihan kamar nya.
    Naskah drama ini adalah hasil pengubahan dari cerpen “Tikus-Tikus Nakal”.
    Sumber: Bobo, 22 Februari 2007

    BalasHapus
  96. Nama:Ayu Pranindya
    Kelas:XI IPA 7
    Nomor absen:06

    Tema:Kepahlawanan

    Balada Gadis Kecil Berambut Ekor Kuda


    Seorang gadis kecil menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai. Kepada para tetangga dia selalu bilang,”Ini foto kakekku! Kakekku seorang pejuang yang gagah berani!” Para tetangga membuang muka dan meludah. Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis. Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa. Dia bawa foto kakeknya dari desa ke desa, dari kota ke kota.
    Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyuman kegamangan. Tak seorangpun yang menggubrisnya. Semua orang membuang muka dan meludah.
    Disebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam. Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya. Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman. Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran. Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal. Suara tawa menyeruak disela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising.
    “Aih,aih, kemarin malem saya dapat bandot tua!”
    “Aha, saya malah dapat bocah bau kencur! Ndak bayar lagi! Sial!”
    “Hehehehehe… saya malah ndak dapat mangsa sama sekali!”
    Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya. Dia hanya mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai.
    Diatas Koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak terpejam. Dalam bentangan layer memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bamboo runcing. Bersama lascar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya. Mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang. Dengan pekik ”Merdeka!” sepenuh tenaga, sang kakek merangsek masuk ke tengah kancah pertempuran. Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya. Entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bamboo runcingnya yang merah darah. Namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun, sang kakek tetap tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya. Sang kakek tewas meregang nyawa. Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka. Tak jelas lagi dimana jasad sang kakek. Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang. Hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail mengahadap keharibaanNya. Begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar si mbok si gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur.
    “Hei! Minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan disini!” Hardik seorang perempuan tambun sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya. Gadis kecil itu terperagap. Sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan. Sambil menenteng foto kakenya yang kusam tanpa bingkai, gadis kecil bermabut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek.
    Ditengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval. Ditengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah. Ditatapnya foto-foto pejuang yan tampak rapi dibarisan terdepan. Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak dikerumunan penonton. Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi dibarisan terdepan.
    “Hei! Minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan disini!” Hardik seorang petugas keamanan.

    BalasHapus
  97. Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli. Dibawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya. Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval dibarisan terdepan. Karena dianggap mengganggu pandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya. Diseretnya tubuh yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan. Tubuhnya tersungkur. Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan robek tanpa bentuk. Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirny yang pecah. Dia mencium bau darah. Para penonton membuang muka dan meludah. Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis. Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda.


    http:/sawali.info/2008/08/15/balada-gadis-kecil-berambut-ekor/

    Naskah

    Balada Gadis Kecil Berambut Ekor Kuda


    Babak 1

    Seorang gadis kecil berpakaian lusuh yang bernama Niken menenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai. Kepada para tetangga dia selalu bilang,”Ini foto kakekku! Kakekku seorang pejuang yang gagah berani! Lihatlah betapa gagahnya kakekku! Kakekku seorang pejuang.”
    Tibalah si gadis kecil pada suatu pasar tradisional. Dengan bangganya dia memamerkan foto kusam kakeknya kepada setiap orang yang melintas dipasar.
    “Lihatlah betapa gagahnya kakekku! Kakekku seorang pejuang.”Ucap si gadis kecil kepada serombongan ibu-ibu yang lewat.
    “Ciiihh.. Siapa itu kakekmu ? Kau hanyalah seorang gembel!”Maki seorang perempuan paruh baya.
    “Heh! Lihat saja dirimu! Kau hanyalah seorang gembel. Untuk apa memperdulikan kakekmu yang sudah mati ? Apa dia bisa mengubah dirimu yang gembel ini menjadi jutawan ?”Lanjut seorang ibu dengan barisan gelang emas ditangan kanan dan kirinya.
    “Tentunya ‘TIDAK’! Gembel kecil!”Seorang ibu gemuk mengejeknya dengan menekankan kata ‘TIDAK’ yang semakin merobek hati gadis kecil berambut ekor kuda.
    Para ibu-ibu sombong itu membuang muka dan meludah. Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis.
    “Kakekku tetap seorang ‘PEJUANG’!”Teriak si gadis kecil sambil berlalu pergi. Gadis kecil berambut ekor kuda tak putus asa. Dia bawa foto kakeknya dari desa ke desa, dari kota ke kota.
    “Lalalalala… Lalalala…“ Gadis kecil bernyanyi riang sambil menyunggingkan senyum dipipinya.
    Wajah gadis kecil berambut ekor kuda itu selalu ceria, tapi menyunggingkan senyuman kegamangan. Tak seorangpun yang menggubrisnya. Semua orang membuang muka dan meludah.

    BalasHapus
  98. Babak 2

    Disebuah gerbong kereta tua, gadis kecil berambut ekor kuda itu bermalam. Dia temukan wajah-wajah asing yang tak dikenalnya. Aroma parfum murahan menyedak indra penciuman. Gendang telinganya menangkap suara-suara bising dan keonaran. Kata-kata seronok, kotor, dan vulgar meluncur dari bibir-bibir bergincu tebal. Suara tawa menyeruak disela-sela bau pesing dan denging suara nyamuk yang bising.
    Dari kejauhan si gadis kecil melihat tiga orang gadis remaja mendekat datang dengan dandanan menor dan pakaian yang menurutnya luar biasa seksi. Gadis kecil memejamkan matanya rapat-rapat, dan pura-pura tidak sadar akan kedatangan gerombolan remaja itu.
    “Aiih,aiih, kemarin malam saya mendapat seorang pria tua!”Ucap seorang wanita dengan judesnya.
    “Ahahahaa, saya justru mendapat bocah bau kencur! Dia malah tidak bayar! Aku jauh lebih sial darimu.”Sambung seorang temannya lagi sambil mengumpat.
    “Hehehehehe… saya malah tidak dapat mangsa sama sekali!”Lanjut temannya yang lain sambil tertawa.
    Ketiga remaja itu melintasi gadis kecil yang pura-pura tertidur.
    Gadis kecil berambut ekor kuda itu tak paham apa maknanya. Dia hanya mendekap foto kusam kakeknya yang tak berbingkai. Sambil menatap lekat mata sang kakek gadis kecil berbisik,”Kakek, Niken sayang sekali pada kakek. Kek, seandainya saja kakek masih hidup.”Tanpa disadarinya setetes air mata meluncur dari matanya yang terasa berat.
    Babak 3

    Diatas Koran lusuh, kedua bola mata gadis kecil berambut ekor kuda itu tak terpejam. Dia hanya terus bergumam,”Kakekku seorang pejuang. Aku bangga pada kakekku.”
    Dalam bentangan layar memorinya, terpampang jelas kakeknya bersenjatakan bamboo runcing. Bersama laskar rakyat, sang kakek mengendap-endap secara bergerilya. Mengintai musuh dari bukit ke bukit, dari jurang ke jurang. Dengan pekik ”Merdeka!” sepenuh tenaga, sang kakek merangsek masuk ke tengah kancah pertempuran. Desingan peluru dan martir tak dihiraukannya. Entah berapa nyawa yang telah dihabisi ujung bamboo runcingnya yang merah darah.
    ”Pilih mati berguna atau hidup sia-sia ?” Sang kakek berteriak dengan gagah berani. “Indonesia ‘MERDEKA’! Tidak seorangpun berhak merampas kemerdekaan dari tangan Indonesia!”Teriaknya dengan membabi buta sambil menancapkan ujung bamboo runcingnya kepada para penjajah.
    Namun, meski dengan nyawa rangkap sekalipun, sang kakek tetap tak sanggup menahan desingan peluru dan martir yang membombardir sekujur tubuhnya. “MERDEKA!” Sang kakek berteriak sebelum akhirnya tewas meregang nyawa. Menjadi tumbal Ibu Pertiwi yang tengah berduka. Tak jelas lagi dimana jasad sang kakek. Tanpa makam, tanpa tanda-tanda kebesaran seorang pejuang. Hanya rohnya yang terbang bersama jemputan Izrail mengahadap keharibaanNya. Begitulah video perjuangan sang kakek yang pernah diputar si mbok si gadis kecil berambut ekor kuda itu menjelang tidur.
    “Hei! Minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan disini!” Hardik seorang perempuan tambun sembari menggandeng tangan seorang lelaki separuh baya.

    BalasHapus
  99. “Hah ?” Gadis kecil itu terperagap. Sambil mengucak-ucak bola matanya yang silau dalam temaram lampu 5 watt, gadis kecil itu terbirit-birit menembus kegelapan. Sambil menenteng foto kakenya yang kusam tanpa bingkai, gadis kecil berambut ekor kuda berjingkat meninggalkan gerbong tua yang sumpek.
    “Tuhan, aku percaya bahwa Engkau tetap menyayangiku meskipun aku adalah seorang gelandangan.”Ucap gadis kecil sambil meratapi kemalangan diri.

    Babak 4

    Ditengah terik matahari yang memanggang, gadis kecil berambut ekor kuda menyaksikan iring-iringan karnaval.
    “Ada pesta apa ini ??” Tanyanya kepada setiap orang yang melewatinya, tetapi tak satupun jawab didengarnya. Ditengah kelaparan yang melilit, wajahnya tiba-tiba tampak sumringah. Ditatapnya foto-foto pejuang yan tampak rapi dibarisan terdepan. Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, sang gadis kecil menyeruak dikerumunan penonton. Lantas dengan wajah penuh kebanggaan, dia tenteng foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai, berjajar bersama gadis-gadis berkebaya rapi dibarisan terdepan.
    “Kakeku! Ini foto kakekku!Kakekku seorang pejuang!”Teriaknya dengan penuh bangga.
    “Hei! Minggir gelandangan kecil! Tempatmu bukan disini!” Hardik seorang petugas keamanan.
    Gadis kecil berambut ekor kuda tak peduli. Dia tetap sumringah sambil tak lupa meneriakkan,”Kakekku seorang pejuang!”
    Dibawah dentuman irama drum band yang menghentak-hentak, dia tulikan telinganya. Sang gadis terus berjalan bersama iring-iringan karnaval dibarisan terdepan. Karena dianggap mengganggu pandangan, seorang petugas keamanan menggelandangnya.
    “Hei, kamu! Dasar gelandangan tidak tahu diri!”Bentak seorang petugas keamanan sambil menyeret tubuh gadis kecil yang kurus itu ke tengah kerumunan penonton di pinggir jalan yang berdesak-desakan. Tubuhnya tersungkur. Foto kakeknya yang kusam tanpa bingkai yang selalu dia banggakan robek tanpa bentuk.
    “Kakek…”Ratap si gadis kecil sambil menangis.
    Tanpa sadar, jemarinya yang mungil meraba bibirny yang pecah. Dia mencium bau darah. Para penonton membuang muka dan meludah.
    “Itulah akibat bagi perbuatan seorang gelandangan yang tak tahu diri!”Maki seorang penonton. Kebencian menyeruak dari wajah-wajah yang sinis.
    “Sudah tahu gembel. Mana ada yang mau melihat foto dari kakek seorang gelandangan seperti kamu.”Tambah seorang pria paruh baya yang berdiri didekatnya.
    Hanya caci maki yang ia dapat hari ini, dan hari-hari sebelumnya.. Perjuangannya untuk menunjukkan kepada dunia siapa itu kakeknya telah sia-sia.
    “Kakekku seorang pejuang!”Dia berkata lirih sambil menatap kosong kearah aspal yang panas karena terpanggang terik matahari. Dia menangis sejadi-jadinya sambil mencoba memperbaiki foto kakeknya yang telah hancur berkeping-keping sehancur hatinya. Bibir mungilnya terasa perih, namun tak seperih sakit hati yang dirasakannya.
    “Kakek…”Ucapnya lirih ditengah-tengah cercaan orang-orang disekelilingnya.
    Tak seorangpun menatapnya dengan iba. Yang ada hanyalah cercaan dan makian yang semakin mengoyakkan hatinya. Di negeri ini, agaknya sudah tak ada lagi tempat yang nyaman untuk gadis kecil berambut ekor kuda.


    http:/sawali.info/2008/08/15/balada-gadis-kecil-berambut-ekor/

    BalasHapus
  100. Nama : Eflin Winata
    Kelas : XI P7
    Nomor Absen : 10

    Tema : Patriotisme

    Presiden Padang Ilalang
    September 26th, 2008 by A_pra

    “… Tidak seorang pun aku ijinkan menggoyang Indonesiaku ini, akan aku pastikan garudanya tetap mengangkasa di langit Indonesia, akan aku pastikan benderanya terus berkibar meski aku sendiri yang harus mengereknya di puncak tertinggi Indonesia, dan akan aku pastikan setiap silanya mengakar mendarah daging dalam setiap laku dan gerak bangsa ini. Itu adalah janjiku, dan aku tidak akan pernah memaafkan manusia yang mencoba-coba mengancam kestabilan keamanan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.” Salah seorang pejabat teras pemerintahan berbadan tegap menghentak-hentak hati seluruh anggota rapat dengan pidato singkatnya yang terucap lantang dan penuh kecintaan yang teramat dalam terhadap Bumi Pertiwi.
    Ruangan sidang tidak lagi tenang seperti biasanya. Tidak ada satu pun yang tertidur atau bermain laptop dalam rapat ini. Air conditioner yang terpasang di dinding-dinding ruangan itu tidak dapat mendinginkan suasana yang sudah terlanjur memanas meskipun sudah disetel pada suhu yang paling minimum. Di ruangan itu hadir juga beberapa pejabat tinggi non legislatif yang diundang untuk ikut merumuskan keputusan penting itu. Ruangan juga penuh sesak oleh beberapa pejabat lainnya yang sebenarnya tidak diundang tetapi memaksa untuk ikut dalam sidang tersebut. Di depan ruang sidang tersebut duduk Ketua MPR, Prof. Dr. Abu Sufyan Maltatuliu yang terlihat kebingungan menghadapi begitu banyak emosi yang tercampur dalam ruang sidang. Begitu banyak orang yang saling berebut menyampaikan pendapat hingga aksi saling rebut mikrifon pun beberapa kali terjadi. Berkali-kali Abu Sufyan menenangkan para peserta sidang namun sia-sia saja, suaranya tertelan oleh riuh suara ribuan orang yang berkumpul disana.
    “Interupsi Bapak Ketua!! Saya sangat tidak setuju dengan keputusan pertama tadi, tidak bisakah hal itu dipertimbangkan sekali lagi? Bukankah Indonesia bisa mengangkat harga dirinya di mata dunia berkat seluruh usaha dan kerja kerasnya juga?” Ketua Fraksi Utusan Daerah, Dr. Martinus Kombe asal papua angkat suara.
    “Maaf Saudara Martinus, harusnya anda tahu, bahwa yang dilakukannya itu adalah kejahatan sekaligus penghinaan tertinggi bagi Indonesia, tidak ada kompromi lagi bagi kejahatan semacam itu. Apa anda mentolerir tindakan semacam itu? Atau anda jangan-jangan memang berkomplot dengannya, hah?” Salah seorang anggota DPR tiba-tiba langsung menimpali tanpa ijin. Nampak jelas dari intonasinya yang tinggi, bahwa dia sangat marah dan kecewa dengan pernyataan Dr. Martinus Kombe.
    “Tenang, tenang semuanya!! Saya tahu kalau kita semua capek, sudah dua puluh jam hari ini kita di ruang sidang, tapi tolong logika tetap di atas emosi. Dan untuk Pak Martinus, sepertinya anda masih belum menyadari bahwa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Undang-undang manapun akan menindak tegas setiap perbuatan yang dapat mengancam keselamatan negaranya. Dan sekali lagi keputusan pertama sidang ini tidak bisa diganggu gugat. Sekarang ini kita sedang mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya agar tidak ada lagi orang yang berani meniru apa yang sudah dilakukannya saat ini.”
    Ruangan sidang hening sesaat, Dr. Martinus Kombe pun diam seribu bahasa. Bukannya dia tidak tahu harus berbicara apa, namun dia takut dianggap antek atau berkomplot dan menerima perlakuan yang sama dengan orang itu. Beberapa anggota rapat nampak berbisik-bisik satu sama lain sambil sesekali saling mengedarkan pandangannya dengan penuh rasa curiga. Suasana yang terbangun saat itu di ruang sidang benar-benar tidak nyaman, hingga tidak ada seorang pun yang mau bersuara.
    “Interupsi Pak Ketua, saya rasa saya tahu hukuman apa yang pantas…” tiba-tiba pejabat berbadan tegap itu sekali lagi angkat bicara.

    BalasHapus
  101. lanjutan cerpen

    Waktu telah menunjukkan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima, masih lima belas menit dari waktu yang telah ditetapkan. Angin yang berhembus di Lapangan Monas terasa sangat lambat, seakan enggan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah rapat akbar rakyat Indonesia pertama kalinya pada masa awal kemerdekaan. Saat itu lapangan ini masih bernama Lapangan Ikada, dan Soekarno masih disanjung-sanjung. Kini sudah genap seratus tahun berlalu semenjak kemerdekaan Indonesia, dan Soekarno sudah tidak lagi disanjung-sanjung. Bukan lagi Soekarno yang menjadi pahlawan di hati rakyat Indonesia, karena kini jamannya telah berbeda. Setiap jaman memiliki pahlawannya masing-masing.
    Berbeda dengan saat-saat awal kemerdekaan di lapangan Ikada, sore itu lapangan Monas terasa begitu dingin dan mencekam meskipun ratusan ribu rakyat Indonesia telah kembali berkumpul dalam satu barisan yang rapat. Riuh dan ramainya rakyat jelata yang memadati selasar Monas tidak dapat menghapuskan suasana duka serta luka yang menyayat hati simpatisan Sang Presiden, sementara sebagian besar lainnya memuntahkan sumpah serapah dan umpatan serta makian atas mantan orang nomor satu di Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.
    Sang Presiden berjalan memasuki selasar Monumen Nasional dengan mata yang sembab dan langkah yang tidak lagi tegap. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak teratur, kadang tiga jam, dua jam bahkan pernah tidak tidur seharian. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa masalah yang ditimbulkan akibat tindakannya itu bisa menjadi sedemikian berat. Kepalanya terasa pusing, dan matanya yang panas terus meminta didinginkan lewat buaian kasur. Tapi tidak mungkin baginya untuk beristirahat, Sang Presiden sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, bahkan ia tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri.
    Di sudut podium terlihat menteri pertahanan dan keamanan Marsekal Andiro Setyoatmodjo atau yang biasa ia panggil dengan nama kecil ‘Atmo’ berdiri memandangnya dengan mata yang nanar. Pandangan keduanya menyatu, dan kalau Sang Presiden tidak berada di depan umum seperti ini, tentu ia sudah berlari menghambur ke arahnya. Sang presiden bergetar hebat saat tahu Atmo ada di sana, ia menghampirinya dengan wajah setengah tersenyum. Guratan-guratan keriput di wajahnya nampak jelas di bawah terangnya matahari sore yang berwarna kemerahan. Matanya kembali berkilat-kilat, ia tahu bahwa Atmo adalah harapan terakhirnya. Ia tahu kalau Atmo tentu mengerti akan tindakannya. Ia kenal betul siapa sosok Andiro Setyoatmodjo, ia adalah seorang marsekal muda yang terbuka dengan perubahan, berpandangan jauh ke depan, pemaaf dan penyabar, namun juga sekaligus determinatif. Atmo adalah satu dari sedikit orang yang mampu memahami jalan pemikirannya.
    “Mo, kamu tahu aku yang benar !! Negeri ini butuh visi, kita harus dobrak semua belenggunya, kalau Pancasila hanya jadi belenggu maka kita dobrak juga sekalian. Aku tahu Mo, suatu saat negeri ini bisa menjadi negara adikuasa, aku tahu itu Mo…” Sang Presiden berharap bahwa Atmo masih mau mendukungnya. Walaupun itu sudah agak terlambat, namun Sang Presiden tidak putus asa.
    “Tidak Bang, Abang salah! Indonesia adalah Pancasila. Tidak ada satupun yang boleh memisahkan keduanya. Indonesia tanpa pancasila hanyalah raga tak bernyawa. Dan aku tidak rela nusantaraku kehilangan nyawanya.” Atmo dapat melihat raut kecewa di wajah sahabatnya itu, namun ia yakin seratus persen dengan apa yang dikatakannya. Tidak ada yang boleh menurunkan Pancasila dari tahtanya, tidak juga Sang Presiden itu sendiri.

    BalasHapus
  102. Lanjutan cerpen

    “Mo, bukan Pancasila yang kita butuhkan!! Pancasila itu ideologi banci. Indonesia negeri yang besar, negeri yang mumpuni. Tidakkah kamu lihat apa yang telah kita lakukan dalam delapan tahun terakhir? Kita bangun angkatan laut dan udara yang tanguh sehingga negeri ini berdaulat, kita tiru keberanian Venezuela menasionalisasi perusahaan kapitalis asing, kita gratiskan kesehatan dan pendidikan, Kita adopsi kebijakan Cina menggantung para koruptor, kita tantang Amerika seperti Kuba, kita tolak semua pinjaman luar negeri, kita juga deklarasikan pada dunia bahwa Indonesia tidak berhutang satu sen pun pada siapapun. Kita angkat harga diri Indonesia. Kita telah menang menantang kapitalisme. Dan kamu pikir sistem apa yang kita terapkan dalam delapan tahun ini?! Bukan Pancasila, itu sosialis Mo!! Dari sana kita dapat keberanian itu. Di kepalaku ini sudah ada cap Seorang-Sosialis-Visioner-yang-bertekad-memberi-kejayaan-bagi-Indonesia, bukan kapitalis atau pancasilais.” Sang Presiden setengah berbisik di telinga Atmo dengan penuh semangat yang berapi-api layaknya Indonesia baru merdeka.
    “Ya, dan Abang lihat sendiri akibatnya bagi negeri kita saat ini: embargo militer, embargo ekonomi, dianggap teroris lah, anti-demokrasi lah, gak karu-karuan negeri kita sekarang! Apalagi Abang deklarasikan sosialis menggantikan pancasila. Tidak heran kini Abang dianggap sebagai pemberontak gila! Rakyat kita sudah cukup menderita…”
    “DIAM MO, DIAM!! Itu memang harga yang harus dibayar untuk membeli kembali harga diri kita. Lagipula kamu tahu apa tentang penderitaan? Akulah anak yang dibesarkan dalam penderitaan, bukan kamu! Akulah anak yang kelaparan selama 16 tahun di desa terbelakang tanpa listrik, bukan kamu! Akulah anak yang telah dikecewakan oleh negeri ini, bukan kamu! Tapi aku masih cinta negeri ini. Aku memaafkan negeri ini… Hingga pada suatu senja di bukit depan gubuk reyot orang tuaku, di sebuah padang ilalang, aku berjanji bahwa aku akan membawa visi bagi negeri ini. Akan aku wujudkan NEGARA ADIDAYA INDONESIA RAYA!!” Kini suara Sang Presiden setengah bergema di seantero lapangan Monas yang sedang khidmat-khidmatnya menunggu matahari terbenam.
    “Abang sudah kelewat gila, bukan cinta yang Abang bawa, tapi petaka. Biarlah negeri ini dalam ketentraman. Kita bangsa Indonesia tidak perlu kejayaan, cukup kesejahteraan dan kemakmuran.“ Atmo masih bisa mengendalikan dirinya, ia menyampaikan kata perkatanya dengan sangat tenang dan jelas.
    “Lemah kamu! Sia-sia aku membagi mimpiku denganmu …”
    “Aku kagum dengan mimpi-mimpimu Bang, tapi mengganti ideologi? Itu gila!! Sama saja Abang mencabut nyawa Indonesia.”
    “Aku tahu yang terbaik bagi Indonesia Mo. Aku ini orang Indonesia, aku bangga menjadi orang Indonesia , aku CINTA Indonesia.”
    “Sudah Bang, cukup! Biarlah rakyat yang menentukan. Aku sudah tidak mau tahu lagi tentang ide gila Abang itu.” Atmo tidak sanggup lagi berdebat dengan sahabatnya, air mata menetes perlahan dari sudut matanya seraya ia berbalik meninggalkan sahabatnya sendiri di tengah keramaian.
    “ATMO!! Dasar pengkhianat!!! Ingat Mo, suatu saat kamu akan mengakui kalau aku yang benar… Ingat itu!“ Sang Presiden berteriak lantang setengah marah yang kemudian langsung disambut gemuruh cacian dan makian dari rakyat yang juga marah besar pada Sang Presiden.
    Atmo terus berjalan menjauhi Sang Presiden dan keramaian yang ada di sekitarnya menuju masjid Istiqlal di seberang jalan. Jalanan begitu lenggang dan sepi, tidak nampak satu kendaraan pun yang berderu menembus jalanan di sore itu. Nampak semua orang telah meninggalkan aktivitasnya masing-masing untuk menyaksikan kejadian paling bersejarah di tahun 2045 ini. Rasanya belum lama Atmo tertawa bersama sahabatnya di teras rumah sambil membicarakan masa depan negeri ini.

    BalasHapus
  103. lanjutan cerpen

    Delapan tahun yang lalu pada suatu senja di waktu yang sama dengan saat ini, pernah Sang Presiden berkunjung ke rumahnya di Bandung. Teras mungil berukuran 3m x 2.5m dengan dua kursi rotan mungil, sebuah meja duduk dan dua buah cangkir kopi menjadi saksi awal pembentukan Indonesia baru yang direncanakan kedua calon pahlawan yang berjiwa muda itu. Sinar merah matahari sore masuk diam-diam lewat celah pohon cemara di trotoar pekarangan depan rumah. Pohon-pohon cemara itu berbaris rapi dengan tinggi yang hampir sama dan masing-masing berjarak satu atau dua hasta satu sama lain. Tidak ada pagar besi di pekarangan rumah Atmo, hanya tanaman perdu setinggi pinggang orang dewasa yang membatasi wilayah rumahnya dengan bahu jalan. Maklum, tidak ada yang berani berbuat macam-macam apalagi mencuri di komplek dinas hunian para perwira senior TNI AU itu. Di sisi selatan tembok rumah Atmo, terlihat beberapa tanaman bonsai tua yang sudah tidak lagi nge-trend masih meliuk-liukan batangnya di dalam pot-pot keramik cina dengan motif naga dan barong. Sembilan buah bonsai itu dipamerkan di susunan batu alam berundak yang dialiri air sehingga tampak warna kemerahan lembayung senja memantul dari bebatuan pipih itu. Bonsai-bonsai kecil dengan angkuhnya memancarkan keindahan yang luar biasa lewat strukturnya yang unik, seakan memanggil setiap manusia yang melihatnya untuk memiliki setiap lekuk indah batangnya. Tidak ada satu pun bunga warna-warni yang tampak menghiasi hamparan rumput jepang di halaman rumahnya. Namun hal tersebut tidak mengurangi satu pun keindahan dari pekarangan rumah marsekal muda itu.
    Di sana Sang Presiden mengungkapkan rencana-rencana kebijakan yang akan diambilnya dalam lima tahun ke depan. Segera setelah ia dilantik menjadi presiden. Saat itu dia hanyalah seorang kandidat calon presiden yang tidak terlalu diunggulkan dan Atmo pun belum menjadi seorang menteri, hanya seorang marsekal muda yang memiliki semangat perubahan. Darinyalah Atmo belajar banyak tentang hakikat kepemimpinan, dan darinya juga ia mendapatkan keberanian untuk merealisasikan idealismenya. Maka ketika Sang Presiden menceritakan impiannya atas Indonesia dan apa yang akan dilakukannya ketika menjadi presiden nanti, Atmo langsung mendukungnya.
    “Benar Mo, kamu siap dukung aku?“
    “Dengan segenap jiwa raga Bang” Atmo memang menghormati Sang Presiden dengan memanggilnya ‘Abang’ walaupun umur mereka hanya terpaut satu bulan kurang lima hari. Bahkan zodiak mereka pun sama, meskipun keduanya percaya bahwa masalah tidak akan selesai dengan membaca ramalan asmara di majalah anak umur belasan. Bagi mereka, zodiak hanyalah suatu pembenaran bagi para kaum fatalis yang malas berusaha.
    “Kalau aku jadi presiden Mo, aku mau kamu yang menjadi menteri pertahananku, aku butuh nasehat-nasehat bijakmu Mo.”
    “Alah, aku tidak sebijak itu kok Bang, lagian kalo cuma butuh nasehat kenapa tidak minta paranormal saja jadi menteri Abang? Hehe..” Atmo tertawa renyah sambil menyeruput kopi manisnya.
    “Yah, tidak cuma itu toh Mo, aku juga butuh perlindungan darimu, kamu kan marsekal, pasti punya banyak anak buah. Anak buahmu kan badannya gede-gede kayak bodyguard, yakin deh tidak bakalan ada yang berani ganggu aku. Hahaha..”
    “Ah, ngawur!!” Keduanya kemudian terkekeh-kekeh dan terus mengobrol hingga matahari terbenam di sebuah atap rumah tingkat dua bergaya minimalis, atau paling tidak yang terlihat demikian. Karena setelah melewati atap rumah itu, matahari tidak lagi tampak di mata kedua lelaki empat puluhan itu, yang tersisa hanya lembayung kemerahan yang perlahan-lahan tertutupi oleh gelapnya malam.
    Setelah adzan magrib berkumandang keduanya menuju masjid terdekat. Mereka sholat berjamaah disana, dan dilanjutkan hingga sholat isya selesai. Selama menunggu isya di masjid, keduanya melakukan pembinaan kecil-kecilan kepada tujuh remaja masjid yang berumur dua puluhan dengan menceritakan kisah kaderisasi ideal yang dilakukan oleh sosok Hasan Al Bana, tokoh pergerakan yang dikagumi oleh kedua lelaki paruh baya itu.

    BalasHapus
  104. lanjutan cerpen

    Waktu kini sudah menunjukkan pukul delapan belas tepat, ini adalah waktunya. Di sudut teras masjid Istiqlal Atmo tersungkur dalam sujud memohon pengampunan sekaligus mengucap rasa syukur. Air matanya mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah sembab. Ia menangis sesenggukan. Sulit baginya mengendalikan nafasnya saat mengingat kembali wajah sahabatnya itu. Bagaimana dia begitu mencintai negeri ini, bagaimana dia bercerita tentang mimpi-mimpinya, dan juga setiap kelakar serta canda yang sering dilakukannya saat menyeruput kopi manis sambil berdiskusi berdua. Dalam lima tahun pertama dia mendukung sepenuh hati keputusan-keputusan radikal sahabatnya dengan menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menjaga kedaulatan Negara Indonesia dengan sepenuh hati. Dan pada saat Sang Presiden terpilih lagi di lima tahun kedua ia masih setia menjadi menteri di kabinet Sang Presiden. Atmo berjuang bersama Sang Presiden menghalau siapa saja yang mencoba mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun yang paling membuat Atmo perih adalah kenyataan bahwa saat ini adalah sahabatnya itu sendiri yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan yang lain. Pada tahap ini dia harus memilih antara sahabat atau negerinya. Dan Atmo tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat dengan membela negerinya, Indonesia Raya tercinta. Maka setelah MPR menyatakan Sang Presiden bersalah dan dinyatakan sebagai pemberontak yang hendak berbuat makar, dia sendirilah yang dengan mengatasnamakan kestabilan keamanan NKRI telah mengusulkan hukuman mati secara terbuka di depan rakyat banyak agar tidak ada lagi seorang pun yang berani menggoyang pancasila. Itu adalah falsafah hidup Indonesia, acuan negara yang sudah ditancapkan oleh para founding father Indonesia selama seratus tahun lamanya. Dan selama Menteri Pertahanan dan Keamanan Marsekal Andiro Setyoatmodjo masih hidup, tak akan seorang pun dibiarkan dengan tenang mengobrak-abrik Indonesia.
    Kini gelap telah menggantikan merah, waktu eksekusi yang ditetapkan telah lewat dua menit. Matahari pun telah membenamkan wajahnya melalui sela-sela gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Sayup-sayup suara burung menghilang berganti teriakan lirih seorang manusia keblinger yang mendamba kejayaan dan kemakmuran. Seorang yang berani meneriakan visinya dan mengacungkannya tinggi-tinggi di tengah alam Indonesia yang masih bermental kerdil. Teriakan itu berasal dari tenggorokan seorang manusia yang sudah hampir habis jatah hidupnya tanpa bisa mewujudkan mimpinya. Itulah teriakan putus asa sekaligus penuh harap seorang anak manusia.

    BalasHapus
  105. “JAYALAH INDONESIAKU… !!!” dari kejauhan terdengar pekikan Sang Presiden membahana memenuhi seluruh lapangan Monas. Semangatnya bahkan meluap keluar membanjiri seluruh kampung-kampung pinggiran kota Jakarta kemudian hingga ke seluruh pelosok terpencil negeri Indonesia Raya ini. Seluruh orang yang menyaksikan detik-detik itu terkesiap dalam satu sapuan. Hilang seluruh ingatan tentang tragedi PKI pada tahun 1966, hilang seluruh ingatan tentang kekacauan reformasi pada tahun 1998 dan hilang seluruh ingatan tentang krisis energi dan ekonomi besar-besaran yang menyebabkan 7 tahun Indonesia mengalami vakum kekuasaan pada tahun 2025. Belum pernah lagi rakyat Indonesia mendengar pekikan pengobar semangat seperti ini selama seratus tahun terakhir sejak Bung Tomo mengobarkan Surabaya dengan api semangat yang tak pernah padam dalam hati arek-arek suroboyo pada hari bergugurannya para pahlawan. Sesungguhnya rakyat Indonesia masih sangat rindu untuk dikobarkan semangatnya. Dan pada detik itu angin masih enggan untuk berhembus.
    “DORR..DORR..”
    Terdengar sepuluh suara tembakan dikeluarkan dari sepuluh senapan laras panjang pada waktu yang hampir bersamaan. Dan pekikan itu akhirnya padam sebelum waktunya.
    Rakyat kecil tidak pernah mengerti apa itu ideologi, kenapa harus Pancasila, syariat, kapitalis atau sosialis? Namun yang jelas, selama besok masih bisa tersedia sepotong tempe dan sebakul nasi di meja makan, ideologi apapun tidak jadi masalah. Sang Presiden macam apapun asalkan mau memberi makan rakyatnya adalah presiden yang baik menurut mereka. Entah siapa Sang Presiden itu, bisa aku, kamu, atau anak lain yang tumbuh dengan membawa visi.
    Sumber : http://www.kolomkita.com/2008/09/26/presiden-padang-ilalang/

    BalasHapus
  106. naskah drama
    tema : patriotisme
    judul : Presiden Ilalang

    Pejabat teras pemerintahan :“… Tidak seorang pun aku ijinkan menggoyang Indonesiaku ini, akan aku pastikan garudanya tetap mengangkasa di langit Indonesia, akan aku pastikan benderanya terus berkibar meski aku sendiri yang harus mengereknya di puncak tertinggi Indonesia, dan akan aku pastikan setiap silanya mengakar mendarah daging dalam setiap laku dan gerak bangsa ini. Itu adalah janjiku, dan aku tidak akan pernah memaafkan manusia yang mencoba-coba mengancam kestabilan keamanan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.”

    Di ruangan sidang hadir juga beberapa pejabat tinggi non legislatif yang diundang untuk ikut merumuskan keputusan penting itu. Ruangan juga penuh sesak oleh beberapa pejabat lainnya yang sebenarnya tidak diundang tetapi memaksa untuk ikut dalam sidang tersebut. Di depan ruang sidang tersebut duduk Ketua MPR, Prof. Dr. Abu Sufyan Maltatuliu yang terlihat kebingungan menghadapi begitu banyak emosi yang tercampur dalam ruang sidang.

    Ketua Fraksi Utusan Daerah :“Interupsi Bapak Ketua!! Saya sangat tidak setuju dengan keputusan pertama tadi, tidak bisakah hal itu dipertimbangkan sekali lagi? Bukankah Indonesia bisa mengangkat harga dirinya di mata dunia berkat seluruh usaha dan kerja kerasnya juga?”

    Salah seorang anggota DPR tiba-tiba langsung menimpali tanpa ijin. Nampak jelas dari intonasinya yang tinggi, bahwa dia sangat marah dan kecewa dengan pernyataan Dr. Martinus Kombe.

    Salah seorang anggota DPR : “Maaf Saudara Martinus, harusnya anda tahu, bahwa yang dilakukannya itu adalah kejahatan sekaligus penghinaan tertinggi bagi Indonesia, tidak ada kompromi lagi bagi kejahatan semacam itu. Apa anda mentolerir tindakan semacam itu? Atau anda jangan-jangan memang berkomplot dengannya, hah?”

    Ketua MPR :“Tenang, tenang semuanya!! Saya tahu kalau kita semua capek, sudah dua puluh jam hari ini kita di ruang sidang, tapi tolong logika tetap di atas emosi. Dan untuk Pak Martinus, sepertinya anda masih belum menyadari bahwa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.Sekarang ini kita sedang mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya agar tidak ada lagi orang yang berani meniru apa yang sudah dilakukannya saat ini.”

    Ruangan sidang hening sesaat, Dr. Martinus Kombe pun diam seribu bahasa. Bukannya dia tidak tahu harus berbicara apa, namun dia takut dianggap antek atau berkomplot dan menerima perlakuan yang sama dengan orang itu.

    “Interupsi Pak Ketua, saya rasa saya tahu hukuman apa yang pantas…” tiba-tiba pejabat berbadan tegap itu sekali lagi angkat bicara.

    BalasHapus
  107. lanjutan naskah drama

    Waktu telah menunjukkan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima, masih lima belas menit dari waktu yang telah ditetapkan. Angin yang berhembus di Lapangan Monas terasa sangat lambat, seakan enggan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah rapat akbar rakyat Indonesia pertama kalinya pada masa awal kemerdekaan.
    Sang Presiden berjalan memasuki selasar Monumen Nasional dengan mata yang sembab dan langkah yang tidak lagi tegap. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak teratur, kadang tiga jam, dua jam bahkan pernah tidak tidur seharian. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa masalah yang ditimbulkan akibat tindakannya itu bisa menjadi sedemikian berat. Kepalanya terasa pusing, dan matanya yang panas terus meminta didinginkan lewat buaian kasur. Tapi tidak mungkin baginya untuk beristirahat, Sang Presiden sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, bahkan ia tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri.
    Di sudut podium terlihat menteri pertahanan dan keamanan Marsekal Andiro Setyoatmodjo atau yang biasa ia panggil dengan nama kecil ‘Atmo’ berdiri memandangnya dengan mata yang nanar. Sang presiden bergetar hebat saat tahu Atmo ada di sana, ia menghampirinya dengan wajah setengah tersenyum. Ia tahu kalau Atmo tentu mengerti akan tindakannya. Ia kenal betul siapa sosok Andiro Setyoatmodjo, ia adalah seorang marsekal muda yang terbuka dengan perubahan, berpandangan jauh ke depan, pemaaf dan penyabar, namun juga sekaligus determinatif.Atmo adalah satu dari sedikit orang yang mampu memahami jalan pemikirannya.

    Sang Presiden berharap bahwa Atmo masih mau mendukungnya. Walaupun itu sudah agak terlambat, namun Sang Presiden tidak putus asa.

    Sang Presiden :“Mo, kamu tahu aku yang benar !! Negeri ini butuh visi, kita harus dobrak semua belenggunya, kalau Pancasila hanya jadi belenggu maka kita dobrak juga sekalian. Aku tahu Mo, suatu saat negeri ini bisa menjadi negara adikuasa, aku tahu itu Mo…”

    Atmo : “Tidak Bang, Abang salah! Indonesia adalah Pancasila. Tidak ada satupun yang boleh memisahkan keduanya. Indonesia tanpa pancasila hanyalah raga tak bernyawa. Dan aku tidak rela nusantaraku kehilangan nyawanya.”

    Atmo dapat melihat raut kecewa di wajah sahabatnya itu, namun ia yakin seratus persen dengan apa yang dikatakannya. Tidak ada yang boleh menurunkan Pancasila dari tahtanya, tidak juga Sang Presiden itu sendiri.

    Sang Presiden setengah berbisik :“Mo, bukan Pancasila yang kita butuhkan!! Pancasila itu ideologi banci. Indonesia negeri yang besar, negeri yang mumpuni. Tidakkah kamu lihat apa yang telah kita lakukan dalam delapan tahun terakhir? Kita bangun angkatan laut dan udara yang tanguh sehingga negeri ini berdaulat, kita tiru keberanian Venezuela menasionalisasi perusahaan kapitalis asing, kita gratiskan kesehatan dan pendidikan, Kita adopsi kebijakan Cina menggantung para koruptor, kita tantang Amerika seperti Kuba, kita tolak semua pinjaman luar negeri, kita juga deklarasikan pada dunia bahwa Indonesia tidak berhutang satu sen pun pada siapapun. Kita angkat harga diri Indonesia. Kita telah menang menantang kapitalisme. Dan kamu pikir sistem apa yang kita terapkan dalam delapan tahun ini?! Bukan Pancasila, itu sosialis Mo!! Dari sana kita dapat keberanian itu. Di kepalaku ini sudah ada cap Seorang-Sosialis-Visioner-yang-bertekad-memberi-kejayaan-bagi-Indonesia, bukan kapitalis atau pancasilais.”

    Atmo : “Ya, dan Abang lihat sendiri akibatnya bagi negeri kita saat ini: embargo militer, embargo ekonomi, dianggap teroris lah, anti-demokrasi lah, gak karu-karuan negeri kita sekarang! Apalagi Abang deklarasikan sosialis menggantikan pancasila. Tidak heran kini Abang dianggap sebagai pemberontak gila! Rakyat kita sudah cukup menderita…”

    BalasHapus
  108. Lanjutan naskah drama

    Presiden berkata :“DIAM MO, DIAM!! Itu memang harga yang harus dibayar untuk membeli kembali harga diri kita. Lagipula kamu tahu apa tentang penderitaan? Akulah anak yang dibesarkan dalam penderitaan, bukan kamu! Akulah anak yang kelaparan selama 16 tahun di desa terbelakang tanpa listrik, bukan kamu! Akulah anak yang telah dikecewakan oleh negeri ini, bukan kamu! Tapi aku masih cinta negeri ini. Aku memaafkan negeri ini… Hingga pada suatu senja di bukit depan gubuk reyot orang tuaku, di sebuah padang ilalang, aku berjanji bahwa aku akan membawa visi bagi negeri ini. Akan aku wujudkan NEGARA ADIDAYA INDONESIA RAYA!!”

    Atmo berkata dengan sangat tenang dan jelas:“Abang sudah kelewat gila, bukan cinta yang Abang bawa, tapi petaka. Biarlah negeri ini dalam ketentraman. Kita bangsa Indonesia tidak perlu kejayaan, cukup kesejahteraan dan kemakmuran.“
    “Lemah kamu! Sia-sia aku membagi mimpiku denganmu …”
    “Aku kagum dengan mimpi-mimpimu Bang, tapi mengganti ideologi? Itu gila!! Sama saja Abang mencabut nyawa Indonesia.”
    “Aku tahu yang terbaik bagi Indonesia Mo. Aku ini orang Indonesia, aku bangga menjadi orang Indonesia , aku CINTA Indonesia.”
    “Sudah Bang, cukup! Biarlah rakyat yang menentukan. Aku sudah tidak mau tahu lagi tentang ide gila Abang itu.” Atmo tidak sanggup lagi berdebat dengan sahabatnya

    “ATMO!! Dasar pengkhianat!!! Ingat Mo, suatu saat kamu akan mengakui kalau aku yang benar… Ingat itu!“ Sang Presiden berteriak lantang setengah marah yang kemudian langsung disambut gemuruh cacian dan makian dari rakyat yang juga marah besar pada Sang Presiden.

    Atmo terus berjalan menjauhi Sang Presiden dan keramaian yang ada di sekitarnya menuju masjid Istiqlal di seberang jalan. Jalanan begitu lenggang dan sepi, tidak nampak satu kendaraan pun yang berderu menembus jalanan di sore itu. Nampak semua orang telah meninggalkan aktivitasnya masing-masing untuk menyaksikan kejadian paling bersejarah di tahun 2045 ini. Rasanya belum lama Atmo tertawa bersama sahabatnya di teras rumah sambil membicarakan masa depan negeri ini.

    Delapan tahun yang lalu pada suatu senja di waktu yang sama dengan saat ini, pernah Sang Presiden berkunjung ke rumahnya di Bandung. Teras mungil berukuran 3m x 2.5m dengan dua kursi rotan mungil, sebuah meja duduk dan dua buah cangkir kopi menjadi saksi awal pembentukan Indonesia baru yang direncanakan kedua calon pahlawan yang berjiwa muda itu.

    BalasHapus
  109. lanjutan naskah drama

    Namun yang paling membuat Atmo perih adalah kenyataan bahwa saat ini adalah sahabatnya itu sendiri yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan yang lain. Pada tahap ini dia harus memilih antara sahabat atau negerinya. Dan Atmo tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat dengan membela negerinya, Indonesia Raya tercinta. Maka setelah MPR menyatakan Sang Presiden bersalah dan dinyatakan sebagai pemberontak yang hendak berbuat makar, dia sendirilah yang dengan mengatasnamakan kestabilan keamanan NKRI telah mengusulkan hukuman mati secara terbuka di depan rakyat banyak agar tidak ada lagi seorang pun yang berani menggoyang pancasila. Itu adalah falsafah hidup Indonesia, acuan negara yang sudah ditancapkan oleh para founding father Indonesia selama seratus tahun lamanya. Dan selama Menteri Pertahanan dan Keamanan Marsekal Andiro Setyoatmodjo masih hidup, tak akan seorang pun dibiarkan dengan tenang mengobrak-abrik Indonesia.

    “JAYALAH INDONESIAKU… !!!” dari kejauhan terdengar pekikan Sang Presiden membahana memenuhi seluruh lapangan Monas. Semangatnya bahkan meluap keluar membanjiri seluruh kampung-kampung pinggiran kota Jakarta kemudian hingga ke seluruh pelosok terpencil negeri Indonesia Raya ini. Seluruh orang yang menyaksikan detik-detik itu terkesiap dalam satu sapuan.Belum pernah lagi rakyat Indonesia mendengar pekikan pengobar semangat seperti ini selama seratus tahun terakhir sejak Bung Tomo mengobarkan Surabaya dengan api semangat yang tak pernah padam dalam hati arek-arek suroboyo pada hari bergugurannya para pahlawan. Sesungguhnya rakyat Indonesia masih sangat rindu untuk dikobarkan semangatnya. Dan pada detik itu angin masih enggan untuk berhembus.

    “DORR..DORR..”
    Terdengar sepuluh suara tembakan dikeluarkan dari sepuluh senapan laras panjang pada waktu yang hampir bersamaan. Dan pekikan itu akhirnya padam sebelum waktunya.
    Rakyat kecil tidak pernah mengerti apa itu ideologi, kenapa harus Pancasila, syariat, kapitalis atau sosialis? Namun yang jelas, selama besok masih bisa tersedia sepotong tempe dan sebakul nasi di meja makan, ideologi apapun tidak jadi masalah. Sang Presiden macam apapun asalkan mau memberi makan rakyatnya adalah presiden yang baik menurut mereka. Entah siapa Sang Presiden itu, bisa aku, kamu, atau anak lain yang tumbuh dengan membawa visi.

    Sumber : http://www.kolomkita.com/2008/09/26/presiden-padang-ilalang/

    BalasHapus
  110. Nama : Gabriella/14
    Tema: Kepedulian sosial
    Kiran Si Gadis Panti
    (www.kolomkita.com) naskah asli
    Aku menutup diaryku. Jam dua belas malam tepat. Tepat hari ulang tahunku yang ke 16. Merayakannya sendiri untuk yang ke 16 kalinya. Tanpa kue ulang tahun untuk yang ke 16 kalinya. Tidak mendapat ucapan dari orang tua untuk yang ke 16 kalinya. Hanya ibu kepala pantilah yang tidak pernah absen memberikan ucapan selamat kepadaku. Ya, aku memang berbeda dengan remaja lainnya. Remaja yang bisa menjalani masa-masa remajanya dengan bahagia. Aku hanyalah seorang remaja yang dipelihara oleh sebuah panti asuhan di kotaku. Di sanalah aku tumbuh dan mengenal dunia. Belajar berbicara dan berjalan. Mengerjakan setiap tugas sekolah yang diberikan guruku.
    Aku membalikkan badanku tidur telentang. Diaryku kupeluk di dadaku.
    “Kenapa sih harus ada ulang tahun,” gumamku kesal.
    Setiap orang selalu menganggap hari dimana umurnya bertambah adalah hari yang bahagia. Tapi tidak bagiku. Hari ulang tahun hanyalah hari yang sangat menyebalkan buatku karena dihari ulang tahun itulah aku selalu menyesali sikap orang tuaku yang tega membuangku begitu saja. Hari ulang tahunku selalu mengingatkanku pada orang tuaku.
    Menurutku hidupku ini gak ada gunanya. Hidup anak-anak yang tidak diakui orang tuanya tidak ada gunanya. Semua yang seorang anak lakukankan sebenarnya cuma untuk kebahagiaan orang tuanya. Sekolah, selesai dengan nilai bagus, masuk universitas yang top, tamat dengan nilai tinggi, dapet kerja yang bagus, punya cowok yang baik dan terpelajar, dan akhirnya membina rumah tangga yang bahagia. Buat apa semuanya kalau bukan untuk membuat orang tua kita bangga. Lalu, yang selama ini aku lakukan itu untuk siapa. Untuk diriku sendiri? Rasanya gak deh. Aku bahkan gak suka dengan diri aku sendiri.
    “Kiran……….” Aku membuka mataku dan langsung tersentak.
    “Iya, ntar aku bangun.” Aku mengucek mataku, beranjak dari tempat tidurku dan membukakan pintu.
    “Waduh. Kok baru bangun. Teman-teman kamu yang lain sedang membersihkan halaman di depan.” Ibu kepala panti berdiri berkacak pinggang di depanku.
    “Maaf, Bu. Aku tadi malam tidurnya kemalaman.”
    Bu kepala panti menggelengkan kepalanya.
    “Anak gadis mbok jangan keseringan tidur malam-malam. Mentang-mentang libur. Ya sudah. Kamu cepat mandi sudah itu langsung ke halaman bantu teman-teman kamu.”
    Aku menganggukkan kepalaku dan membalikkan badan.
    “Oh iya, Kiran…”
    Aku menghentikan langkahku Ibu kepala mendekati lalu memelukku.
    “Selamat ulang tahun ya.” Aku hanya menganggukkan kepalaku.
    “Nah….” Ibu kepala melepaskan pelukkannya dariku. “Cepat mandi sana.” Aku memandangnya dan segera berlari ke kamar mandi.

    BalasHapus
  111. Aku menghela nafasku berat. Aku melihat sekelilingku. Semua anak tampak bahagia membersihkan halaman panti ini. Mereka bersenda gurau satu sama lain. Aneh… padahal saat ini aku yang sedang berulang tahun. Kok malah mereka yang merasakan kebahagiaan. Sedangkan aku, duduk sendirian di tanah sambil mencabuti rumput.
    Aku memang tidak mempunyai teman di sini. Bukan karena mereka sombong atau tidak mau berteman denganku. Beberapa kali mereka mencoba untuk mengajakku ngobrol tapi aku tetap tidak bisa dekat dengan mereka. Aku memang tidak banyak bicara makanya mereka lebih memilih membiarkan aku sendirian. Demikian juga di sekolahku. Rasanya di dunia ini aku hanya sendirian deh.
    “Kiran….” Aku mendongakkan kepalaku. Ibu kepala berdiri di hadapanku. Di antara semua penghuni dunia ini hanya ibu kepala asramalah yang tidak pernah bosan untuk mengajakku berbicara. Mungkin karena itu lama-kelamaan aku mulai merasa dekat dengannya.
    “Kenapa kamu tidak bergabung dengan mereka?” tanya Bu Kepala kemudian.
    Aku hanya diam memandang Ibu Kepala. Ibu Kepala tersenyum. Dia menarik tanganku dan mengajakku duduk di kursi.
    “Kamu sudah besar Kiran. Udah 16 tahun. Gak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Semakin kita dewasa maka kita akan semakin memerlukan orang lain.”
    “Buat apa manusia membutuhkan orang lain kalo ternyata orang yang mereka butuhkan tidak ada di dekat mereka,” jawabku kasar.
    Ibu Kepala nampaknya mengerti apa maksud perkataanku.
    “Tidak hanya orang tua yang kita butuhkan di dunia ini. Kita juga butuh sahabat, orang yang mengerti kita, bahkan pacar. Kamu juga pasti begitu,” jelas Ibu Kepala lagi.
    Aku menggelengkan kepalaku. “Aku gak mau ditinggalin lagi.”
    “Kiran…….”
    “Bu, sudahlah. Ibu sendirikan yang bilang kalo aku sudah besar. Biar aku sendiri yang membuat keputusan dalam hidupku,” suaraku meninggi.
    Ibu Kepala nampak terkejut dengan reaksiku. Aku langsung menyadarinya dan emosiku kembali mereda.
    “Maaf, Bu. Aku gak bermaksud bicara keras sama Ibu. Selama ini hanya Ibu yang ada di dekat aku. Hanya Ibu yang tidak pernah bosan mendekati aku walaupun aku tidak banyak bicara. Aku bukannya tidak ingin punya teman yang bisa mengerti aku. Tapi setiap aku mengatakan kalo aku tinggal di panti asuhan mereka langsung pergi meninggalkan aku. Dalam sekejap temanku yang banyak langsung hilang semuanya.”
    Ibu Kepala Asrama tersenyum.
    “Tidak semua orang seperti itu, Kiran. Cobalah buka hati kamu untuk dunia ini. Lupakanlah rasa benci kamu kepada orang tua kamu. Karena itu hanya akan menyiksa kamu.”
    Aku tersenyum kecut.
    “Ya aku tau. Terima kasih atas sarannya, Bu.” Aku meninggalkan Ibu Kepala Asrama begitu saja dan kembali melanjutkan pekerjaanku.
    Tidak mudah menghilangkan perasaan benci ini. Kalo bisa sudah dari dulu aku lakukan. Setidaknya aku bisa tidur dengan tenang kalo rasa benci itu kuhapuskan. Walaupun Ibu Kepala sangat peduli padaku dia tetap tidak akan mengetahui bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Dia tidak akan bisa merasakannya, tidak akan ada seorang pun yang bisa merasakannya.
    Aku berlari menuju ruang makan.
    “Maaf aku telat,” gumamku ketika melihat semua anak panti yang lain sudah berkumpul di ruang makan. Semua orang memandangku. Selalu begitu. Padahal aku sama seperti mereka, sama-sama ditinggal orang tua. Jadi kenapa aku selalu menjadi objek yang selalu diperhatikan.
    Aku memperbaiki posisi tas sekolahku. Aku menduduki kursi yang memang sudah ditentukan sebagai tempat dudukku setiap makan. Aku menyendok nasi gorengku dan makan dalam diam. Anak-anak yang lain nampak sedang asik berbicara dengan teman-temannya yang lain. Ibu Kepala pun nampaknya sedang asik berbicara dengan Yanti, salah satu penghuni panti ini. Hanya akulah yang sendiri.

    BalasHapus
  112. Aku langsung berlari keluar kelas setelah bel tanda jam sekolah berakhir berbunyi. Rasanya aku pengen cepat-cepat keluar dari sini. Sekolah adalah tempat yang sangat tidak aku sukai. Bukan karena aku tidak suka belajar. Aku suka belajar. Tapi, disini kesendirianku benar-benar terasa dan rasanya dadaku selalu saja sesak setiap merasakan kesendirian itu.
    Aku berjalan di sepanjang trotoar. Cukup jauh memang jarak dari sekolah ke halte bis. Sebenarnya aku bisa si naik angkot. Tapi, untuk menghemat uang aku lebih memilih jalan kaki. Namanya juga anak panti, apapun terbatas. Lain halnya kalo aku punya orang tua.
    Aku menghentikan langkahku ketika melihat ada anak kecil yang terjatuh karena diserempet motor. Tidak ada yang menolongnya. Mungkin karena tidak parah. Aku langsung berlari ke arahnya. Walaupun begini aku tetap suka menolong.
    “Kamu gak apa-apa?” tanyaku pada anak kecil itu.
    Anak itu mendongakkan kepalanya.
    “Nggak, Kak. Cuma lecet aja,” jawabnya.
    Aku berjongkok di sebelahnya. Aku memegang tangannya yang luka.
    “Darahnya banyak juga ya,” gumamku.
    Aku mengeluarkan saputangan dari dalam tasku dan menutupi lukanya.
    “Aku gak pandai mengobati. Setidaknya sampai kamu mengobati luka kamu, saputangan ini bisa menghentikan darahnya.”
    Anak itu menerima saputangan dariku dan tersenyum.
    “Dari sekian banyak orang yang lewat hanya Kakak yang menolong aku. Makasih ya, Kak.” Anak itu beranjak dari duduknya. Membersihkan celananya dan pergi meninggalkan aku.
    Aku hanya mengangkat bahuku dan melanjutkan langkahku menuju halte.
    ***
    Aku terdiam ketika melihat gadis itu menolong anak kecil yang bahkan tidak dikenalnya itu. Tidak kusangka ternyata dia gadis yang baik hati. Walaupun di sekolah dia nampaknya tidak peduli dengan siapa-siapa. Aku tersenyum sendiri.
    “Gimana sih caranya buat dekatin lu???” gumamku kemudian.
    Aku masih memperhatikan gadis itu dari dalam mobilku. Dia memberikan saputangannya kepada anak itu. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.
    Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku bisa suka padanya. Padahal dia kuper banget di sekolah. Mungkin itu bermula ketika aku melihatnya memberikan makanannya kepada anak kucing di belakang gedung sekolah. Gara-gara itu niatku untuk bolos sekolah langsung hilang seketika. Sejak itu aku selalu mengikutinya setelah pulang sekolah. Tidak kusangka ternyata dia tinggal di panti asuhan. Dia memang gadis yang unik.
    Aku langsung menghidupkan mesin mobilku ketika dia kembali berjalan. Kali ini aku memutuskan untuk menawarkan tumpangan kepadanya. Mungkin ini bisa menjadi permulaan yang bagus buat bisa lebih dekat dengannya.
    “Hi…….” Aku membuka kaca mobilku. Dan menyapa gadis itu. “Kiran kan???” tanyaku basa-basi.
    Gadis itu menghentikan langkahnya. Dia memandangku bingung. Aku tersenyum.
    “Gue Raka. Teman sekelas lu,” jawabku. Masa sih dia gak kenal aku.
    Gadis itu tetap diam.
    “Mau pulang ya? Yuk gue anter,” tawarku.
    Kiran langsung menggelengkan kepalanya.
    “Kenapa? Ayolah….. untung-untung menghemat ongkos.”
    Kiran nampak berpikir sejenak. Nampakanya dia setuju dengan tawaranku karena dia langsung membuka pintu mobilku dan duduk di sampingku. Kuperhatikan dia dari sudut mataku. Ternyata Kiran lebih manis kalo dilihat dari dekat.
    “Aku tinggal di panti asuhan Bunda Kasih. Kamu tau?????”
    Aku kaget. Gak kusangka dia langsung menyebutkan tempat tinggalnya. Biasanya si cewek suka malu memberitahu tempat tinggalnya kalo mereka tinggal di panti asuhan. Tapi, kenapa gadis ini malah santai saja.
    “Hei, kamu dengar ga sih? Atau jangan-jangan kamu gak tau.”
    Gadis itu memandangku tajam. Aku terkesiap.
    “Ya….. Ya.. aku tahu.”
    Jelas dong aku tahu. Sudah hampir seminggu ini dia jadi bahan untitan aku.

    BalasHapus
  113. ***
    Aku membuka pintu kamarku dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Semua anak panti langsung memandangiku ketika mengetahui kalo aku diantar pulang dengan mobil mewah. Ibu Kepala juga nampak kaget. Aku hanya mengangkat bahuku ketika Ibu Kepala memandangiku dan langsung pergi ke kamarku setelah mengucapkan terima kasih kepada cowok itu.
    Aku tahu dia Raka. Aku hafal semua nama teman sekelasku. Tapi yang tidak aku tahu, kenapa tiba-tiba dia menawarkan tumpangan kepadaku. Seingatku aku tidak pernah bertegur sapa dengannya.
    Sebenarnya, tawarannya itu pengen aku tolak. Tapi mengingat menghemat ongkos seperti yang dikatakannya, rasanya sayang banget menolak.
    “Yah…. yang penting aku selamat sampai rumah tanpa kurang sedikitpun,” gumamku.
    ***
    Aku termangu di dalam kamarku. Aku teringat cerita ibu kepala panti tempat Kiran tinggal. Aku sempat sebal karena dia meninggalkan aku begitu saja setelah mengucapkan terima kasih tanpa menawarkan aku untuk singgah. Padahal aku sangat ingin mengobrol dengannya.
    Tidak kusangka ternyata kisah hidup gadis itu begitu menyedihkan. Hal itulah yang menyebabkan dia tidak bisa membuka dirinya dengan orang lain. Tapi, menurutku satu masalah tidak bisa kita jadikan patokan untuk membenci kehidupan. Walau bagaimanapun hidup itu tetap indah dan harus dinikmati.
    Pokoknya aku harus usaha agar bisa yah… paling tidak menjadi temannya.
    ***
    “Kiran……….” Aku menghentikan langkahku ketika ada yang memanggil namaku. Aku memandang Raka berlari mendekatiku.
    “Jalan lu cepat ya,” katanya sambil terengah-engah.
    “Kenapa?” tanyaku. Aku memang paling tidak suka diganggu.
    “Nggak. Gue Cuma mau ngajak lu pulang bareng lagi nanti,” jawabnya.
    Aku diam dan langsung melanjutkan langkahku menuju kelas. Sekolah memang masih sepi. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa bangun terlalu pagi. Tahu begini aku lebih memilih memperlambat keberangkatanku ke sekolah daripada harus bertemu cowok ini lagi.
    “Kiran….” Raka menarik tanganku. Aku langsung melepaskannya dengan kasar.
    “Aku gak tau mau kamu apa. Tapi yang jelas aku gak butuh lagi tumpangan kamu,” jawabku tegas.
    “Kiran, lu gak bisa dong menjadikan ditinggal orang tua lu sebagai alasan buat menjauhi semua orang.”
    Aku menghentikan langkahku dan memandang Raka.
    “Darimana kamu tahu?” tanyaku.
    Raka nampak menyadari kesalahan omongannya.
    “Eh… itu…..itu………”
    “Cepat jawab!!!!” desakku.
    “Kemaren gue sempat cerita-cerita sama ibu kepala panti lu,” jawab Raka.
    Aku menarik nafasku berat.
    “Kamu tidak punya hak buat ikut campur dalam masalah aku. Jangan sok jadi pahlawan deh.”
    Raka mengernyitkan dahinya.
    “Siapa yang mau sok jadi pahlawan. Gue cuma mau berteman dengan lu aja.”
    “Kenapa?????!!!” tanyaku dengan suara keras. “Karena kamu kasihan sama aku. Karena kamu kasihan aku tinggal di panti asuhan dan mengetahui cerita hidup aku secara komplit,” lanjutku lagi.
    Raka nampak terkejut.
    “Gue gak bilang kaya gitu.”
    ”Sudahlah….. aku gak butuh teman.”
    Aku pergi meninggalkan Raka begitu saja.
    ***
    Tidakku sangka kalimat itu yang keluar dari mulut Kiran. Jujur, tuduhannya itu menyakiti hati aku. Padahal aku tulus ingin berteman dengannya. Bukan karena kasihan tapi karena dia baik hati. Itu aja.

    BalasHapus
  114. Aku langsung menarik tangan Kiran begitu saja.
    “Eh, apa-apaan ini????!!!” teriak Kiran.
    “Udah…. lu ikut aja.”
    “Tapi, sekolah,” lanjutnya lagi.
    “Lu benci sekolah kan.”
    “Siapa bilang????”
    Aku diam. Nampaknya gadis itu langsung menyadari siapa yang telah mengatakan semuanya kepadaku. Yah… siapa lagi kalo bukan ibu kepala pantinya.
    “Hari ini kita bolos aja dulu. Kita bersenang-senang.”
    “Aku gak butuh bersenang-senang,” jawabnya kesal.
    Aku mendorong Kiran masuk ke mobil.
    “Gue mau meperlihatkan betapa indahnya dunia ini tanpa harus dicemari oleh kisah menyedihkan lu.”
    Kiran terdiam. Mungkin dia lagi mencerna apa maksud perkataanku. Aku membawa Kiran berkeliling. Banyak hal yang ingin aku tunjukkan kepadanya.
    “Kiran, coba lu lihat wanita yang sedang duduk di trotoar itu.”
    Kiran memandang ke arah wanita itu.
    “Lu masih beruntung setidaknya orang tua lu menitipkan lu di panti asuhan, bukan di jalanan. Kalo di jalanan bisa dipastikan begitulah jadinya lu, gelandangan. Lu gak bakalan bisa merasakan nikmatnya sekolah seperti sekarang.”
    Kiran hanya diam. Matanya terpaku ke arah wanita itu. Aku kembali menjalankan mobilku.
    “Nah… coba lu lihat disana.”
    Kali ini Kiran mengarahkan matanya ke anak-anak sekolah yang sedang merokok di pinggir jalan.
    “Buat apa lu punya orang tua kalo ternyata orang tua lu malah gak bisa menjaga lu dan hanya membuat lu menjadi seperti mereka. Hanya sampah. Itu berarti orang tua lu punya alasan untuk menitipkan lu di panti asuhan setidaknya lu gak jadi kaya merekakan. Walaupun lu benci sekolah tapi lu tetap pergi ke sekolah. Lu tidak pernah bolos kan????”
    Kiran lansung menggelengkan kepalanya.
    “Bagus,” jawabku, “ini juga pertama kali gue bolos sekolah,” lanjutku lagi.
    Aku memandang Kiran. Nampaknya gadis itu menyadari sesuatu.
    “Ayo, masih banyak yang pengen gue perlihatkan pada lu.”
    Aku kembali menjalankan mobilku.
    ****
    Raka terus menunjuk sesuatu sepanjang jalan. Dan aku pun selalu terpaku pada ucapannya. Semuanya mengena di hatiku. Aku merasa seperti anak bodoh yang sedang diajari bagaimana sebenarnya dunia itu, kehidupan itu, dan sebagainya. Dan semua ucapannya itu terngiang-ngiang ditelingaku bahkan sampai malam harinya.
    Aku mengetuk pelan pintu kamar ibu kepala asramaku. Ini pertama kalinya aku pergi ke kamar wanita itu.
    “Kiran???!!!” Ibu Kepala tampak sangat terkejut ketika mengetahui siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
    “Aku ingin mengatakan sesuatu.”
    “Oh ya???!!!” Ibu Kepala nampak lebih terkejut. “Ya sudah ayo masuk.”
    Aku masuk ke dalam kamarnya dan duduk di atas tempat tidurnya.
    “Tadi aku bolos sekolah.” Aku langsung ke pokok bahasan. “Raka mengajakku berkeliling. Awalnya aku tidak mau tapi dia memaksaku. Ibu nampaknya sudah menceritakan semua kisahku kepada Raka. Dia bahkan tahu kalo aku benci sekolah.”
    Ibu kepala tersenyum.
    “Lalu dia mengajak kamu kemana?” tanyanya.
    Kali ini aku yang terkejut. Aku kira Ibu Kepala akan memarahiku karena sudah bolos sekolah.
    “Banyak hal yang sudah dia tunjukkan kepadaku. Tidak aku sangka ternyata lebih banyak orang yang hidupnya lebih menderita daripada aku.” Aku diam. Ibu Kepala pun nampaknya tidak berniat untuk memotong ceritaku.

    BalasHapus
  115. “Dia memperlihatkan walaupun hidup aku ini begitu menyedihkan tapi masih banyak terselip kebahagiaan di sana. Masih banyak keberuntungan yang berpihak sama aku. Aku tidak seperti gelandangan yang terbengkalai dijalanan dan aku gak seperti anak-anak nakal yang hanya menghabiskan uang orang tuaku.” Aku menarik nafasku sejenak.
    “Setelah aku pikir-pikir, mungkin memang jalan terbaik menitipkan aku di tempat ini. Karena disini aku mendapatkan orang tua yang begitu memperhatikan aku. Dia tidak pernah bosan untuk mengajakku berbicara walaupun dia tahu aku bukanlah tipe anak yang suka diajak ngobrol.”
    Ibu kepala panti kembali tersenyum.
    “Kamu tahu, Kiran. Dunia ini memang penuh dengan segala sesuatu yang sulit dimengerti oleh manusia. Kebahagiaan dan kesedihan bahkan kadang sangat sulit kita bedakan. Adakalanya kita merasa sangat bahagia padahal sebenarnya justru kitalah orang yang paling menyedihkan saat itu. Tapi, lepas daripada itu. Dunia ini begitu indah untuk kita lewati begitu saja tanpa melihat apa yang ada di dalamnya.”
    Aku menganggukkan kepalaku. Kini aku mulai mengerti. Aku mulai paham semuanya. Apa itu kehidupan, apa itu kebahagiaan dan kesedihan, dan apa itu kekurangan dan kelebihan. Walaupun aku memiliki kekurangan di dalam kehidupanku tapi ternyata disana juga terdapat kelebihan yang justru membuatku merasa menjadi lebih baik.
    “Sudah malam. Lebih baik kamu tidur. Besok sekolah kan???”
    Aku kembali menganggukkan kepalaku. Aku beranjak dari tempat tidur dan pergi menuju pintu.
    “Bu, terima kasih.”
    Ibu kepala tersenyum. Nampaknya dia menyadari inilah pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih dengan begitu tulus dari dalam hatiku.
    ***
    Aku begitu kaget ketika melihat Kiran berdiri di depan kelas sendirian. Dia langsung menghampiriku ketika aku datang. Tidak kusangka ternyata dia menungguku.
    “Terima kasih,” gumam Kiran.
    “Apa??” tanyaku gak dengar. Padahal sebenarnya dengar sih. Cuma suaranya kecil banget. Kalo mau bilang terima kasih itu suaranya harus keras.
    Kiran menarik nafasnya.
    “Terima kasih,” katanya. Kali ini lebih keras.
    Aku mengangkat alisku.
    “Buat???”
    “Buat semuanya. Berkat kamu aku menyadari sesuatu dan sesuatu itu sekarang sudah membuka mataku.”
    “Oh…….. santai aja kali.”
    Kiran hanya memandangku bingung. Dia menatapku.
    “Itu….. gue….. gue…..” Kali ini aku yang jadi salah tingkah. Kenapa hanya karena dipandangi gadis ini aku bisa begitu gak karuan.
    “Lu mau gak jadi cewek gue.”
    Kiran menyipitkan matanya.
    “Ya sudah, teman aja deh dulu. Lu mau ga????” tanyaku.
    Yah, teman dulu gak apa-apalah. Aku bakalan usaha terus untuk mendapatkan hati Kiran.
    Kiran memandangku lekat-lekat dan kemudian tersenyum. Baru kali ini aku melihatnya tersenyum. Serius!!! Baru kali ini. Oh Tuhan………….. aku mau banget kalo waktu dihentikan selamanya hanya untuk melihat senyum gadis ini.
    “Kamu teman pertama aku lho.” Kiran membuka mulutnya.
    Aku langsung tersadar dari keterpesonaanku.
    “Wah…. gue senang sekali. Kalo begitu, boleh dong gue jemputin dan nganterin lu ke sekolah tiap hari.”
    Kiran nampak berpikir sejenak.
    “Yah…. bolehlah,” jawab Kiran akhirnya.
    Aku terkekeh. Aku masuk ke kelas diikuti Kiran.
    Kiran memang berbeda. Dia memang sangat istimewa, buat orang-orang yang akan menjadi temannya, buat anak-anak di panti, buat ibu kepala panti, dan buat aku. Karena apa??? Karena dibalik semua sikap dinginnya, dia adalah gadis yang tulus, sangat tulus. Dan aku sangat bersyukur bisa menjadi salah satu orang yang bisa menyaksikan ketulusannya itu.

    selesai

    BalasHapus
  116. Nama: Gabriella /14
    Tema : Kepedulian sosial
    Kiran Si Gadis Panti
    (www.kolomkita.com) naskah drama
    Aku menutup diaryku. Jam dua belas malam tepat. Tepat hari ulang tahunku yang ke 16. Merayakannya sendiri untuk yang ke 16 kalinya. Tanpa kue ulang tahun untuk yang ke 16 kalinya. Tidak mendapat ucapan dari orang tua untuk yang ke 16 kalinya. Hanya ibu kepala pantilah yang tidak pernah absen memberikan ucapan selamat kepadaku. Ya, aku memang berbeda dengan remaja lainnya. Remaja yang bisa menjalani masa-masa remajanya dengan bahagia. Aku hanyalah seorang remaja yang dipelihara oleh sebuah panti asuhan di kotaku. Di sanalah aku tumbuh dan mengenal dunia. Belajar berbicara dan berjalan. Mengerjakan setiap tugas sekolah yang diberikan guruku.
    Aku membalikkan badanku tidur telentang. Diaryku kupeluk di dadaku.
    Kiran : “Kenapa sih harus ada ulang tahun?” gumamku kesal.
    Setiap orang selalu menganggap hari dimana umurnya bertambah adalah hari yang bahagia. Tapi tidak bagiku. Hari ulang tahun hanyalah hari yang sangat menyebalkan buatku karena dihari ulang tahun itulah aku selalu menyesali sikap orang tuaku yang tega membuangku begitu saja. Hari ulang tahunku selalu mengingatkanku pada orang tuaku.
    Menurutku hidupku ini gak ada gunanya. Hidup anak-anak yang tidak diakui orang tuanya tidak ada gunanya. Semua yang seorang anak lakukankan sebenarnya cuma untuk kebahagiaan orang tuanya. Sekolah, selesai dengan nilai bagus, masuk universitas yang top, tamat dengan nilai tinggi, dapet kerja yang bagus, punya cowok yang baik dan terpelajar, dan akhirnya membina rumah tangga yang bahagia. Buat apa semuanya kalau bukan untuk membuat orang tua kita bangga. Lalu, yang selama ini aku lakukan itu untuk siapa. Untuk diriku sendiri? Rasanya gak deh. Aku bahkan gak suka dengan diri aku sendiri.
    Babak 1
    Ibu panti : Kiran…
    (Kiran membuka mataku dan langsung tersentak)
    Kiran : “Iya, sebentar lagi aku bangun.” (Kiran mengucek matanya, beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu.)
    Ibu panti : “Waduh. Kok baru bangun. Teman-teman kamu yang lain sedang membersihkan halaman di depan.”Ibu kepala panti berdiri berkacak pinggang di depan Kiran
    Kiran : “Maaf, Bu. Aku tadi malam tidurnya kemalaman.”
    (Bu kepala panti menggelengkan kepalanya)
    Ibu panti : “Anak gadis ya jangan keseringan tidur malam-malam. Mentang-mentang libur. Ya sudah. Kamu cepat mandi sudah itu langsung ke halaman bantu teman-teman kamu.”
    (Kiran menganggukkan kepalanya dan membalikkan badan)
    Ibu panti : “Oh iya, Kiran…”
    Kiran menghentikan langkahnya dan Ibu panti mendekati lalu memeluknya
    Ibu panti : “Selamat ulang tahun ya.”
    (Kiran menganggukan kepalanya)
    Ibu panti : “Nah..sekarang kamu mandi ya!”
    (Kiran memandang ibu panti dan segera berlari ke kamar mandi.)
    Aku menghela nafasku berat. Aku melihat sekelilingku. Semua anak tampak bahagia membersihkan halaman panti ini. Mereka bersenda gurau satu sama lain. Aneh… padahal saat ini aku yang sedang berulang tahun. Kok malah mereka yang merasakan kebahagiaan. Sedangkan aku, duduk sendirian di tanah sambil mencabuti rumput.
    Aku memang tidak mempunyai teman di sini. Bukan karena mereka sombong atau tidak mau berteman denganku. Beberapa kali mereka mencoba untuk mengajakku ngobrol tapi aku tetap tidak bisa dekat dengan mereka. Aku memang tidak banyak bicara makanya mereka lebih memilih membiarkan aku sendirian. Demikian juga di sekolahku. Rasanya di dunia ini aku hanya sendirian deh.
    Babak II
    Ibu panti: “Kiran.., Kenapa kamu tidak bergabung dengan mereka?”
    (Kiran hanya diam memandang Ibu Panti. Ibu Panti tersenyum. Dia menarik tangan Kiran dan mengajaknya duduk di kursi.)
    Ibu panti : “Kamu sudah besar Kiran. Udah 16 tahun. Gak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Semakin kita dewasa maka kita akan semakin memerlukan orang lain.”

    BalasHapus
  117. (lanjutan)

    Kiran : “Buat apa manusia membutuhkan orang lain kalo ternyata orang yang mereka butuhkan tidak ada di dekat mereka?!”
    Ibu panti : “Tidak hanya orang tua yang kita butuhkan di dunia ini. Kita juga butuh sahabat, orang yang mengerti kita, bahkan pacar. Kamu juga pasti begitu,”

    Kiran : (Kiran menggelengkan kepalanya) “Aku gak mau ditinggalin lagi.”
    Ibu Panti : “Kiran…….”
    Kiran : “Bu, sudahlah. Ibu sendirikan yang bilang kalo aku sudah besar. Biar aku sendiri yang membuat keputusan dalam hidupku,”
    Ibu Kepala nampak terkejut dengan reaksi Kiran. Ia langsung menyadarinya dan emosinya kembali mereda.
    Kiran : “Maaf, Bu. Aku gak bermaksud bicara keras sama Ibu. Selama ini hanya Ibu yang ada di dekat aku. Hanya Ibu yang tidak pernah bosan mendekati aku walaupun aku tidak banyak bicara. Aku bukannya tidak ingin punya teman yang bisa mengerti aku. Tapi setiap aku mengatakan kalo aku tinggal di panti asuhan mereka langsung pergi meninggalkan aku. Dalam sekejap temanku yang banyak langsung hilang semuanya.”
    (Ibu Kepala Panti tersenyum.)
    Ibu panti : “Tidak semua orang seperti itu, Kiran. Cobalah buka hati kamu untuk dunia ini. Lupakanlah rasa benci kamu kepada orang tua kamu. Karena itu hanya akan menyiksa kamu.”
    (Kiran tersenyum kecut)
    Kiran : “Ya aku tau. Terima kasih atas sarannya, Bu.” Aku meninggalkan Ibu Kepala Asrama begitu saja dan kembali melanjutkan pekerjaanku.
    Tidak mudah menghilangkan perasaan benci ini. Kalo bisa sudah dari dulu aku lakukan. Setidaknya aku bisa tidur dengan tenang kalo rasa benci itu kuhapuskan. Walaupun Ibu Kepala sangat peduli padaku dia tetap tidak akan mengetahui bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Dia tidak akan bisa merasakannya, tidak akan ada seorang pun yang bisa merasakannya.
    Aku berlari menuju ruang makan.
    Babak III
    Kiran : “Maaf aku telat,”
    (Semua anak panti memandangnya)

    Aku memperbaiki posisi tas sekolahku. Aku menduduki kursi yang memang sudah ditentukan sebagai tempat dudukku setiap makan. Aku menyendok nasi gorengku dan makan dalam diam. Anak-anak yang lain nampak sedang asik berbicara dengan teman-temannya yang lain. Ibu Kepala pun nampaknya sedang asik berbicara dengan Yanti, salah satu penghuni panti ini. Hanya akulah yang sendiri.
    Aku langsung berlari keluar kelas setelah bel tanda jam sekolah berakhir berbunyi. Rasanya aku pengen cepat-cepat keluar dari sini. Sekolah adalah tempat yang sangat tidak aku sukai. Bukan karena aku tidak suka belajar. Aku suka belajar. Tapi, disini kesendirianku benar-benar terasa dan rasanya dadaku selalu saja sesak setiap merasakan kesendirian itu.
    Babak IV
    Aku berjalan di sepanjang trotoar. Cukup jauh memang jarak dari sekolah ke halte bis. Sebenarnya aku bisa si naik angkot. Tapi, untuk menghemat uang aku lebih memilih jalan kaki. Namanya juga anak panti, apapun terbatas. Lain halnya kalo aku punya orang tua.
    Aku menghentikan langkahku ketika melihat ada anak kecil yang terjatuh karena diserempet motor. Tidak ada yang menolongnya. Mungkin karena tidak parah. Aku langsung berlari ke arahnya. Walaupun begini aku tetap suka menolong.
    Kiran : “Kamu gak apa-apa?”
    Anak kecil : “Nggak, Kak. Cuma lecet aja,”
    (Kiran berjongkok di sebelahnya. Ia memegang tangan anak kecil yang luka itu.)
    Kiran : “Darahnya banyak juga ya,”
    (Kiran mengeluarkan saputangan dari dalam tasnya dan menutupi luka si anak kecil)
    Kiran : “Aku gak pandai mengobati. Setidaknya sampai kamu mengobati luka kamu, saputangan ini bisa menghentikan darahnya.”
    (Anak itu menerima saputangan dari Kiran dan tersenyum.)
    Anak kecil : “Dari sekian banyak orang yang lewat hanya Kakak yang menolong aku. Makasih ya, Kak.” Anak itu beranjak dari duduknya. Membersihkan celananya dan pergi meninggalkan aku.
    ***

    BalasHapus
  118. Kartini Milenium

    Karya : Cindy Coleen
    XI IPA 7 / 09


    Di sebuah kamar, terdapat sebuah ranjang yang tidak begitu besar, sebuah lemari, meja beserta kursi, dan sebuah cermin besar. Tepat di depan cermin tersebut, berdirilah seorang gadis cantik yang sedang mematut diri di cermin. Menghadap samping kiri, kanan, dan senyum sendiri. Lalu, gadis itu mendekatkan wajahnya sampai kira-kira 10 cm dari cermin. Penampilan gadis itu sempirna, wajahnya bersih tanpa noda dan jerawat. Alisnya yang dulu berantakan, kini sudah rapi. Pagi itu, dia mengagumi dirinya di depan cermin. Saat sedang asyik mematut diri, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
    Ibu : (mengetuk pintu) “Tin! Sedang apa kamu? Buka pintunya segera.”
    Tini : “Sebentar,bu!” (membukakan pintu)
    Ibu : (masuk) “Kamu sedang apa,Tin?”
    Tini : “Tidak,bu, tadi aku sedang mematut diri di cermin. Tini masih bingung,bu. Kenapa bisa Tini yang dipilih walikelas untuk mengikuti peragaan busana kartini. Tini tidak cantik-cantik sekali. Lagipula bantak teman Tini yang lebih cantik dari Tini.
    Ibu : (membelai rambut Tini) “Tini jangan bicara begitu. Tini sangat cantik. Ibu percaya pasti Tini yang akan menjadi juara.”
    Tini : “Terima kasih,bu.”
    Ibu : (mengulurkan sebuah kebaya hasil jahitan) “Nah,Tin, coba kamu pakai. Sudah pas belum?”
    Tini : (mengambil kebaya tersebut lalu memakainya) “Bagaimana,bu?” (mematut diri di cermin).

    Ibu : (kagum) “Penampilanmu sempurna,Tin. Ibu tidak salah memadukan kebaya brokat ini dengan selendang dan kain panjang ini.”
    Tini : (tersenyum dan memeluk ibu) “Terima kasih ya,bu. Tini senang bisa mengenakan kebaya hasil jahitan ibu. Tini sangat menyukai kebaya ini.”
    Ibu : “Ibu bersyukur bila kamu menyukainya,Tin.”
    Tini : (berdiri lalu mematut diri di cermin) “Tapi,bu…”
    Ibu : “Tapi kenapa,Tin?”
    Tini : “Sebenarnya Tini gugup,bu. Bagaiman kalau selop Tini nyangkut di karpet nanti? Atau kalu konde Tini terlepas ketika jalan di atas panggung? Belum lagi Tini mudah sekali berkeringat. Jangan-jangan dandanannya sudah luntur sebelum giliran Tini dipanggil atau…”
    Ibu : “Tin, kalu belum apa-apa sudah cemas bagitu, percuma saja. Meskipun baru kali ini kamu ikut peragaan busana Kartini Milenium, bukan berarti kamu jelek. Yang penting tunjukkan rasa percaya diri kamu dengan mengangkat kepala seperti ini. (memperagakan seperti seorang peragawati). Jangan lihat mata penonton, tetapi sejengkal di atas kepala mereka tatapan kamu arahkan.”

    BalasHapus
  119. Tini : (kagum melihat ibu) “Wah, ibu begitu anggun, ayu dan lembut. Bagaimana mungkin Tini bisa menirunya? Tini tetap cemas.bu.”
    Ibu : “Itu namanya demam panggung. Tak apa, teman-teman sekelas akan memberi semangat untuk kamu.”

    Suasana sekolah lebih ramai dari biasanya pada pagi itu. Siswa-siswi tampak sedang asyik berceloteh ria membicarakan tentang acara peragaan busana Kartini Milenium yang akan diselenggarakan oleh sekolah pada hari itu. Teman-teman tini bersorak dan memberi semangat kepada Tini ketika Tini muncul di sekolah.
    Rissa : “Gila,Tin! Hebat sekali! Kamu cantik sekali. Pilihan walikelas kita memang oke, ya milih kamu yang mewakili kelas kita.”
    Tini : “Bukan Cuma aku, tetapi juga Melia.” (memegang selendangnya yang hendak jatuh tertiup angin).
    Gerdy : “Ah, Melia sudah biasa mengikuti lomba-lomba seperti itu di luar sekolah. Kalau kamu pendatang baru. Maka dari itu, pasti seru sekali! Terus terang, kamu cantik sekali.”
    Tini : (menunduk dengan wajah merona merah)
    Gerdy : “Kamu benar-benar beda hari ini.” (menyodorkan kertas karton bulat besar yang bertuliskan nomor peserta).
    Tini : (bingung dan berbicara engan suara kecil yang nyaris tidak terdengar) “Duh, kenapa aku salah tingkah begini? Aku harus bagaimana,ya? Mau ucapkan terima kasih nanti disangka aku sok cantik. Tetapi kalu diam, nanti aku disangka sombong.”
    Gerdy : “Tin,kamu baik-baik saja?”
    Tini : (mengambil nomor peserta yang disodorkan gerdy) “Ah, aku biasa saja. Mungkin karena konde ini ya, yang membuatku terlihat aneh?”
    Gerdy : (tertawa dan menggelengkan kepala lalu menjauh)
    Tini : (memaki dirinya sendiri) “Dasar bodoh! Harusnya tadi aku ucapkan terima kasih atau ah, yang benar atau masa aku cantik?”

    Saat tiba di kelas, suasana sangat ruh. Ternyata gadis cantik yang bernama Melia sudah datang dan ia benar-benar cantik. Ia mengenakan kebaya mewah yang berleher rendah, menampilkan kulit Melia yang putih susu. Kilau giwng yang menampilakn puluhan bias warna menandakan bahwa perhiasan itu pasti mahal.
    Melia : (merapikan kondenya dan bergaya sombong) “Kalau aku tidak menjadi juara satu, berarti jurinya juling!” (melirik kea rah Tini dan pandangannya penuh selidik mencermati sosok Tini).
    Tini : “Hai,Melia!”
    Melia : (takjub melihat Tini) “Hai,Tin, selop yang kamu pakai tidak cocok dengan tusuk konde. Bisa mengurangi nilai,lho!”
    Tini : (merasa rendah diri dan kecewa)
    Johan : “Mel, kamu dan Tini sama kerennya. Jadi jangan bicara seperti itu. Kalian tinggal beradu di atas panggung.”
    Melia : (bergaya sombong) “Pengalaman akan membuktikan siapa yang akan menjadi juara nanti.”

    BalasHapus
  120. Ance : “Kalau kamu menang,sih, wajar. Kamu memang sudah terbiasa menjadi juara. Justru kalau Tini bisa dapat nomor juga nanti, itu baru luar biasa.”
    Teman-teman : (menghibur Tini).
    Tini : (menangis).

    Lapangan upacara sekolah dipenuhi oleh siswa-siswi yang berbaris rapi mengikuti upacara. Lagu Ibu Kartini dilantunkan begitu indah dan khidmat oleh padua suara gabungan kelas IPA. Kemudian diulang oleh seluruh murid. Langit yang mendung, tidak panas terik sangat mendukung upacara tersebut.
    Kemala : “Tin, nanti jangan lupa senyum,ya! Tinggal dua peserta lagi baru giliranmu. Ingat ya,senyum!”
    Tini : “Aku takut yang terlihat nanti seperti kuda meringis,Mal.”
    Kemala : “Ah,kamu. Kamu jura kelas dan jago olahraga tidak mungkin menyerah sebelum bertanding. Santai, tarik napas panjang. Ya, seperti itu.”
    Tini : (menarik napas panjang) “Terima kasih, ya, atas dukunganmu. Semoga aku nanti tampil tidak mengecewakan.”
    Kemala : “Semoga berhasil,Tin!” (mengacukan kedua jempol ke arah Tini).

    Perlombaan peragaan busana Kartini Milineum dimulai. Panggung telah dihiasi sedemikian rupa. Terdapat kain putih yang dipasang di dinding aula bertuliskan Perlombaan Peragaan busana Kartini Milenium SMA Citra Nusantara 2009. di samping panggung terdapat pengaturan suara yang diatur oleh seorang guru dan seorang siswa. Kursi-kursi berjejer manghadap panggung dan telah terisi penuh oleh siswa-siswi. Di panggung, berdirilah dua orang pembawa acara. Pembawa acara perempuan mengenakan kebaya dan pembawa acara pria mengenakan kemeja batik. Masing-masing memegang daftar peserta perlombaan lengkap dengan nomor undian yang telah diurutkan.
    Pembawa acara 1 : “Ya, itu tadi sudah kita saksikan penampilan teman kita dari kelas XII IPA 3.”
    Pembawa acara 2 : “Langsung saja kita sambut peserta dengan nomor urut 9 dari kelas XI IPS 1, Tini Kartika.”
    Tepuk tangan penonton meriuhakn suasana perlombaan. Tini naik ke atas panggung. Terdapat ratusan pasang mata yang menyaksikan.
    Tini : (gugup namun tetap melemparkan senyuan lalu berjalan lenggak-lenggok di atas panggung).
    Lima menit telah berlalu. (Tini turun dari panggung).
    Kemala : “Tini, selamat ya! Penampilanmu tadi sungguh luar biasa dan memukau. Aku yakin kamu pasti yang akan menjadi juara.” (memeluk Tini).
    Tini : “Tadi sebenarnya aku sedikit gugup, tapi syukurlah kalau penampilanku tadi mengesankan.”
    Gerdy : (mambawakan sebotol Aqua dan menyodorkannya kepada Tini). “Selamat ya,Tin! Yang tadi itu sangat menarik. Kamu cocok menjadi peragawati.”
    Tini : (mengambil sebotol aqua tersebut) “Terima kasih ya, Ger! Yah, meskipun tidak juara, yang penting aku sudah berusaha.”
    Gerdy : “Berani taruhan, kamu pasti dapat nomor. Kalu meang, aku traktir kamu.”
    Tini : “Kalau kalah?”

    BalasHapus
  121. Gerdy : “Tidak mungkin.” (melirik jam tangan) “Maaf,tin, aku harus buru-buru. Sampai ketemu nanti!” (melambaikan tangan ke arah Tini).
    Tini : (melambaikan tangan kearah Gerdy) “Ya,sampai ketemu!”

    Dua jam berlalu, para juri mengumunkan para pemenang.
    Juri 1 : “berdasarkan penjumlahna skor yang telah kami tetapkan, maka kami umumkan juara ketiga adalah…”
    Juri 2 : “Tini Kartika dari kelas XI IPS 1.”
    Penonton : (bersorak dan tepuk tangan).
    Tini : (naik ke atas panggung dan menerima thropy dan piagam).
    Juri 2 : “Juara kedua diraih oleh Ayu Putri dari kelas XII IPA 2.”
    Ayu : (naik ke atas panggung, melambaikan tangan kepada penonton dan menerima thropy dan piagam).
    Penonton : (bersorak lebih kuat dan bertepuk tangan).
    Juri 1 : “Yang berhasil meraih juara pertama tahun ini adalah Melia dari kelas XI IPS 1.”
    Penonton : (bersorak menyebut nama Melia dan bertepuk tangan).
    Melia : (naik ke atas panggung dengan gaya sombong lalu menerima thropy dan piagam lalu melihat ke arah tini dengan melempar pandangan menghina kepada Tini).

    Johan : “Benar kata kami, kamu pasti dapat juara.” (menyalami tini0.
    Tini : (menyalami Johan) “Aku benar-benar tidak menyangka bisa menjadi juara ketiga.”

    Tini : “Benar-benar beruntung aku bisa menjadi juara ketiga.”
    Louise : (berlari kearah teman-teman dan terengah-engah). “Teman-teman, Melia kecelakaan di jalan tol tadi, ia kehilangan banyak darah dan perlu transfuse darah.”
    Tini : (terkejut) “Apa golongan darahnya?”
    Louise : “B.”
    Tini : “Ayo, cepat, antar aku ke rumah sakit. Golongan darahku sama dengannya. Siapa tahu aku bisa membantunya.” (segera menarik tangan Louise).
    Teman 1 : “Ayo, aku juga bergolongan darah B.”
    Tini, Louise dan Teman1 : (berlari mencari tumpangan menuju rumah sakit).

    Suasana sebuah kamar pasien yang tenang. Terdapat sebuah tempat tidur. Di sampingnya terdapat sebuah kursi dan meja).
    Tini : (berbaring) “Ibu!” (menguap)
    Ibu : ‘Tin, ada telepon dari wali kelasmu.”
    Tini : (meloncat dari tempat tidur dan berlari mengangkat telepon).
    Ibu : (tersenyum lebar).
    Tini : (meletakkan gagang telepon dan girang).
    Ibu : “Ada apa,Tin?”
    Tini : “Ibu tahu, pialaku akan ditukar.”
    Ibu : “Ditukar? Kenapa?”

    BalasHapus
  122. (lanjutan)

    Babak V
    Aku terdiam ketika melihat gadis itu menolong anak kecil yang bahkan tidak dikenalnya itu. Tidak kusangka ternyata dia gadis yang baik hati. Walaupun di sekolah dia nampaknya tidak peduli dengan siapa-siapa. Aku tersenyum sendiri.
    “Gimana sih caranya buat dekatin lu???” gumamku kemudian.
    Aku masih memperhatikan gadis itu dari dalam mobilku. Dia memberikan saputangannya kepada anak itu. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.
    Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku bisa suka padanya. Padahal dia kuper banget di sekolah. Mungkin itu bermula ketika aku melihatnya memberikan makanannya kepada anak kucing di belakang gedung sekolah. Gara-gara itu niatku untuk bolos sekolahlangsung hilang seketika. Sejak itu aku selalu mengikutinya setelah pulang sekolah. Tidak kusangka ternyata dia tinggal di panti asuhan. Dia memang gadis yang unik.
    Aku langsung menghidupkan mesin mobilku ketika dia kembali berjalan. Kali ini aku memutuskan untuk menawarkan tumpangan kepadanya. Mungkin ini bisa menjadi permulaan yang bagus buat bisa lebih dekat dengannya.
    Raka : “Hi…….” (Raka membuka kaca mobilnya)
    “Kiran kan???”
    Kiran menghentikan langkahnya. Dia memandang Raka bingung.
    Raka : “Aku Raka. Teman sekelas kamu,”
    (Kiran teta;p diam)
    Raka : “Mau pulang ya? Yuk aku antar,” tawar Raka
    Kiran langsung menggelengkan kepalanya.
    Raka : “Kenapa? Ayolah….. untung-untung menghemat ongkos.”
    Kiran nampak berpikir sejenak. Dia setuju dengan tawaran Raka karena langsung membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya
    Kiran : “Aku tinggal di panti asuhan Bunda Kasih. Kamu tau?????”
    Raka kaget. Karena tidak disangka Kiran langsung menyebutkan tempat tinggalnya. Biasanya si cewek suka malu memberitahu tempat tinggalnya kalo mereka tinggal di panti asuhan. Tapi, kenapa gadis ini malah santai saja.
    Kiran : “Hei, kamu dengar ga sih? Atau jangan-jangan kamu gak tau.”
    Raka : “Ya….. Ya.. aku tahu.”
    ***

    BalasHapus
  123. Tini : “Ternyata ada kehebohan di sekolah tadi. Tiba-tiba orang tua Melia mengaku, mereka menyuap dua dari tiga orang juri supaya Melia bisa menjadi juara satu. Wakil juri dari orang tua langsung mengaku setelah diinterogasi panjang lebar oleh kepala sekolah.”
    Ibu : “Lho, apa motivasi mereka? Hanya urusan begitu saja sampai pakai sogok segala.”
    Tini : “Juri yang disuapnya itu adalah isteri salah seorang kolega papa Melia yang kaya raya. Sedang juri yang satu lagi ternyata masih terhitung sepupu jauh Melia. Menyuap pihak guru jelas tidak mungkin. Tetapi perhitungan dua banding satu telah membuat Melia terpilih menjadi juara pertama.”
    Ibu : “Oh begitu. Lalu apa yang membuat orangtua Melia mengakui perbuatan curang mereka tersebut?”
    Tini : “Orangtua Melia mengaku karena menganggap bahwa kecelakaan yang terjadi akibat perbuatan mereka yang tidak jujur. Mereka menyesal, apalagi setelah mereka tahu Tini adalah salah satu murid yang menyumbangakan darah untuk keselamatan Melia. Aku senang sekali. Bayangkan,Bu, juara dua!”
    Ibu : (Ibu juga senang, saying).
    Tini : “Bukan hanya itu, katanya lagi aku terpilih menjadi Kartini Milenium terfavorit, hasil dari pemungutan suara yang dihitung ketika aku di rumah sakit. Hadiahnya bukan piala, tetapi uang buku dari beberapa donatur yang bersimpati. Banyak yang menyesalkan Melia, padahal kalau tidak menyogok pun dia pasti keluar sebagai juara. Apalagi pengalamannya tampil di peragaan busana sudah menghasilkan beberapa piala di rumahnya. Sayang, ya, bu.”
    Ibu : “Kenapa kamu bisa jadi Kartini Favorit, ya?”
    Tini : “Itu lho, bu. Penilaiannya dari segi akademis dan pergaulan, tetapi gerak cepatku yang langsung ke rumah sakit untuk donor darah menjadi nilai tambahnya. Kata wali kelas, itulah cirri seorang kartini masa kini. Bukan hanya luwes saat mengenakan kebaya, tetapi bersikap sportif dan mampu mengatasi keadaan dengan cara paling tepat.”
    Ibu : “Ibu tidak menyangka, nak. Sini ibu peluk, Ibu bangga sekali sama kamu.” (memeluk Tini).
    Tini : (memeluk Ibu) “Bu, Tini berjanji mulai sekarang Tini akan berusaha untuk membuat Ibu bangga. Tini akan meneladani sosok Ibu Kartini yang berjuang demi kemajuan pendidikan wanita Indonesia. Tini akan berusaha untuk lebih giat belajar agar kelak berguna bagi Nusa dan Bangsa.”



    --- SELESAI ---

    BalasHapus
  124. (lanjutan)

    Babak VI
    Kiran membuka pintu kamarku dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Semua anak panti langsung memandangiku ketika mengetahui kalo aku diantar pulang dengan mobil mewah. Ibu Kepala juga nampak kaget. Aku hanya mengangkat bahuku ketika Ibu Kepala memandangiku dan langsung pergi ke kamarku setelah mengucapkan terima kasih kepada cowok itu.
    Aku tahu dia Raka. Aku hafal semua nama teman sekelasku. Tapi yang tidak aku tahu, kenapa tiba-tiba dia menawarkan tumpangan kepadaku. Seingatku aku tidak pernah bertegur sapa dengannya.
    Sebenarnya, tawarannya itu pengen aku tolak. Tapi mengingat menghemat ongkos seperti yang dikatakannya, rasanya sayang banget menolak.
    Kiran : “Yah…. yang penting aku selamat sampai rumah tanpa kurang sedikitpun,” gumam nya
    Raka : Aku termangu di dalam kamarku. Aku teringat cerita ibu kepala panti tempat Kiran tinggal. Aku sempat sebal karena dia meninggalkan aku begitu saja setelah mengucapkan terima kasih tanpa menawarkan aku untuk singgah. Padahal aku sangat ingin mengobrol dengannya.
    Tidak kusangka ternyata kisah hidup gadis itu begitu menyedihkan. Hal itulah yang menyebabkan dia tidak bisa membuka dirinya dengan orang lain. Tapi, menurutku satu masalah tidak bisa kita jadikan patokan untuk membenci kehidupan. Walau bagaimanapun hidup itu tetap indah dan harus dinikmati.
    Pokoknya aku harus usaha agar bisa yah… paling tidak menjadi temannya.
    ***
    Babak VII
    Raka: “Kiran……….” (Kiran menghentikan langkahnya)
    “Jalan kamu cepat ya,”
    Kiran : “Kenapa?”
    Raka : “Tidak.Aku cuma mau ngajak kamu pulang bareng lagi nanti,”
    (Kiran diam dan langsung melanjutkan langkahnya menuju kelas.)
    Raka : “Kiran….” (Raka menarik tangannya. Kiran langsung melepaskannya dengan kasar.)
    Kiran : “Aku gak tau mau kamu apa. Tapi yang jelas aku gak butuh lagi tumpangan kamu” .
    Raka : “Kiran, kamu tidak bisa menjadikan ditinggal orang tua kamu sebagai alasan buat menjauhi semua orang.”
    (Kiran menghentikan langkahmya dan memandang Raka.)
    Kiran : “Darimana kamu tahu?”
    (Raka nampak menyadari kesalahan omongannya.)
    Raka : “Eh… itu…..itu………”
    Kiran : “Cepat jawab!!!!”
    Raka : “Kemarin aku sempat cerita-cerita sama ibu kepala panti kamu,” jawab Raka.
    Kiran : “Kamu tidak punya hak buat ikut campur dalam masalah aku. Jangan sok jadi pahlawan deh.”
    Raka mengernyitkan dahinya.
    Raka : “Siapa yang mau sok jadi pahlawan. Aku cuma mau berteman dengan kamu aja.”
    Kiran : “Kenapa?????!!!”
    “Karena kamu kasihan sama aku. Karena kamu kasihan aku tinggal di panti
    asuhan dan mengetahui cerita hidup aku secara komplit,” lanjutku lagi.
    Raka nampak terkejut.
    Raka : “Aku tidak bilang kaya itu.”
    Kiran : ”Sudahlah….. aku tidak butuh teman.”

    BalasHapus
  125. (lanjutan)

    Kiran pergi meninggalkan Raka begitu saja.
    ***
    Babak VIII
    Tuduhan Kiran itu menyakiti hati Raka. Padahal Raka tulus ingin berteman dengannya. Bukan karena kasihan tapi karena dia baik hati. Itu aja.
    Raka langsung menarik tangan Kiran begitu saja.
    Kiran : “Eh, apa-apaan ini????!!!”
    Raka : “Udah…. kamu ikut aja.”
    Kiran : “Tapi, sekolah,” lanjutnya lagi.
    Raka :“Kamu benci sekolah kan.”
    Kiran :“Siapa bilang????”
    Raka : “Hari ini kita bolos aja dulu. Kita bersenang-senang.”
    Kiran : “Aku tidak butuh bersenang-senang.”
    (Raka mendorong Kiran masuk ke mobil.)
    Raka : “Aku mau meperlihatkan betapa indahnya dunia ini tanpa harus dicemari oleh kisah menyedihkan kamu.”
    Kiran terdiam
    Raka : “Kiran, coba kamu lihat wanita yang sedang duduk di trotoar itu.”
    Kiran memandang ke arah wanita itu.
    Raka “Kamu masih beruntung setidaknya orang tua kamu menitipkan kamu di panti asuhan, bukan di jalanan. Kalo di jalanan bisa dipastikan begitulah jadinya kamu, gelandangan. Kamu tidak bakalan bisa merasakan nikmatnya sekolah seperti sekarang.”
    Kiran hanya diam. Matanya terpaku ke arah wanita itu.
    Raka : “Nah… coba kamu lihat disana.”
    Kali ini Kiran mengarahkan matanya ke anak-anak sekolah yang sedang merokok di pinggir jalan.
    Raka : “Buat apa kamu punya orang tua kalo ternyata orang tua kamu malah gak bisa menjaga kamu dan hanya membuat kamu menjadi seperti mereka. Hanya sampah. Itu berarti orang tua kamu punya alasan untuk menitipkan kamu di panti asuhan setidaknya kamu gak jadi kaya mereka kan. Walaupun kamu benci sekolah tapi kamu tetap pergi ke sekolah. Kamu tidak pernah bolos kan????”
    Kiran lansung menggelengkan kepalanya.

    Raka : “Bagus,”
    “ini juga pertama kali gue bolos sekolah,” lanjutku lagi.
    (Raka memandang Kiran. Nampaknya gadis itu menyadari sesuatu.)
    Raka : “Ayo, masih banyak yang mau aku perlihatkan pada kamu.”
    Raka kembali menjalankan mobilnya
    Babak IX
    Saat sampai dirumah
    Kiran : (mengetuk pelan pintu kamar ibu panti).
    Ibu Panti : “Kiran???!!!” Ibu Kepala tampak sangat terkejut ketika mengetahui siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
    Kiran : “Aku ingin mengatakan sesuatu.”
    Ibu panti : “Oh ya???!!!” Ibu Kepala nampak lebih terkejut. “Ya sudah ayo masuk.”
    (Kiran masuk ke dalam kamarnya dan duduk di atas tempat tidurnya.)
    Kiran : “Tadi aku bolos sekolah.”. “Raka mengajakku berkeliling. Awalnya aku tidak mau tapi dia memaksaku. Ibu nampaknya sudah menceritakan semua kisahku kepada Raka. Dia bahkan tahu kalo aku benci sekolah.”
    Ibu panti tersenyum.
    Ibu panti : “Lalu dia mengajak kamu kemana?”
    Kiran : “Banyak hal yang sudah dia tunjukkan kepadaku. Tidak aku sangka ternyata lebih banyak orang yang hidupnya lebih menderita daripada aku.”

    BalasHapus
  126. (lanjutan)

    Kiran : “Dia memperlihatkan walaupun hidup aku ini begitu menyedihkan tapi masih banyak terselip kebahagiaan di sana. Masih banyak keberuntungan yang berpihak sama aku. Aku tidak seperti gelandangan yang terbengkalai dijalanan dan aku gak seperti anak-anak nakal yang hanya menghabiskan uang orang tuaku.”
    “Setelah aku pikir-pikir, mungkin memang jalan terbaik menitipkan aku di tempat ini. Karena disini aku mendapatkan orang tua yang begitu memperhatikan aku. Dia tidak pernah bosan untuk mengajakku berbicara walaupun dia tahu aku bukanlah tipe anak yang suka diajak ngobrol.”
    Ibu kepala panti kembali tersenyum.
    Ibu panti : “Kamu tahu, Kiran. Dunia ini memang penuh dengan segala sesuatu yang sulit dimengerti oleh manusia. Kebahagiaan dan kesedihan bahkan kadang sangat sulit kita bedakan. Adakalanya kita merasa sangat bahagia padahal sebenarnya justru kitalah orang yang paling menyedihkan saat itu. Tapi, lepas daripada itu. Dunia ini begitu indah untuk kita lewati begitu saja tanpa melihat apa yang ada di dalamnya.”
    Kiran : (menganggukkan kepala)
    Kini aku mulai mengerti. Aku mulai paham semuanya. Apa itu kehidupan, apa itu kebahagiaan dan kesedihan, dan apa itu kekurangan dan kelebihan. Walaupun aku memiliki kekurangan di dalam kehidupanku tapi ternyata disana juga terdapat kelebihan yang justru membuatku merasa menjadi lebih baik.
    Ibu panti : “Sudah malam. Lebih baik kamu tidur. Besok sekolah kan???”
    Kiran beranjak dari tempat tidur dan pergi menuju pintu.
    Kiran : “Bu, terima kasih.”
    Ibu kepala tersenyum.
    Babak X
    Raka : ( kaget ketika melihat Kiran berdiri di depan kelas sendirian. Dia langsung menghampiriku ketika Raka datang)
    Kiran : “Terima kasih.”
    Raka : “Apa??”
    (Kiran menarik nafasnya.)
    Kiran : “Terima kasih.”
    (Raka mengangkat alisnya).
    Raka : “Buat???”
    Kiran : “Buat semuanya. Berkat kamu aku menyadari sesuatu dan sesuatu itu sekarang sudah membuka mataku.”
    Raka : “Oh…….. santai aja kali.”
    (Kiran hanya memandang Raka bingung. Dia menatapnya)
    Raka : “Itu….. aku….. aku…..”
    (Raka salah tingkah)
    Raka : “Kamu mau gak jadi pacar aku?.”
    (Kiran menyipitkan matanya).
    Raka : “Ya sudah, teman aja dulu.Kamu mau ga????”
    Kiran :( ( Kiran memandang Raka lekat-lekat dan kemudian tersenyum.)
    Kiran : “Kamu teman pertama aku lho.”
    Raka : “Aku langsung tersadar dari keterpesonaanku.”
    Raka : “Wah…. aku senang sekali. Kalo begitu, boleh kan aku jemputin dan nganterin kamu ke sekolah tiap hari.”
    Kiran nampak berpikir sejenak.
    Kiran : “Yah…. Bolehlah.”
    Kiran memang berbeda. Dia memang sangat istimewa, buat orang-orang yang akan menjadi temannya, buat anak-anak di panti, buat ibu kepala panti, dan buat aku. Karena apa??? Karena dibalik semua sikap dinginnya, dia adalah gadis yang tulus, sangat tulus. Dan aku sangat bersyukur bisa menjadi salah satu orang yang bisa menyaksikan ketulusannya itu.

    selesai

    BalasHapus
  127. Nama : Sony Afriandy
    Kelas : XI IPA 7
    No.Absen: 39

    Tema : Krisis Budaya

    Naskah Cerpen

    Kampanye

    Pak Boss benar-benar nervous berat pagi itu. Sejak semalam dirinya tidak bisa tidur. Pikirannya berusaha keras menciptakan tema dan rencana urut-urutan topik yang layak diucapkan, dan hatinya sibuk mereka-reka dan membakukan gaya bicara dan bahasa tubuh yang akan digunakannya untuk berorasi. Siang hari itu Pak Boss harus tampil di podium, berbicara perkara politik di depan massa untuk pertama kalinya sebagai caleg dari Partai Anu dalam sebuah kampanye akbar di lapangan sepakbola di pinggir kota.

    Sebagai seorang juragan ayam potong dan ayam petelur yang tersohor di daerahnya, sebenarnya Pak Boss sangat fasih berbicara dan terbiasa menghadapi orang banyak. Tetapi karena tingkat pendidikannya yang rendah dan ketidakpeduliannya pada masalah politik selama ini, mau nggak mau Pak Boss mesti banyak belajar. Dan semakin banyak belajar, semakin ia menyadari betapa masih banyak langit di atas langit, itulah yang membuat Pak Boss grogi kalo bicara politik.

    Dalam Pemilu tahun ini, Pak Boss didaftar dan lolos sebagai caleg sebuah partai baru. Dan Pak Boss sangat bersemangat bergabung dalam Partai Anu yang masih baru itu, soalnya pengusaha kaya seperti pak Boss itu telah sampai pada tahap pencarian jati diri melalui popularitas dan kedudukan alias jabatan. Lagipula, sekarang ini di belakang namanya telah bertengger huruf MM berikut semua sertifikat yang diperlukan yang dibelinya dengan sejumlah uang yang cukup.

    Berbulan-bulan lamanya Pak Boss menempa dirinya dengan ilmu kecalegan dan politik. Selain dibina oleh partai, Pak Boss juga menyewa beberapa mahasiswa jurusan sospol tingkat akhir untuk mengajarinya berbagai hal menyangkut seluk-beluk politik negeri ini. Sungguh, tidak mudah bagi orang seusianya untuk belajar hal-hal baru, apalagi kalo sudah menyentuh masalah hapal-menghapal. Lha iya to, setidak-tidaknya Pak Boss harus tahu perjalanan politik bangsa ini sejak jaman kerajaan Medang Kamulan sampai saat ini dengan segala teorinya.

    Sejak pagi hari, massa pendukung yang sebagian besar adalah para tetangga, sanak saudara, dan pegawainya sendiri mulai berdatangan, berkumpul di halaman rumah Pak Boss yang luas. Sebagian besar naik motor dan ada juga yang berjalan kaki. Pak Boss menyediakan angkutan berupa dua buah truk dan dua buah pickup yang biasanya digunakan untuk mengangkut ayam atau telor. Panitia mulai mendaftar peserta dan membagikan kupon. Tentu saja, panitia cukup pintar untuk tidak memberikan amplop di awal kegiatan karena setelah menerima amplop, biasanya peserta kampanye kabur begitu saja pulang ke rumah sambil membawa sate untuk keluarganya.

    Hari itu rumah Pak Boss benar-benar heboh untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, mengurusi diri sendiri dan mengurusi urusan orang lain, bersiap-siap melakukan kampanye menuju lapangan yang berjarak 10 km dari rumah Pak Boss. Didorong oleh rasa senang dan kebanggaannya, Pak Boss telah menginstruksikan kepada seluruh anggota keluarganya, sanak saudaranya, dan segenap pegawainya tanpa kecuali untuk pergi kampanye ke lapangan. Ia ingin menunjukkan pada semua orang, betapa Pak Boss tidak hanya piawi dalam bisnis ayam, tetapi juga seorang orator ulung yang dapat disetarakan dengan Bung Karno.

    BalasHapus
  128. lanjutan

    Akhirnya iring-iringan kampanye diberangkatkan juga, paling depan adalah iring-iringan sepeda motor, disusul kemudian oleh barisan mobil. Pak Boss berada di mobil Alphard hitam di posisi terdepan bersama segenap keluarganya. Iring-iringan itu pelan-pelan meninggalkan rumah dan peternakannya dalam keadaan kosong melompong tanpa penjagaan.

    Di lapangan telah berkumpul massa dari berbagai penjuru. Pak Boss harus mengikuti acara kampanye dari awal. Dan menunggu waktu pidato adalah sebuah siksaan berat bagi Pak Boss, walaupun wajahnya tersenyum cerah dan kakinya masih menginjak bumi, namun sebenarnya pikiran dan hatinya gamang melayang tak menentu oleh rasa cemas, gugup, takut, bangga, dan senang. Keinginannya untuk melakukan orasi total dan mengagumkan semua orang semakin kuat. Tetapi menghadapi massa hiruk-pikuk yang sedemikian banyak, membuat hatinya terbelah antara keinginan dan ketakutan, dan itu menjadi beban mental yang luar biasa. Pikirannya mulai panik, dan otaknya mulai lupa pada semua rancangan orasinya. Berkali-kali ia menyeka wajahnya yang berpeluh, berusaha menenangkan diri dan mengingat-ingat semua hapalannya. Ia semakin gugup saat massa di lapangan gegap gempita menyahut setiap yel-yel partai yang disampaikan sang protokol.

    "Maaf Pak Boss, Bapak Camat menginstruksikan untuk dijemput. Mohon ijin pinjam mobil Bapak.", seorang lelaki rapi bertubuh tegap berambut cepak berpakaian hitam-hitam layaknya searang ajudan dengan emblem partai terselip di dada berkata dengan nada berat penuh wibawa.

    "Silahkan-silahkan.", jawab Pak Boss gugup sembari menyerahkan kunci Alphardnya sambil tersenyum sebisanya. Rasa senang dan bangganya semakin bertambah mendengar Pak Camat akan menghadiri kampanye akbar itu, namun di sisi lain, muncul rasa ketakutannya bila salah-salah dalam berorasi di depan Pak Camat, dan hal itu menjadi masalah baru di hatinya. Kegalauan hati dan pikirannya dengan cepat melalaikan segenap kewaspadaannya.

    Begitu lagu mars partainya selesai dikumandangkan, maka Pak Boss segera maju ke podium disambut gemuruh yel-yel dan tepuk tangan massa. Kegugupannya menghambat langkah kakinya yang terasa bersepatu besi seberat satu ton, tangannya gemetar memegang mike, pandangannya nanar mengarah ke langit mencoba menghindari menatap massa, tapi hal itu tak menolongnya dari kegugupan. Keringatnya mengalir semakin deras. Ia mencoba menguatkan hati dan jiwanya. Tiba-tiba ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, mulutnya mencoba meneriakkan yel-yel partai, tetapi kegugupannya menyebabkannya keseleo lidah. Seluruh massa tertawa. Wajah Pak Boss merah padam, ia coba lagi berteriak, tapi salah lagi. Seiring dengan tawa massa yang semakin gemuruh, tubuh Pak Boss jatuh berdebum mencium lantai podium, ia pingsan karena malu tanpa seorangpun yang sempat memeganginya.

    Pak Boss dan keluarganya pulang ke rumah dengan perasaan hancur, apalagi saat mengetahui rumah dan peternakannya dalam kondisi acak-acakan. Di akhir hari itu, setelah dihitung-hitung dengan seksama, Pak Boss kehilangan sebuah toyota Alphard, sebuah tv 29 inc, sebuah tv plasma 50 inc , dua buah vcd player, seperangkat home teather, uang tunai 1 milyar rupiah dan sejumlah perhiasan yang disembunyikan di bawah almari di dalam kamarnya, satu set sofa mewah, sebuah piano, tiga ikan arowana merah dan dua perkutut kesayangannya, tiga ribu ekor ayam, dan satu ton telur ayam.

    BalasHapus
  129. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  130. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  131. Nama : Giovanni Hutagalung
    Kelas : XI IPA 7
    No. absen : 15

    Naskah Drama
    Tema cerpen : Kepedulian Sosial
    Berdasarkan cerpen : Mamaku Idiot (Down Syndrome)

    Babak 1
    Adegan I

    Seorang ibu yang menderita down syndrome memainkan sebuah boneka dan dilirik oleh anak perempuannya yang bernama Mei. Sang nenek menemani Mei.

    Mei : “Nek, terkadang Mei berpikir, mengapa Mei lahir dari rahim seorang ibu seperti Mama yang idiot?”

    Nenek : “Kamu tidak boleh berbicara seperti itu, Mei.”

    Mei : “Tetapi Mei malu, Nek. Para lelaki yang ada di luar sana tidak ada yang mau mendekati Mei karena Mama menderita down syndrome. Mereka juga tidak mau mendekati Mei karena Mei anak haram.”

    Nenek : “Kamu seharusnya bersyukur, Mei, karena kamu bisa lahir dengan sempurna dan sangat cantik, meskipun mama kamu dalam keadaan yang tidak sempurna.”

    Mei pun terdiam dan kembali memandangi mamanya yang tertawa-tawa.

    Adegan II

    Nenek yang telah selesai berjualan di pasar bermaksud untuk pulang. Namun, di tengah jalan ia ditabrak oleh sebuah mobil.

    Adegan III

    Pelaksanaan pemakaman Nenek. Banyak orang yang hadir.

    Mei : (menangis) “Mengapa Nenek pergi secepat ini? Aku masih sangat membutuhkan Nenek. Aku belum siap merawat Mama sendirian.”

    Pelayat : “Sudahlah, Mei. Kamu harus tabah. Kamu harus merawat Mama kamu dengan baik, demi Nenek kamu.”

    Kemudian semua orang beranjak pergi, kecuali Mei yang masih duduk terdiam di depan makam Neneknya.

    Babak 2

    Adegan I

    Mei sedang menyuapi Mamanya, namun Mamanya tidak mau makan.

    Mei : “Ayolah, Ma. Mama harus makan, kalau tidak nanti Mama bisa sakit.” (sembari menyuapi Mama)

    Mama : (menyemburkan nasi yang disuapkan tadi ke muka Mei)

    Mei : (merasa kesal) “Ya sudah, sekarang Mama istirahat, ya. Ayo tidur.” (membawa Mama ke tempat tidur)

    Mama : (mengacak-acak tempat tidur sambil marah-marah)

    Mei : (merasa frustasi dan berbicara sendiri) “Hah, sabar Mei. Walau bagaimanapun, dia adalah seorang wanita yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu.”

    Adegan II

    Mei terduduk di ruang makan dan kembali merenung.

    Mei : “Aku dan Mama tidak bisa hidup seperti ini terus. Aku harus segera mencari pekerjaan.”
    Mei menghela nafas panjang, lalu menatap koran yang terpapar di hadapannya untuk yang kesekian kalinya, dan melihat sebuah lowongan kerja.
    Mei : “Menjadi penyanyi di kafe? Syaratnya…(membaca persyaratannya) cukup mudah, tidak perlu sekolah yang tinggi. Lagipula, aku sangat membutuhkan pekerjaan sekarang untuk menghidupi diriku dan Mama.”

    Mei pun bergegas menulis surat lamaran dan memenuhi semua persyaratannya.

    BalasHapus
  132. lanjutan

    Naskah drama

    Pak Boss : “Apa yang harus aku lakukan?” (gugup)
    Sejak semalam dirinya tidak bisa tidur. Pikirannya berusaha keras menciptakan tema dan rencana urut-urutan topik yang layak diucapkan, dan hatinya sibuk mereka-reka dan membakukan gaya bicara dan bahasa tubuh yang akan digunakannya untuk berorasi. Siang hari itu Pak Boss harus tampil di podium, berbicara perkara politik di depan massa untuk pertama kalinya sebagai caleg dari Partai Anu dalam sebuah kampanye akbar di lapangan sepakbola di pinggir kota.
    Pak Boss : (gugup dan sulit berkata)
    Di lapangan telah berkumpul massa dari berbagai penjuru. Pak Boss harus mengikuti acara kampanye dari awal.
    Pak Boss : “Aduh, bagaimana ini?” (Pikirannya melayang, cemas, gugup, takut, bangga, dan
    senang)
    Keinginannya untuk melakukan orasi total dan mengagumkan semua orang semakin kuat. Tetapi menghadapi massa hiruk-pikuk yang sedemikian banyak, membuat hatinya terbelah antara keinginan dan ketakutan, dan itu menjadi beban mental yang luar biasa.
    Pak Boss : “Aduh, Tuhan bantu aku!”
    Pikirannya mulai panik, dan otaknya mulai lupa pada semua rancangan orasinya. Berkali-kali ia menyeka wajahnya yang berpeluh, berusaha menenangkan diri dan mengingat-ingat semua hapalannya. Ia semakin gugup saat massa di lapangan gegap gempita menyahut setiap yel-yel partai yang disampaikan sang protokol.
    Lelaki : “Maaf Pak Boss, Bapak Camat menginstruksikan untuk dijemput. Mohon ijin
    pinjam mobil Bapak." (berkata dengan nada berat penuh wibawa)
    Pak Boss : "Silahkan-silahkan." (gugup sembari menyerahkan kunci Alphardnya sambil
    tersenyum sebisanya)
    Begitu lagu mars partainya selesai dikumandangkan, maka Pak Boss segera maju ke podium disambut gemuruh yel-yel dan tepuk tangan massa.
    Pak Boss : “Ehm, ehm…” (tergugup sambil menguatkan hati dan jiwanya)
    Seluruh Massa : Hahaha… (Menertawai Pak Boss).
    Wajah Pak Boss merah padam, ia coba lagi berteriak, tapi salah lagi. Seiring dengan tawa massa yang semakin gemuruh, tubuh Pak Boss jatuh berdebum mencium lantai podium, ia pingsan karena malu tanpa seorangpun yang sempat memeganginya.
    Keluarga : “Aduh, pak malu-maluin kamu ini pak!”
    Pak Boss : “Maaf ya nak, buk. Tadi aku benar-benar gugup.”
    Keluarga : “Ya sudahlah pak, apa boleh buat.”

    Pak Boss dan keluarganya pulang ke rumah dengan perasaan hancur.
    Pak Boss : “Oh Tuhan, buk kita telah banyak kelhilangan benda-benda berharga dan lihat
    Rumah kita berantakan.”
    Keluarga : “Ya ampun pak.” (terkejut melihat kejadian itu)
    Di akhir hari itu, setelah dihitung-hitung dengan seksama, Pak Boss kehilangan sebuah toyota Alphard, sebuah tv 29 inc, sebuah tv plasma 50 inc, dua buah vcd player, seperangkat home teather, uang tunai 1 milyar rupiah dan sejumlah perhiasan yang disembunyikan di bawah almari di dalam kamarnya, satu set sofa mewah, sebuah piano, tiga ikan arowana merah dan dua perkutut kesayangannya, tiga ribu ekor ayam, dan satu ton telur ayam.

    --selesai--

    BalasHapus
  133. Babak 3
    Adegan I
    Sudah sebulan Mei bekerja. Ia mempunyai seorang kenalan bernama Alvian yang berprofesi sebagai pencari bakat.
    Alvian : “Mei, aku punya gagasan yang sangat bagus untukmu.”
    Mei : “Hm? Benarkah? Apa itu?”
    Alvian : “Aku akan menjadikanmu seorang artis terkenal.”
    Mei : (tertawa keras) “Yang benar saja, Alvian. Itu terlalu…tinggi. Terlalu muluk.”
    Alvian : “Kenapa tidak? Kau mempunyai bakat! Kau cantik dan suaramu sangat unik. Kita harus mencobanya.”
    Mei : “Tapi…”
    Alvian : “Tidak ada kata tapi.”
    Mei : (setelah berpikir beberapa lama) “Baiklah kalau kau berkeras.”
    Adegan II
    Mei berada di tempat pemotretan salah satu majalah dan berkenalan dengan Yoga,
    Yoga : “Hai, aku Yoga. Kamu siapa?”
    Mei : “Oh, hai. Aku Mei.” (sambil memandangi Yoga)
    Yoga : “Senang berkenalan denganmu.”
    Mei : (menjawab dengan malu-malu) “Senang berkenalan denganmu juga.”
    Yoga : (berpikir sebentar) “Hei, bagaimana kalau nanti kita jalan-jalan?”
    Mei : (kaget) “Benarkah? Hmm..baiklah.”
    Kemudian Mei dan Yoga sering bertemu dan akhirnya Yoga menyatakan perasaannya pada Mei.
    Yoga : “Mei, apa kau tahu?”
    Mei : “Ya?”
    Yoga : “Selama ini aku menyukaimu. Maukah kau menjadi kekasihku?”
    Mei : (merasa senang) “Tentu saja!”

    Babak 4
    Adegan I
    Mei berada di rumah dengan Mamanya. Namun, tiba-tiba Yoga datang ke rumah Mei dan sudah berada di depan pintu rumahnya.

    Mei : “Ya ampun, bagaimana ini? Yoga telah ada di depan rumah. (panik). Aku tidak mau Yoga melihat keadaan Mama yang begini.”
    Mei pun bergegas mengmbil kunci kamar, membawa Mamanya ke dalam kamar dan menguncinya.
    Mei : “Maafkan aku, Ma. Aku terpaksa.”
    Kemudian, ia membukakan pintu untuk Yoga.
    Mei : “Hai, Yoga. Kok, tumben kamu tiba-tiba datang?”
    Yoga : “Hai, Mei sayang. Aku hanya ingin memberikan kejutan untukmu.”
    Mei : “Oh. Ayo masuk.”
    Yoga dan Mei pun masuk ke rumah.
    Yoga : “Tadi kamu kok lama membukakan pintunya?”
    Mei : “Ohh, (gugup) emm..aku tadi dari kamar mandi. Tadi lama sekali ya? Maafkan aku ya.”
    Yoga : “Tidak apa-apa kok.”
    Yoga dan Mei kemudian bercengkerama . Namun, samar-samar terdengar suara Mama Mei yang menggedor-gedor pintu kamar.
    Mama : (menggedor-gedor pintu kamar dengan keras) “Kamar mandi!! Aku mau ke kamar mandi!!!” (berteriak dengan suara parau)
    Yoga : “Siapa itu, Mei?”
    Mei merasa kesal dan akhirnya membukakan pintu kamar dan mengeluarkan Mama.
    Yoga : (menatap Mei dengan marah) “Aku tidak menyangka kamu bisa berbuat setega itu pada seseorang yang sangat lemah! Kamu tidak punya hati, Mei!”
    Mei : (membalas dengan lantang) “Apa menurutmu kamu bisa menerima aku, kalau kamu tahu, aku adalah anak orang cacat!!!”
    Yoga : (menggeleng-gelengkan kepalanya) “Kamu sudah gila, Mei! Apalagi dia itu mama kamu!” (meninggalkan Mei)
    Mei : (berteriak) “Aahhh!! Ini sudah cukup!” (mendorong mamanya tanpa sadar)
    Mama Mei pun tersungkur di lantai.

    Adegan II

    Mei membawa Mamanya ke sebuah panti. Mama Mei hanya terdiam, namun terlihat sedih. Mei pun menitipkannya disana.

    BalasHapus
  134. Nama : Mukti Supradi
    Kelas : XI IPA 7
    Nomor Absen : 32

    Naskah Drama
    Tema : Krisis Budaya


    Pertunjukkan Yang Menyembuhkan Luka Hati

    Narator: “Di kala hujan deras, lahirlah seorang anak dari pasangan yang sangat
    harmonis dan bercukupan. Setelah 9 tahun berjalan, anak ini telah tumbuh dan telah duduk di bangku dasar. Anak ini bernama Ucok Laton.”

    Ibu Guru: “ Anak-anak, siapa yang mau berbagi cerita tentang orang tua kalian?”
    Ucok: “ Saya Bu!!, Bapak dan Ibu saya penari bu.”
    Ibu Guru: “Wah itu pekerjaan yang sangat menyenangkan, selain bisa menghibur orang lain, itu juga bisa melestarikan budaya bangsa kita.”
    Ucok: “Bapa Ibu saya sangat hebat Bu, mereka menari dengan gagah dan cantik.”
    Ibu Guru: “Yah betul, ibu dapat mengerti betapa indahnya saat mereka menampilkan ketrampilan mereka.”
    Ucok: “Mari pulang, ayo pulang, kita pulang... “(berjalan pulang sambil bernyanyi)
    “Mak, aku pulang...”
    Kirani: “Selamat datang Ton, bagaimana hari ini di sekolahmu?”
    Ucok: “Hari ini ibu guru menanyakan tentang bapa ama ibu, dan Ucok bilang bapak ama ibu itu penari yang hebat.”
    Kirani: “Wah kamu pintar yah Ton udah bisa memberi tahu tentang bapak sama ibu kepada ibu guru. Ibu bangga sama kamu Ton..”(sambil tersenyum gembira)

    Narator: “ Sebenarnya Bapak Ucok bekerja sebagai pemain pentas wayang, karena sering ada sedikit tarian maka saat Ucok melihat Bapaknya, Ucok menganggap bahwa Bapaknya penari.Ucok ikut dengan ibunya ke suatu tempat penampilan tarian pendet dimana ibu Ucok bekerja sebagai penari”

    Kirani: “Ton kamu duduk disini dulu yah, sambil melihat-lihat penampilan Ibu di sana”
    Ucok: “Baik bu!’(dengan sangat antusias ingin melihat tarian pendet yang diperankan oleh Ibunya)

    (Terdengar suara-suara musik dan kentungan merdu dari alat-alat musik tradisional yang dimainkan para pekerja musik seni tari sebagai pemberi suara berupa musik tradisional)

    Ucok: “Wah indah sekali tarian Ibu..”(melihat seakan melihat malaikat)

    (Pertunjukkan pun selesai)

    Kirani: “Bagaimana Ton, suka??”
    Ucok: “Sukaaaa.. tapi bapak kemarin juga gagah mainnya”
    Kirani: “Iya Bapakmu seorang seni wayang sangat gagah saat bekerja”
    Ucok: “Tapi Bapak memakai pakaian yang sedikit menyeramkan”
    Kirani: “Itulah yang dimaksud Seni Wayang”
    Ucok: “Begitu ya Bu, tapi Bapak sangat gagah saat penampilannya”
    Kirani: “Tentu saja, itu kan Bapakmu”
    Ucok: “Bu, Ucok lapar!’
    Kirani: “Sabar yah Ton, Ibu ganti pakaian dulu baru kita pulang dan makan”
    Ucok: “Iya bu”

    BalasHapus
  135. (sesampainya dirumah)

    Anang: “Bapak pulang..!’
    Ucok: “Asik bapak pulang..”

    (Mereka bertiga makan bersama di rumah mereka dan setelah itu mereka berkumpul di ruang tamu)

    Anang: “Bagaimana Ton, apa mau menonton bapak tampil lagi?”
    Ucok: “Mau pak, Ucok ikut..!”
    Anang: “Baiklah, kita besok pergi ke tempat bapak bekerja”

    (Keesokan harinya, Ucok pergi bersama Ayahnya ke tempat kerja ayahnya.
    Ucok menonton penampilan ayahnya serta teman-teman ayahnya tanpa bosan dan
    dengan rasa terkagum-kagum. Setelah pertunjukkan selesai, mereka berdua pulang
    dengan hati gembira.Sampailah mereka di rumah)

    Anang: “Ton, bapak mau beri tahu kalau bapak sama ibu akan pergi ke luar kota untuk bekerja.”
    Ucok: “Iya pak, biar Ucok tinggal sama paman”
    Kirani: “Ton baik-baik yah tinggal di sana, jangan nakal dan harus hormat sama paman”
    Ucok: “Iya bu, Ucok akan baik tinggal di rumah paman.”
    Anang: “Baguslah, bapak sama ibu tidak perlu kuatir lagi. Kalau bapak sama ibu pulang Laton mau titip apa?”
    Ucok: “Ucok ingin dibeliin robot gundam pak”
    Kirani: “Tapi janji harus patuh ama paman saat tinggal di sana”
    Ucok: “Ucok janji bu”
    Anang: “Pasti bapak beliin robot gundam kesukaanmu”
    Ucok: “Asikk... Robot Gundam....”

    (Keesokan harinya, orang tua Ucok pergi untuk bekerja ke luar kota, tetapi terdapat
    kejadian yang sangat tak terduga. Kapal yang ditumpangi kedua orang tua Ucok
    tenggelam akibat kerusakan mesin kapal. Setelah kejadian itu, diketahui bahwa orang
    tua Ucok meninggal dalam kecelakaan itu.)

    Ahui (Paman Ucok): “Ucok, paman mendapat kabar buruk tentang orang tuamu. Mereka meninggal akibat kecelakaan pada kapal yang ditumpangi mereka”(Saat memberitahu, Ahui dalam keadaan shock dan sedikit mengeluarkan air mata)
    Ucok: “Baa..pak, Ib,,u.. Aaaaaaaaaaa”(Ucok terkejut, menangis, berteriak memanggil orang tuanya, dan terlihat sekali batin serta mental Ucok menjadi lemah)
    Ahui: “Sabar Cok, kamu harus terima semua ini, ini kehendak Tuhan, kamu masih punya paman, paman akan selalu menjagamu. Kamu harus tabah menerima ini”

    (Ucok tidak kuat menerima kejadian ini. Akhirnya batin Ucok menjadi tak menentu.
    Ucok menjadi orang yang pendiam. Ucok selalu berpikir bahwa orang tuanya
    meninggal akibat dari pekerjaan mereka yaitu seni dan tari.)

    BalasHapus
  136. (5 tahun pun berlalu dari kejadian itu. Selama 5 tahun itu, Ucok tidak pernah lagi
    melihat tari pendet dan seni Wayang manusia. Kini Ucok duduk di sekolah menengah
    pertama)

    Adri: “Halo Cok, kok kamu diam terus, ayo mari kita bermain bola di lapangan bersama teman-teman”
    Ucok: “Malas ah, entar saya capek”
    Nuno: “Ah kamu, kalo ga berolahraga entar tubuhmu kayak patung loh”
    Adri: “Nah tuh dengar kata Nuno, entar kaku seperti patung, hahaha..”
    Ucok: “Okay okay, aku ikut..”

    Narator: “Semenjak Ucok mengenal dengan Adri dan Nuno, Ucok sedikit demi sedikit dapat meninggalkan sifat pendiamnya, dan mulai beraktifitas seperti orang biasa, tapi masih belum bisa melupakan trauma terhadap seni budaya yang mengakibatkan orang tuanya meninggal”

    (Setelah mereka bermain, waktunya untuk masuk kelas dan percakapan mereka berlanjut lagi di saat waktu istirahat)

    Adri: “Oi kalian tahu ga entar pelajaran kesenian dan ketrampilan kita disuruh mengarang tentang seni-seni yang ada di Indonesia, negara kita sendiri”
    Nuno: “Serius kamu Dri? Aku aja baru tahu sedikit tentang budaya-budaya di Indonesia”
    Adri: “Iya, kelas lain juga disuruh mengarang begitu”
    Nuno: “Kalo kamu Cok, bagaimana tentangmu? Apa kau banyak tahu tentang seni di Indonesia?”
    Ucok: “Tidak juga” (dengan muka sedikit pucat dan lesu)
    Adri: “Yah kita siap-siap aja untuk membuat karangan itu, hahaha.. saatnya mengarang indah ditunjukkan”

    (Waktunya istirahat selesai, guru kesenian mereka masuk ke dalam kelas)

    Artom(guru kesenian): “Pagi anak-anak”
    Murid-murid: “Pagi Pakk”
    Artom: “Hari ini kita akan belajar tentang budaya bangsa Indonesia. Semoga kalian mengetahui budaya bangsa kita dengan sangat jelas biarpun hanya satu. Buatlah satu karangan mengenai budaya Indonesia yang kalian ketahui.”
    Murid-murid: “Baik pak”

    (Setelah 65 menit berlalu)

    Artom: “Saatnya tugas dikumpulkan, kumpulkan perbaris. Pelajaran kita sampai di sini, Selamat pagi anak-anak”
    Murid-murid: “Terima kasih pak”

    (Bel berbunyi waktunya pulang)

    Adri: “No, Cok, bagaimana karangan kalian? Selesai? Bisa ga?
    Nuno: “Sedikit bisa tapi masih mengarang indah. Kalau kau Cok gimana?”
    Ucok: “Begitulah, aku hanya menulis yang kutahu saja”

    BalasHapus
  137. Adri: “Hmm kalau saya hahaha.. karangan asal-asalan. Semoga sukses yah kalian berdua, by the way gua pulang dulu ya”
    Nuno: “Saya juga, saya mau ngelanjutin main playstation hehe”
    Ucok: “Ok, kalian berdua hati-hati di jalan ya”
    Adri: “Sampai besok”

    Narator: “Adri dan Nuno tidak tahu bahwa pekerjaan orang tua Ucok dahulu adalah seorang pekerja seni dan mereka hanya tahu bahwa Ucok yatim piatu.”

    (1 minggu berlalu dan pelajaran kesenian kembali ditemui murid-murid)

    Artom: “Pagi anak-anak”
    Murid-murid: “Pagi pak”
    Artom: “Bapak sudah memeriksa semua karangan kalian. Ada yang tak nyambung, ada yang menciptakan tempat berasalnya seni sendiri, dan lain-lain. Tapi ada seseorang yang sangat bagus dan tepat saat menuliskan karangannya. Bapak akan membagikan hasil dari karangan kalian.”
    Nuno: “Asik hasilnya lumayan nih”
    Adri: “Aduh hahahaha.. nilai pas-pasan. Cok bagaimana denganmu?”
    Ucok: “Nih..”
    Nuno+Adri: “Wuahhh...!!”
    Adri: “Nilaimu menakjubkan Cok”
    Nuno: “Ternyata kamu sangat tahu tentang tari pendet dan seni wayang. Kamu tahu kedua seni tersebut darimn Ucok?”
    Ucok: “Dari kedua orang tuaku. Mereka pekerja kedua budaya itu.”
    Adri: “Kamu tidak pernah cerita tentang itu, dan saat aku mengajak ngobrol tentang seni-seni dari wajahmu tidak ada rasa tertarik”
    Ucok: “Yah begitulah”
    Nuno: “Kamu hebat Ucok, satu dari 40 siswa”
    Artom: “Baiklah anak-anak silakan duduk tempat masing-masing, kita akan melanjutkan pelajaran selanjutnya.”

    (Pelajaran pun dilanjutkan, dan bel pulang pun berbunyi)
    Nuno: “Asik pulang.. capek sekali hari ini haha”
    Adri: “Ayo kita main bola, mumpung besok ga ada PR”
    Nuno: “Ayo ayo, Cok ayo ikut”
    Ucok: “Iya saya ikut”
    Adri: “Teman-teman ayo kita bermain bola, bagi yang mau ikut ke lapangan sepak bola ya”

    (setelah asik beramin, mereka pulang bersama)

    Adri: “Haha reguku menang, kalian berdua ketinggalan 2 gol”
    Nuno: “Iya nih, sial banget gue nendang 5 kali hampir masuk, eh malah miring arah bolanya”
    Ucok: “Saya masukin 1 gol, cukup puas hihi”
    Nuno: “Saya sampai disini dulu yah, gue naik bus”
    Adri: “Gue juga, gue jalan ke arah utara soalnya disana arah rumah saya, saya juga pisah di sini ya”
    Ucok: “Ok, hati-hati kalian berdua”

    BalasHapus
  138. Nuno: “kau juga Cok”
    Adri: “sampai besok yah semua”

    (keesokan harinya saat istirahat pertama)

    Adri: “Woi Ucok, aku ada 3 tiket ke acara seni tari pendet nih, mau ikut ga?? Nuno sudah setuju mau ikut.
    Nuno: “Iya aku pengen melihat tari yang kau ceritakan di karangan mu itu Cok”
    Ucok: “Saa.. a ya tidak ikut, maaf teman-teman saya ada pekerjaan di rumah jadi saya tidak bisa ikut”(dengan wajah sedih dan juga berbohong pada kedua temannya)
    Adri: “Yah sudah, saya ga maksa kok, gua tahu kenapa kau tidak bisa ikut. Aku ajak teman lainnya aja ya, ajak Rido aja dah”
    Nuno: “Padahal aku ingin kau ikut Cok, kan ada yang beritahu lebih jelas tentang tari itu entar”
    Ucok: “Maaf No, aku benar-benar tidak bisa, kalian berdua selamat besenang-senang yah”
    Nuno: “Okelah kalo gitu”

    (Bel tanda istirahat pertama pun berbunyi. Kemudian setelah beberapa jam, bel istirahat kedua berbunyi)

    Adri: “Cok, No, ayo kita ke kantin”
    Rido: “Mari kita ke kantin”
    Nuno: “Ayo, perut gue juga lapar”
    Ucok: “Ayo makan”

    (Mereka berempat duduk di kantin dan makan makanan masing-masing)

    Rido: “Cok katanya kamu tahu banyak tentang tari pendet yah, kenapa kamu ga ikut ke acara itu.”
    Ucok: “Saya ada urusan di rumah entar”
    Rido: “Ooo saya juga penasaran yang diceritakan sama Adri kalau tari pendet itu bagus sekali seperti yang diceritakan di karanganmu.”
    Adri: “Haha bagi kita yang belum melihat sepertinya sangat berarti untuk kita”
    Nuno: “Semoga bagus yah pertunjukkannya”

    (bel masuk berbunyi. Dan setelah pelajaran selesai, waktu pulang pun tiba)

    Nuno: “Ucok, kami pergi dulu yah ke pertunjukkan tari pendet itu. Kami ingin lihat sebagus apa tarian budaya kita hehe”
    Ucok: “Yah silakan”
    Adri: “Kami pegi dulu yah”
    Rido: “Sampai besok Ucok”

    Narator: “Nuno, Adri, dan Rido setelah pulang sekolah langsung melihat tari pendet tersebut. Mereka sangat kagum terhadap tarian tersebut. Tarian tersebut membuat mereka nyaman dan sadar akan keindahan budaya bangsa”

    (Esok harinya di pagi hari istirahat pertama)

    BalasHapus
  139. Adri: “Ucooookkkk, nyesal sekali kamu tidak melihat tari pendet itu. Menakjubkan bagus dan indahnya. Penari nya cantik-cantik lohh”
    Nuno: “Hahaha.. Adri ngeliat penari nya aja ampe ga berkedib gitu”
    Adri: “Wakaka kamu tahu aja No, tapi tariannya itu juga bagus”
    Rido: “Iya penari dan tariannya sangat menarik dan perpaduan yang sangat indah”
    Nuno: “Tapi kenapa yah orang jaman sekarang masih tidak peduli dengan tarian-tarian seperti itu dan juga budaya-budaya bangsa yang lainnya. Padahal kan itu peninggalan bangsa yang sangat berharga”
    Rido: “Betul, orang-orang zaman sekarang lebih menyukai budaya asing daripada budaya sendiri. Mereka mesti melihat tarian itu biar mereka sadar bahwa tarian kita itu tidak ada saingannya”
    Adri: “Kalian berdua seperti guru aja, biarkanlah mereka yang tidak menyukai budaya sendiri tetapi kan masih banyak yang peduli sama budaya kita”
    Nuno: “Saya salut sama pekerja seni budaya itu. Mereka sampai sekarang masih melestarikan budayanya. Semoga mereka tidak pernah bosan dan terus meneruskan budaya mereka itu.”
    Adri: “Oh iya, kamu belum pernah melihat tarian pendet lagi kan Cok?”
    Ucok: “Iya semenjak SD hingga sekarang aku belum melihat lagi tarian itu, dan aku tidak ingin melihatnya”
    Rido: “Eh aku dipanggil temanku, aku pergi kesana dulu yah”
    Adri: “OK do, tapi Cok lebih bagus kalau kau cinta dengan budaya kita sendiri”
    Ucok: “Sulit untuk aku mengingat itu lagi”
    Nuno: “Saya tahu bagaimana perasaan mu Cok, semoga kau bisa lebih tabah dan dapat melupakan trauma dalam dirimu.”
    Ucok: “Iya terima kasih”

    Narator: “Akhirnya mereka bertiga harus berpisah. Waktu kelulusan dari sekolah menengah pertama tiba.”

    Adri: “Kalian berdua jangan lupakan aku yah, aku tak akan lupakan kalian berdua”
    Nuno: “Pasti dri pasti itu, kau juga Cok, aku ga akan lupakan dirimu”
    Ucok: “Terima kasih udah menjadi sahabatku selama ini. Semoga kalian sukses nanti di masa depan”
    Adri: “Sama-sama Cok. Oh iya cita-citamu nanti kira-kira apa Cok? Kalau aku ingin jadi pemilik hotel yang megah. Dan aku juga bisa menampilkan budaya-budaya Indonesia nanti di hotel ku jika aku bisa mencapai cita-citaku ini.
    Ucok: “Aku, masih tidak tahu, mungkin aku akan jadi wiraswasta”
    Adri: “Dan kau No, mau jadi apa nanti dewasa? Jangan-jangan kamu nanti tukang salon, hahaha”
    Nuno: “Enak aja, aku ingin jadi dokter gigi, hahaha bertemu dengan jigong orang-orang”
    Adri: “Haha.. Semoga sukses yah No, aku yakin kau bisa”
    Ucok: “Semoga kalian berdua bisa mencapai cita-cita kalian masing-masing. Dan nanti kita bisa berjumpa lagi dengan kesuksesan di tangan kita”

    (Kini Ucok telah masuk ke SMA dan menduduki kelas 3 SMA. Dan di saat di dalam kelas)

    Arin: “Kalian lihat ga nih jam tangan import, bagus ga ? Mahal loh!”
    Timi: “Wah aku aja pakai sepatu dari Australia diam-diam saja”

    BalasHapus
  140. Arin: “Oh iya Tim, baju yang kemarin kita lihat di mall sekarang jadi tren loh di luar negeri.”
    Timi: “Wah kita harus beli dan pakai itu. Biar dibilang ga ketinggalan zaman”
    Ucok: “(Hmm orang zaman sekarang telah berubah)” (berkata dalam hati, saat Ucok mendengar percakapan Arin dan Timi)
    Anita: “Kalian berdua suka dengan tari piring ga?”
    Arin: “Apa itu tari piring? Pernah dengar sih tapi ga tau itu tari apaan”
    Timi: “Emang penting yah??”
    Anita: “Menurut saya itu penting untuk tahu sendiri budaya bangsa yang dimiliki negara kita”
    Arin: “Ah itu kan menurut loe, kalau menurut kami, tidak penting”
    Timi: “Mending kita tahu fashion-fashion zaman sekarang biar dikatain modern gitu”
    Anita: “Oh begitu yah, ternyata bangsa kita sekarang benar-benar terjadi krisis budaya”
    Ucok: “(Benar kata Anita, itulah sebabnya budaya-budaya kita semakin lama semakin banyak yang hilang dan juga di klaim ama negara lain)
    Bogi: “Hai Cok, mau pergi ke kantin ga?”
    Ucok: “Ayo mari”

    (Setelah membeli makanan, mereka berdua kembali ke kelas)

    Bogi: “Ucok kamu tahu gak kalau budaya kita sekarang udah diambil ama negara lain”
    Ucok: “Tahu kok”
    Bogi: “Bagaimana menurutmu?”
    Ucok: “Salah satu penyebabnya mungkin kurangnya kecintaan rakyat pada budaya bangsa”
    Bogi: “Iya juga ya, padahal kita menciptakan itu susah payah, kemudian diambil seenaknya aja ama negara lain”
    Ucok: “Yah akibat dari kurangnya kepercayaan dan kecintaan masyarakat dengan budaya nya”
    Bogi: “Kalau kamu Ucok, apa kau pernah melihat pertunjukkan budaya kita dan apa kau cinta dengan budaya kita”
    Ucok: “Aku pernah melihat penampilan dari seni tari tapi sudah sangat lama, aku hampir tak mengingatnya lagi dan aku cukup cinta dengan budaya kita”
    Bogi: “Baguslah, kalau aku masih mencintai budaya kita, aku suka melihat seni budaya, hasil ketrampilan pekerja dan lain-lain. Dan itu sangat indah, menakjubkan.”
    Ucok: “Yah saya tahu itu”

    (waktu belajar di sekolah selesai)

    Martin: “Ucok, mau ikut nonton tari pendet dan melihat-lihat hasil karya budaya kita nggak?”
    Kevin: “Iya Cok, ayo kita lihat-lihat, biarpun hanya 4 orang tapi kan kita harus bangga dengan budaya kita, yang lainnya pada ga mau ikut semua”
    Ucok: “Maaf teman-teman, aku ada urusan di rumah yang ga bisa ditunda”
    Martin: “Hmm baiklah, kami gak bisa maksa kau untuk ikut. Kalau begitu kami pergi dulu yah”
    Ucok: “Ya, selamat senang-senang”

    BalasHapus
  141. Narator: “Begitulah kehidupan Ucok, selalu menghindar dari ajakan teman untuk melihat tari pendet. Akhirnya Ucok lulus dari SMA dan melanjutkan kuliah.”

    (di suatu hari, Ucok pergi ke suatu perkampungan dan di sana terdapat sebuah kelompok yang melakukan tari pendet)

    Ucok: “Wah itu ada apa yah, kok ramai sekali (dengan wajah penuh penasaran). Aku akan melihat apa yang terjadi di sana.”

    (terdengar suara-suara merdu yang terdengar di telinga Ucok seperti musik yang tidak asing lagi bagi dirinya)

    Ucok: “Itukan kalau ga salah bunyi musik tari pendet. Saya tidak boleh melihat, saya harus pergi dari sini. Ah kenapa dengan tubuhku, tubuhku tidak mau bergerak untuk menjauh dari tempat ini. Kakiku seakan bergerak sendiri mengajak ku ke suatu tempat.”

    (Akhirnya Ucok melihat tari pendet tersebut)

    Ucok: “Kenapa aku mengeluarkan air mata? Apakah aku sedih melihat tari ini. Tetapi perasaanku mengatakan lain. Rasa dalam diriku merasa sangat tenang dan nyaman melihat tari pendet itu. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Ternyata aku sadar, bahwa kecintaan ku pada seni budaya tidak bisa ditolak. Aku sadar bahwa seni tari ini bukanlah penyebab orang tuaku meninggal.”

    (Ucok Menonton tari pendet itu dengan hati yang sangat bahagia, rasa yang membawanya pada ketentraman hati waktu ia kecil dan hidup bersama orang tuanya)

    Ucok: “Saya berjanji saya akan melestarikan budaya bangsa Indonesia ini. Biarpun mereka yang tidak menyukai budaya ini, saya yakin saya bisa membuat mereka semua tertarik pada budaya kita. Saya akan membuat krisis budaya menjadi kaya budaya.”

    Narator: “Setelah lulus kuliah, Ucok menjadi seorang Ketua Pelestari Budaya Indonesia.”

    (Pada suatu hari dimana Ucok telah menjadi pemimpin pembudidayaan budaya)

    Adri: “Kamu Nuno kan!”
    Nuno: “Adri itu kamu? Apa kabar Adri? Waw kau berubah sekali sekarang. Bagaimana pekerjaanmu sekarang”
    Adri: “Baik, sekarang aku jadi Direktur Hotel Cinta Bangsa. Kalau kamu No?”
    Nuno: “Dokter donk Dri, kita berdua sudah sukses dan akhirnya cita-cita kita sudah tercapai. Sekarang tinggal Ucok, aku ingin tahu apa dia sudah jadi seperti kita”
    Adri: “Yah mungkin dia jadi wiraswasta.”

    (Adri Nuno pergi ke suatu tempat dimana mereka menonton tarian pendet waktu SMP)

    Adri: “Disini tempatnya aku masih ingat hahaha”

    BalasHapus
  142. Babak 5
    Adegan I
    Di suatu sore, Mei sedang berada di rumahnya. Kemudian, Alvian tiba-tiba saja datang kerumahnya.
    Alvian : (dengan wajah genit) “Mei, aku punya tawaran khusus buat kamu.” (menyentuh dagu Mei dan menariknya pelan)
    Mei : (berkelit) “Apa itu, Mas?”
    Alvian : (duduk di sofa dan menatap ke sekeliling sudut rumah kumuh Mei) “Kurasa seorang artis secantik kamu tidak sepantasnya tinggal di gubuk seperti ini. Bagaimana kalau aku tawarkan ke kamu sebuah apartemen mewah, kamu mau?”
    Mei : “Benarkah?” (terkejut)
    Alvian : “Aku serius, asal…(terdiam sejenak) asal kamu mau melayani aku.”(dengan tangan yang menggerayangi tangan Mei)
    Mei : (mengibaskan tangan Alvian) “Aku tidak mau. Maaf.”
    Alvian : “Kalau dengan Yoga kenapa kamu mau? Dia itu masih miskin bila dibandingkan dengan aku, Mei!”
    Mei : “Tapi aku mencintai dia! Itu beda!”(menjawab dengan tegas)
    Alvian : (kembali memaksa Mei) “Tetapi aku sangat mencintaimu, Mei. Aku tergila-gila padamu. Aku sangat ingin memilikimu”
    Mei : “Sekali kubilang tidak, tetap tidak!”
    Alvian kemudian mencoba memperkosa Mei. Tubuh Alvian yang berat kini telah menindih Mei. Mei pun dengan segenap kekuatannya terus berusaha melawan Alvian.
    Mei : “Lepaskan aku!”(meronta-ronta)
    Kemudian Mama Mei datang dan memukuli punggung Alvian dengan sapu, sambil berteriak-teriak parau.
    Mama : “Aaahhhhhh!!!!” (histeris dan berteriak-teriak parau)
    Alvian berusaha melepaskan diri dari amukan Mama, dan berhasil mengambil sapu itu dari tangan Mama. Lalu, DUGHH!!! Alvian menyodok perut Mama dengan sapu yang dipegangnya sekeras-kerasnya hingga Mama terjatuh tepat di atas meja kaca.
    Mei : “Mama!!!” (bergegas menolong Mama)
    Sementara Alvian lari tungggang langgang ketakutan.
    Adegan II
    Mei melihat mamanya bersimbah darah terkena pecahan-pecahan kaca.
    Mama : “Aku mau tinggal di rumahku. Jangan bawa aku kemana-mana ya.” (tersenyum)
    Mei : “Tapi aku mau bawa Mama ke rumah sakit, luka Mama sangat parah.”
    Mama menggeleng lalu menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Mei. Mei pun berniat mengangkat tubuhnya, ternyata salah satu rangka besi meja itu menancap di punggungnya, tepat menembus jantungnya. Mei pun berteriak-teriak histeris.
    Mei : (menangis dan histeris) “Mamaaaaa!!!”
    Lalu terdengar suara telepon, kemudian Mei mengangkatnya dengan tangan berluuran darah.
    Petugas panti : “Halo, bisa bicara dengan Mbak Meira? Ini dari panti. Saya mau minta maaf dan memberitahu Mbak, kalau ibu Mbak kabur dan saya tidak tahu ke mana. Apakah beliau sudah sampai di rumah, atau…” (telepon terputus)
    Mei kemudian menutup telepon dan kembali menangis.
    Mei sangat menyesal telah menyingkirkan Mama hanya karena kecacatannya, sementara di balik semua itu tersimpan rasa cinta yang begitu dalam kepada Mei.
    Mei : “Mama, maafkan aku.”(menangis)

    Babak 6
    Mei kemudian diadili di sebuah pengadilan dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara karena telah nekad membunuh Alvian. Mei kemudian dibawa oleh seorang sipir ke dalam selnya. Mei hanya bisa memandangi setiap sudut selnya sambil menangis.

    BalasHapus
  143. Nuno: “Ayo kita masuk”

    (terdengar musik-musik bersuara)

    Ucok: “Adri, Nuno apa benar-benar kalian”
    Adri: “Ucoookkkk!! Kok kau bisa ada di sini?”
    Nuno: “Bagaimana kabarmu Cok?”
    Ucok: “Aku sehat, aku disini sedang memeriksa dan membuat pertunjukkan seni tari pendet lebih besar dan dapat dinikmati masyarakat luas.”
    Nuno: “Sekarang kamu jadi pekerja di seni ini?”
    Ucok: “Tidak, aku hanya anggota Ketua Pelestari Budaya
    Adri: “Sulit dipercaya, Ucok yang dulu nya tidak ada bayangan untuk melihat tari pendet lagi sekarang menjadi Ketua Pelestari Budaya di negara ini. Bangga aku punya teman seperti mu Ucok.”
    Nuno: “Bagaimana bisa kamu berubah seperti ini Ucok?”
    Ucok: “Saat aku melihat tari pendet, mata batinku terbuka dan seolah membuat diriku untuk membuat masyarakat negara kita menjadi cinta dengan budaya kita bahkan aku ingin negara lain mengakui dan menyukai budaya-budaya kita”
    Adri: “Hebat kamu Cok, sudah bisa menghilangkan trauma dalam dirimu.”
    Nuno: “Berarti kami bisa diajarkan tentang pengetahuan budaya-budaya negara kita secara gratis donk.”
    Ucok: “Haha dengan senang hati aku akan menceritakan semuanya pada kalian tentang budaya kita ini.”
    Adri: “Akhirnya kita mencapai tujuan masing-masing dan suatu mukjizat kita berkumpul lagi seperti sekarang.”

    Narator: “Akhirnya mereka bertiga menjadi sahabat kembali setelah sekian lama berpisah dan Adri serta Nuno mendukung Ucok dan juga membantu Ucok dalam memperkenalkan budaya-budaya Indonesia kepada rakyat Indonesia.”

    BalasHapus
  144. Nama : Agnes Wijaya
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 02
    Tema : Patriotisme dan Kepahlawanan
    Sumber : http://www.sriti.com/story_view.php?key=2535

    Cerpen

    Kesaksian Kalis

    Langit tiba-tiba menghitam. Sekumpulan burung gagak melintas sambil melantunkan suaranya yang mempercepat kelam. Hujan renyai turun tak lama berselang. Upacara bendera pagi itu terus saja berlangsung meski baru dimulai beberapa saat. Barisan peserta upacara yang terdiri atas pegawai kantoran, anak-anak sekolah, lapisan masyarakat dan pemuda di tingkat kecamatan itu mulanya masih mencoba bertahan. Termasuk Walikota yang menjadi inspektur upacara dalam perayaan kepahlawanan itu. Sementara para pejabat dan tokoh masyarakat yang sejak semula duduk di bawah tenda, tak begitu terpengaruh oleh cuaca.
    Inspektur Upacara mengajak semua hadirin mengheningkan cipta. Layaknya sebuah upacara bendera, semua peserta upacara menurut saja. Tapi, bariasan anak sekolah mulai berpencar satu demi satu seiring hujan yang kian lebat.
    Entah mengapa, Inspektur Upacara makin memperlama tepekur untuk menanamkan perasaan dalam mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur. Barisan upacara yang lain juga ikut berpencar mencari tempat berteduh yang paling nyaman di sekitar lapangan sepakbola yang disulap menjadi lapangan upacara itu.
    Ketika Walikota yang benar-benar kuyup tersiram hujan lebat itu memberi aba-aba bahwa mengheningkan cipta sudah selesai, hatinya jadi kecewa dan gundah. Sebab, yang tersisa di lapangan upacara hanya dirinya sendiri dan seorang Komandan Upacara. Peserta upacara yang berada di bawah tenda menyikapi suasana itu sangat beragam. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal. Ada yang berbisik-bisik sambil geleng gepala. Ada pula yang jatuh sedih sambil beruraian airmata.
    Pembaca acara jadi terdiam ketika akan membacakan acara berikutnya. Padahal bendera merah putih belum sempat dinaikkan. Sementara pasukan pengibar bendera pun sudah kabur entah ke mana bersama bendera yang akan dikibarkan pagi itu.
    "Upacara harus diteruskan. Para pahlawan kita dulunya berperang tidak hanya dihujani air melainkan dihujani peluru musuh. Ini hanya karena diguyur hujan, sudah pontang-panting meninggalkan upacara. Di mana rasa patriotisme kalian!?" teriak Walikota dengan suara lantang yang terdengar sayup karena gemuruh hujan yang dahsyat.
    Dua-tiga orang mantan pejuang yang semula duduk di bawah tenda langsung melompat ke lapangan berhujan-hujan dengan Walikota dan Komandan Upacara, seorang prajurit tentara yang lengkap dengan pedang di tangan. Para juru potret dan kamerawan TV dari bawah tenda terus saja mengabadikan upacara kepahlawanan yang kosong-melompong itu. Kalis, seorang lelaki tua yang sudah ubanan tampak sedih dan menghapus airmatanya yang keruh menyaksikan adegan itu.
    "Teruskan saja upacara ini," ucap Kalis sambil memandang pembawa acara yang berada di sampingnya.
    "Tapi peserta upacara sudah bubar semua, Pak," tanggap pembawa acara, seorang perempuan muda berbaju putih dan berpeci.
    "Teruskan saja...Tak apa-apa!" balas Kalis lagi.
    "Ini pengibaran bendera, Pak. Siapa yang akan melaksanakannya. Pasukan pengibar bendera sudah berpencar ke mana-mana..," tanggap pembawa acara masygul dan gugup.
    "Teruskan saja. Saya masih melihat ratusan peserta upacara masih ada. Pasukan pengibar bendera juga ada," kata Kalis dengan nada yang mulai tinggi. Ia agak kesal.

    BalasHapus
  145. Benar, Kalis memang sedang menyaksikan sebuah pemandangan yang heroik. Ratusan pejuang , sebagian besar dengan bertelanjang dada dan hanya sebagian kecil yang berbaju tentara rakyat yang lusuh sejak semula tetap di tempatnya mengikuti upacara bendera itu. Mereka selalu muncul di lapangan upacara itu tanpa bisa dilihat banyak orang. Barangkali, hanya Kalis yang punya kemampuan menatap mereka.
    Pembawa acara perempuan itu terpaksa membacakan mata acara pengibaran bendera. Inspektur upacara berbalik ke arah tiang bendera. Suasana benar-benar hening dan mencekam di tengah hujan yang terus menderas. Beberapa saat hening. Semua mata tertuju ke tiang bendera yang terus diguyuri hujan itu.
    Tiba-tiba, sehelai bendera merah putih yang terlipat terbuka. Bendera itu diikatkan ke tali penggerek. Dan posisi bendera itu terkembang secara tak terduga dan siap untuk ditarik ke puncak tiang. Tapi tidak, bagi Kalis sebenarnya secara terbuka menyaksikan ada empat orang pejuang yang menggerek bendera merah putih itu.
    Inspektur Upacara langsung memberikan aba-aba penghormatan.
    "Kepada bendera merah putih, hormat geraaaak!" pekik Inspektur Upacara yang kian kedinginan karena terus diguyur hujan deras. Semua peserta upacara yang tersisa memberikan penghormatan sambil menyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bendera itu pelan-pelan menaik ke atas tanpa ada yang menggereknya. Antara tercengang dan takjub, penaikan bendera itu berlangsung lancar. Meskipun saat bendera sudah sampai ke puncak, tak bisa berkibar karena basah kuyup.
    Semua peserta upacara kian tercengang. Tak habis percaya. Termasuk Inspektur Upacara yang Walikota itu. Kenapa sepotong bendera bisa naik ke puncaknya tanpa terlihat se- orang pun yang menggereknya. Sehabis upacara, semua peserta yang masih tertinggal menyerbu Walikota di podium. Kalis hanya menyaksikan dengan tersenyum menahan kesedihan.
    Pembawa acara perempuan tadi langsung mendekati Kalis. Tangannya yang lembut menyentuh pundak lelaki tua itu dengan takjub.
    "Pak, apa yang terjadi? Ada apa, Pak?" tanya pembawa acara yang kemudian diketahui bernama Salmiah itu penuh ingin tahu.
    Semula Kalis tak bergeming dan tak peduli. Tapi lama-kelamaan, nuraninya lentur juga menatap perempuan muda itu.
    "Syukurlah, upacara bendera ini berlangsung lancar hingga selesai."
    "Tapi, kenapa bendera itu bisa naik sendiri?" desak Salmiah.
    "Tentu ada yang menaikkannya."
    "Siapa, Pak?"
    "Tak perlu kau tahu saat ini. Suatu ketika kau akan tahu sendiri..."
    "Sungguh ajaib, Pak."
    "Ini bukan keajaiaban. Ini kenyataan.."
    "Kenapa bisa, Pak?" desak Salmiah lagi tetap merasa tak puas.
    "Sulit untuk dijelaskan sekarang."
    "Kapan Bapak membuka tabir misteri ini?"
    Kalis yang mengenakan pakaian seragam Veteran lengkap itu tampak merenung-renung. Pertanyaan Salmiah membuatnya kecut. Sungguh, ia amat takut berjanji bila hal itu sulit ditepati. Dalam perenungan yang belum berakhir itu, tiba-tiba Walikota sudah berada di depannya. Sejumlah juru potret dan kamerawan handycam itu mengerumuninya.

    BalasHapus
  146. Walikota rupanya baru saja didesak para wartawan untuk menjawab misteri pengibaran bendera yang jarang terjadi itu. Walikota memang kenal betul bila Kalis, bekas pejuang itu punya kelebihan dalam melihat hal-hal yang gaib.
    "Pak Kalis, bisa ceritakan bagaimana bendera itu bisa naik sendiri?" tanya para wartawan berdesakan.
    "Ya, tentu ada yang menggerakkannya?" tanggap Kalis datar. Tanpa mimik.
    "Siapa, Pak? Siapa, Pak?" desak para wartawan serempak.
    "Bukan siapa-siapa. Ya, mereka itulah..." kata Kalis membuat semua orang mengejar jawaban sebenarnya.
    "Mereka itu, siapa, Pak?" kejar wartawan lagi.
    "Ya, nantilah. Suatu saat aku akan ceritakan semuanya..," suara Kalis tetap tenang dan datar.
    "Jangan begitulah, Pak. Kami ingin memberitakannya untuk pembaca koran kami..," tanggap para wartawan tak sabar.
    Kalis tampak menekur beberapa lama. Mulutnya berkomat-kamit bagaikan membaca mantera. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kantong baju dan menyulutnya. Ia mengisap rokok itu dalam-dalam. Suara napasnya terdengar meringkih karena kebiasaan merokok tak pernah berhenti dalam usianya yang kian senja. Suasana kian hening dan tetap saja mencekam. Hujan tampak tak kunjung reda.
    "Begini.... ada yang merekam peristiwa tadi?" tiba-tiba Kalis bertanya setelah lebih lima belas menit diam mematung di tempat duduknya.
    Dua-tiga orang kamerawan TV langsung memperlihatkan kamera videonya. Kalis mengangguk.
    "Saya ingin menyaksikan hasil rekaman itu. Tapi tak mungkin di sini. Kita coba tonton bersama lewat layar TV," ujar Kalis membuat suasana mulai menemukan jalan keluarnya.
    "Pak Kalis, bagaimana kalau di rumah kediaman saya saja nanti malam. Biar suasananya lebih tenang." Tiba-tiba Walikota menawarkan diri. Walikota langsung memanggil ajudan untuk mempersiapkan segala peralatan. Kalis langsung mengundang Salmiah yang lebih dulu menyatakan rasa ingin tahunya soal misteri upacara bendera pagi itu. Salah seorang kamerawan TV itu menyerahkan kaset rekaman kamera video pada ajudan Walikota sebelum bubar. Walikota menawari Kalis untuk diantar pulang.
    Usai maghrib, rumah Walikota benar-benar ramai dikunjungi wartawan dan sejumlah pejabat. Puluhan masyarakat biasanya juga tampak ingin menyerbu masuk ke halaman, namun petugas Polisi Pamongpraja mencegat mereka. Sebab, dikhawatirkan terjadi huru-hara. Kalis, pejuang tua itu memang sudah sejak sore berada di rumah Walikota itu. Bahkan, ia sempat menjadi imam dalam sholat maghrib berjamaah dengan Walikota sebagai salah seorang jamaahnya.
    Di salah satu ruangan di belakang rumah Walikota itu, sudah tersedia sebuah pesawat TV berukuran lebar sampai 30 inchi di atas meja. Di bawah raknya terpasang pula video player VHS. Dua-tiga kaset hasil rekaman kamerawan TV itu diputar bergantian yang disaksikan secara sungguh-sungguh oleh belasan orang. Walikota tampaknya paling penasaran ingin menyaksikan apa yang terjadi saat bendera itu dinaikkan.
    Semua kaset video yang diputar menayangkan rekaman upacara bendera sejak awal dengan sempurna. Tapi persis pada waktu peserta upacara dan pasukan pengibar bendera sudah meninggalkan lapangan upacara, hasil rekaman itu terputus dan yang muncul di layar TV hanyalah bintik-bintik hitam bagai jutaan semut merayap. Semua yang menonton adegan itu ternganga dengan wajah kesal.
    Walikota menatap Kalis dengan berkerutan kening.
    "Apa yang terjadi, Pak?" tanya Walikota.
    Semula Kalis terdiam dan merunduk. Tak lama berselang, ia mulai bercerita bahwa pada saat Walikota dan Komandan Upacara berhujan di lapangan sebenarnya ratusan pejuang masa lalu terus mengikuti upacara bendera itu dengan khidmat.
    "Jasad pejuang itu boleh mati. Tapi roh mereka selalu hadir di tengah-tengah kita," Kalis mulai menyingkapkan tabir misteri yang bergelayut di dalam benak yang hadir.
    "Bagaimana kami bisa menyaksikannya, Pak?" tanya salah seorang wartawan yang hadir.
    "Sulit untuk melihat yang gaib-gaib begitu. Tapi ikhtiar selalu saja terbuka. Mana tahu ada kamera yang bisa menangkap suasana gaib begitu," tutur Kalis datar. Salmiah yang duduk berdampingan dengan Kalis jadi manggut-manggut.

    BalasHapus
  147. Sejak pemutaran kaset video rekaman yang penuh misteri di rumah Walikota itu, rasa penasaran semua yang hadir memang tak terpecahkan. Wahidin, salah seorang kamerawan TV yang sudah menggeluti lama dunia kamera mendatangi Walikota. Lelaki bertubuh kurus itu menceritakan pada Walikota tentang peralatan video teknologi tinggi yang bisa menangkap dunia gaib sebagaimana ditunjukkan di dalam serial Ghostbuster. Referensi itu pernah dibacanya di sebuah majalah elektronik luar negeri. Majalah itulah yang diperlihatkannya kepada Walikota yang menampilkan peralatan kamera dan video mutakhir, Virtual Machine Video Player (VMVP) dan Automatically Virtual Infra-Red Camera (AVIREC) yang menggunakan teknologi sinar infra merah. Konon, menurut iklan peralatan.
    "Berapa pun mahalnya peralatan itu, kita harus beli. Kita ingin memecahkan misteri," ungkap Walikota bersemangat.
    Proses pemesanan pembelian kedua peralatan itu dilakukan melalui e-business di internet. Pembayaran dilakukan melalui credit card milik Walikota. Selang sebulan, peralatan yang ditunggu-tunggu itu pun datang.
    Wahidin memegang kendali sepenuhnya mengoperasikan peralatan elektronik super canggih itu. Mannual peralatan dipelajari beberapa malam. Mulanya hasil rekaman video ketiga wartawan TV tentang upacara bendera itu lebih dulu ditransfer ke peralatan VMVP yang sangat sensitif. Kemudian hasil rekaman di-scanning pada Virtual High-Sensitiveness Scanner. Wahidin melakukan down-loading pada hasil rekaman yang sudah ditransfer dengan menggunakan gelombang sinar infra-red.
    Saat pemutaran kembali hasil rekaman yang sudah di-treatment secara virtual itu, Kalis dipanggil. Memang hanya ada Walikota dan anggota keluarga, Kalis dan Wahidin yang awalnya menyaksikan uji-coba berteknologi super-canggih itu.
    Isteri Walikota sempat menjerit histeris saat menyaksikan potongan rekaman kamera TV saat lapangan upacara ditinggalkan peserta upacara dan pengibar bendera. Meskipun sinyal gambar yang muncul agak buram dan hanya hitam putih, tapi salah satu wajah yang muncul tak lain adalah ayahnya yang pejuang dan tewas saat berjuang merebut kemerdekaan di kota itu puluhan tahun silam. Ternyata, di lapangan saat bersamaan dipenuhi ratusan orang yang tak lain para pejuang di kota itu yang telah lama mati syahid.
    Saat pengibaran bendera pun dilakonkan oleh empat orang pejuang dengan semangat heroik yang tak padam. Terlihat dengan jelas, wajah Walikota dan Komandan Upacara memberikan penghormatan saat bendera itu dikibarkan.
    "Sungguh memalukan, orang-orang sekarang begitu takut menghadapi hujan lebat. Padahal pejuang kita dulunya tetap bertahan dan melawan saat menghadapi hujan peluru musuh," ucap Walikota usai menyaksikan pemutaran kaset video itu.
    Kalis berlinangan airmata saat bersalaman dan memeluk Walikota. Wahidin ikut pula larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang menjalari suasana di rumah itu.

    BalasHapus
  148. Naskah Drama

    Kesaksian Kalis

    Langit tiba-tiba menghitam. Sekumpulan burung gagak melintas sambil melantunkan suaranya yang mempercepat kelam. Hujan renyai turun tak lama berselang. Upacara bendera pagi itu terus saja berlangsung meski baru dimulai beberapa saat. Barisan peserta upacara yang terdiri atas pegawai kantoran, anak-anak sekolah, lapisan masyarakat dan pemuda di tingkat kecamatan itu mulanya masih mencoba bertahan. Termasuk Walikota yang menjadi inspektur upacara dalam perayaan kepahlawanan itu. Sementara para pejabat dan tokoh masyarakat yang sejak semula duduk di bawah tenda, tak begitu terpengaruh oleh cuaca.

    Inspektur Upacara mengajak semua hadirin mengheningkan cipta. Tapi, bariasan anak sekolah mulai berpencar satu demi satu seiring hujan yang kian lebat. Barisan upacara yang lain juga ikut berpencar mencari tempat berteduh yang paling nyaman di sekitar lapangan sepakbola yang disulap menjadi lapangan upacara itu.

    Ketika Walikota yang benar-benar kuyup tersiram hujan lebat itu memberi aba-aba bahwa mengheningkan cipta sudah selesai, hatinya jadi kecewa dan gundah. Sebab, yang tersisa di lapangan upacara hanya dirinya sendiri dan seorang Komandan Upacara. Pembaca acara jadi terdiam ketika akan membacakan acara berikutnya. Padahal bendera merah putih belum sempat dinaikkan. Sementara pasukan pengibar bendera pun sudah kabur entah ke mana bersama bendera yang akan dikibarkan pagi itu.

    Walikota: “Upacara harus diteruskan. Para pahlawan kita dulunya berperang tidak hanya dihujani air melainkan dihujani peluru musuh. Ini hanya karena diguyur hujan, sudah pontang-panting meninggalkan upacara. Di mana rasa patriotisme kalian!?”

    Kalis: “Teruskan saja upacara ini.”

    Salmiah: “Tapi peserta upacara sudah bubar semua, Pak.”

    Kalis: “Teruskan saja...Tak apa-apa!”

    Salmiah: “Ini pengibaran bendera, Pak. Siapa yang akan melaksanakannya. Pasukan pengibar bendera sudah berpencar ke mana-mana..”

    Kalis: “Teruskan saja. Saya masih melihat ratusan peserta upacara masih ada. Pasukan pengibar bendera juga ada.”

    Kalis memang sedang menyaksikan sebuah pemandangan yang heroik. Ratusan pejuang , sebagian besar dengan bertelanjang dada dan hanya sebagian kecil yang berbaju tentara rakyat yang lusuh sejak semula tetap di tempatnya mengikuti upacara bendera itu. Mereka selalu muncul di lapangan upacara itu tanpa bisa dilihat banyak orang. Barangkali, hanya Kalis yang punya kemampuan menatap mereka.

    Tiba-tiba, sehelai bendera merah putih yang terlipat terbuka. Bendera itu diikatkan ke tali penggerek. Dan posisi bendera itu terkembang secara tak terduga dan siap untuk ditarik ke puncak tiang. Tapi tidak, bagi Kalis sebenarnya secara terbuka menyaksikan ada empat orang pejuang yang menggerek bendera merah putih itu.

    Inspektur Upacara: “Kepada bendera merah putih, hormat geraaaak!”

    Semua peserta upacara kian tercengang. Tak habis percaya. Termasuk Inspektur Upacara yang Walikota itu. Kenapa sepotong bendera bisa naik ke puncaknya tanpa terlihat se- orang pun yang menggereknya. Sehabis upacara, semua peserta yang masih tertinggal menyerbu Walikota di podium. Kalis hanya menyaksikan dengan tersenyum menahan kesedihan.

    Salmiah: “Pak, apa yang terjadi? Ada apa, Pak?”

    Kalis: “Syukurlah, upacara bendera ini berlangsung lancar hingga selesai.”

    Salmiah: “Tapi, kenapa bendera itu bisa naik sendiri?”

    Kalis: “Tentu ada yang menaikkannya.”

    Salmiah: “Siapa, Pak?”

    Kalis: “Tak perlu kau tahu saat ini. Suatu ketika kau akan tahu sendiri...”

    Salmiah: “Sungguh ajaib, Pak.”

    Kalis: “Ini bukan keajaiban. Ini kenyataan.”

    Salmiah: “Kenapa bisa, Pak?”

    Kalis: “Sulit untuk dijelaskan sekarang.”

    Salmiah: “Kapan Bapak membuka tabir misteri ini?”

    BalasHapus
  149. Kalis yang mengenakan pakaian seragam Veteran lengkap itu tampak merenung-renung. Pertanyaan Salmiah membuatnya kecut. Sungguh, ia amat takut berjanji bila hal itu sulit ditepati. Dalam perenungan yang belum berakhir itu, tiba-tiba Walikota sudah berada di depannya. Sejumlah juru potret dan kamerawan handycam itu mengerumuninya.

    Walikota rupanya baru saja didesak para wartawan untuk menjawab misteri pengibaran bendera yang jarang terjadi itu. Walikota memang kenal betul bila Kalis, bekas pejuang itu punya kelebihan dalam melihat hal-hal yang gaib.

    Wartawan: “Pak Kalis, bisa caritakan bagaimana bendera itu bisa naik sendiri?”

    Kalis: “Ya, tentu ada yang menggerakkannya?”

    Wartawan: “Siapa, Pak? Siapa Pak?”

    Kalis: “Bukan siapa-siapa. Ya, mereka itulah...”

    Wartawan: “Mereka itu, siapa, Pak?”

    Kalis: “Ya, nantilah. Suatu saat aku akan ceritakan semuanya..”

    Wartawan: “Jangan begitulah, Pak. Kami ingin memberitakannya untuk pembaca koran kami..”

    Kalis tampak menekur beberapa lama. Mulutnya berkomat-kamit bagaikan membaca mantera. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kantong baju dan menyulutnya. Ia mengisap rokok itu dalam-dalam. Suara napasnya terdengar meringkih karena kebiasaan merokok tak pernah berhenti dalam usianya yang kian senja. Suasana kian hening dan tetap saja mencekam. Hujan tampak tak kunjung reda.

    Kalis: “Begini.... ada yang merekam peristiwa tadi?”
    Dua-tiga orang kamerawan TV langsung memperlihatkan kamera videonya. Kalis mengangguk.

    Kalis: “Saya ingin menyaksikan hasil rekaman itu. Tapi tak mungkin di sini. Kita coba tonton bersama lewat layar TV.”

    Walikota: “Pak Kalis, bagaimana kalau di rumah kediaman saya saja nanti malam. Biar suasananya lebih tenang.”

    Usai maghrib, rumah Walikota benar-benar ramai dikunjungi wartawan dan sejumlah pejabat.
    Kalis, pejuang tua itu memang sudah sejak sore berada di rumah Walikota itu. Di salah satu ruangan di belakang rumah Walikota itu, sudah tersedia sebuah pesawat TV berukuran lebar. Dua-tiga kaset hasil rekaman kamerawan TV itu diputar bergantian yang disaksikan secara sungguh-sungguh oleh belasan orang.

    Semua kaset video yang diputar menayangkan rekaman upacara bendera sejak awal dengan sempurna. Tapi persis pada waktu peserta upacara dan pasukan pengibar bendera sudah meninggalkan lapangan upacara, hasil rekaman itu terputus dan yang muncul di layar TV hanyalah bintik-bintik hitam bagai jutaan semut merayap.

    BalasHapus
  150. Walikota: “Apa yang terjadi, Pak?”

    Kalis: “Jasad pejuang itu boleh mati. Tapi roh mereka selalu hadir di tengah-tengah kita.”

    Wartawan: “Bagaimana kami bisa menyaksikannya, Pak?”

    Kalis: “Sulit untuk melihat yang gaib-gaib begitu. Tapi ikhtiar selalu saja terbuka. Mana tahu ada kamera yang bisa menangkap suasana gaib begitu”

    Wahidin, salah seorang kamerawan TV yang sudah menggeluti lama dunia kamera mendatangi Walikota. Wahidin menceritakan pada Walikota tentang peralatan video teknologi tinggi yang bisa menangkap dunia gaib sebagaimana ditunjukkan di dalam serial Ghostbuster. Referensi itu pernah dibacanya di sebuah majalah elektronik luar negeri.

    Walikota: “Berapa pun mahalnya peralatan itu, kita harus beli. Kita ingin memecahkan misteri.”

    Selang sebulan, peralatan yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Wahidin memegang kendali sepenuhnya mengoperasikan peralatan elektronik super canggih itu. Saat pemutaran kembali hasil rekaman yang sudah di-treatment secara virtual itu, Kalis dipanggil. Memang hanya ada Walikota dan anggota keluarga, Kalis dan Wahidin yang awalnya menyaksikan uji-coba berteknologi super-canggih itu. Isteri Walikota sempat menjerit histeris saat menyaksikan potongan rekaman kamera TV saat lapangan upacara ditinggalkan peserta upacara dan pengibar bendera. Salah satu wajah yang muncul tak lain adalah ayahnya yang pejuang dan tewas saat berjuang merebut kemerdekaan di kota itu puluhan tahun silam. Ternyata, di lapangan saat bersamaan dipenuhi ratusan orang yang tak lain para pejuang di kota itu yang telah lama mati syahid.

    Walikota: “Sungguh memalukan, orang-orang sekarang begitu takut menghadapi hujan lebat. Padahal pejuang kita dulunya tetap bertahan dan melawan saat menghadapi hujan peluru musuh.”

    Kalis berlinangan airmata saat bersalaman dan memeluk Walikota. Wahidin ikut pula larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang menjalari suasana di rumah itu.

    *******************SELESAI***********************

    BalasHapus
  151. Nama : Giovanni Hutagalung
    Kelas : XI IPA 7
    No. absen : 15
    Tema cerpen : Kepedulian Sosial
    Sumber : http://www.kolomkita.com/2009/03/08/mamaku-idiot-down-syndrome/
    Cerpen : Mamaku Idiot (Down Syndrome)
    Sesekali kulirik mamaku yang tengah asyik bermain sebuah boneka. Kalau kalian duga mamaku gila, kalian salah besar. Mamaku tidak gila, melainkan memiliki mental terbelakang, idiot atau istilah asingnya, Down Syndrome. Yah, mamaku dilahirkan dengan cacat itu. Cacat mental yang memiliki ciri wajah yang khas dengan mata sipit, ”jembatan” hidung datar dan lebar, dan lidah besar dengan mulut kecil cenderung terbuka.
    Sementara aku? Aku adalah anak haram, hasil pemerkosaan seseorang pemuda tak berperasaan yang tega berbuat hal sekeji itu pada mamaku. Entah siapa dia, aku tak pernah tahu, sebab Mama tak pernah lagi mengingat peristiwa itu.
    Lalu siapa yang selama ini merawatku sampai di usiaku yang ke-18 tahun ini? Nenek, mama dari mamaku. Nenek yang sangat menyayangi aku, dan bekerja keras mencukupi kebutuhanku dan Mama. Seorang nenek yang kuat dan tabah, yang selalu memberiku kekuatan di saat teman-temanku mengolok-olokku karena memiliki Mama yang idiot. Atau beberapa teman cowok yang akhirnya urung mendekatiku karena alasan yang sama. Kadang aku menyesal kenapa aku musti dilahirkan dari rahim seorang wanita seperti mamaku. Tapi Nenek selalu menenangkan aku dengan mengatakan,
    “Kamu seharusnya bersyukur, Mei, karena kamu bisa lahir dengan sempurna dan sangat cantik, meskipun mama kamu dalam keadaan yang nggak sempurna.”
    Namun kini Nenek telah pergi selamanya, meninggalkan aku dan Mama sendiri. Sebuah mobil menabraknya beberapa waktu lalu sepulang dari berjualan nasi di pasar. Aku hanya bisa menangis, karena harus kehilangan seorang nenek yang masih sangat aku butuhkan kehadirannya. Yang jelas aku belum siap merawat Mama sendirian, Mama yang sering membuatku merasa malu, minder, dan marah karena kelakuannya yang terkadang tak masuk akal, menjengkelkan, dan merepotkan, seperti sekarang.

    BalasHapus
  152. (Lanjutan)
    Sudah beberapa hari ini Mama tak mau makan. Setiap suap nasi yang kumasukkan ke mulutnya, selalu disemburkannya kembali, kadang sengaja dia semburkan tepat mengenai wajahku. Atau setiap kuajak tidur siang, malah marah dan mengacak-acak tempat tidur. Tingkahnya benar-benar membuatku kesal. Belum lagi aku harus cari kerja agar aku dan Mama tetap bisa makan. Lalu kalau begini, siapa yang lebih pantas jadi seorang anak? Aku atau mamaku? Aku merasa kalau kini aku yang harus menjadi mama dari mamaku, mama dari seorang anak yang idiot!
    “Hhhh, sabar Mei. Walau bagaimanapun, dia adalah seorang wanita yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu,” aku berbicara pada diriku sendiri sambil mengusap dada.
    Sepertinya memang aku harus mulai belajar untuk menerima mamaku apa adanya, meskipun seluruh dunia menertawaiku.
    Kuhela nafasku panjang, lalu kembali menatap koran yang terpapar di hadapanku untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Aku berharap kali ini mendapatkan apa yang aku cari, sebuah pekerjaan. Yah, meskipun aku tahu sangatlah susah untuk mendapatkannya apalagi aku hanya mengantongi ijazah SMU. Tak lama kemudian mataku tertuju pada sebuah lowongan kerja yang menurutku cukup menarik. Sebagai penyanyi di sebuah kafe. Syaratnya cukup mudah, hanya perlu bisa menyanyi, tak perlu sekolah yang tinggi. Lalu aku pun bergegas menulis surat lamaran dan memenuhi semua persyaratannya.
    ***
    Sudah sebulan aku bekerja. Penghasilanku cukup lumayan, bahkan sangat cukup untuk kebutuhan kami berdua. Di sana aku berkenalan dengan Alvian, seorang pria paruh baya, berprofesi sebagai pencari bakat. Suatu ketika, dia menawarkan padaku pekerjaan yang lebih besar, menjadi seorang artis. Aku sampai tertawa dibuatnya. Yang jelas aku tak percaya dengan tawarannya yang terkesan terlalu muluk untukku. Tapi dia bersikeras mengatakan kalau dia serius, ingin mengorbitkan aku karena wajahku yang cantik dan suaraku yang sangat unik. Akhirnya aku pun mengiyakannya.
    ***
    Di tengah perjalananku menjadi seorang artis, aku bertemu dengan Yoga, seorang model yang pernah menjadi pasanganku saat pemotretan untuk sampul sebuah majalah. Yoga adalah seorang pria yang sempurna di mataku. Tubuhnya tinggi atletis, wajahnya cukup tampan, dan dia sangat perhatian. Betapa bahagianya aku saat dia memintaku untuk jadi kekasihnya. Sungguh tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Hingga pada suatu saat.

    BalasHapus
  153. Tugas Karya Sastra
    Mengubah Cerpen menjadi Naskah Drama
    Karya : Sendy Alfandy Budiman/ XI IPA 7 / 38

    RETAKNYA MIMPI SANG BISSU

    Suatu kisah yang menceritakan budaya yang ditinggalkan oleh seorang Ayah ketika sang Anak inin meneruskan Budaya yang dianggap musyrik.

    Babak I
    Rahman, Patmi, dan Wahyu dari Bandung menuju ke Makassar, kampung halaman Rahman
    Wahyu : “Yah, apakah kita sudah di Makassar ?”
    Patmi : “Ya, saying. Kita sudah sampai di tanah nenek moyang Ayah. Nanti, sebelum melanjutkan perjalanan ke Wajo, kampong kelahiran Ayah, kit istirahat sebentar di rumah teman lama Ayah.”
    Wahyu : “Baik Ma”
    Tak lama lagi, mereka sampai ke Bandara Sultan Hasanuddin. Rahman yang begitu rindu dengan kampung halamannya, akhirnya mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
    Rahman : ”Wah, sudah lama sekali, 14 tahun aku tinggalkan Makassar sepertinya sudah makin makmur saja, bandaranya-pun semakin megah”
    Tiba – tiba, Mahmud, teman lama Rahman datang melambaikan tangannya
    Mahmud : “Rahman !”
    Rahman : “Hei sobat !”
    Mahmud : “Selamat Datang di Bumi Angin Mammiri, Man!”
    Mahmud pun menatap Patmi dan Wahyu heran
    Mahmud : “Man, siapa gerangan mereka ?”
    Rahman : “Oh, hampir lupa, kenalkan, ini istriku Patmi dan anakku Wahyu”
    Patmi dan Wahyu hanya tersenyum
    Mahmud : “Kau sudah benar – benar berubah kawan ! Hidupmu sudah sempurna, apalagi yang kau cari disini ?”
    Rahman : “Aku rindu suasana kampung dan kerabat, Patmi dan Wahyu juga belum pernah kesini, aku juga ingin memperkenalkan mereka pada keluarga. Mungkin, akulah anak paling berdosa, tapi ini kulakukan demi pencarian jati diri.”
    Mahmud : “Aku mengerti Man. Sebentar lagi kerinduanmu akan hilang.
    Mereka terdiam sejenak
    Mahmud : “Ayo, apalagi yang kau tunggu ? Ayo kita segera ke rumahku”
    Mereka pun meninggalkan Bandara megah itu dan pergi menuju ke Rumah Mahmud

    BalasHapus
  154. Giovanni Hutagalung
    XI IPA 7/ 15
    (Lanjutan)
    Tiba-tiba Yoga ada di depan pintu rumahku. Jelas itu membuatku panik. Lalu aku pun bergegas memasukkan Mama ke kamar dan menguncinya sebelum aku membuka pintu rumahku untuk Yoga. Mungkin kalian akan bilang aku jahat, tapi aku mempunyai setumpuk pengalaman buruk yang memaksaku melakukannya. Aku benar-benar tak mau Yoga tahu keadaan mamaku, yang jelas aku tak mau kehilangannya karena itu!
    Namun apa yang terjadi? Ketika kami tengah asyik bercengkerama, terdengar suara Mama menangis meraung-raung sambil menggedor-gedor pintu kamar. Dia berteriak ingin ke kamar mandi, berteriak dengan suara parau yang tak jelas. Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengar, jadi hanya aku yang tahu. Yoga menatapku bingung lalu bertanya,
    “Siapa itu, Mei?”
    Aku tak tahu harus berkata apa pada Yoga. Aku hanya kesal karena biasanya Mama sangat betah berada di kamar, setidaknya untuk dua atau tiga jam ke depan. Hhh, sial! Akhirnya aku pun terpaksa mengeluarkan mamaku dari kamar. Saat itu juga Yoga menatapku dengan wajah marah.
    “Aku nggak nyangka kamu bisa berbuat setega itu pada seseorang yang sangat lemah! Kamu nggak punya hati, Mei!”
    “Apa menurutmu kamu bisa menerima aku, kalo kamu tahu, aku adalah anak orang cacat!!!” teriakku tak mau kalah. Yoga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya,
    “Kamu sudah gila, Mei! Apalagi dia itu mama kamu!” katanya lalu meninggalkan aku.
    Uuuuh!!!
    “Ini sudah cukup!!!”
    Tanpa sadar akupun mendorong tubuh mamaku hingga tersungkur ke lantai. Hatiku dikuasai oleh amarah, dan yang jelas aku kecewa, karena Mama aku jadi kehilangan Yoga.
    Akhirnya aku pun menitipkan Mama di sebuah panti. Meskipun Mama hanya diam, aku tahu sebenarnya dia sedih, terlihat dari sorot matanya saat aku meninggalkannya. Kasihan? Sama sekali tidak, karena ini harus aku lakukan. Aku tak mau kehidupanku hancur karena Mama! Aahhh, biar semua orang menganggap aku anak durhaka, aku tak peduli, toh aku melakukan semua ini juga untuk Mama, biar mama bisa hidup enak dan senang. Aku mencari pembenaran untuk diriku sendiri. Terserah!

    BalasHapus
  155. Lajutan Karya Sendy AB

    Babak II
    Saat mereka dalam perjalanan menuju Rumah Mahmud
    Rahman : “Wah, Makassar sudah benar – benar jaya ya ?”
    Mahmud : “Beginilah Man”
    Sesampainya mereka semua di Rumah Mahmud, keceriaan tampak dimuka mereka
    Mahmud : “Silakhan ! Jangan sungkan !”
    Rahman : “Wah, benar – benar merepotkan, ini saja cukup Mud “
    Mahmud : “Tidak apa – apa, kalian kan jaran kemari, Wahyu mau teh atau jus ?”
    Wahyu : “Teh aja Om”
    Mahmud : “Silakhan”
    Wahyu : “Makasih Om…. Ma, tehnya enak, mau coba ?”
    Patmi : “Tidak, Wahyu aja yah”
    Rahman : “Man, ternyata kau masih suka mengoleksi barang antic seperti dulu yah ?”
    Mahmud : “Begitulah Man ! Ini juga koleksi lama, tapi masih kurawat”
    Tak terasa hari makin sore, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan
    Wahyu : “Yah, sudah sore, sudah pukul 3”
    Rahman : “Iya, ya, kita harus cepat sebelum tidak ada bis”
    Mahmud : “Man, maaf kawan, bukannya aku tidak mau, tetapi aku tidak bisa mengantarmu kerumah ibumu, karena aaada urusan yang tak bisa aku tinggalkan, tapi aku akan mengantar kalian ke Terminal”
    Rahman : “Tidak apa – apa semua ini saja sudah cukup. Makasih ya”
    Wahyu : “Makasih Om”
    Patmi : “Makasih ya Mud”
    Mahmud : “Baik, sama – sama”
    Sesampainya di Terminal
    Mahmud : “Baik, sampai sini saja ya”
    Rahman : ”Sekali lagi, makasih atas semuanya ya”
    Mahmud : “Iya, semoga sampai di tujuan dengan selamat ya”
    Mereka pun saling melambaikan tangan
    Pukul 4 sore mereka meninggalkan Terminal
    Saat di Bis
    Ali : “Rahman ?”
    Rahman : “Benar, ini Ali ya ?”
    Ali : “Benar Kawan, apa kabarmu ? Kemana saja kamu selama ini ? Ayo duduk kursi depan ?”
    Rahman : “Aku ke Bandung mau mencri jati diri. Aku baik – baik saja, kamu ?”
    Ali : “Syukurlah, aku juga skarang aku menjadi supir bis”
    Rahman : “Wah, baguslah sudah ada pekerjaan tetap. Oh ya, kenalkan ini istri dan anakku, Patmi dan Wahyu”
    Patmi : “Salam kenal !”
    Wahyu : “Halo Om”
    Ali : “Wah istrimu cantik, dan anakmu lucu”
    Saat perjalanan Patmi dan Wahyu tidur, aku sibuk dengan pertanyaan yang mebuat aku bingung sendiri. Hutan, lapangan kosong semuanya tidak ada semuanya sudah bagus sekarang. Tak lama kemudian, akupun ketiduran
    Ali : “Sudah sampai Man !”
    Rahman pun kaget
    Rahman : “Apa ? Oh, maf aku kaget, tak terasa sudah sampai”
    Ali : “Memang, kau tampak lelah sobat”
    Rahman : “Patmi, Wahyu bangun, kita udah sampai !”
    Patmi : “Akhirnya”
    Wahyu : “Iya ayah”
    Rahman : “Ali, sepertinya ada pesta di Rumah Datu ?”
    Rumah Datu terletak di seberang Rumah Ibu Rahman
    Ali : “Iya, pesta lama … Sepertinya baru mulai. Oh ya, ini baru pukul sepuluh. Ayo, saya juga mau kesana”
    Rahman : “Pesta lama ? Maaf Li, tampaknya Wahyu dan Patmi amat lelah, kami harus bergegas ke rumah ibuku”
    Ali : “Baik lah”
    Sesampainya mereka di depan rumah Ibu Rahman
    Wahyu : “Ayah, ini yah rumah nenek ?”
    Rahman : “Iya Wahyu, coba ketuk pintunya”
    Wahyu : “Selamat malam nenek !”
    Rahman : “Ibu …. Ibu ….”
    Patmi : “Mas, sepertinya tidak ada orang dirumah”
    Rahman : “Iya, wajar saja, Ibu tidak tahu kedatangan kita, sepertinya mereka ada di Rumah Datu”
    Wahyu : “Ayo yah kita kesana !”
    Patmi : “Ayo Kang ! Barang kita tinggalkan saja disini”
    Rahman : “Ayo”

    BalasHapus
  156. Giovanni Hutagalung
    XI IPA 7/ 15
    (Lanjutan)
    Sore harinya, Alvian tiba-tiba saja datang ke rumah. Entah kenapa kali ini wajahnya terlihat sangat genit, seperti ingin menggodaku. Menggodaku?
    “Mei, aku punya tawaran khusus buat kamu,” kata Alvian seraya menyentuh daguku dan menariknya pelan.
    “Apa itu, Mas?” tanyaku sambil berkelit. Lalu Alvian duduk di sofa dan menatap ke sekeliling sudut rumah kumuhku.
    “Kurasa seorang artis secantik kamu nggak sepantasnya tinggal di gubuk seperti ini. Bagaimana kalau aku tawarkan ke kamu sebuah apartemen mewah, kamu mau?”
    “Benarkah?” tanyaku tak percaya.
    “Aku serius, asal…. asal kamu mau melayani aku,” katanya tanpa basa-basi mengejutkanku, sementara tangannya berusaha menggerayangi tanganku.
    Apartemen? Memang menggiurkan untukku. Tapi bila aku dapatkan dengan menjual diriku, itu sama saja dengan menandai keningku dengan kata “MURAHAN” dan aku tak mau itu, yang jelas aku bukan cewek seperti itu. Sejahat-jahatnya aku pada Mama, aku tidak akan pernah mau mempermalukan dia.
    “Aku nggak mau. Maaf,” jawabku singkat, seraya mengibaskan tangan Alvian yang mulai nakal.
    “Kalo dengan Yoga kenapa kamu mau? Dia itu masih kere dibandingin aku, Mei!”
    “Tapi aku mencintai dia! Itu beda!” ucapku tegas.
    Namun Alvian tetap memaksa dan terus berusaha, dia bilang sangatlah tergila-gila padaku dan ingin memilikiku. Segala ucap rayu dia lontarkan, namun aku tetap tak mau.
    Hingga akhirnya dia berbuat nekad, mencoba memperkosaku. Bahkan tubuhnya yang berat kini telah menindihku! Dan aku pun dengan segenap kekuatanku, terus berusaha melawan iblis yang ada di hadapanku, sampai pada akhirnya aku melihat Mama memukuli punggung Alvian dengan sapu, sambil berteriak-teriak parau. Mama sangat histeris, suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Alvian berusaha melepaskan diri dari amukan Mama, dan berhasil mengambil sapu itu dari tangan Mama. Lalu, DUGHH!!! Alvian menyodok perut Mama dengan sapu yang dipegangnya sekeras-kerasnya hingga Mama terjatuh tepat di atas meja kaca.
    “Mama!!!” Aku bergegas menolongnya, sementara Alvian lari tungggang langgang ketakutan.
    Airmataku tak bisa berhenti mengalir, melihat mamaku bersimbah darah terkena pecahan-pecahan kaca. Kulihat mamaku tersenyum dengan wajah khasnya, dan berkata,
    “Aku mau tinggal di rumahku. Jangan bawa aku kemana-mana ya.” Sebuah kalimat yang hanya aku yang mampu mengartikannya.
    “Tapi aku mau bawa Mama ke rumah sakit, luka Mama sangat parah,” kataku.
    Mama menggeleng lalu menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Mustahil bukan? Hanya karena kena pecahan kaca, mamaku meninggal!!! Lalu aku pun berniat mengangkat tubuhnya, ternyata salah satu rangka besi meja itu menancap di punggungnya, tepat menembus jantungnya. Aku pun berteriak-teriak histeris.
    Kriiing!!! Suara telepon mengejutkanku, dengan tangan berlumuran darah aku mengangkat telepon itu.
    “Halo, bisa bicara dengan Mbak Meira? Ini dari panti. Saya mau minta maaf dan memberitahu Mbak, kalo ibu Mbak kabur dan saya tidak tahu ke mana? Apakah beliau sudah sampai di rumah, atau…” Klik. Lalu aku pun kembali menangis.
    Yang jelas aku sangat menyesal, telah menyingkirkan Mama dari rumah dan hidupku hanya karena kecacatannya, sementara di balik semua itu tersimpan rasa cinta yang begitu dalam kepadaku, anaknya.
    “Mama, maafkan aku.”
    ***
    Kini, aku hanya bisa memandangi setiap sudut ruang pengap yang kotor ini, setelah setahun lalu aku nekad menghabisi nyawa Alvian

    BalasHapus
  157. Lanjutan Karya Sendy AB

    Babak III
    Sesampainya mereka di pesta itu
    Wahyu : “Ramai sekali ya ?”
    Semua mata tertuju pada penari, perasaan tegang menyelimuti Rahman
    Wahyu : “Apa itu Yah ?”
    Rahman : “Acara Mabissu yang diperankan oleh para Bissu”
    Patmi : “Apa Bissu itu Kang ?”
    Rahman : “Kebanyak orang bilang Bissu itu ‘Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunraito’ artinya laki – laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki – laki bukan juga permepuan. Para Bissu berperan sebagai penasihatraja. Pada masa pra-Islam, mereka bisa dikatakan sebagai Pendeta Agama Bugis Kuno, sebagai pelaksana dalam ritual kerajaan, Bissulah yang menentukan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti turun ke sawah atau membangun rumah”
    Patmi : “Oh… Aku mengerti, Kang, lihat itu !”
    Patmi menunjuk Bissu yang lebih tua dari Bissu lainnya, yaitu Puang Matoa, pimpinan para Bissu. Puang Matoa meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas. Lalu menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang. Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.
    Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Matoa menggorok lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah, dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat. Puang Matoa melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi alas kersinya patah. Ia semakin liar. Kemudian ia kembali menghujamkan keris ke perutnya namun tak ada setetes darah pun yang tampak. Kegiatan itulah yang biasa disebut upacara maggiri. Seketika bunyi gendang berhenti. Semua bertepuk tangan.
    Patmi : “Wah hebat sekali”
    Rahman : “Pat, Wahyu mana ?”
    Mereka pun mencari Wahyu, ternyata Rahman mendapatinya sedang berbicara dengan Bissu muda.
    Wahyu : “Wah… Kakak hebat ! Kulitnya tidak teriris keris. Wah, aku ingin seperti itu.”
    Rahman : “Cukup Rahman, ayo kerumah nenek. Aku bingung mencarimu”
    Wahyu : “Baiklah”
    Tina : “Rahman ? Wah sudah lama”
    Rahman : “Begitulah”
    Riki : “Rahman ! Sobat ku, anakmu ya ?”
    Rahman : “Ya, Ki”
    Riki seketika merangkul Rahman
    Beberapa teman lama Rahman menyapa, dan selentingan komentar dilewatinya saja
    Rahman : “Ayo, kita ke tempat nenek, Puang Datu Ake, aku pulang dulu ya”
    Puang Datu Ake: “Ya, terima kasih sudah mampir”
    Mereka pun menuju rumah Ibu Rahman, sesampainya disana, mereka pun langsung beristirahat
    Ibu Rahman : “Wah, pasti capek ya ?”
    Wahyu : “Iya nek”
    Ibu Rahman : “Itu kamarnya sudah siap”
    Mereka pun tidur lelap, namun tidak ada yang tahu kalau itu adalah awal kehancuran Mimpi Sang Bissu

    BalasHapus
  158. Lanjutan Karya Sendy AB

    Babak IV
    Wahyu : “Selamat pagi nek”
    Ibu Rahman : “Iya, ayo bangunkan ayah ibumu”
    Wahyu : “Ayah, Ibu bangun kita sarapan dulu ya”
    Saat sarapan
    Wahyu : “Yah, keren ya kalau jadi Bissu. Aku tak perlu takut lagi dengan Jack. Mau dipukul, ditendang atau ditikam sekali pun. Kan sudah kebal.”
    Rahman : “Hentikan Wahyu ! Tidak ada lagi yang akan pernak mnjadi Bissu di keluarga kita lagi !”
    Wahyu pun segera berlati ke tempat neneknya yang sedang memberi makan ayam
    Patmi : “Kang, kok bicaranya kasar begitu ? Angan – angan anak kecil, biarin aja.”
    Rahman merasa ini bukan angan – angan anak kecil
    Patmi : “Kang, apa maksud ucapanmu tadi ?”
    Rahman : “Ucapan yang mana ?”
    Patmi : “Menjadi Bissu lagi ?”
    Rahman pun diam sejenak dan akhirnya ia berniat menjelaskan mengenai masa lalunya
    Rahman : “Patmi, bagiku kamu dan Wahyu adalah nafas hidupku. Aku bermimpi suatu saat nanti keluarga kita menjadi keluarga kecil yang bahagia. Aku ingin kamu menjadi istri yang bangga akan suamimu. Dan Wahyu menjadi anak yang terpandang tanpa cerca. Aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin kita semua dihargai dan diterima dimanapun berada.”
    Patmi : “Aku bangga menjadi istrimu. Kamu seorang pekerja keras, rajin salat, dan tak pernah mengeluh. Ada yang ingin kau ceritakan?”
    Rahman : “Aku tak tahu apakah kamu masih bangga menjadi istriku setelah kuceritakan masa laluku?”
    Patmi : “Pasti Kang”

    BalasHapus
  159. Lanjutan Karya Sendy AB

    Babak V
    Rahman pun menceritakan masalahnya saat masa lalu
    Rahman : “Sejak berusia belasan tahun aku sudah menyadari kelainan yang aku alami, dan mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah bissu. Maka aku datang berguru kepada bissu-bissu senior ketika itu, salah satunya Puang Matoa Patiro. Aku dinyatakan lulus sebagai bissu pada usia 20 tahun.
    Awalnya aku menjadi bissu karena tiga kali aku bermimpi bertemu lelaki tua berbusana serba putih yang menyuruhku ke Rumah Arajang yaitu altar berkumpulnya pembesar bissu. Aku tak berani ke sana. Melihat bissu-bissu itu saja sudah takut, karena cara berpakaiannya seperti perempuan tetapi wajahnya kekar-kekar. Namun, setelah mimpi ketiga baru aku memberanikan diri. Dan jadilah aku selalu bersama mereka.
    Setelah 5 tahun menjadi bissu aku mulai merasa jenuh. Seiring pemahaman agama masyarakat yang semakin baik bissu tak lagi dianggap orang suci tapi mulai dicela dan dianggap mempraktikan kemusyrikan. Selama aku menjadi bissu pun kegiatan yang kami lakukan tak terlalu besar lagi seperti pada zaman kerajaan. Keinginanku untuk lebih dihargai dengan kekuranganku justru berubah menjadi pandangan jijik.
    Mulai ada keinginan untuk menjadi orang normal. Dan keinginan itu semakin kuat sejak kejadian malam itu. Kejadian yang tak ingin kulihat lagi. Malam itu acara mabbissu digelar dirumah Datu Tenri Liweng. Saat tiba giliran Puang Matoa Patiro dan melakukan upacara maggiri sambil terus mengucapkan bahasa torilangi, bahasa para dewa. Keris pun mulai di tusukkan ke perutnya. Sukses. Namun, ketika ia bangkit dan menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik. Aku dan Masse di sudut ruangan mulai memucat. Puang Patiro sempoyongan, dengan langkah tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang Patiro ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya, berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut. Kami tercekat, perut Puang Patiro berdarah. Terlihat darah segar! Perut Puang Patiro tersobek oleh tusukannya sendiri. Aku digerogoti rasa takut. Puang Patiro tertikam keris, bukannya segala ritual pada dewa sudah dia lakukan? Ah, ada kekuatan di atas kekuatan para dewa. Malam itu mencekam detik-detik tidurku. Mimpi buruk pun menyusup perlahan menggetarkan hatiku. Terlihat diriku menari dengan gemulai, keris kutusukkan ke seluruh bagian tubuh. Tak ada yang terluka, tapi saat keris kuarahkan ke bagian hatiku tiba-tiba mengalir darah segar bahkan hampir disetiap lubang pada tubuhku mengeluarkan darah segar. Anehnya, Puang Matoa hanya tersenyum melihat kondisiku. Aku marah, kecewa, geram, dan sakit tapi siapa yang harus disalahkan? Mimpi itu terus mengusik malam-malamku. Aku takut. Semua harus berakhir. Hari-hariku penuh gundah dengan tatapan hina orang-orang disekitarku. Aku seperti bangkai berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan semuanya termasuk ibuku. Bandung menjadi tujuan pencarianku. Terlunta-lunta oleh waktu, musim dan kejamnya sinar matahari. Dan akhirnya aku bertemu denganmu, Patmi.”

    BalasHapus
  160. Babak VI
    Rahman pun, melanjutkan curahan hatinya ….
    Rahman : “Meskipun aku bukan bissu lagi, tak berarti kalau aku harus membenci para bissu. Aku tak mau sorot mataku menciptakan kegelisahan di hati mereka. Wahyu tak pernah lagi penasaran dengan bissu. Aku tak menyangka dia cepat akrab dengan anak-anak kampung sini. Cukuplah dia menjadi laki-laki normal. Tak perlu kekebalan dan ritual pemujaan karena ada yang lebih kuat diatas segalanya dan lebih pantas untuk dipuja. Dialah Sang Pencipta yang di tanganNya tergenggam jiwa-jiwa anak Adam.”
    Patmi pun hanya membisu mendengar semua itu, mungkin ia hanya kaget
    Tiba – tiba gadis kecil datang menabrak Rahman
    Rahman : “Oh … Aduh kenapa pada lari, ada apa ?”
    Gadis kecil : “Wahyu Om, mimpinya kok aneh – aneh semua ?”
    Rahman : “Mimpi aneh . Memangnya mimpi apa nak ?”
    Gadis Kecil : “Wahyu mimpi bertemu laki – laki tua berbusana serba putih. Katanya mau diajarkan ilmu kuat biar tidak teriris keris, seperti Puang Matoa.”
    Rahman pun kaget
    Rahman : “Apa ???”
    Setelah mendengar mimpi itu, Rahman bergegas memutuskan untuk kembali ke Bandung
    Rahman pun menceritakan kekhawatiran pada Patmi dan Ibunya
    Rahman : “Patmi, Ibu, aku khawatir Wahyu akan menjadi seorang Bissu, ia mendapat mimpi yang sama seperti mimpiku saat itu, dan saat aku mendapat mimpi itu aku menjadi seorang Bissu”
    Patmi : “Kang, jangan begitu, kekhawatiranmu begitu berlebihan”
    Ibu Rahman : “Iya Man, kamu terlalu berlebihan, itu hanya masalah sehari yang akan berhenti hari ini juga, Wahyu pasti lupa akan mimpinya malam ini”
    Rahman : “Wahyu harus tetap menjadi Wahyu, tak boleh menjadi Bissu, Mabissu, Ritual Maringgi. Takkan pernah ada. Aku harus segera menegurnya agar tidak percaya hal – hal seperti itu. Kita tak butuh kekebalan tubuh, karena kita sudah ada imanyang terlalu mahal bila harus digadaikan bahkan untuk menyandingkan keduanya pun tak pantas.”
    Patmi dan Ibu Rahman pun terdiam

    BalasHapus
  161. Lanjutan Karya Sendy AB
    Babak VII
    Saat hari menjadi siang, Patmi memanggil Rahman dengan histeris
    Patmi : “Kang … Kang … Kang….”
    Rahman pun menghampirinya
    Rahman : “Ada apa Pat ? Kok kamu teriak – teriak begitu ?”
    Patmi : “Wahyu … Anak kita Kang. Tangannya berdarah. Dia terluka parah”
    Rahman : “Kok bisa ?”
    Patmi : “Ayolah kita kerumah, nanti dia kehabisan darah. Untung dia tidak menusukkan pisau ke perutnya”
    Rahman : “Pisau …. ? Darah … ? Argh…. !”
    Rahman pun bergegas ke rumah bersama Patmi
    Rahman : “Jangn bilang ia mencoba seperti Bissu !”
    Patmi : “:Seperti itulah Kang !”
    Rahman pun segera berlari ke rumah
    Rahman mendapati Wahyu bersimpah darah, ia pun menggendong Rahman ke Puskesmas. Rahman pun berdo’a dalam hati
    Rahman : “Tuhan, semoga anak saya masih bisa diselamatkan dan tidak terjadi apa – apa. Wahyu, kamu harus bertahan Nak !”
    Sesampainya mereka di Puskesmas
    Perawat : “Maaf Pak, Dokter tidak lagi ditempat, sebaiknya langsung ke rumah sakit saja”
    Rahman pun mulai emosi
    Rahman : “Anak saya kekurangan darah banyak, Bu. Tolong diberi Pertolongan pertama dulu ! Kalau anak saya sampai meninggal, kalian aku tuntut ! Sistem apa ini ? Dimana kemanusiaannya ?”

    BalasHapus
  162. Lanjutan Karya Sendy AB

    Seorang perawat masih ingin berkomentar, namun perawat lain menyuruh Rahman membawa Wahyu ke Ruang Gawat Darurat. Luka Wahyu dijahit dan mendapat darah tambahan. Akhirnya Wahyu terselamatkan.
    Hari mulai malam, Wahyu tampak pulas dalam tidurnya. Mata sipitnya terbuka, semua bersyukur
    Rahman : “Alhamdulillah ! Terima kasih Tuhan”
    Patmi : “Terima Kasih Tuhan”
    Ibu Rahman : “Alhamdulillah”
    Wahyu : “Yah, kenapa aku tak bisa seperti mereka ?”
    Rahman yang tersenyum pun langsung menghilangkan senyuman itu dalam sekejap
    Patmi : “Sayang, jangan pikirin itu lagi ya. Wahyu anak mama yang paling jago kok”
    Patmi menenangkan Wahyu dengan membelai rambut anak tunggalnya
    Wahyu : “Mama bohong ! Buktinya Jack lebih jago dari aku. Kok Bissu bisa ya ?”
    Ibu Rahman pun meneteskan matanya, hati lembutnya tergores
    Wahyu : “Mama pernah bilang, kalau ayah adalah ayah terhebat buat Wahyu. Iya kan Ma ?”
    Patmi hanya mengangguk pertanda setuju
    Wahyu : “Ayah pasti bisa dong seperti Bissu. Aku mau lihat Yah.”
    Sekejap semua kaget dengan permintaan Wahyu
    Rahman : “Kenapa harus begini ?” , ucap Rahman dalam hati
    Rahman : “Sayang … Andai Ayah bisa, ingin rasanya Ayah perlihatkan depan Wahyu. Tapi, itu kelemahan Ayah, Nak. Untuk sekali ini Ayah minta maaf, Ayah tidak bisa.”
    Wahyu pun mengeluarkan ekspresi yang menunjukkan kekecewaannya, ia hanya terdiam.
    Rahman : “Seorang anak yang kecewa pada anaknya. Oh, sungguh aku tak mampu mememnuhi permintaan anakku sendiri” ucap Rahman dalam hati lagi.
    Ibu Rahman : “Lakukan sekali ini saja Man, demi anakmu !”
    Rahman : “Tapi aku tak bisa Bu. Aku sudah terlalu lam tak melakukannya, dan aku sudah melupakan semuanya.”
    Ibu Rahman : “Mungkin, kamu sudah berubah Man, tapi jiwa kamu masih tetap jiwa seorang Bissu. Lakukan demi Wahyu, kamu juga masih dapat meminta bantuan pada Puang Matoa. Jangan sampai ia kecewa pada ayahnya sendiri. Dia lagi sakit, kasihan kalau permintaannya tidak dipenuhi.”
    Rahman pun menatap istrinya
    Rahman : “Aku sudah bersumpah untuk tidak melakukannya lagi”
    Tampaknya, Patmi pun tak rela Rahman melakukannya lagi.
    Patmi : “Demi anak kita saying, kamu pernah bisa melakukannya, pasti kamu bisa. Liha kondisi anak kita, dia sangat lemahdan kecewa sama kamu. Melihat wajahmu saja ia enggan.”
    Setelah ucapan Patmi itu, Rahman pun pergi menemui Puang Matoa di Rumah Arajang. Disana ia berlatih, saat Rahman merasa cukup dan yakin, ia kembali ke kamar rawat Wahyu. Rahman pun berdoa dahulu sebelum melakukan ritual manggiri itu. Rahman pun melakukannya pada lengan dan berhasil
    Wahyu : “Wah… Ayah emang jago. Ayah, aku ingin melihat ayah melakukannya di perut.”
    Rahman pun menusukkan keris keperutnya. Cairan merah kental mengalir di pakaian Rahman seiring rasa sakit yang teramat perih. Seruangan pun merasa panic.
    Rahman : “Ouh…. Sa….ki….t…”
    Rahman pun merasa kegelapan dan semuanya kelam. Ia pun tertidur dalam tidur panjang.
    Begitulah sebuah pertahanan kebudayaan yang dianggap musyrik. Tidak semua kebudayaam itu diakui dan sesuai dengan Agama. Rahman memilih jalan krisis budaya daripada menjadi orang musyrik.

    BalasHapus
  163. Nama : Yunita Chandra
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 48
    Tema : Peduli lingkungan

    Judul cerpen : 1000 Pohon 1000 Cinta
    Sumber : http://kemudian.com/

    Namaku Laudya Mentari Santoso, biasa dipanggil Mentari. Aku duduk di bangku 2 SMA ‘International School of Happy Nature.’ 3 hari lagi, aku akan berwisata menanam 1000 pohon di Hutan Kayuwangir Utara. Acara tersebut diadakan oleh perkumpulan pecinta alam Indonesia dan ‘International Plants and Nature Organisation’ atau Organisasi Internasional Alam dan Tumbuhan. Tujuannya untuk mereboisasi kembali Hutan Kayuwangir Utara, akibat banyaknya orang sering menebang pohon sembarangan.
    Read more (1365 words)

    Aku seneng banget deh, bisa ikut wisata yang menambah pengalaman! Daripada belajar di dalam kelas terus… kan boring! Lagian, aku juga prihatin pada alam Indonesia. Kebanyakan tumbuhan sudah tak terawat. Hutan-hutan banyak yang gundul dan terbakar habis. Teman-temanku sih, mau menyumbang bibit pohon, tetapi mereka masih kurang peduli. Satu-satunya orang yang mengerti dan sependapat denganku adalah Elang.

    Elang adalah teman sebangkuku. Kita berdua mengikuti satu kegiatan yang sama. Kegiatan itu bernama ‘Save Our Earth, Go Green Indonesia!” Kegiatan itu bertujuan untuk nyelametin bahaya global warming dan menjaga lingkungan Indonesia tetapi indah nan asri. Elang dan aku mengikuti kegiatan itu seminggu sekali, setiap hari Kamis. Biasanya kita diajarkan menanam tumbuhan dengan benar, bersih-bersih lingkungan, nonton video tentang alam negri kita, pokoknya seru deh!

    Biasanya kalau liburan, aku dan Elang pergi ke pantai dekat kota kami. Aku juga selalu mengajak best-friendku yaitu Nila, Patrice, Mita, dan Niko. Kadang Elang hanya mengajak kakaknya, Tommy. Mereka sih cukup peduli dalam lingkungan, tetapi Elang lebih peduli. Bagiku, kepedulian Elang patut mendapatkan juara 1+. Elang itu punya hobi dan cita-cita yang sama denganku, yaitu kita ingin menjadi ilmuwan pecinta alam terbaik di Indonesia. Oh, ya! Ngomong-ngomong, kegiatan kita di pantai itu ikut membantu pak penjaga pantai untuk ngebersihin sampah-sampah yang tergeletak di tepi-tepian.

    Nganggur ya! Tetapi kan lumayan… ada hasilnya juga loh!

    Kesatu: -daerah sekitar pantai jadi bersih.

    Kedua: -kalau ada rawa-rawa yang sudah bersih, bisa kita tanami pohon.

    Ketiga: -sampah-sampah yang berhasil kita kumpulin nggak dibuang
    percuma loh… Kalau bisa, kita jual atau daur ulang sampah itu, dan nantinya kan dapet duit $$$.

    BalasHapus
  164. Keempat: -dipuji pak penjaga pantai.

    Kelima: -ke pantaibisa jalan-jalan, refreshing, main di laut, dan nikmati segarnya es kelapa muda.

    Sekarang aku sedang duduk termenung di ranjangku. Aku sedang berpikir tentang kegiatan widyawisata nanti. Aku enaknya nyumbang bibit tanaman apa ya…? Tiba-tiba “Kring…tot. Kring…tot!” suara handphoneku ternyata. Kubuka handphoneku yang slide itu, dan… oh! Elang meneleponku!

    “Halo, kenapa Elang?” kataku.

    “Eh, Mentari… apa kamu sudah nentuin mau nyumbang bibit tanaman apa buat lusa?” kata Elang.

    “Ya… itu, aku lagi mikir-mikir tadi.” jawabku.

    “Cari yang bagus dan berguna ya!” kata Elang.

    “Iya. Memangnya apa semua tumbuhan itu akan ditanam di hutan?” tanyaku.

    “Nggak lah! Misalnya kamu nyumbang tanaman hias, kan nggak mungkin diletakkan di hutan…Ya bisa aja di greenhouse sekolah! Ya kan…” jawab Elang.

    “Kalau kamu mau nyumbang apa?” tanyaku.

    “Hmm… menurutku tanaman ‘sansevieria sp.’ juga bagus. Aku mau nyumbang itu 25 pot. Soalnya mamaku punya banyak di taman. Trus aku juga mau nyumbang 20 bibit buah-buahan. Jeruk, lemon, srikaya, stroberi, mangga,…”

    “Iya deh! Kamu nyumbangnya banyak! Tapi mau kamu bawa pake apa?” tanyaku.

    “Papaku kan punya toko bangunan, jadi tinggal pinjam truknya aja. Sekalian buat bantu transportasi dan pengangkutan untuk sekolah” jelas Elang.

    “Nut… nut… nut…” terdengar bunyi baterei handphoneku habis (low batt.) Akhirnya kuhentikan pembicaraanku dengan Elang. Kalau mikirin Elang, rasanya dia berambisi banget. Aku juga mau nyumbang bibit tanaman yang buanyak banget! Aku sudah nggak sabar nih, buat nungguin acara lusa.

    Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah datang. Inilah hari dimana aku akan bersenang-senang dengan Elang. Aku sedang menunggu Elang dan teman-teman kelompokku di depan taman toga sekolah. Aku hari ini ya 10 menit lebih awal dari biasanya, karena aku ‘so excited’! Elang tak kunjung datang juga, kayaknya sih dia sudah menunggu di tempat wisata kita. Akhirnya aku, Nila, Patrice, Mita, dan teman-teman kelompokku yang lain, masuk ke dalam kelas.

    BalasHapus
  165. Persiapan keberangkatan telah selelsai. Tak lama kemudian, Miss Susan, guru Jurnalistik kami, mengumumkan kepada seluruh anak untuk bersiap-siap dan berbaris di lapangan. Kami berangkat dengan bus yang telah disiapkan oleh sekolah. Dan memang benar, Elang, Reynaldo, Niko, beberapa anak lainnya, serta para guru sudah menunggu di tempat wisata kami.

    Pengarahan oleh para guru berlangsung sekitar 10 menit. Total bibit tanaman yang telah terkumpul adalah 1120 bibit. 200 pohon/tanaman hias, akan diletakkan di sekolah kami. 300 pohon akan dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar. Dan sisanya kami tanam di hutan tersebut. WOW! Dengan jumlah bibit yang terkumpul sangat banyak, aku dan Elang merasa bangga sekali!

    Semua kelompok telah siap dengan peralatan dan pohon yang telah mereka dapat masing-masing. Ada yang membawa sekop, cangkul, sarung tangan, alat penyiram, dan lain-lain. Aku mengetuai kelompok 2, yang beranggotakan: Aku (Mentari), Elang, Nila, Patrice, Mita, Reynaldo, Galih, Sheila, Irma, dan Niko. Kami mendapatkan tugas untuk menanam beberapa pohon dan… dengan penuh semangat 45… “KAMI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS!!”

    Nila, Galih, dan Sheila menyeroki tanahnya. Patrice mempersiapkan air dan alat penyiram. Mita dan Reynaldo mempersiapkan tanaman. Irma mempersiapkan pupuk. Aku, Elang, dan Niko mulai menanam pohon-pohon tersebut. Pokoknya, kelompok kami paling bersemangat dan sibuk semua. Kita mau jadi yang terbaik! Sehingga saat acara pengumuman di sekolah, kami mendapatkan penghargaan.

    Dan akhirnya, “Fyuu…h!” semua anak kelompokku menghela napas.
    Kelompok kami adalah satu-satunya kelompok yang selalu terlebih dahulu. Untuk menghabiskan waktu, aku, Elang, Niko, dan Nila bermain di kedalaman hutan. Yang lainnya bermain di dekat sungai.

    BalasHapus
  166. Nama : Theresia
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 43

    Tema : Kepedulian Lingkungan

    1000 Pohon 1000 Cinta
    Sumber : http://kemudian.com/node/232248

    Namaku Laudya Mentari Santoso, biasa dipanggil Mentari. Aku duduk di bangku 2 SMA ‘International School of Happy Nature’. 3 hari lagi, aku akan berwisata menanam 1000 pohon di Hutan Kayuwangir Utara. Acara tersebut diadakan oleh perkumpulan pecinta alam Indonesia dan ‘International Plants and Nature Organisation’ atau Organisasi Internasional Alam dan Tumbuhan. Tujuannya untuk mereboisasi kembali Hutan Kayuwangir Utara, akibat banyaknya orang sering menebang pohon sembarangan.
    Aku seneng banget deh, bisa ikut wisata yang menambah pengalaman! Daripada belajar di dalam kelas terus… kan boring! Lagian, aku juga prihatin pada alam Indonesia. Kebanyakan tumbuhan sudah tak terawat. Hutan-hutan banyak yang gundul dan terbakar habis. Teman-temanku sih, mau menyumbang bibit pohon, tetapi mereka masih kurang peduli. Satu-satunya orang yang mengerti dan sependapat denganku adalah Elang.
    Elang adalah teman sebangkuku. Kita berdua mengikuti satu kegiatan yang sama. Kegiatan itu bernama ‘Save Our Earth, Go Green Indonesia!” Kegiatan itu bertujuan untuk nyelametin bahawa global warming dan menjaga lingkungan Indonesia tetapi indah nan asri. Elang dan aku mengikuti kegiatan itu seminggu sekali, setiap hari Kamis. Biasanya kita diajarkan menanam tumbuhan dengan benar, bersih-bersih lingkungan, nonton video tentang alam negri kita, pokoknya seru deh!
    Biasanya kalau liburan, aku dan Elang pergi ke pantai dekat kota kami. Aku juga selalu mengajak best-friendku yaitu Nila, Patrice, Mita, dan Niko. Kadang Elang hanya mengajak kakaknya, Tommy. Mereka sih cukup peduli dalam lingkungan, tetapi Elang lebih peduli. Bagiku, kepedulian Elang patut mendapatkan juara 1+. Elang itu punya hobi dan cita-cita yang sama denganku, yaitu kita ingin menjadi ilmuwan pecinta alam terbaik di Indonesia. Oh, ya! Ngomong-ngomong, kegiatan kita di pantai itu ikut membantu pak penjaga pantai untuk ngebersihin sampah-sampah yang tergeletak di tepi-tepian.
    Nganggur ya! Tetapi kan lumayan… ada hasilnya juga loh!
    Kesatu: -daerah sekitar pantai jadi bersih.
    Kedua: -kalau ada rawa-rawa yang sudah bersih, bisa kita tanami pohon.
    Ketiga: -sampah-sampah yang berhasil kita kumpulin nggak dibuang
    percuma loh… Kalau bisa, kita jual atau daur ulang sampah itu, dan nantinya kan dapet duit $$$.

    BalasHapus
  167. lanjutan (page 2)
    Keempat: -dipuji pak penjaga pantai.
    Kelima: -ke pantaibisa jalan-jalan, refreshing, main di laut, dan nikmati segarnya es kelapa muda.
    Sekarang aku sedang duduk termenung di ranjangku. Aku sedang berpikir tentang kegiatan widyawisata nanti. Aku enaknya nyumbang bibit tanaman apa ya…? Tiba-tiba “Kring…tot. Kring…tot!” suara handphoneku ternyata. Kubuka handphoneku yang slide itu, dan… oh! Elang meneleponku!
    “Halo, kenapa Elang?” kataku.
    “Eh, Mentari… apa kamu sudah nentuin mau nyumbang bibit tanaman apa buat lusa?” kata Elang.
    “Ya… itu, aku lagi mikir-mikir tadi.” jawabku.
    “Cari yang bagus dan berguna ya!” kata Elang.
    “Iya. Memangnya apa semua tumbuhan itu akan ditanam di hutan?” tanyaku.
    “Nggak lah! Misalnya kamu nyumbang tanaman hias, kan nggak mungkin diletakkan di hutan…Ya bisa aja di greenhouse sekolah! Ya kan…” jawab Elang.
    “Kalau kamu mau nyumbang apa?” tanyaku.
    “Hmm… menurutku tanaman ‘sansevieria sp.’ juga bagus. Aku mau nyumbang itu 25 pot. Soalnya mamaku punya banyak di taman. Trus aku juga mau nyumbang 20 bibit buah-buahan. Jeruk, lemon, srikaya, stroberi, mangga,…”
    “Iya deh! Kamu nyumbangnya banyak! Tapi mau kamu bawa pake apa?” tanyaku.
    “Papaku kan punya toko bangunan, jadi tinggal pinjam truknya aja. Sekalian buat bantu transportasi dan pengangkutan untuk sekolah” jelas Elang.
    “Nut… nut… nut…” terdengar bunyi baterei handphoneku habis (low batt.) Akhirnya kuhentikan pembicaraanku dengan Elang. Kalau mikirin Elang, rasanya dia berambisi banget. Aku juga mau nyumbang bibit tanaman yang buanyak banget! Aku sudah nggak sabar nih, buat nungguin acara lusa.
    Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah datang. Inilah hari dimana aku akan bersenang-senang dengan Elang. Aku sedang menunggu Elang dan teman-teman kelompokku di depan taman toga sekolah. Aku hari ini ya 10 menit lebih awal dari biasanya, karena aku ‘so excited’! Elang tak kunjung datang juga, kayaknya sih dia sudah menunggu di tempat wisata kita. Akhirnya aku, Nila, Patrice, Mita, dan teman-teman kelompokku yang lain, masuk ke dalam kelas.
    Persiapan keberangkatan telah selesai. Tak lama kemudian, Miss Susan, guru Jurnalistik kami, mengumumkan kepada seluruh anak untuk bersiap-siap dan berbaris di lapangan. Kami berangkat dengan bus yang telah disiapkan oleh sekolah. Dan

    BalasHapus
  168. lanjutan (page 3)
    memang benar, Elang, Reynaldo, Niko, beberapa anak lainnya, serta para guru sudah menunggu di tempat wisata kami.
    Pengarahan oleh para guru berlangsung sekitar 10 menit. Total bibit tanaman yang telah terkumpul adalah 1120 bibit. 200 pohon/tanaman hias, akan diletakkan di sekolah kami. 300 pohon akan dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar. Dan sisanya kami tanam di hutan tersebut. WOW! Dengan jumlah bibit yang terkumpul sangat banyak, aku dan Elang merasa bangga sekali!
    Semua kelompok telah siap dengan peralatan dan pohon yang telah mereka dapat masing-masing. Ada yang membawa sekop, cangkul, sarung tangan, alat penyiram, dan lain-lain. Aku mengetuai kelompok 2, yang beranggotakan: Aku (Mentari), Elang, Nila, Patrice, Mita, Reynaldo, Galih, Sheila, Irma, dan Niko. Kami mendapatkan tugas untuk menanam beberapa pohon dan… dengan penuh semangat 45… “KAMI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS!!”
    Nila, Galih, dan Sheila menyeroki tanahnya. Patrice mempersiapkan air dan alat penyiram. Mita dan Reynaldo mempersiapkan tanaman. Irma mempersiapkan pupuk. Aku, Elang, dan Niko mulai menanam pohon-pohon tersebut. Pokoknya, kelompok kami paling bersemangat dan sibuk semua. Kita mau jadi yang terbaik! Sehingga saat acara pengumuman di sekolah, kami mendapatkan penghargaan.
    Dan akhirnya, “Fyuu…h!” semua anak kelompokku menghela napas.
    Kelompok kami adalah satu-satunya kelompok yang selalu terlebih dahulu. Untuk menghabiskan waktu, aku, Elang, Niko, dan Nila bermain di kedalaman hutan. Yang lainnya bermain di dekat sungai.
    Kami bercanda di bawah pohon besar yang rindang. Dan terdengar bunyi sesuatu “Kree…k… Kree…k…!” Aku melihat ke atas, dan “Kya…!” Aku berteriak kencang, karena ranting pohon yang cukup besar mulai reot dan terjatuh. Aku berpikir bahwa aku akan tertimpa dan tak sadarkan diri. Tetapi “Awas!” teriak Elang sambil mendorongku, lalu terdengar lagi suara “Bruk!” Kakiku sedikit tergores, tetapi saat aku menoleh ke belakang…
    “Elang…! Elang…!” aku kaget sekali, karena Elang telah menyelamatkanku, tetapi ia sendiri yang tertimpa pohon. Aku mencari teman-teman lainnya, “Niko! Nila! Tolong… Elang kecelakaan!”
    “Ada apa Mentari?” tanya teman-teman.
    “Itu… Elang berusaha menolongku, tetapi ia malah tertimpa ranting pohon yang besar!” kataku dengan penuh kekhawatiran.
    Sesampainya di tempat kejadian, Niko dan Reynaldo mulai memindahkan batang pohon yang menimpa Elang. Patrice dan Nila memanggil kakak pembina yang saat itu ada di base camp. Setelah itu dengan keadaan yang cukup parah, Elang dibawa ke rumah sakit terdekat. Aku hanya bisa menangis dan kasihan melihat pengorbanan Elang.

    BalasHapus
  169. lanjutan (page 4)
    Seminggu kemudian, Elang muncul di sekolah. Tetapi kakinya digips dan diperban. Jalannyapun masih menggunakan tongkat. Kebetulan hari itu hari Senin, saatnya upacara dan pengumuman penghargaan. Kami semua sudah berbaris di lapangan, dan Elang duduk di bawah pohon. Semua anak tegang dan gemeteran… Sebenarnya sih, pengumuman itu dipacakan oleh Pak Kepsek dalam bahasa Inggris, tetapi kalau diterjemahkan menjadi…
    “Dan, kelompok paling giat, cepat, dan tanggap dalam kegiatan penanaman 1000 pohon yang lalu, dimenangkan oleh…” Pak Kepsek terdiam, suara hening diiringi deru drum. Lalu Pak Kepsek melanjutkan pembicaraannya, “Selamat, kepada kelompok 2 yang diketuai oleh Laudya Mentari Santoso!!”
    Aku maju ke tengah-tengah lapangan diiringi applause dari teman-temanku. Aku memberikan pidato tentang kesan dan pesan.
    “Ehm!” aku memulai pidato kemenanganku.
    “Pertama, saya ucapkan terimakasih dan penuh hormat pada teman-teman dan para guru sekalian. Saya melakukan kegiatan penanaman tersebut dengan giat, karena memang saya peduli terhadap lingkungan hidup dan alam Indonesia. Saya berharap pada semua teman-teman agar terbuka dan mulai ikut peduli pada bumi kita. Karena global warming mulai merantak. Dan satu lagi, saya juga ingin berterimakasih kepada seseorang yang peduli dan pengertian. Karena jika tidak ada seseorang yang peduli dan pengertian seperti dia, maka sekarang saya tidak bisa berdiri dan berpidato di sini. Orang itu telah menyelamatkan alam dan juga menyelamatkan saya. Saya sangat berterimakasih kepadanya. Orang yang saya maksud adalah… Elang” kataku sambil menunjuk kepadanya.
    Aku melanjutkan pidatoku, “Elang, terimakasih… Kamu telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Sebenarnya penghargaan ini layak untuk diterima oleh orang seperti kamu, Elang. Aku hanya mau mengucapkan banyak terimakasih, dan Elang….” Aku terdiam sejenak.
    “I love you…!” Semua anak bertepuk tangan dan menggoda dengan
    “Suit….suit…. Ehm! Ehm!”
    Tetapi hari itu aku sangat bahagia, karena aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Elang selama ini. Sejak saat itu aku dan Elang menjadi semakin dekat. Aku juga tak lupa pada tempat yang menyatukan kami. Walau tempat itu juga menyimpan kenangan pahit bagi aku dan Elang. Memang, gara-gara hobi kita sama, dan kejadian saat penanaman 1000 pohon itu, aku menumbuhkan perasaan suka pada Elang. Begitu juga perasaan Elang kepadaku. Aku dan Elang menganggap bahwa persahabatan kita selalu tumbuh dan berkembang bagaikan 1000 pohon yang kita tanam itu. I love you Elang… 1000 cintaku… hanya untukmu.
    -----------------------------THE END-----------------------------------

    BalasHapus
  170. lanjutan (page 5)
    Naskah Drama :
    Namaku Laudya Mentari Santoso, biasa dipanggil Mentari. Aku duduk di bangku 2 SMA ‘International School of Happy Nature'. 3 hari lagi, aku akan berwisata menanam 1000 pohon di Hutan Kayuwangir Utara yang diadakan oleh perkumpulan pecinta alam Indonesia dan ‘International Plants and Nature Organisation’.Satu-satunya orang yang mengerti aku adalah teman sebangkuku yang bernama Elang.
    (Bunyi suara handphone)
    Mentari : “Halo, kenapa Elang?”
    Elang : “Eh, Mentari, apa kamu sudah menentukan mau nyumbang bibit tanaman apa buat lusa?”
    Mentari : “Ya itu, aku lagi mikir-mikir tadi.”
    Elang : “Cari yang bagus dan berguna ya!”
    Mentari : “Iya. Memangnya apa semua tumbuhan itu akan ditanam di hutan?”
    Elang : “Nggak lah! Misalnya kamu nyumbang tanaman hias, kan tidak mungkin diletakkan di hutan. Ya bisa aja di greenhouse sekolah! Ya kan.”
    Mentari : “Kalau kamu mau nyumbang apa?”
    Elang : “Menurutku tanaman sansevieria sp. juga bagus. Aku mau nyumbang itu 25 pot. Soalnya mamaku punya banyak di taman. Terus aku juga mau nyumbang 20 bibit buah-buahan. Jeruk, lemon, srikaya, stroberi, mangga.”
    Mentari : “Iya deh! Kamu nyumbangnya banyak! Tapi mau kamu bawa pakai apa?”
    Elang : “Papaku kan punya toko bangunan, jadi tinggal pinjam truknya saja. Sekalian buat bantu transportasi dan pengangkutan untuk sekolah.”
    ”Nut... Nut... Nut..”(Pembicaraan terputus)
    Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu telah datang. Aku sedang menunggu Elang dan teman-teman kelompokku di depan taman toga sekolah. Persiapan keberangkatan telah selelsai. Pengarahan oleh para guru berlangsung sekitar 10 menit. Total bibit tanaman yang telah terkumpul adalah 1120 bibit. Semua kelompok telah siap dengan peralatan dan pohon yang telah mereka dapat masing-masing. Aku mengetuai kelompok 2, yang beranggotakan: Aku, Elang, Nila, Patrice, Mita, Reynaldo, Galih, Sheila, Irma, dan Niko. Setelah selesai aku, Elang, Niko dan Nila bercanda di bawah pohon rindang.

    BalasHapus
  171. lanjutan (Page 6)
    ”Kree...k... Kree...k...!”
    Mentari : ”Kya...!”(Berteriak kencang)
    Elang : “Awas!”(Berteriak sambil mendorong Mentari)
    “Bruk!”
    Mentari : “Elang…! Elang…!”
    “Niko! Nila! Tolong… Elang kecelakaan!”
    Teman-teman : “Ada apa Mentari?”
    Mentari : “Itu… Elang berusaha menolongku, tetapi ia malah tertimpa ranting pohon yang besar!”
    Sesampainya di tempat kejadian, Niko dan Reynaldo mulai memindahkan batang pohon yang menimpa Elang. Patrice dan Nila memanggil kakak pembina yang saat itu ada di base camp. Setelah itu dengan keadaan yang cukup parah, Elang dibawa ke rumah sakit terdekat. Seminggu kemudian, Elang muncul di sekolah. Kebetulan hari itu hari Senin, saatnya upacara dan pengumuman penghargaan. Kami semua sudah berbaris di lapangan, dan Elang duduk di bawah pohon.
    Kepala Sekolah : “Dan, kelompok paling giat, cepat, dan tanggap dalam kegiatan penanaman 1000 pohon yang lalu, dimenangkan oleh”(Drum berbunyi) “Selamat, kepada kelompok 2 yang diketuai oleh Laudya Mentari Santoso!!”
    Siswa-siswi tepuk tangan
    Mentari : “Ehm ! Pertama, saya ucapkan terimakasih dan penuh hormat pada teman-teman dan para guru sekalian. Saya melakukan kegiatan penanaman tersebut dengan giat, karena memang saya peduli terhadap lingkungan hidup dan alam Indonesia. Saya berharap pada semua teman-teman agar terbuka dan mulai ikut peduli pada bumi kita. Karena global warming mulai merantak. Dan satu lagi, saya juga ingin berterimakasih kepada seseorang yang peduli dan pengertian. Karena jika tidak ada seseorang yang peduli dan pengertian seperti dia, maka sekarang saya tidak bisa berdiri dan berpidato di sini. Orang itu telah menyelamatkan alam dan juga menyelamatkan saya. Saya sangat berterimakasih kepadanya. Orang yang saya maksud adalah… Elang (sambil menunjuk Elang).”
    “Elang, terimakasih… Kamu telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Sebenarnya penghargaan ini layak untuk diterima oleh orang seperti kamu, Elang. Aku hanya mau mengucapkan banyak terimakasih, dan Elang….”
    Semua anak : ” I love you...!”(Sambil bertepuk tangan)
    “Suit….suit…. Ehm! Ehm!”
    Tetapi hari itu aku sangat bahagia, karena aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Elang selama ini. Sejak saat itu aku dan Elang menjadi semakin dekat. Aku juga tak lupa pada tempat yang menyatukan kami. Memang, gara-gara hobi kita sama, dan kejadian saat penanaman 1000 pohon itu, aku menumbuhkan perasaan suka pada Elang. Aku dan Elang menganggap bahwa persahabatan kita selalu tumbuh dan berkembang bagaikan 1000 pohon yang kita tanam itu. I love you Elang… 1000 cintaku… hanya untukmu.
    Palembang, 4 Oktober 2009

    BalasHapus
  172. Kami bercanda di bawah pohon besar yang rindang. Dan terdengar bunyi sesuatu “Kree…k… Kree…k…!” Aku melihat ke atas, dan “Kya…!” Aku berteriak kencang, karena ranting pohon yang cukup besar mulai reot dan terjatuh. Aku berpikir bahwa aku akan tertimpa dan tak sadarkan diri. Tetapi “Awas!” teriak Elang sambil mendorongku, lalu terdengar lagi suara “Bruk!” Kakiku sedikit tergores, tetapi saat aku menoleh ke belakang…

    “Elang…! Elang…!” aku kaget sekali, karena Elang telah menyelamatkanku, tetapi ia sendiri yang tertimpa pohon. Aku mencari teman-teman lainnya, “Niko! Nila! Tolong… Elang kecelakaan!”

    “Ada apa Mentari?” tanya teman-teman.

    “Itu… Elang berusaha menolongku, tetapi ia malah tertimpa ranting pohon yang besar!” kataku dengan penuh kekhawatiran.

    Sesampainya di tempat kejadian, Niko dan Reynaldo mulai memindahkan batang pohon yang menimpa Elang. Patrice dan Nila memanggil kakak pembina yang saat itu ada di base camp. Setelah itu dengan keadaan yang cukup parah, Elang dibawa ke rumah sakit terdekat. Aku hanya bisa menangis dan kasihan melihat pengorbanan Elang.

    Seminggu kemudian, Elang muncul di sekolah. Tetapi kakinya digips dan diperban. Jalannyapun masih menggunakan tongkat. Kebetulan hari itu hari Senin, saatnya upacara dan pengumuman penghargaan. Kami semua sudah berbaris di lapangan, dan Elang duduk di bawah pohon. Semua anak tegang dan gemeteran… Sebenarnya sih, pengumuman itu dipacakan oleh Pak Kepsek dalam bahasa Inggris, tetapi kalau diterjemahkan menjadi…

    “Dan, kelompok paling giat, cepat, dan tanggap dalam kegiatan penanaman 1000 pohon yang lalu, dimenangkan oleh…” Pak Kepsek terdiam, suara hening diiringi deru drum. Lalu Pak Kepsek melanjutkan pembicaraannya, “Selamat, kepada kelompok 2 yang diketuai oleh Laudya Mentari Santoso!!”

    Aku maju ke tengah-tengah lapangan diiringi applause dari teman-temanku. Aku memberikan pidato tentang kesan dan pesan.

    “Ehm!” aku memulai pidato kemenanganku.

    BalasHapus
  173. Nama : Risca Octavianex
    Kelas : XI P 7
    No. Absen : 37

    Tema : Krisis Kepercayaan Terhadap Budaya Bangsa
    Sumber : http://djonkjava.blogspot.com/2004/11/cerpen-budaya-antara-simbok-mama-dan.html

    ANTARA SIMBOK, MAMA, DAN PAPA
    Karya : Sartono Kusumaningrat

    Anakku, masih duduk di TK, suatu siang pulang dengan menangis. Aku tidak begitu memperhatikannya karena tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak terpisahkan. Di jok boncengan sepeda ontelku ia tampak tidak mau bicara. Aku tersenyum saja. Ah, nanti dia toh akan berhenti sendiri dengan tangisnya. Mana mungkin dia betah menangis seharian.

    Ketika sampai di rumah ia mogok makan. Istriku membujuknya dengan keras karena ia khawatir anakku akan jatuh sakit. Kalau anakku jatuh sakit. Aku dan istriku jugalah yang akan kerepotan sendiri.

    "Mengapa kamu menangis?" tanya istriku dengan cemas. Anakku menggeleng. "Ayolah cerita sama Simbok." Anakku tegu dengan gelengan kepalanya.

    "Kamu dimarahi guru?" aku nimbrung mencoba mencairkan kebisuannya. Bagaimanapun aku harus mengakui bahwa hati kecilku ingin tahu apa yang menjadi persoalan sehingga ia pulang sekolah sambil menangis.

    Demi mendengar pertanyaanku anakku bertambah berguncang dadanya menahan tangis. Mungkin sekali ia merasa jengkel ketika sepanjang jalan ia tak ku tanyai perihal penyebab tangisnya. Barangkali ia merasa tidak aku sayangi, tidak aku perhatikan, sehingga rasa jengkel dan sakit hatinya terasa menumpuk di dada.

    "Aku malu....." tiba-tiba ia berbicara dalam keterbataan.

    "Lho, apa yang mesti membuatmu malu ?"

    "Pokoknya aku malu."

    "Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak ?"

    "Aku diejek."

    Aku tertawa. Istriku memberengut, matanya mendelik, tidak setuju dengan tertawaku.

    "Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan ?" istriku sewot.

    "Lho wong cuma diejek saja kok menangis."

    "Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan menangis Pak ? Sakit hati !"

    "Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti ?"

    "Aku diejek karena tidak punya ibu"

    "Huaaaa...haaa....haaa...." Sungguh aku terbahak-bahak mendengar penturan anakku ini.

    "Lho, lho, lho, aku ini apamu Nak kalau bukan ibumu ?" tanya istriku di sela suara tawaku.

    "Tidak. Aku tidak punya ibu. hanya punya Simbok !" anakku berteriak. Air mata masih saja terburai-burai di permukaan pipinya yang tembem.

    Aku tidak dapat menghentikan ketawaku. Istriku yang mendengar omongan anakku tersenyum kecut.

    "Lho apa bedanya to Nak ?"

    "Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa !"

    "Ooolaaah Nak. yang ndesa itu justru teman-temanmu itu." istriku membela diri. Apa teman-temanmu itu tahu artinya simbok? Mana mungkin mereka tahu ! Bahkan orang tua mereka pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok memiliki arti yang sangat mulia, Nak."

    "Tidak. Aku ingin memanggil simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil Simbok dengan simbok. Nanti dikata-katai bocah desa lagi."

    Kini aku menghentikan tertawaku. Nampaknya persoalan sebutan simbok dan mama ini menjadi persoalan yang gawat bagi anakku. Hal ini bisa mengganggu eksistensinya di sekolah. Bisa mempengaruhi rasa percaya dirinya. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja tidak mustahil akan membuat prestasi sekolahnya jeblok atau bahkan ia akan mogok sekolah.

    "Ketahuilah Nak sebutan simbok memilki arti yang dalam, bukan main-main." Aku turut menandaskan apa yang dikatakan istriku dengan wajah yang kubuat serius. Anakku menghapus sisa air mata di sudut matanya. Wajahnya juga serius memperhatikaku. "Simbok itulah yang menomboki. Jika bajumu robek, maka Simbokmu inilah yang menombok dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya."

    BalasHapus
  174. Tema : Krisis Budaya
    Oleh : Nimiya Marietta

    Dalam Penantian Kedamaian

    Langit berselimut kelam. Hitam sekai. Tak satupun bintang nampak berkelip. Air langit lebat sebentar lagi turun mengguyur segala yang ada di bumi. Angin berhembus mengelus kulit ari menyeruak masuk ke tulang sum-sum, dingin. terasa untuk ukuran seperti biasa. Malam perlahan datang merangkul orang yang tengah sibuk menyiapkan apa adanya untuk hari lebaran. Pagi esoknya, hari kemenangan bagi kaum muslim. Dari puncak menara masjid terdengar suara takbiran menggema memecah Keheningan malam, "Allahu Akbar Waillahilham," memuji kebesaran Asma Illahi, diiringi dentuman petasan disela-sela suara takbir, meninggalkan kesan baru bagi orang-orang mendengarnya. Bulan suci Ramadhan begulir perlahan bergeser menuju hari-hari berikutnya dengan lelehan airmata, memohon pengampunan dosa kepada Yang Maha Kuasa.

    Kota Kuala Lumpur seperti terjaga dari lelap tidur panjang oleh serentetan disusl hiasan kembang api warna warni berpendar membelah langit biru berselimut kelam. Sehari sesudah itu ketika malam tiba, Isma duduk diruang tengah, menatap lurus pandangannya jatuh pada gambar-gambar yang tersodorkan oleh TV3 Malysia menayangkan seputar peristiwa Negara Jiran Indonesia. Terbius oleh berita itu, bergeser ia agak kedepan agar lebih jelas inderanya menangkap tayangan-tayangan sembari mengusap matanya berkali-kali untuk meyakinkan pada dirinya bahwa apa yang dilihatnya itu bukan mimpi buruk yang tengah melanda bangsa Indonesia tanah airnya.

    "Sekitar 60 orang tewas dan ratusan rumah ibadah hangus dibakara massa akibat kerusuhan di kota Ambon Sehabis sholat Idul Fitri tadi pagi". Mendengar itu, Isma mengelus dada dengan helaan nafas panjang sembari mengucapkan Istigfar berulang kali. Seminggu yang lalu ia menerima surat dari ibunya di tanah Mangkasarak, tempat ia dilahirkan. Luka. Setumpuk keluhan tergores lisan. Tak nampak karena jauh, tapi mata hatinya didalam melihat segala kejadian, dan kini ia turut meratap sedih sesunggukan. Atika, adiknya minggu depan akan ujian meja sebagai prasyarat untuk meraih gelar S1. Berarti dia butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya. Sementara pesangonayahnya sebagai konpensasi pemutusan hubungan kerja, dimana ia bekerjanya cukup untuk menutupi utang-utangmenumpuk, itupun harus menombok karena masih banyak yang bekum terlunaskan. Paham betul ia akan maksud surat itu. Satu-satunya tumpuan orangtuanya dialah seorang karena terlahir hanya dua bersaudara semua perempuan. Dalam surat ibunya diungkapkan, krisis ekonomi yang berkepanjangan sangat mempengaruhinya hidup hari-harinya. Nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Munkin nasib baik belum berpihak kepadanya. Suatu indikasi yang memperburuk suasana, membuat terpuruknya perekonomian bangsa adalah gejolak politik yang berkepanjangan yang bermuara pada maraknya aksi demo dan kerusuhan yang terjadi dimana-mana penjarahan, perampokan, pertikaian antara kelompok, pembakaran rumah-rumah ibadah, pembunuhan dukun santet dan setunjuk lagi perbuatan anarkis yang tak sempat disebut satu persatu.

    "Mengapa mesti terjadi demikian? tanya Isma dalam hatinya terheran-heran. Dibacanya sekali lagi surat ibunya, "Anakku, bangsa kita kini hidup dalam suasana tidak kepastian, diliputi rasa kecemasan dengan ORDE BARU. Ironisnya, para penonton juga berpura-pura diatas kebohongan. Celakanya belum sempat drama itu berkahir, muncul tiba-tiba badai LANINA memporakporandakan seluruh aktivitasnya, diguyur oleh derasnya hujan reformasi diseala bidang, membuat para pelakunya lari terbirit-birit mencari perlindungan. Akh... Entah apa judul drama itu, katakan saja drama maut yang menyengsarakan rakyat selama bertahun-tahun lamanya. Ketika Rezim Orde Baru tumbang, tak sedikit para pakar politik muncul ke permukaan dengan berbagai wejangan yang semakin membingungkan masyarakat awam.

    BalasHapus
  175. “Pertama, saya ucapkan terimakasih dan penuh hormat pada teman-teman dan para guru sekalian. Saya melakukan kegiatan penanaman tersebut dengan giat, karena memang saya peduli terhadap lingkungan hidup dan alam Indonesia. Saya berharap pada semua teman-teman agar terbuka dan mulai ikut peduli pada bumi kita. Karena global warming mulai merantak. Dan satu lagi, saya juga ingin berterimakasih kepada seseorang yang peduli dan pengertian. Karena jika tidak ada seseorang yang peduli dan pengertian seperti dia, maka sekarang saya tidak bisa berdiri dan berpidato di sini. Orang itu telah menyelamatkan alam dan juga menyelamatkan saya. Saya sangat berterimakasih kepadanya. Orang yang saya maksud adalah… Elang” kataku sambil menunjuk kepadanya.

    Aku melanjutkan pidatoku, “Elang, terimakasih… Kamu telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Sebenarnya penghargaan ini layak untuk diterima oleh orang seperti kamu, Elang. Aku hanya mau mengucapkan banyak terimakasih, dan Elang….” Aku terdiam sejenak.

    “I love you…!” Semua anak bertepuk tangan dan menggoda dengan
    “Suit….suit…. Ehm! Ehm!”

    Tetapi hari itu aku sangat bahagia, karena aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Elang selama ini. Sejak saat itu aku dan Elang menjadi semakin dekat. Aku juga tak lupa pada tempat yang menyatukan kami. Walau tempat itu juga menyimpan kenangan pahit bagi aku dan Elang. Memang, gara-gara hobi kita sama, dan kejadian saat penanaman 1000 pohon itu, aku menumbuhkan perasaan suka pada Elang. Begitu juga perasaan Elang kepadaku. Aku dan Elang menganggap bahwa persahabatan kita selalu tumbuh dan berkembang bagaikan 1000 pohon yang kita tanam itu. I love you Elang… 1000 cintaku… hanya untukmu.

    BalasHapus
  176. Naskah drama ditulis berdasarkan cerpen "1000 Pohon 1000 Cinta"
    Karya : Yunita Chandra
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 48

    1000 Pohon 1000 Cinta

    Tokoh Aku bernama Laudya Mentari Santoso, biasa dipanggil Mentari. Aku duduk di bangku kelas 2 SMA International School of Happy Nature. 3 hari lagi akan diadakan wisata menanam 1000 pohon di hutan Kayuwangir Utara yang diadakan oleh Perkumpulan Pencinta Alam Indonesia dan International Plants and Nature Organisation, atau Organisasi Internasional Alam dan Tumbuhan. Tujuannya untuk mereboisasi kembali Hutan Kayuwangir Utara.
    Teman-teman Mentari mau menyumbang bibit pohon tetapi mereka masih kurang peduli. Satu-satunya orang yang mengerti dan sependapat dengan Mentari adalah Elang, sahabat sebangkunya. Mereka bersama-sama mengikuti kegiatan ’Save Our Earth, Go Green Indonesia’ yang bertujuan menyelamatkan bahaya global warming dan menjaga lingkungan Indonesia.

    Adegan 1

    Mentari duduk termenung di atas ranjangnya dan berpikir. Tiba-tiba....
    ”Kring...tot. Kring...tot!” Suara handphone berbunyi.
    Mentari : (membuka slide handphonenya dan membaca)
    ” Oh, Elang meneleponku”
    Mentari : (mengangkat telepon)
    ” Halo, kenapa Elang?”
    Elang : ” Eh, Mentari... apa kamu sudah menentukan mau menyumbang bibit tanaman apa untuk lusa nanti?”
    Mentari : ” Ya... itu, aku lagi mikir-mikir tadi.”
    Elang : ” Cari yang bagus dan berguna ya!”
    Mentari : ” Iya. Memangnya apa semua tumbuhan itu akan ditanam di hutan?”
    Elang : ” Nggak lah! Misalnya kamu menyumbang tanaman hias, tidak mungkin diletakkan di hutan... Ya bisa saja di Greenhouse sekolah. Ya kan...?”
    Mentari : ” Kalau kamu mau menyumbang apa? ”
    Elang : ” Hm... menurutku tanaman ’sansevieria sp’ juga bagus. Aku mau menyumbang itu 25 pot. Soalnya mamaku punya banyak di taman. Terus aku juga mau menyumbang 20 bibit buah-buahan seperti jeruk, lemon, srikaya, stroberi, mangga...”
    ” Nut..nut..nut...” (bunyi baterai handphone habis)
    Mentari : ” Eh, Elang batetai hanphoneku mau habis nih, udah dulu yah. ‘’
    Elang : ” Ya, sampai jumpa lusa nanti.”
    Mentari : ” Bye’’
    (menutup telepon)


    Adegan 2

    Hari yang ditunggu-tunggu telah datang. Mentari denagn teman-temanya Nila, Pratice, Mita masuk ke dalam kelas.
    Persiapan keberangkatan telah selesai. Tak lama kemudian...
    Miss Susan(guru jurnalistik) : ” Anak-anak ayo segera bersiap-siap. Semua berkumpul dan bebaris di lapangan. Kita akan berangkat dengan bus yang telah disiapkan oleh sekolah.”

    BalasHapus
  177. Adegan 3

    Sesampai di tempat wisata, telah menunggu Elang, beberapa anak lainnya serta para guru. Pengarahan oleh para guru berlangsung sekitar 10 menit.

    Guru : “ Total bibit yang telah terkumpul adalah 1120 bibit. 200 pohon atau tanaman hias akan diletakan din sekolah. 300 pohon akan dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar.
    Dan sisany akan kita tanam di hutan tersebut.”
    Anak-anak : ” KAMI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS!”

    Semua kelompok telah siap dengan peralatan dan pohon yang telah mereka dapat masing-masing. Mentari mengetuai kelompok 2 yang beranggotakan, dirinya, Elang, Nila, Patrice, Mita, Reynaldo,Galih, Sheila, Irma, dan Niko.
    Kelompok Mentari paling bersemangat dan sibuk semua. Mereka ingin mejadi yang terbaik. Kelompok Mentari selesai lebih dulu dibanding kelompok lain.

    ”Fiuuuhh...h.” (semuanya menghela napas lega)

    Adegan 4

    Mentari, Elang, Niko dan Nila menghabiskan waktu bermain di kedalaman hutan dan yang lainnya bermain di dekat sungai.
    Mereka bercanda di bawah pohon besar yang rindang.

    ” Kree...k... Kree..k...!” ( terdengar bunyi sesuatu)

    Mentari : (melihat ke atas)
    ” Kyaa...a!” (berteriak dengan kencang)
    (ranting pohon yang cukup besar mulai reot dan jatuh)

    Elang : “ Awas! “
    (Mendorong Mentari)
    “ Bruk!” (terdengar suara)

    Mentari : (menoleh ke belakang)
    “ Elang…! Elang…! (kaget)
    “ Niko! Nila! Tolong… Elang kecelakaan! “ (berteriak mencari pertolongan)
    Teman-teman : ” Ada apa Mentari? ”
    Mentari : ” Itu... Elang berusaha menolongku, tetapi ia malah tertimmpa ranting pohon yang besar!” (dengan penuh kekhawatiran)

    Sesampainya di tempat kejadian, Niko dan Reynaldo mulai mmemindahkan batang pohon yang menimpa Elang. Patrice dan Nila memanggil kakak pembina yang ad di base camp. Setalah itu Elang dibawa ke rumah sakit.

    Mentari : ” Elang... Elang...” ( menangis)

    BalasHapus
  178. lanjutan cerpen

    Anakku memandangku dan wajah simboknya. Ia mencoba memahami apa yang aku katakan . Memang ia tidak mengerti sepenuhnya, namun paling tidak, ada sedikit yang tersangkut di dalam isi kepalanya.

    "Tapi panggilan simbok tetap ndesa Pak, kenapa to simbok itu tidak boleh kupanggil mama ?"

    Istriku tersenyum pahit. Aku pun begitu.

    "Di samping aku tidak mengerti apa arti kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg dengan sebutan simbok karena aku sudah paham kata itu daripada kata mama atau mami, Nak"

    "Tapi, aku malu."

    Aku terdiam. Aku mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh anakku satu-satunya ini. Sejauh pengetahuanku, sebutan ini bukan berasal dari bahasa bangsa kita, bangsa Indonesia. Kata mama dan mami kono berasal dari daratan Eropa sana yang dibawa oleh para bule sampai ke negeri-negeri jajahannya. Bangsa penjajah menempatkan dirinya sebagai kelompok superior dan bangsa yang dijajah adalah kelompok yang inferior. Kesuperioran ini ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan sebutan mama, papa, papi dan mami ini.

    Sebutan mama dan mami ini menjadi penanda bahwa keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang lebih super daripada keluarga yang meyebut orang tua perempuannya dengan sebutan simbok yang terkesan mewakili bentuk oposisi kultur desa dibandingkan sebutan mama yang mencirikan kultur kota. Sebutan ini juga mengesankan bentuk kesuperioran yang lain entah tingkat kekayaannya, kedudukan sosialnya, pangkatnya atau bahkan hanya biar disangka keluarga yang tidak ketinggalan zaman. Aku sangat kesulitan menjelaskan ini pada anakku.

    "Kalau aku tidak boleh menyebut mama kepada Simbok, aku tidak mau sekolah !" anakku mengancam. baginya etimologi kata itu barangkali memang tidak penting. Ia hanya melihat fungsinya sekarang. Bukan pada perjalanan sejarah artinya. Kata mama, mami, papi, lebih mengesankan fungsi kultur kota, hebat, dan modern. Ini yang dimaui anakku. Ia tidak mau ketinggalan zaman dengan teman-teman sekelasnya. Apa boleh buat, aku yang sangat malu disebut papa karena aku memang tidak tahu artinya terpaksa menerima kenyataan itu. Mulai detik ini aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok itu rela disebut mama demi ketentraman hati anak kami. Dalam hati aku tersenyum getir, satu sekrup budaya lokal bangsaku telah lepas.
    ------------------SELESAI-----------------

    BalasHapus
  179. (lanjutan)

    "Anakku, lewat media cetak dan elektronik dinegerimu tentunya engkau akan tersiksa dalam kecemasan membaca berita isu simpang siur bangsamu yang tengah dilanda berbagai kerusuhan."

    Isma berhenti sejenak membaca, lalu menyeka airmatanya yang jatuh berlelehan dengan punggung tangannya, kemudian ia lanjutkan.

    "Buyar sudah semua harapanku untuk tenang dinegeri ini, berangan-angan hendak hijrah mencari ketenangan hidup di Negerimu Malaysia yang kaya raya lagi tenteram damai, akan tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan karena banyaknya pendatang haram yang dipulangkan.

    "HImpitan penderitaan yang berkepanjangan membuat rakyat kecil seperti ibumu selalu mencari jalan keluar dalam lingkaran setan yang membelenggu, ketidakberdayaan oleh himpitan beban krismon yang serba susah ayahmu bangkit tertatih-tatih mencoba membangun kehidupan baru diatas puing reruntuhan yang terlanjur ambruk. Dengan mengandalkan pengalaman bekerja di perusahan swasta, disodorkan kepadanya siapa saja. jawabannya hampir-hampir sama, maaf tidak menerima karyawan baru, perusahan kami mengalami penciutan organisasi karena terancam gulung tikar."

    "Surutlah ia kebelakang dengan mengelus dada menghabiskan sisa-sisa usianya untuk mengabdi semata kepada Khalik-nya agar impas menerima sejuta kesusahan, akan tetapi bahagia di dunia sana. Selain itu, ayahmu sakit-sakitan, mungkin traumamenerima nasib sial. Hari-hari kulewati dengan kecemasan. Pesta demokrasi sudah di ambang pintu, anakku. Bayangkan puluhan partai politik akan bertanding mempertaruhkan segalanya. Nilai harga diri dan cinta bangsa tercabik-cabik oleh ambisi kedudukan yang selalu dikejar-kejar. Paling menakutkan lagi, para pakar politik dinegeri ini meramalkan akan terjadi pertumpahan darah yang tak terelakkan bilamana semua pemerintahan tidak diselesaikan dengan bijaksana. Ramalan itu selalu menghantui pikiranku. Sungguh mengerikan. Timbul tanda tanya yang sulit terjawab, sampai kapankah rakyat bertahan dalam penantian? Dipercepatnya Pemilu yang demokratis, jujur dan adil dengan terbentuknya pemerintahan baru yang bersih. Terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme(KKN) agar bangsa kita terhindar dari ancaman malapetakayang mengerikan. Kuharap balasan darimu dengan berita yang baik-baik agar hatiku terhibur. Peluk cium dari ibundamu, Irda..."

    Malam merangkak ke larut. Isma hendak beranjak dari duduknya, tiba-tiba abangnya telah berdiri dibelakangnya sambil menepuk pundaknya.
    "Sudahlah Dik Isma, minggu depan kita ke Ujung Pandang!" bujuknya menenangkan hati Isma.
    "Bagaimana Bang penerbangan MAS Kuala Lumpur-Ujung Pandang telah lama dihentikan."
    "KIta lewat laut menyebrang ke Batam, kemudian ambil pesawat ke Jakarta dan langsung ke Ujung Pandang."

    "Kau setuju toh Isma?" tanya abangnya.

    Isma mengangguk tanda setuju, menatap senyum dengan sorot mata penuh pengharapan sembari masuk beriringan tangan ke kamar tidurnya, karena malam perlahan menuju titik larutnya.

    Palembang, 4 Oktober 2009

    BalasHapus
  180. Adegan 5

    Seminggu kemudian Elang muncul di sekolah, kakinya digips dan diperban, jalan menggunakan tongkat.
    Hari itu hari Senin satnya upacara dan penggumuman penghargaan.

    Pak Kepsek : ” Dan kelompok yang paling giat,cepat, dan tanggap dalam kegiatan penanaman 1000 pohon yang lalu, dimenangkan oleh...”
    (kepsek terdiam, suara hening diiringi deru drum)
    “Selamat, kepada kelompok 2 yang diketuai oleh Laudya Mentari Santoso!!”

    Mentari : (berjalan maju ke tengah-tengah lapangan diiringi tepuk tangan dari teman-teman)
    ” Ehm!”
    ” Pertama, say ucapkan terima kasih dan penuh hormat pada teman-teman dan para guru sekalian. Saya melakukan kegiatan penanaman tersebut dengan giat, karena memang saya peduli terhadap lingkungan hidup dan alam Indonesia. Saya berharap pada semua teman-teman agar terbuka dan mulai ikut peduli pada bumi kita. Karena global warming merantak. Dan satu lagi, saya ingin berterima kashi pada seseorang yang peduli dan pengertian. Karena jika tidak ada seseorang yang peduli dan pengertian seperti dia, maka sekarang saya tidak bisa berdiri dan berpidato di sini. Orang itu telah menyelamatkn alam dan juga menyelmatkan saya. Saya sangat berterima kasih kepadanya. Orang yang saya maksud adalah ...Elang” (menunjuk pada Elang)
    ” Elang terima kasih .... kamu telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Sebenarnya penghargaan ini layak untuk diterima oleh orang seperti kamu, Elang. Aku hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih, dan Elang...(terdiam sejenak)
    I love You....!”
    Semua anak : (bertepuk tangan dan mengggoda)
    “ Suiit….suit…Ehm…! Ehm…!”

    Hari itu Mentari sangat bahagia karena dapat mengungkapkan perasaannya pada Elang. Sejak saat itu Mentari dan Elang menjadi semakin dekat.
    Mentari dan Elang menganggap bahwa persahabatan mereka selalu tumbuh dan berkembang bagaikan 1000 pohon yang mereka tanam itu.

    Mentari : (mengucap dalam hati)
    ” I love You Elang... 1000 cintaku... hanya untukmu...”

    -------------SELASAI--------------

    BalasHapus
  181. Nama: Riky Mulyadi
    Kelas/No. Absen : XI P7 / 36

    Tema: Krisis Budaya

    Naskah:

    Babak 1

    Adegan 1

    Anakku masih duduk di TK. Suatu siang ia pulang dengan menangis. Bahkan sesampainya di rumah, ia tidak mau makan. Istriku khawatir

    Istri: Mengapa kamu menangis
    Anak: (Diam dan menggeleng)
    Istri: Ayolah cerita sama Simbok
    Anak: (Tetap diam dan menggelengkan kepala)

    Istri: Kamu dimarahi guru ?"

    Anak: Aku malu…( Sambil menahan tangis).

    Istri: Lho, apa yang mesti membuatmu malu ?(Sambil mengrenyitkan alis)

    Istri: Pokoknya aku malu.(Tangisan semakin terdengar)

    Istri: Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak ?

    Anak: Aku diejek.

    Aku tertawa..

    Istri: Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan ? (Dengan nada kesal)

    Aku: Lho wong cuma diejek saja kok menangis.

    Istri: Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan menangis ta Pak ? Sakit hati !(Dengan nada sedikit marah)

    Istri: Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti ?

    Anak: Aku diejek karena tidak punya ibu… (Menunduk malu)

    Adegan 2
    Aku: Huaaa….haaa….haaa…." (Terbahak – bahak)
    Istri: Lho, lho, lho, aku ini apamu Nak kalau bukan ibumu (Mencoba mengalihkan perhatian anakku)
    Anak: Tidak. Aku tidak punya Ibu. Hanya punya Simbok !(Berteriak dan terus menangis)

    Istri: Lho apa bedanya to Nak ?(Sedikit kesal)
    Anak: Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa !(Berteriak)

    Adegan 3

    Istri: Ooolaaah Nak. Yang ndesa itu justru teman-temanmu itu.(Dengan kesal) Apa teman-temanmu itu tahu artinya simbok ? Mana mungkin mereka tahu ! Bahkan orang tua mereka pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok memiliki arti yang sangat mulia, Nak.

    Anak: Tidak. Aku ingin memanggil Simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil Simbok dengan simbok. Nanti dikata-katai sebagai bocah ndesa lagi.(Bersikeras)


    Aku: Ketahuilah Nak, sebutan simbok memiliki arti yang dalam, bukan main-main.( Menghentikan tawa)

    Adegan 4

    Aku: Simbok itu memiliki makna sebagai orang yang suka tombok. Tombok itu artinya menutup kekurangan, melunasi, dan membuat sempurna. Contohnya kalau bapakmu ini sedang tidak punya uang untuk belanja, Simbok itulah yang akan menomboki. Jika bajumu robek, maka Simbokmu inilah yang akan tombok dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya.

    Anak: (Sambil melihat simbok) Tapi panggilan simbok tetap ndesa Pak. Kenapa to Simbokku itu tidak boleh kupanggil mama ?


    Aku: Di samping aku tidak tahu apa makna di balik kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg dengan sebutan simbok karena aku lebih paham, lebih mengerti makna kata itu daripada kata mama atau mami, Nak.

    Anak: Tapi aku malu.
    Anak: Pokoknya kalau aku tidak boleh memanggil simbok mama aku tidak mau sekolah!(Berteriak)

    Mulai detik itu aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok rela disebut mama demi ketenteraman hati anak kami. Dalam hati aku aku tersenyum getir, satu sekrup budaya lokal bangsaku telah lepas ….

    BalasHapus
  182. Lanjutan
    Cerpen:

    Anakku, masik duduk di TK. Suatu siang ia pulang dengan menangis. Aku tidak begitu memperhatikannya karena tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak terpisahkan. Di jok boncengan sepeda ontelku ia tampak tidak mau bicara. Aku tersenyum saja. Ah, nanti dia toh akan berhenti sendiri dengan tangisnya. mana mungkin ia betah menangis seharian.

    Ketika sampai di rumah ia mogok makan. Istriku membujuknya dengan keras karena ia khawatir anakku akan jatuh sakit. Kalau anakku jatuh sakit, aku dan istriku jugalah yang akan kerepotan sendiri.

    "Mengapa kamu menangis ?" tanya istriku dengan cemas. Anakku menggeleng. "Ayolah cerita sama Simbok." anakku teguh dengan gelengan kepalanya.

    "Kamu dimarahi guru ?" aku nimbrung mencoba mencairkan kebisuannya. Bagaimanapun aku harus mengakui bahwa hati kecilku ingin tahu apa yang menjadi persoalannya sehingga ia pulang sekolah sambil menangis.

    Demi mendengar pertanyaanku anakku bertambah berguncang dadanya menahan tangis. Mungkin sekali ia merasa jengkel ketika sepanjang jalan ia tak kutanyai perihal penyebab tangisnya. Barangkali ia merasa tidak aku sayangi, tidak aku perhatikan sehingga rasa jengkel dan sakit hatinya terasa menumpuk di dada.

    "Aku malu….." tiba-tiba ia berbicara dalam keterbataan.

    "Lho, apa yang mesti membuatmu malu ?"

    "Pokoknya aku malu."

    "Lho, malu kan mesti ada sebabnya to, Nak ?"

    "Aku diejek."

    Aku tertawa. Istriku memberengut, matanya mendelik, tidak setuju dengan tertawaku.

    "Bapak itu kok malah tertawa. Apa yang ditertawakan ?" istriku sewot.

    "Lho wong cuma diejek saja kok menangis."

    "Lho anak kita kan masih kecil. Kalau dia diejek dan tidak kuat menanggung malu jelas dia akan menangis ta Pak ? Sakit hati !"

    "Nak, kamu diejek bagaimana kok lantas menangis tanpa henti ?"

    "Aku diejek karena tidak punya ibu."

    "Huaaa….haaa….haaa…." Sungguh aku terbahak-bahak mendengar penuturan anakku ini.

    "Lho, lho, lho, aku ini apamu Nak kalau bukan ibumu ?" tanya istriku di sela suara tawaku.

    "Tidak. Aku tidak punya Ibu. Hanya punya Simbok !" anakku berteriak. Air mata masih saja terburai-burai di permukaan pipinya yang tembem.

    Aku tidak dapat menghentikan ketawaku. Istriku yang mendengar omongan anakku tersenyum kecut.

    "Lho apa bedanya to Nak ?"

    "Simbok menurut teman-temanku adalah kampungan. Ndesa !"

    "Ooolaaah Nak. Yang ndesa itu justru teman-temanmu itu." istriku membela diri. Apa teman-temanmu itu tahu artinya simbok ? Mana mungkin mereka tahu ! Bahkan orang tua mereka pun aku jamin tidak tahu artinya simbok. Anakku sayang, kamu harus tahu bahwa kata simbok memiliki arti yang sangat mulia, Nak."

    "Tidak. Aku ingin memanggil Simbok dengan Mama atau Mami. Aku tidak mau lagi memanggil Simbok dengan simbok. Nanti dikata-katai sebagai bocah ndesa lagi."

    BalasHapus
  183. Nama : Fenny Yunistia Kosinga
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 12
    Tema : Kepedulian Sosial

    Naskah Cerpen

    Anak Cacat yang Tersia-siakan

    Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.
    Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”
    biasa sambil Seperti membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.
    ”Iya Bu, tapi aku lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
    ”Eh… ga usah alesan.”
    Kalau sudah begini aku, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.
    ”Bu, saya bener-bener cape.”
    ”Kamu tu ya, disuruh gitu aja nggak mau.”
    ”Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”
    ”Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.
    Tak pantas aku menyebutnya Nenek Lampir. Bagaimanapun dia seorang wanita yang telah rela mengadungku sembilan bulan, melahirkanku dengan bertaruh nyawa, dan kini harus membesarkan anak cacat.
    ”Kenapa kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo aku yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya aku juga anak Ibu.”
    ”Mau kamu tu apa ? Hidup kita itu lagi susah. Apalagi kamu kayak gini. Emang apa kata orang nanti. Udah miskin, punya anak cacat lagi.”
    ” Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”
    ”Mana ayahmu yang penggangguran itu. Dia ngga pernah datang.”
    Aku menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuaku, tapi nampak makhluk dari planet lain.
    ”Ya, aku ngerti semuanya sekarang. Aku pergi!”
    Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih mengangkat sapu. Ingin sekali aku berlari sekencang kilat. Tapi apa dayaku. Aku hanya punya satu kaki. Akibat kecelakaan itu. Ketika aku berlari karena dimarahi ibu, aku tertabrak mobil. Kaki kiriku diamputasi. Kini, hanya tongkat kecil sebagai teman membantuku berjalan. Melangkah, menapaki setiap kehidupan.
    Teriakan ibu membuatku berpikir lebih dalam tentang arti hidup. Aku pernah melihat jurang sedalam tiga ratus meter. Begitu mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi di dalam rumah. Dengan gitar kecil pemberian sahabatku, Eri, sebelum ia pergi melanjutkan sekolah di tanah kelahirannya, Bukittinggi, Sumatra Barat, aku menjadi pengamen remaja yang malang. Anak cacat yang tak pernah diurus orang tuanya.
    ” Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa aku butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan aku benci Ibu, hanya saja aku sadar Ibu tak suka padaku. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,” pikirku.

    BalasHapus
  184. Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Aku menerima saja. Kalau dibilang marah. Aku sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.
    Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Aku hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin aku akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Aku tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.
    Tibalah aku di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.
    Hidupmu indah
    bila kau tahu,
    jalan mana yang bena…ar
    harapan ada
    harapan ada
    bila kau percaya
    Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.
    ”Terima kasih, Bi”
    ”Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”
    “Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”
    ”Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”
    ”Ya Bi. Assalamu’alaikum.”
    ”Wa’alaikumusssalam.”
    Aku jadi bahagia setelah bertemu Bi Minah. Bukan karena aku dapat uang dan makanan, tapi aku bisa bertemu dengan orang yang sangat menyayangiku. Bi Minah punya tiga anak di desa. Semuanya sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Saat teristimewa baginya adalah berkumpul dengan semua anggota keluarga. Namun malangnya, ia harus berjuang sendiri setelah suaminya meninggal akibat kecelakaan tujuh tahun yang lalu ketika mengantarkan Bi Minah ke pasar. Peristiwa itu selamanya tak bisa dilupakan. Sama halnya dengan kejadianku saat itu. Bedanya, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk tetap hidup.Walau kaki kiriku harus diamputasi. Makanya, Bi Minah sangat sayang padaku.
    * * *

    BalasHapus
  185. Sambil makan, aku mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Aku sadar bahwa itu bukan duniaku sekarang.
    ”Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti aku akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,” khayalku mulai bergerak cepat.
    Tiba-tiba, ”Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.
    Khayalanku hilang seketika. Gertakan Olen membuat suasana sepi menjadi ramai. Olen langsung saja menyantap makanan. Ia memang seperti itu. Walau kelakuannya kadang kurang mengenakkan, tetapi hatinya sangat mulia. Apalagi dengan temannya yang sedang tertimpa musibah. Jika ia seorang prajurit, pasti ia sudah berada di barisan paling depan. Dia berbeda nasib denganku. Hubungan dengan orang tuanya sangat dekat. Sekarang Olen berumur 18 tahun. Ia duduk di kelas 2 SMA Nusa Bakti. Olen mengamen hanya untuk bermain. Sedangkan bagiku, mengamen adalah mata pencaharian. Kalau sedang malas ngamen, aku jualan koran atau jadi tukang bersih kaca mobil di jalan.
    ” Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ” kata Olen.
    ”Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”
    ”Beneran ? Gue makan ya.”
    ”Yoi!”
    Tanpa cuci tangan, Olen langsung menyantap semua makanan. Tak peduli ada kotoran atau tidak yang menempel. Padahal, ia selalu bermain di jalanan. Entah berapa kali ia sakit perut gara-gara ulahnya ini. Walau mulutnya penuh dengan nasi, tetap saja ia menyempatkan diri untuk ngobrol.
    ”Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”
    ”Dikit, nih cuma lima ribu.”
    Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku. Kebisaannya ini paling kubenci. Aku tahu, aku memang sangat butuh uang, tapi tidak mungkin aku tega mengambil hasil jerih payahnya seharian.
    “Buat lu.”
    “Apaan ni. Ngga usah.”
    “Gue marah ni kalo lu nggak mau.”
    “Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”
    ”Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”
    ”Ah masa. Kok makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”
    ”Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue nggak dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi nggak sempet sarapan.”
    ”Trus napa nggak langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”
    ”Buat ketemu elu-elu pade. Emang nggak kangen, kalo gue nggak ada.”
    ”Kangen ama nenek moyang lo!”
    ”Ni ambil !” Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku.
    ”Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”
    ”Ya udah deh. Gue ngga maksa. Tapi kalo lu butuh, ngomong gue aja ye.”
    “Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”
    “Hati-hati.”
    ”Da…”
    Aku pun meninggalkan Olen yang masih makan. Sebenarnya aku ingin menceritakan masalahku dengannnya. Namun, aku berusaha hidup lebih dewasa dalam masalahku sendiri. Tak tahu kapan badai ini surut. Aku hanya yakin, aku bisa hadapi semua.

    BalasHapus
  186. Lanjutan cerpen
    Kini aku menghentikan tertawaku. Nampaknya persoalan sebutan simbok dan mama ini menjadi persoalan yang gawat bagi anakku. Hal ini bisa mengganggu eksistensinya di sekolah. Bisa mempengaruhi rasa percaya dirinya. Kalau hal ini dibiarkan begitu saja tidak mustahil akan membuat prestasi sekolahnya jeblok atau bahkan ia akan mogok sekolah.

    "Ketahuilah Nak, sebutan simbok memiliki arti yang dalam, bukan main-main." Aku turut menandaskan apa yang dikatakan istriku dengan wajah yang kubuat serius. Anakku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya. Wajahnya juga serius memperhatikanku. "Simbok itu memiliki makna sebagai orang yang suka tombok. Tombok itu artinya menutup kekurangan, melunasi, dan membuat sempurna. Contohnya kalau bapakmu ini sedang tidak punya uang untuk belanja, Simbok itulah yang akan menomboki. Jika bajumu robek, maka Simbokmu inilah yang akan tombok dengan waktu, tenaga, dan biaya untuk membuat bajumu utuh kembali. Demikian juga dengan hal-hal lainnya."

    Anakku memandangku dan memandang wajah simboknya berganti-ganti. Nampaknya ia mencoba memahami apa yang aku katakan. Barangkali ia memang tidak dapat mengerti sepenuhnya dengan apa yang baru saja aku jelaskan itu. Tetapi paling tidak apa yang aku jelaskan itu entah separo atau seperempatnya pasti bisa menyangkut di dalam isi kepalanya.

    "Tapi panggilan simbok tetap ndesa Pak. Kenapa to Simbokku itu tidak boleh kupanggil mama ?"

    Istriku tersenyum pahit. Aku pun begitu.

    "Di samping aku tidak tahu apa makna di balik kata mama itu, aku juga merasa lebih sreg dengan sebutan simbok karena aku lebih paham, lebih mengerti makna kata itu daripada kata mama atau mami, Nak."

    "Tapi aku malu."

    Aku terdiam. Aku mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh anakku satu-satunya itu. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Padahal aku tidak mau sebenarnya anakku ikut-ikutan gaya hidup orang lain. Bagiku sebutan mama atau mami membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Di samping aku harus mengerti apa makna dan etimologisnya, aku juga harus paham pada konsekuensi sosial dan psikologisnya bagi keluargaku sendiri.

    BalasHapus
  187. Sejauh pengertahuanku, sebutan ini bukan berasal dari bahasa bangsaku, bangsa Indonesia . Kata mama dan mami konon berasal dari daratan Eropa sana . Oleh bangsa bule hal ini dibawa sampai ke negeri-negeri jajahannya. Oleh karena penjajahan itu, bangsa pribumi menjadi dan dijadikan bangsa yang inferior oleh bangsa penjajah. Sebutan-sebutan, gelar, gaya berpakaian, gaya berbahasa secara langsung maupun tidak menjadi alat untuk mengkelaskan bangsa. Bangsa penjajah menempatkan dirinya sebagai bangsa yang superior. Kesuperioran ini ditunjukkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah sebutan mama, papa, papi, daddy, momy, dan mami ini.

    Sebutan mama dan mami menjadi penanda bahwa keluarga yang bersangkutan adalah keluarga yang lebih super daripada keluarga yang menyebut orang tua perempuannya dengan simbok. Dikesankan lebih barat, modern, intelek, dan mencirikan kultur kota sebagai bentuk oposisi dari kultur desa yang diwakili oleh sebutan simbok. Sebutan itu juga mengesankan bentuk kesuperioran yang lain. Entah super tingkat kekayaannya, pangkatnya, kedudukan sosialnya, intelektualitasnya, atau bahkan hanya biar disangka keluarga yang tidak ketinggalan zaman. Kini anakku sedang merasakan dampak dari semuanya itu. Aku sangat kesulitan menjelaskan ini pada anakku.
    "Kalau aku tidak boleh menyebut mama pada Simbok, aku tidak mau sekolah !" Anakku mengancam. Baginya etimologi kata itu barangkali memang tidak penting. Ia hanya melihat fungsinya sekarang. Bukan pada perjalanan sejarah artinya. Kata mama, papa, mami, dan papi lebih mengesankan fungsi kultur kota , modern, dan hebat. Ini yang dimaui anakku. Ia tidak mau ketinggalan zaman dengan teman-teman sekelasnya. Apa boleh buat, aku yang sangat malu disebut papa karena aku memang tidak tahu artinya terpaksa menerima kenyataan itu. Mulai detik itu aku rela disebut papa dan istriku yang biasa disebut simbok rela disebut mama demi ketenteraman hati anak kami. Dalam hati aku aku tersenyum getir, satu sekrup budaya lokal bangsaku telah lepas

    BalasHapus
  188. Rumahku cukup mungil. Kami tinggal berlima. Ibu, dua adik, dan ayah tiriku. Saat aku berumur 7 tahun. Ibu minta cerai dari ayah kandungku. Alasannya karena Ayah sering mabuk dan main judi. Utangnya pun melimpah. Akhirnya Ibu minta cerai. Setelah itu, jarang sekali Ayah mengunjungiku. Tidak pernah tanya kabar. Apalagi saat kecelakaan, Ayah seperti menghilang. Aku sempat menanyakan keberadaan Ayah pada beberapa anggota keluarga. Namun, mereka tidak ada yang tahu Benarkah Ayah tak mau lagi melihatku. Apakah ia sangat menyesal dengan kondisiku yang cacat. Mungkin aku memang memalukan.
    Aku pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.
    ” Mana uangnya ?” tanya Ibu saat aku baru tiba di depan pintu.
    ” Ini,” kataku sambil mengeluarkan uang dari saku.
    ”Segini!”
    ” Aku cape, Bu.”
    “Bilang aja males. Nggak usah buat alesan.”
    ”Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”
    Tanpa pikir panjang aku segera masuk kamar. Ruangan kecil ukuran 3 meter x 3 meter. Dulu kamarku ini adalah gudang. Setelah Adi dan Tani, adik tiriku semakin besar, kamarku diberikan untuk mereka sehingga aku harus membersihkan gudang sebelum menempatinya menjadi kamar. Atapnya berlubanng dengan diameter dua sepuluh centimeter. Makanya, kalau hujan aku harus siapkan ember. Lantainya beralaskan tikar bambu. Tanpa bantal dan selimut. Hanya sarung robek yang setia melindungiku dari dingin sekaligus kain untuk solat walaupun itu jarang kulakukan. Bukan karena aku tidak mau mengerjakan perintah Tuhan. Aku sadar Tuhan pasti selalu melihatku. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana caranya solat apalagi baca Al Quran yang benar. Orang tuaku belum pernah mengajari. Aku belajar agama dari buku-buku bekas di pasar loakan, kertas-kertas yang beterbangan di jalan atau tanya teman yang lebih pintar.
    Pintu kututup rapat-rapat. Lalu tidur dengan mata terbuka dan perut keroncongan. Aku mencoba mencari cara untuk lepas dari teriakan ibu. Bagaimanapun juga aku adalah anaknya, bukan musuhnya. Ya, meskipun Ibu telah mempunyai anak dari laki-laki lain yang telah menjadi ayah tiriku. Ayah baruku ini sama dengan Ibu. Bahkan lebih ganas. Penderitaanku bertambah karena Adi dan Tani sangat manja. Mereka selalu minta barang-barang mewah. Hidup boros layaknya orang kaya yang serba ada. Padahal, ayah tiriku hanya supir angkot. Aku pernah minta uang padanya. Dan itu untuk pertama sekaligus terakhir. Karena ia marah-marah. Katanya, aku hanya bisa menyusahkan orang saja. Perkataannya itu membuat ceriaku luluh lantak. Hentakan hebat berhasil merobohkan tiang-tiang ketegaranku. Sejak saat itu, aku tak lagi minta uang. Aku berusaha mencari pekerjaan. Tapi untuk seorang anak cacat sepertiku, adakah pekerjaan yang bisa kulakukan layaknya orang normal? Hanya mengamen yang ada dalam otak. Meski hasilnya tidak seberapa, aku masih punya banyak teman yang bisa membantu. Betapa tersiksa dengan keadaanku sekarang. Hidup satu rumah bersama monster-monster yang setiap saat bisa mematahkan sel-sel tubuh tawamu.Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.

    BalasHapus
  189. Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.
    ”Prakk..!” Ibu membuka pintu kamar dengan keras.
    ” Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”
    ” Lo kok aku lagi.”
    ”Kamu mau dipukul, ha !”
    ”Iya Bu.” Tiga detik. Aku menyesal mengatakan itu.
    ”Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”
    Aku cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.
    ”Mau dipukul lagi!”
    ”Ya. Pukul aja. Aku dah kebal dengan pukulan itu. Nggak mempan!”
    ”Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.
    Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan aku yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Aku duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.
    ”Aku harus pergi sekarang. Nggak mungkin aku hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”
    Kuputuskan untuk pergi. Semua baju aku masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Aku melihat situasi. Suasana sepi. Kamarku memang terletak paling belakang. Itulah kenapa walaupun aku berteriak belum tentu mereka dengar. Orang-orang sedang nonton TV. Aku keluar lewat jendela dapur. Bebaslah jiwa dari penjara kegelapan. Dunia tersenyum bangga padaku.
    ”Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Aku tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, aku rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada aku.”
    Jam dinding selalu kubawa kalau pergi jauh. Walau anak jalanan tapi aku kenal waktu. Setiap detik hidup harus bernilai bagiku. Hidup hanya sekali. Tak peduli apa kata orang tentangku. Aku harus tetap melangkahkan kaki. Mungkin saat ini aku gagal dalam mencari kebahagiaan. Namun, tidak untuk besok karena aku yakin bahagia akan datang menghampiri. Aku akan memenangkan pertempuran ini.

    BalasHapus
  190. Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, aku melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid aku disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.
    ”Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”
    ”Saya dari sana,” tanganku menunjuk arahku datang.
    ”Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” Kakek melirik jam dinding yang kubawa.
    ”Saya….saya dari sana,” tanganku kembali menunjuk arah yang sama.
    ”Dari sana? Sananya mana ?”
    ”Anu, saya….saya sendiri Kek.”
    Akhirnya kami duduk di mimbar masjid. Serangkaian kisahku terukir. Kakek itu terlihat sangat antusias mendengarkan ceritaku. Beberapa kali ia bertanya. Aneh, meski baru kenal kami sudah sangat akrab. Ia jelmaan orang yang selama ini aku tunggu. Orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah hidupku. Tak pernah kutemui orang seperti kakek ini. Begitu bijak ia memberi nasehat.
    ”Siapa namamu?”
    ”Saya Toto Iskandar.”
    ”Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang ?” tanya Kakek.
    ”Aku tidak mau menjadi air yang mengalir. Aku ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah aku bertanya Kek, apa arti hidup itu?”
    ”Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”
    ”Lalu apa itu bahagia ?”
    ”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka memerlukanmu.”

    BalasHapus
  191. Aku mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, aku mulai mengerti.
    ” Terima kasih atas jawaban Kakek.”
    ”Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”
    ”Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”
    ”Kamu yakin ?”
    Aku mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah aku bisa hadapi semua sendiri atau tidak.
    ”Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”
    ”Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”
    ”Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”
    Sebelum masuk masjid aku berkata, ”Kakek, aku punya dua permintaan.”
    ”Apa itu?” langkah Kakek terhenti.
    ”Bolehkah aku memeluk Kakek? Aku tidak punya Kakek selama ini.”
    ”Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”
    Aku segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum aku temukan. Kasih sayang.
    Inikah bahagia itu Tuhan? Aku berhasil menemukannya. Aku telah menang.
    Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin aku melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.
    ”Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.
    ”Bolehkah aku tinggal sehari saja di rumah Kakek.”
    Aku melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.
    ”Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”
    Banjir bandang meluap. Membasahi pipi. Kupeluk lagi tubuh yang sudah renta itu dengan sangat erat. Erat sekali. Kemudian Kakek mengusap rambutku. Seandainya tadi aku keramas pakai sampo, pasti aku takkan malu karena rambutku yang berminyak dan bau ini. Tangan yang selalu kurindukan. Kedamaian terus mengalir dalam kalbu. Laksana tanah gersang yang tersiram air hujan. Termasuk amarahku pada Ibu. Tak ingin aku berpisah darinya. Ternyata Tuhan masih menyayangiku meski aku semakin jauh dari-Nya.
    Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Ilmu yang selama ini belum pernah aku dapatkan, dalam waktu singkat telah berada di dekatku. Aku sangat bersyukur. Ini adalah keajaiban Tuhan untukku. Aku memang cacat. Namun, di balik kekuranganku, ada banyak kebahagiaan yang jauh lebih berharga. Mengapa selama ini aku selalu mengeluh? Betapa bodohnya aku. Ini bukan Toto Iskandar. Aku harus berubah. Aku masih punya kaki satu untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kedua tangan ini masih bisa kugerakkan.
    Selama dua hari di rumah Kakek, aku sangat senang. Aku pun tahu kalau nama kakek itu adalah Kakek Soleh. Kakek pernah bercerita bahwa sebelum istrinya meninggal, ia berpesan jika suatu hari Kakek bertemu dengan orang yang sedang susah, ia harus sebisa mungkin membantunya. Karena ingat pesan itulah, Kakek berusaha membantuku. Kakek punya dua anak perempuan. Karena sudah menikah, mereka hidup bersama keluarga sang suami. Kakek juga pernah diajak untuk ikut, tapi ia tidak mau sebab baginya rumah ini adalah tempat terindah. Banyak kenangan manis yang harus ia jaga. Sebisa mungkin aku berusaha membantu Kakek. Pergi ke ladang. Mencabuti rumput dan menanam palawija. Hasil panennya sebagian dijual untuk membiayai hidup. Kakek juga sering membuat makanan kecil seperti singkong rebus dan lalaban untuk dibawa ke masjid. Biasanya saat kajian rutin. Aku belajar bagaimana ia menjalani hidup.

    BalasHapus
  192. Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, aku memutuskan untuk pulang. Kembali ke rumah yang dulu kuanggap neraka. Entah kekuatan apa yang mendorongku ke sana. Tiba di gang menuju rumah, aku tampak ragu. Aku ingat bagaimana Ibu menungguku di pintu sambil berdiri dan bersiap memarahi. Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu kukeluarkan perlahan. Tekad bulat masih tetap kokoh. Langkahku maju. Ingin aku membuka pintu yang telah lama kutinggalkan. Pintu yang sering Ibu pukul-pukul saat marah. Dengan perasaan was-was aku menapaki setiap turbin halaman rumah. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Aku langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
    ”Eh, ada apa, Di?”
    ”Elu To. Masih inget rumah ini juga.”
    ”Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”
    ”Apa ! Ibu…….. Aku ikut kalian.”
    ”Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.
    Aku tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang aku bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak aku tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.
    * * *
    Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, aku tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.

    BalasHapus
  193. ”Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, aku sangat menyayangi Ibu.”
    Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.
    Aku mendengar ia bercerita, ”To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”
    ”DEG”
    ”Apa. Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru aku dengar barusan.”
    Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Aku pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.
    ”Betulkah cerita ini?” Hatiku mulai bimbang.
    ”Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.
    ”Ibu, kau tetap Ibuku.”
    Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu.
    Jantungku terasa berhenti berdetak. Petir yang menyambar membuatku sejenak tak sadar bahwa aku masih hidup. Apa yang terjadi? Aku tak paham satupun. Atau aku sudah sangat paham. Sekarang aku tahu mengapa Ibu lebih sayang Adi dan Tani yang merupakan anak kandungnya sendiri.
    Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, aku keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.
    ”Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.
    Walau hanya dengan sebuah tongkat, tapi benda ini sangat membantuku berlari semakin kencang. Beberapa kali aku jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Aku langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.
    ”Ada apa ini. Tunggu dulu!”
    ”Cepat Dok!”
    Tanpa peduli permintaanya aku tarik kuat-kuat tangan itu.
    ”Tolong Ibu, kumohon,” kataku sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.
    Betapa kagetnya aku. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.
    ”Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang.”
    Dunia tampak gelap. Aku pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.
    Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Aku kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti aku juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya aku kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.

    BalasHapus
  194. Nama : Fenny Yunistia Kosinga
    Kelas : XI IPA 7
    No. Absen : 12

    Tema : Kepedulian Sosial

    Naskah Drama
    Anak Cacat yang Tersia-siakan

    Babak I
    Adegan I

    Aku yang berpikir dan melayangkan anganku bersama ibuku yang sedang menyapu
    Ibu : “To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!” (biasa sambil Seperti membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku.)
    Aku : ”Iya Bu, tapi aku lagi cape. Tadi kan habis potong kayu.”
    Ibu : “Eh… ga usah alesan.”
    Kalau sudah begini aku, suasana rumah seperti kayu yang sedang dibakar. Panas. Hingga penghuninya ingin keluar mencari angin. Tentu saja angin segar.
    Aku : “Bu, saya bener-bener cape.”
    Ibu : “Kamu tu ya, disuruh gitu aja nggak mau.”
    Aku : “Bu, kapan Ibu ngerti keadaanku.”
    Ibu : “Dah ga usah jadi anak manja. Mau pergi ngga!” (Ibu mengangkat sapu dengan tatapan penuh amarah.)
    Adegan II
    Aku : “Kalo Adi atau Tani yang sakit, Ibu pasti cemas. Ibu akan pergi ke warung cari obat. Tapi kalo aku yang sakit, jangankan tanya kenapa, malah ngomel-ngomel ngga dapet uang. Bukannya aku juga anak Ibu.” (omelku)
    Aku : “ Jadi ibu nyesel punya anak sepertiku.”
    Aku menunduk sejenak. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Ayah tidak peduli lagi denganku. Semua tampak asing. Mereka orang tuaku, tapi nampak makhluk dari planet lain.
    Aku : “Ya, aku ngerti semuanya sekarang. Aku pergi!”
    Aku : “ Oh….kapan teriakan itu terhenti. Akankah Ibu sadar bahwa aku butuh kasih sayang bukan makian atau perintah setiap hari. Bukan aku benci Ibu, hanya saja aku sadar Ibu tak suka padaku. Kecacatanku ini terlalu membuat Ibu susah,”( pikirku).

    BalasHapus
  195. Adegan III

    Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian.
    Aku : “Hidupmu indah
    bila kau tahu,
    jalan mana yang bena…ar
    harapan ada
    harapan ada
    bila kau percaya” (senandung lagu yang ku nyanyikan)
    Seorang pembantu rumah tangga yang sudah kukenal, keluar lewat samping rumah. Ia memberiku dua keping lima ratusan dan sebungkus nasi.
    Aku : “”Terima kasih, Bi”
    Bibi : “Iya, Bibi tahu kamu belum makan. Cuma ada tempe sama sambal.”
    Aku : “Ini sudah lebih dari cukup, Bi. Dari baunya saja, hemmm…….. pasti lezat. Ya udah Bi, saya pergi dulu.”
    Bibi : “Hati-hati. Jaga kesehatan. Kalau kamu lapar, bilang saja ke Bibi.”
    Aku : “Ya Bi. Assalamu’alaikum.”
    Bibi : “Wa’alaikumusssalam.”
    Adegan IV
    Sambil makan, aku mengkhayal tentang dunia impian. Menjelajahi naluri seorang manusia. Berimajinasi setinggi mungkin. Adakalanya, mimpiku terlampau tinggi. Ini membuatku tersenyum sesaat. Lalu kembali ke dunia nyata. Aku sadar bahwa itu bukan duniaku sekarang.
    Aku : “Seandainya ibuku mengerti persaanku, pasti aku akan betah tinggal di rumah. Sekolah, bukan ngamen. Cukup belajar dan belajar,”( khayalku mulai bergerak cepat.)
    Olen : “Wei, To, dari mana aja lu! Dapet duwit berape? Wah, makan siang nih!” kata Olen, membuyarkan semua lamunanku.
    Olen : “Dari Bi Minah lagi. Besok minta dua ya? ”

    Aku : “Ah lu, malu dong. Dikasih aja ngga enak, apalagi minta. Bi Minah kan juga susah kayak kita. Nih buat lu aja, gue dah kenyang.”
    Olen : “”Beneran ? Gue makan ya.”
    Aku : “”Yoi!”
    Olen : “Lu lom jawab pertanyaan gue. Dapet berapa jute gini hari?”( kata Olen dengan mulut penuh)]
    Aku : “Dikit, nih cuma lima ribu.”
    Olen : “Buat lu.” (Tangan Olen menyodorkan uang lima ribu untukku.)
    Aku : “Apaan ni. Ngga usah.”
    Olen : “Gue marah ni kalo lu nggak mau.”
    Aku : “Len, lu lebih butuh ini buat sekolah.”
    Olen : “Bokap gue ngga bakalan buat gue kelaperan.”
    Aku : “Ah masa. Kok makannya lahap gitu. Jangan-jangan lu ngga dikasih makan ama ortu lu.”
    Olen : “Sapa bilang? Gue emang lom makan tadi pagi. Tapi bukan karna gue nggak dikasih makan. Gue tadi bangun kesiangan jadi nggak sempet sarapan.”
    Aku : “Terus napa nggak langsung pulang? Malah ikut ngamen segala.”
    Olen : “Buat ketemu elu-elu pade. Emang nggak kangen, kalo gue nggak ada.”
    Aku : “Kangen ama nenek moyang lo!”
    Olen : “Ni ambil !” (Olen menyodorka uang lima ribu ke arahku)
    Aku : “Lain kali aja Len , kalo gue butuh uang. Lu tabung aja dulu.”
    Olen : “Okelah. Wei, dah sore, gue cabut dulu ya.”
    Aku : “Hati-hati.”
    Olen : “Da…”

    BalasHapus
  196. Babak II
    Adegan V
    Aku pulang dengan berjuta perasaan. Antara marah, lelah, dan lapar. Semua membuatku tak nyaman masuk rumah. Apalagi kalau Ibu marah lagi.
    Ibu : “ Mana uangnya ?”( tanya Ibu saat aku baru tiba di depan pintu.)
    Aku : “ Ini,” kataku sambil mengeluarkan uang dari saku.
    Ibu : “Segini!”
    Aku : “Aku cape, Bu.”
    Ibu : “Bilang aja males. Nggak usah buat alesan.”
    Aku : “Masa cuma lima ribu. Jatah makan siang kamu terpaksa diundur jadi makan malem.”
    Adegan VI
    Jam dinding menunnjukkan pukul 9 malam.
    ”Prakk..!” ( Ibu membuka pintu kamar dengan keras.)
    Ibu : “ Ni jatahmu! Habis makan cuci semua alat dapur yang masih kotor.”
    Aku : “ Lo kok aku lagi.”
    Ibu : “Kamu mau dipukul, ha !”
    Aku : “Iya Bu.”( Tiga detik. Aku menyesal mengatakan itu.)
    Ibu : “Ingat harus bersih. Jangan sampe sabun berceceran kayak kemaren.”
    Aku cemberut. Marah. Kesalnya bukan main.
    Ibu : “Mau dipukul lagi!”
    Aku : “Ya. Pukul aja. Aku dah kebal dengan pukulan itu. Nggak mempan!”
    Ibu : “Dasar anak kurang ajar! Pokoknya kalo nanti belum bersih semua, kamu tahu akibatnya,” ancam Ibu.]
    Keadaan ini membuat hidupku seakan tak berharga. Ibu pergi meninggalkan aku yang masih pusing. Tak ada senyum.Yang ada hanya wajah penuh geram. Aku duduk di pojok kamar. Nasi itu tak sempat kusentuh. Pikiranku menjurus satu cara.
    Aku : “Aku harus pergi sekarang. Nggak mungkin aku hidup seperti ini selamanya. Jalanku masih panjang.”
    Kuputuskan untuk pergi. Semua baju aku masukan dalam sarung, lalu kuikat keempat sudutnya. Aku melihat situasi. Suasana sepi.
    Aku : “Selamat datang kebebasan. Benar apa kata Soekarno bahwa cintailah perdamaian tapi lebih cintailah kemerdekaan. Aku tahu ini pilihan hidup yang sangat sulit. Namun, aku rasa masih banyak orang-orang yang lebih suram hidupnya daripada aku.”

    BalasHapus
  197. Adegan VII
    Hari mulai cerah. Secerah senyum yang kupaparkan pada dunia. Tidur di pinggir jalanan ternyata tidak enak. Selain banyak nyamuk.Udara dingin membuatku sakit kepala. Setelah mencuci muka di sungai, aku melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah masjid aku disambut seorang kakek berjenggot putih. Walau sudah tua, senyumnya seperti masih muda. Ia heran melihat kedatanganku.
    Kakek : “Dari mana Nak ? Kau mau ke mana?”
    Aku : “Saya dari sana,” (tanganku menunjuk arahku datang.)
    Kakek : “Sekarang masih jam 3 pagi, di mana rumahmu? Sepertinya kamu bukan anak sini,” (Kakek melirik jam dinding yang kubawa.)
    Aku : “Saya….saya dari sana,” (tanganku kembali menunjuk arah yang sama.)
    Kakek : “Dari sana? Sananya mana ?”
    Aku : “Anu, saya….saya sendiri Kek.”
    Kakek : “Siapa namamu?”
    Aku : “Saya Toto Iskandar.”
    Kakek : “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang ?” tanya Kakek.
    Aku : “Aku tidak mau menjadi air yang mengalir. Aku ingin menjadi arus. Hidup dengan kemauan sendiri. Tanpa paksaan. Tanpa teriakan orang-orang yang menyuruhku ini itu. Bolehkah aku bertanya Kek, apa arti hidup itu?”
    Kakek : “Hidup. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai pemberian orang lain, mencintai apa yang menjadi milik kita, proses bagaimana kita menyelesaikan tugas di dunia, mencari bekal untuk nanti di akhirat, menerbangkan imajinasi kita untuk terus berkarya, dan masih banyak arti hidup yang lain. Semua itu akan kau temukan ketika kau menjalani kehidupan. Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh hidup, tapi kau harus bisa merasakan hidup.”
    Aku : “Lalu apa itu bahagia ?”
    Kakek : “”Kakek rasa, kau pernah merasakannya. Bahagia. Sulit dijelaskan. Bahagia akan datang karena kau merasa bahwa sekaya-kayanya, semiskin-miskinnya, sesukses-suksesnya, sehancur-hancurnya, sebodoh-bodohnya, sehebat-hebatnya orang itu, mereka memerlukanmu.”
    Aku mencoba menyerap ucapannya. Meski bingung, aku mulai mengerti
    Aku : “ Terima kasih atas jawaban Kakek.”
    Kakek : “Lebih baik kamu pulang dulu dan selesaikan masalahmu dengan Ibu. Atau perlu Kakek bantu.”
    Aku : “Tidak usah Kek. Mungkin saya bisa sendiri.”
    Kakek : “Kamu yakin ?”
    Aku mengangguk. Anggukanku itu penuh tanda tanya. Apakah aku bisa hadapi semua sendiri atau tidak.
    Kakek : “Kalo begitu, ayo solat sama Kakek!”
    Aku : “Saya belum hafal doanya, Kek. Lagi pula saya tidak tahu bagaimana caranya solat yang benar. ”
    Kakek : “Solat tahajud namanya. Tidak apa-apa, kamu sering-sering saja ke sini. Nanti Kakek ajarin. Kamu boleh menggunakan bahasa apa pun yang kamu bisa. Tuhan Maha Mendengar.”
    Aku : “Kakek, aku punya dua permintaan.”. (kataku sebelum masuk ke masjid)
    Kakek : “Apa itu?”.langkah Kakek terhenti.
    Aku : “Bolehkah aku memeluk Kakek? Aku tidak punya Kakek selama ini.”
    Kakek : “Tentu, kau juga akan punya banyak Kakek suatu hari nanti.”
    Aku segera memeluknya. Merasakan kedamaian yang selama ini belum aku temukan. Kasih sayang.
    Aku : “ Inikah bahagia itu Tuhan? Aku berhasil menemukannya. Aku telah menang” (bisikku dalam hati)
    Kupeluk kakek itu sangat erat. Tak ingin aku melepaskannya. Hingga tangisku pun meledak.
    Kakek : “Lalu apa permintaanmu yang kedua ?” tanya Kakek sambil membalas pelukanku.
    Aku : “Bolehkah aku tinggal sehari saja di rumah Kakek.”
    Aku melepaskan pelukannya untuk menatap mata yang sudah keriput.
    Kakek : “Iya, kamu boleh tinggal bersama Kakek kapanpun yang kamu mau.”
    Kami pun masuk masjid. Mengambil air wudhu dan solat bersama. Kakek mengajariku banyak hal. Lima hari yang indah itu akan menjadi pengalamanku paling berharga. Setelah berpamitan dengan kakek, aku memutuskan untuk pulang. Suasana sepi. Tiba-tiba ada tiga orang tetangga keluar dari dalam. Terlihat juga Adi dan Tani yang sedang merapikan baju yang keluar dari tas yang dibawa mereka. Aku langsung mendekati mereka menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

    BalasHapus
  198. Aku : “Eh, ada apa, Di?”
    Tani : “Elu To. Masih inget rumah ini juga.”
    Tani : “Ibu jatuh dari tangga. Dan sekarang ada di rumah sakit.”
    Aku : “Apa ! Ibu…….. Aku ikut kalian.”
    Tani : “Terserahlah, ikut juga boleh asal ngga nyusahin aja,” jawab Tani.
    Aku tahu mereka tak menyukaiku sejak dulu. Hal itu wajar karena memang aku bukan kakak kandung mereka. Meski begitu, sebagai kakak aku tetap mecoba bersabar. Menunggu saat mereka mau memanggilku ” Kakak”.
    Babak III
    Adegan VIII

    Sampai di rumah sakit kulihat Ibu yang terbaring lemah. Wajahnya pucat. Matanya tertutup rapat. Ayah, Adi, Tani, dan beberapa tetangga menatapku. Arah pandangan penuh keheranan dan kebencian. Namun, aku tak peduli dengan reaksi itu. Yang kupedulikan hanya keadaan Ibu sekarang.
    Aku : “Ibu, maaf. Memang anak durhaka sepertiku ini, tidak pantas untukmu. Tapi asal Ibu tahu, aku sangat menyayangi Ibu.”
    Senyumku melebar. Ternyata Ibu membuka mata. Ada suara kecil. Kudekati.
    Ibu : “To, kamu harus tahu, kalau…..kalau sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ibu. Dulu ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Lalu ibumu pergi meninggalkan kalian karena ayahmu bangkrut. Saat itu, kamu baru berumur enam bulan. Dan akhirnya…..ayahmu menikah lagi dengan Ibu.”
    Aku : “DEG”
    Aku : “Apa- Apa ini. Lelucon seperti apa yang baru aku dengar barusan.” (pekikku dalam hati )
    Kalimat ibu terhenti karena oleh iask tangis. Aku pun larut dalam nuansa yang sama. Ibu juga tampak menahan rasa sakit.
    Aku : “”Betulkah cerita ini?” .Hatiku mulai bimbang.
    Ibu : “Ibu juga sayang kamu. Maafkan kesalahan Ibu ya,” Ibu melanjutkan ucapannya.
    Aku : “Ibu, kau tetap Ibuku.”
    Menangis. Menangis lagi. Kenapa Ibu terlalu banyak menangis. Air matanya semakin deras. Lalu segera kupeluk Ibu. Tiba-tiba Ibu berteriak kesakitan. Orang-orang di sekitarku panik. Tak tahan dengan keadaan ini, aku keluar menuju ruangan dokter dengan susah payah karena kakiku yang cacat.
    Aku : “Dokter! Tolong ibuku!” teriakku sambil berlari kencang.
    Beberapa kali aku jatuh, tetapi kembali berdiri. Seluruh orang di rumah sakit ikut panik. Aku langsung menarik tangan seorang dokter yang baru kulihat.
    Dokter : “Ada apa ini. Tunggu dulu!”
    Aku : “Cepat Dok!”
    Aku : “”Tolong Ibu, kumohon,”. kataku sambil terus berlari menuju kamar ibu terbaring.

    Betapa kagetnya aku. Tubuh Ibu telah tertutup kain putih. Semua orang di sekitarnya menangis.
    Aku : “ Tuhan, kenapa Kau ambil ibuku sekarang?”
    Dunia tampak gelap. Aku pun jatuh dan tak tahu apa yang terajadi selanjutnya.
    Pemakaman berlangsung lambat. Selambat langkahku meninggalkan makam yang masih merah itu. Tak ada keceriaan lagi. Aku kehilangan semua. Lemas. Terlalu sakit untuk menyadari bahwa Ibu telah menghilang. Dia pergi ke dunia asing. Tapi, suatu hari nanti aku juga akan ke sana. Dunia abadi yang sebenarnya. Akhirnya aku kembali ke rumah Kakek. Tinggal bersama orang yang menyayangiku. Mencari ilmu setinggi-tingginya tentang arti hidup.

    BalasHapus
  199. Nama : Martinus Taslim
    Kelas : XI IPA7
    No.Absen : 28

    Cerpen
    Tema: Dekadensi Moral Generasi Muda

    Last not but least, sudah saatnya, kita membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai budaya lokal. Bukankah, pemuda adalah generasi bangsa, penerus bangsa, pemertahan kibaran Sang Merah Putih di langit yang biru? Bahkan Presiden Pertama RI, Soekarno berteriak, "Berikan aku satu pemuda maka akan aku guncang Indonesia, berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncang dunia.".

    Mendekati hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi pemuda, mestinya kita merenung. 28 Oktober 1928 adalah moment historis bagi para pemuda dalam merumuskan kesatuan dan persatuan, sehingga mampu memodali diri untuk terus mengusir penjajah yang selama ratusan tahun bercokol di negara kita. Cipratan darah di dinding-dinding bangunan tua Surabaya menjadi saksi atas pengorbanan para pemuda, yang gagah berani mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

    Namun, sekarang rupanya momen bersejarah itu hanya ingatan tekstual yang terlampir pada lembaran buku–buku sejarah bangsa. Pemuda masa kini, yang hidup di tengah arus globalisasi banyak yang tidak bertahan dan hanyut terbawa arus gaya hidup amoral. Hidup ala cowboy atau kebarat-baratan akrab dengan kehidupan para pemuda. Rasa gengsi dengan budaya lokal, bangga dengan budaya luar adalah cikal bakal lahirnya pemuda yang kurang respek dengan agama dan sejuta kearifan lokal bangsanya.

    Jika dulu (prakemerdekaan) para pemuda memegang senjata dengan kekhawatiran negara yang dicintainya dicuri bangsa lain. Kini, pemuda tidak mempunyai pegangan apa-apa. Pendidikan sebagai asas pencetak karakter juga, bagi sebagian pemuda hanyalah formalitas, bukan urgensi kehidupan. Tingkat pendidikan Indonesia memang meningkat jika dibandingkan dengan zaman dulu, apalagi zaman penjajahan. Akan tetapi, kepintaran kaum muda saat ini, tidak dibarengi ketangguhan moral yang seharusnya terus meningkat.

    BalasHapus
  200. Lanjutan Cerpen :

    Rapuh pijakan

    Dekadensi moral pemuda, sebagai anak bangsa adalah dampak dari tidak adanya pijakan terhadap nilai-nilai yang sarat teladan. Mengonsumsi narkoba dan miras menjadi hal yang biasa menurut sebagian kalangan pemuda. Mereka menganggap bahwa hal itu hanya keisengan semata. Pesta seks dan narkoba sering terngiang di telinga. Bahkan, hampir setiap hari, media melaporkan kejahatan yang dilakukan pemuda amoral. Misalnya, kasus pemuda yang meninggal akibat menenggak minuman yang haram di daerah Indramayu.

    Minuman keras dan narkoba telah mempengaruhi dan meracuni para pemuda sehingga masa depan mereka terkikis habis. Bukan hanya narkoba dan miras saja yang menjadi indikator demoralisasi. Tidak kalah berbahayanya adalah freesex. Kebebasan seks juga merajalela di kalangan pemuda. Penganut seks bebas merasa hal itu tidak salah dan wajar. Parahnya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dibalik perilaku itu akan menyebabkan mereka rawan terkena AIDS dan penyakit lainnya.
    Hidup modern yang dianut pemuda Indonesia, tidak dilandasi dengan nilai moral dan cenderung mengadopsi budaya negatif modernitas, menjerumuskannya ke lembah degradasi laku, di mana tidak akan ditemui lagi masa depan yang cerah. Pemuda yang tidak bisa menyaring budaya Barat dan arus modernitas akan menyebabkan dua arus itu sebagai ancaman bagi masa depannya. Padahal jika ia mampu memaknai modernitas, pasti ia akan menemukan kebaikan-kebaikan yang dikandungnya.

    Ancaman demoralisasi pemuda terus menerus melanda bangsa ini. Pornoaksi dan pornografi seringkali menjadi tontonan umum, bahkan tuntunan. Efek yang ditimbulkan dari pornoaksi dan pornografi adalah lahirnya paham seks bebas. Televisi, internet, dan CD/DVD forno menayangkannya seolah tuntutan pasar. Sehingga, dampaknya pada pemuda, mereka banyak yang mengikuti gaya hidup tersebut. Tayangan gaya hidup negatif Barat terus menerus menyeret pemuda ke kandang modernitas dan mengikatnya, hingga mereka berkiblat pada laku lampah Barat yang tak beradab. Inilah racun yang sangat ditakuti mendegradasi kepribadian generasi muda bangsa ini.

    Tayangan-tayangan film yang kurang bermoral seharusnya jangan diputar pada jam-jam di mana banyak orang suka menonton TV. Hal ini dikhawatirkan terekam oleh anak kecil dan dipraktikannya dalam kehidupan nyata. Seandainya terus dibiarkan, dekadensi moral akan mendera kalangan muda dan mengikis eksistensi kader bangsa yang berkualitas. Akibatnya, jika pejabat dicetak dari seorang pemuda yang akhlaknya bobrok, pejabatnya rusak dan sistem pemerintahan pun semrawut karena dipimpin orang yang tidak bermoral.

    Ancaman demoralisasi adalah permasalahan bangsa yang sangat menakutkan dan sangat berbahaya. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan mengakar di diri tiap pemuda, bahkan seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampak krisis moral ini. Kelalaian dan keteledoran bangsa Indonesia dalam menjaring setiap budaya yang masuk ke negara ini, melahirkan dampak yang negatif dan merusak. Westernisasi yang dibiarkan, lama–kelamaan akan menghapus kebudayaan lokal yang penuh dengan kearifan hidup.

    Jika ancaman demoralisasi tidak disikapi dengan serius, kita tidak akan jadi bangsa yang maju, tidak akan ada yang berteriak "merdeka" untuk membela tanah air ini. Mungkin korban pemuda yang mati karena minuman keras, narkoba, AIDS atau lainnya akan jadi pemandangan yang mengerikan setiap hari. Maka, media sebagai alat informasi selayaknya menayangkan hal-hal yang memotivasi, setidaknya kritis moralis atau kritis konstruktif demi membangkitkan gairah pemuda. Menyadarkannya bahwa "Bangsa Indonesia membutuhkan pemuda yang bermoral, bahkan mereka adalah harapan Bangsa".

    BalasHapus